Read More >>"> The Flower And The Bees (6: Hang Out) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Flower And The Bees
MENU
About Us  

            Pukul sembilan pagi, tepat seperti yang Hadden janjikan untuk menjemput Lili. Mobil hitam keluaran Italia itu kini terparkir di halaman rumah Lili. Si pemilik tengah menunggu Lili yang sedang bersiap. Tak lama kemudian Lili keluar dari rumahnya dan langsung memasuki mobil Hadden.

            Pemuda itu melajukan monil mahal tersebut dengan santai, sembari menikmati ramainya kota Jakarta di pagi hari. Dirinya bahkan membiarkan kap mobilnya terbuka, membebaskan udara pagi Jakarta mengalir bebas kedalam mobilnya.

            Tak lama kemudian mobil tersebut memasuki area parkir taman hiburan yang menjadi destinasi mereka. Dengan sigap Hadden membukakan pintu untuk Lili, membuat banyak orang memandangi mereka, membuat iri para wanita dengan tindakan Hadden yang mereka nilai romantis.

Thank you.” Lilli kemudian keluar dari mobil tersebut dan dengan segera merapihkan rok yang ia pakai.

My pleasure, ayok jalan.” ajak Hadden. Pemuda itu berniat untuk menggandeng tangan Lili namun gadis itu sudah berjalan terlebih dahulu, membuat Hadden mengurungkan niatnya.

            Lili kini tengah menatap takjub pada berbagai macam permainan yang ada di taman hiburan tersebut. Tak henti-hentinya gadis itu menatap ke hampir semua jenis permainan yang dapat netranya lihat.

“Den, gue pengen main semuanya, boleh nggak?” tanya Lili dengan nada penuh harap.

“Kenapa enggak? Tujuan kita kesini kan emang buat nyobain permainannya.” Tentu saja pemuda itu mengiyakan permintaan gadis itu, hitung-hitung sembari pendekatan pikirnya.

           Tanpa menunggu waktu lama, ia menarik tangan Lili dan mengajak gadis itu berbagai macam permainan yang ada. Setelah mencoba beberapa wahana permainan, keduanya memutuskan untuk mencoba roller coaster, yang secara tidak langsung membuat bulu kuduk Hadden berdiri karena merinding melihat permainan tersebut.

            Lili benar-benar terlihat menikmati wahana tersebut, gadis itu bahkan tertawa sepanjang permainan tersebut dimainkan hingga keluar dari area permainan. Sedangkan Hadden jangan ditanya, wajah pemuda itu kini pucat pasi, sedari tadi ia berusaha untuk mengeluarkan isi perutnya yang serasa diaduk saat menunggangi permainan tersebut.

            Lili kini tengah mengusap-usap punggung Hadden yang terlihat kepayahan, membuat gadis itu merasa bersalah karena telah mengajak pemuda tersebut menaiki roller coaster. Ia kemudian pergi mencari vending machine untuk membeli dua botol air mineral.

            Setelah mendapatkan minuman tersebut, ia kembali dan menyodorkan sebotol air mineral pada Hadden yang tengah duduk bersandar di kursi yang disediakan. Lili kemudian duduk disamping Hadden, meminum minuman yang tengah ia pegang.

Thanks air minumnya.” ucap Hadden setelah meminum hampir setengah dari botol air tersebut.

“Sama-sama, sorry ya kalo lo harus muntah-muntah gitu karena gue ajakin naik roller coaster.”

“Gue oke kok, santai aja, ngga usah ngerasa bersalah gitu.”

“Tapi kan gue yang bikin lo sampai kayak gini.”

“Elah santai kali Li, lagian tujuan kita kesini tuh buat hang out, seneng-seneng sepuasnya, udah nggak usah dipikirin.”

            Keduanya kemudian mengobrol tentang permainan yang sudah mereka coba hari ini, terkadang gelak tawa menyertai obrolan keduanya, membuat banyak pasang mata menatap ke arah keduanya, mungkin mereka pikir Lili dan Hadden adalah sepasang kekasih.

“Lili, lo laper nggak?” Hadden tiba-tiba menanyakan hal tersebut ditengah obrolan  mereka.

“Laper sih, lo sendiri?”

“Gue udah laper nih, cacing diperut gue minta tumbal udah.” canda Hadden, membuat Lili tertawa mendengarnya.

“Yaudah, mau makan dimana emang? Gue lagi ngga mau yang berat-berat, pengennya cemilan, kue misalnya.”

“Pas banget gue tau café di sini yang enak dan mereka punya menu-menu kue potong yang nggak pelit toppingnya, rasanya juara lagi.” Pemuda itu kemudian berdiri dan menarik tangan Lili, membuat gadis itu mau tak mau ikut berdiri dan berjalan menurutinya.

            Keduanya memasuki café yang cukup ramai, mungkin karena sudah memasuki waktu makan siang dan para pengunjung taman hiburan enggan untuk berdesakan di restoran cepat saji yang ramai dengan pengunjung lainnya yang ingin makan siang di sana.

            Hadden dengan cepat berjalan ke arah kursi di area pojok café, lumayan tenang untuk makan berdua. Setelah duduk Hadden kemudian menekan tombol yang ada di meja untuk memanggil pelayan café.

“Mbak, saya pesen frappuccinonya satu sama vanilla cake strawberry satu. Lo mau apa Li?”

“Saya pesen cappuchino satu sama strawberry cheesecake satu, makasih mbak.”

“Frappuccino satu, cappuchino satu, vanilla cake strawberry satu, dan strawberry cheesecake satu, ada tambahan lagi?” tanya pelayan tersebut setelah mengulang pesanan keduanya.

“Enggak mbak itu aja.” ujar Lili.

“Baik, mohon ditunggu ya.”

            Keduanya mengobrol kembali mengobrol setelah pelayan tersebut meninggalkan meja mereka. Lili dan Hadden benar-benar mengabaikan sekitar mereka yang kini tengah menatap keduanya yang tengah asik dengan obrolan mereka. Tak lama kemudian pesanan mereka diantar oleh pelayan, keduanya terlihat menikmati pesanan mereka.

Thanks ya Den buat hari ini, akhirnya gue nggak sumpek di rumah.” ucap Lili sembari menyuapkan strawberry cheesecake ke dalam mulutnya.

“Sama-sama, kalo lo mau kaya begini lagi juga gue jabanin kali.” ujar Hadden membuat Lili terkekeh pelan.

“Iya deh, kapan-kapan gue ajakin lo ke rumah hantu, gimana?” ledek Lili.

“Kalo yang satu itu, no thank you, trauma gue, sepatu gue ilang sebelah gegara dikagetin sama kunti pas di rumah hantu dulu.”

“Anjir demi apa?!” Lili langsung tertawa mendengar cerita Hadden, gadis itu tak menyangka jika pemuda itu akan mengalami hal selucu itu.

            Secara tiba-tiba menjulurkan tangannya ke arah wajah Lili dan dengan cepat mengusap krim yang ada di bibir gadis itu. Lili yang mendapat perlakuan tiba-tiba itu pun terkejut dan tertegun, apalagi Hadden melakukannya di tengah keadaan café yang ramai.

“Cie-cie, main usap-usap aja abangnya.”

            Suara ledekan terdengar dari belakang Lili, membuat gadis itu serta Hadden menoleh ke arah sumber suara. Rupanya Lyn dan Ven yang tengah menghampiri mereka berdua. Keduanya kemudian duduk di sebelah Lili dan Hadden.

            Kedunya kemudian memesan makanan serta minuman untuk menemai obrolan mereka. Tak lama kemudian pesnana mereka teah sampai dan tertata rapih di atas meja.

“Udah mulai go public nih ceritanya.” ledek Lyn.

“Nggak ya, dibilang gue sama Hadden itu cuma temenan.” elak Lili.

“Jangan gitu kali, nanti si Hadden salting lu.” ujar Ven.

“Nggak juga, oh iya, ini?” tanya Hadden saat dirinya bersitatap dengan Ven.

“Oh sampai lupa gue, kenalin ini Ven, abang kembar gue.” ucap Lyn.

“Gue Venturo Maccario, panggil aja Ven. Gue dari kelas MIPA 5, salam kenal.” ucap Ven sembari menyodorkan tangannya pada Hadden.

“Gue Hadden Xavian, panggil aja Hadde, gue dari kelas MIPA 4, salam kenal.” Pemuda itu kemudian menyambut tangan Ven sembari memperkenalkan dirinya.

“Jadi bener nih yang digosipin anak-anak di sekolah kalau kalian berdua jadian?”

“Nggak ya Bang Ven. Gue sama Hadden cuma temenan doang.”

“Alah nggak usah ngelak lagi Li, gue sama Bang Ven aja tadi ngeliat kalo Hadden ngebersihin krim yang nempel di bibir lo.”

“G-gue ngga ada hubungan kok sama Lili, lo berdua aja yang salah paham soal pertemanan kita.” sela Hadden, namun pada kalimat “pertemanan” dapat Ven dan Lyn dengar perubahan intonasi yang diucapkan oleh pemuda itu.

“Ya ya ya, terserah lo berdua dah, tapi kalau kalian jadian kasih tau kita-kita dong.” ucap Lyn sembari menyendokkan chocolate cake yang ia pesan tadi.

“Yup betul, gue kan pengen malak pajak jadian kalian berdua.” sambung Ven sembari menaik-naikkan kedua alisnya.

Doain aja sih, gue juga pengen cepet-cepet jadian sama dia.” batin Hadden.

“Oh iya, gimana soal ekskul lo, Lili? Lo udah diterima atau belum?” tanya Lyn tiba-tiba.

“Belum sih, gue rencananya mau daftar besok. Gue juga udah tanya sama salah satu anggora klub musik, kebetulan besok senin ada tes buat murid-murid yang mau masuk ke klub.” jelas Lili.

“Lo jadinya masuk klub musik? Bukannya mau daftar jadi anggota OSIS?” tanya Hadden sesaat setelah mendengar pernyataan gadis pujaannya itu.

“Masa lo ngga tau sih Den, kan OSIS pendaftarannya dimulai waktu tengah semester.” ucap Lyn sembari menatap pemuda itu. Seharusnya ini sudah menjadi pengetahuan umum murid jika ekskul OSIS selalu membuka pendaftaran tiap tengah semester, aneh rasanya jika murid sekelas Hadden tak mengetahuinya.

“Gue kira sama kaya ekskul lainnya.”

“Emang lo sendiri masuk klub apa Den?” tanya Ven.

“Gue? Gue masuk basket bareng dua temen gue.” Netra Ven seketika berbinar mendengar pernyataan Hadden.

“Gue juga masuk basket!!!” seru Ven.

“Lo jadi masuk basket bang? Gue kira lo udah give up sama basket setelah nenek bilang kaya gitu kemaren.” ujar Lyn.

            Kemarin nenek mereka berdua memarahi Ven habis-habisan setelah mengetahui jika cucu laki-lakinya lebih memilih melanjutkan ekskul basket daripada pindah ke ekskul volly seperti sepupunya yang kini berhasil menjadi anggota resmi timnas muda volly nasional. Tapi yang namanya Ven, keturunan keluarga Maccario, laki-laki dan sulung pula, sifat sang ayah yang keras kepala menurun kepadanya.

            Pemuda itu terus menerus mengatakan bahwa bakatnya dengan bakat sepupunya berbeda, jadi tak ada salahnya jika dirinya memilih untuk melanjutkan ekskul yang sesuai dengan bakat serta kemampuannya. Maka dari itu Ven mengajak Lyn ke taman hiburan untuk sekedar menenangkan pikirannya dengan menaiki wahana yang memacu degub jantung mereka.

“Nggak ada kata menyerah buat seorang Maccario ya, bodo amat wanita tua itu mau ngomong apa, yang pasti gue bakalan tetep nerusin basket dan nggak akan beralih ke volly. Mau dia ngebanding-bandingin gue sama cucu emasnya sekalipun.” ucap Ven dengan bumbu nada kekesalan di dalamnya.

“Sabar aja Bang Ven, gua yakin suatu saat nenek kalian bakal mengakui kemampuan lo dalam basket.”

            Lili dapat melihat tekad yang kuat pada mata seorang Venturo Maccario yang dikenal suka melawak dan tak pernah serius dalam hal apapun. Lyn mengatakannya sendiri, kembarannya itu memang suka melawak dan tak pernah serius, namun saat berada di lingkungan basket, kedua sifatnya itu menghilang, digantikan dengan ketegasan dan wibawa serta keseriusan dalam bermain basket.

            Mereka berempat terus mengobrol hingga matahari mulai condong ke arah barat, tenggelam dibalik gedung-gedung pencakar langit yang dapat mereka lihat dengan jelas dari dalam café.

“Eh udah sore aja nih, gue balik yak, bang ayok.” ajak Lyn sembari menarik lengan kembarannya itu.

“Ish gue masih mau di sini ah, males gue pulang.” rengut Ven, dirinya enggan bertemu dengan neneknya yang kini tengah mengunjungi rumah mereka.

“Nenek bentar lagi balik ke Bandung ini, dah jan ngambek mulu, pura-pura budeg aja kalo nenek ngebandingin lagi, gue aja yang dibilang masuk klub ngga guna aja bodo amat ama omongan dia, udahh ayok, nanti dicariin mama.” Lyn kemudian berdiri dan menarik kembali lengan kembarannya itu.

“Gue sama Bang Ven balik dulu yak, bye, enjoy your time.”

Bye, hati-hati baliknya.” ucap Lili.

“Abis ini mau kemana? Langsung pulang?” tanya Hadden. Lili terlihat memikirkan apa yang ingin ia lakukan sebelum pulang ke rumah.

“Naik komedi putar gimana? Gue pengen naik itu.” ujar Lili.

“Kenapa enggak, ayok.”

            Keduanya kemudian keluar dari café dan meuju wahana komedi putar. Untung saja antrean pada sore itu tidak terlalu ramai sehingga keduanya dapat langsung menaiki wahana tersebut.

            Dengan tatapan penuh kasih, Hadden terus memandangi Lili yang berada disampingnya. Pemuda itu terus menerus memandangi wajah cantik nan ayu gadis yang sangat ia puja. Lili sendiri tak menyadari jika Hadden kini tengah memandangi dirinya.

*

*

*

            Sesampainya di pekarangan rumah keluarga Wagner, Hadden bergegas membukakan pintu mobil dan mempersilahkan Lili untuk keluar. Lili yang mendapat perlakuan tersebut pun hanya tersenyum pada pemuda tersebut, tanpa berpikir bahwa senyumannya itu sanggup membuat hati pemuda yang diam-diam menyukainya itu berdegub kencang.

Thanks ya Den, gue seneng banget hari ini karena bisa naik banyak wahana.” ujar Lili.

“Sama-sama, kalo semisal lo mau main lagi kaya tadi atau mau ketempat lain bilang aja, bakal gue temenin kok.”

“Nggak perlu repot-repot Den, yang tadi aja udah cukup kok. Gue masuk dulu ya, bye, take care.”

Bye, gue balik dulu.”

            Tepat setelah mobil Hadden keluar dari pekarangan rumah tersebut, kakek Lili yang baru saja membuka pintu langsung menarik masuk cucu perempuannya itu dan mendudukkannya di sofa ruang tamu. Dengan tatapan datar, tetua keluarga Wagner itu menatap lekat ke arah cucunya yang kini merasa gugup.

“Lili, masih ingat nasehat kakek?” tanyanya dengan nada datar.

“Menjauhi Hadden? Tapi dia orang baik, kek.” ujar Lili.

“Mau sebaik apapun dia, tetap saja darah Xavian mengalir deras di nadinya. Kakek tidak ingin terjadi hal buruk padamu.”

“Memangnya ada apa permasalahan apa sampai-sampai Lili harus menjauhi Hadden yang notabenenya baik pada Lili? Kakek selalu menghindar saat Lili menanyakan hal ini, tolong, jangan membuat cucu perempuanmu ini penasaran setengah mati, kek.”

“Ini bukan soal masalah sepele Lili, kami sebagai tetua keluarga pun masih belum bisa menyelesaikannya, apalagi generasi muda seperti kamu. Jangan pernah lagi menanyakan soal permasalahan keluarga Wagner dengan keluarga Xavian, permasalhan ini terlalu kompleks untuk dirimu. Jauhi Hadden, tidak ada bantahan.”

“Tapi kek,”

“Tidak ada tapi-tapian Lilian Wagner, kamu cucu kakek dan kakek tidak akan pernah membiarkan bahaya mendekati cucu kakek.”

             Tetua keluarga Wagner itu kemudian beranjak dari duduknya dan berjalan dengan langkah tegas menuju kamarnya setelah menyela ucapan cucu perempuannya. Lili benar-benar penasaran setengah mati tentang masa lalu keluarganya dengan keluarga Hadden, permasalahan apa yang membuat kedua keluarga ini sampai bersitegang hingga sekarang.

            Gadis itu kemudian melangkahkan kakinya ke arah perpustakaan keluarganya, yang mana hampir setiap detail mengenai keluarga Wagner ada dan lengkap didalamnya. Lili menyusuri tiap-tiap lorong yang berisi rak-rak penuh buku, berusaha mencari buku yang kemungkinan berkaitan dengan permasalahan keluarganya dengan keluarga Hadden. Hampir satu jam dirinya mengitari perpustakaan yang luas tersebut namun tak ada satu petunjuk pun yang ia temukan. Ia kemudian memilih untuk kembali ke kamarnya, sembari menunggu kedua orang tuanya kembali dan jam makan malam tiba.

*

*

*

            Makan malam kali ini sunyi, tidak seperti biasanya yang setelah selesaai makan malam mereka akan mengobrol dengan bebas tanpa beban. Aura berbeda dikeluarkan oleh kakek Lili yang sedari terdiam sambil menatap cucu perempuannya itu, membuat putra dan menantunya kebingungan dengan sikapnya.

            Lili yang sedari tadi ditatap oleh sang kakek pun hanya bisa ikut terdiam, sembari mengumpulkan keberaniannya untuk bertanya pada sang ayah perihal keluarga Hadden, siapa tau lelaki paruh baya itu tahu dan mau memberi seidikit petunjuk padanya.

            Setelah hampir tigapuluh menit, tuan tua Wagner itu beranjak dari duduknya seraya menatap ke arah Lili, seolah ingin mengatakan sesuatu. Lili yang sudah tahu bahwa sang kakek akan melarangnya bertanya lebih jauh mengenai keluarga Hadden pun dengan cepat ia melontarkan pertanyaan pada sang ayah.

“Ayah, sebenarnya apa masalah keluarga kita dengan keluarga Xavian? Hadden orang baik tapi kenapa kakek selalu melarang adek berteman dengan dia?” Ayah Lili tentu terkejut, dari mana putrinya mengetahui jika keluarga Wagner memiliki permasalahan dengan keluarga Xavian, membuat kedua keluarga ini tak bisa disatukan.

“Adek tahu dari mana soal ini? Ayah dan bunda tidak pernah menceritakan perihal ini ke adek.” tanya sang sayah.

“Kakek, kakek yang bilang kalau keluarga Wagner memiliki masalah dengan keluarga Xavian. Masalah apa sebenarnya? Kenapa kakek kekeuh meminta adek untuk tidak berteman dengan Hadden.”

“Meskipun adek tahu masalahnnya, adek tidak akan pernah bisa membantu kami semua dalam menyelesaikan masalah. Kami para generasi tua saja masih kesulitan apalagi adek yang masuk ke generasi muda, akan lebih kompleks masalahnya jika adek ikut terlibat didalamnya. Jadi adek lebih baik menuruti ucapak kakek, okay?”

No, ayah dan kakek sama-sama tidak mau menjelaskan perihal permasalahannya, itu berarti kalian tidak berhak untuk melarang adek berteman dengan Hadden.” tolak Lili dengan jelas, mana mungkin dirinya menjauhi temannya secara tiba-tiba hanya karena keluarganya bersitegang dengan keluarga temannya.

“Lebih baik kamu kekamar sekarang Lili, kakek tidak ingin mendengar ocehan kamu mengenai keluarga Xavian lagi.” perintah sang kakek. Lili menggeleng ribut, dirinya tak mau pergi sebelum mengetahui kebenarannya.

“Masuk ke kamar Lili.”

No, selama belum ada jawaban, adek akan mengunggu di sini.”

“Masuk, Lilian Wagner.”

            Merasa kondisi yang semakin intens, bunda Lili berinisiatif untuk menyuruh sang putri kembali ke kamarnya, sebelum ayah mertuanya itu mengeluarkan amarahnya yang sedari tadi ditahan.

“Masuk ya adek, nanti kalau sudah waktunya kami akan menjelaskan pada adek, ya?”

            Mendengar ucapan sang bunda, Lili hanya dapat mengangguk terpaksa. Gadis itu kemudian beranjak dari duduknya dan berjalan dengan langkah kaki yang sengaja dihentakkan, membuat orang seluruh rumah tahu jika gadis itu kini tengah merajuk.

            Kakek nenek serta orang tua Lili pun hanya dapat menggelengkan kepala mereka saat melihat tingkah Lili. Namun lebih baik seperti ini dibandingkan Lili harus mengetahui kenyataan yang mungkin saja tidak bisa ia terima, pikir mereka.

“Tambah saja pengawasan Lili, son, ayah tidak mau jika cucu ayah didekati oleh bahaya.” ujar tuan tua Wagner.

“Tentu papa, aku akan menambah personel untuk menjaga dan mengawasi putriku yang ceroboh itu.”

“Itu lebih baik.”

            Sementara kedua ayah dan anak itu tengah mengobrol, istri mereka kini sibuk dengan piring, gelas serta mangkok yang kini sudah basah tertimpa air sabun. Keduanya juga nampak asyik mengobrol, entah apa yang tengah mereka bahas namun tawa menyertai obrolan keduanya.

@cf 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Si Neng: Cahaya Gema
95      85     0     
Romance
Neng ialah seorang perempuan sederhana dengan semua hal yang tidak bisa dibanggakan harus bertemu dengan sosok Gema, teman satu kelasnya yang memiliki kehidupan yang sempurna. Mereka bersama walau dengan segala arah yang berbeda, mampu kah Gema menerima Neng dengan segala kemalangannya ? dan mampu kah Neng membuka hatinya untuk dapat percaya bahwa ia pantas bagi sosok Gema ? ini bukan hanya sede...
The Sunset is Beautiful Isn't It?
734      397     11     
Romance
Anindya: Jangan menyukai bunga yang sudah layu. Dia tidak akan tumbuh saat kamu rawat dan bawa pulang. Angkasa: Sayangnya saya suka bunga layu, meski bunga itu kering saya akan menjaganya. —//— Tau google maps? Dia menunjukkan banyak jalan alternatif untuk sampai ke tujuan. Kadang kita diarahkan pada jalan kecil tak ramai penduduk karena itu lebih cepat...
My Soulmate Coco & Koko
3798      1432     0     
Romance
Menceritakan Isma seorang cewek SMA yang suka dengan hewan lucu yaitu kucing, Di hidupnya, dia benci jika bertemu dengan orang yang bermasalah dengan kucing, hingga suatu saat dia bertemu dengan anak baru di kelasnya yg bernama Koko, seorang cowok yang anti banget sama hewan yang namanya kucing. Akan tetapi mereka diharuskan menjadi satu kelompok saat wali kelas menunjuk mereka untuk menjadi satu...
Lebih Dalam
109      94     2     
Mystery
Di sebuah kota kecil yang terpencil, terdapat sebuah desa yang tersembunyi di balik hutan belantara yang misterius. Desa itu memiliki reputasi buruk karena cerita-cerita tentang hilangnya penduduknya secara misterius. Tidak ada yang berani mendekati desa tersebut karena anggapan bahwa desa itu terkutuk.
Le Papillon
1788      821     0     
Romance
Victoria Rawles atau biasa di panggil Tory tidak sabar untuk memulai kehidupan perkuliahannya di Franco University, London. Sejak kecil ia bermimpi untuk bisa belajar seni lukis disana. Menjalani hari-hari di kampus ternyata tidak mudah. Apalagi saat saingan Tory adalah putra-putri dari seorang seniman yang sangat terkenal dan kaya raya. Sampai akhirnya Tory bertemu dengan Juno, senior yang terli...
Violet, Gadis yang Ingin Mati
3280      1270     0     
Romance
Violet cuma remaja biasa yang ingin menikmati hidupnya dengan normal. Namun, dunianya mulai runtuh saat orang tuanya bercerai dan orang-orang di sekolah mulai menindasnya. Violet merasa sendirian dan kesepian. Rasanya, dia ingin mati saja.
House with No Mirror
305      225     0     
Fantasy
Rumah baru keluarga Spiegelman ternyata menyimpan harta karun. Anak kembar mereka, Margo dan Magdalena terlibat dalam petualangan panjang bersama William Jacobs untuk menemukan lebih banyak harta karun. Berhasilkah mereka menguak misteri Cornwall yang selama ini tersembunyi?
Tanpa Kamu, Aku Bisa Apa?
60      48     0     
Romance
Tidak ada yang pernah tahu bahwa pertemuan Anne dan Izyan hari itu adalah hal yang terbaik bagi kehidupan mereka berdua. Anne tak pernah menyangka bahwa ia akan bersama dengan seorang manager band indie dan merubah kehidupannya yang selalu menyendiri menjadi penuh warna. Sebuah rumah sederhana milik Anne menjadi saksi tangis dan canda mereka untuk merintis 'Karya Tuhan' hingga sukses mendunia. ...
Marry
795      362     0     
Fantasy
Orang-orang terdekat menghilang, mimpi yang sama datang berulang-ulang, Marry sempat dibuat berlalu lalang mencari kebenaran. Max yang dikenal sebagai badut gratis sekaligus menambatkan hatinya hanya pada Orwell memberi tahu bahwa sudah saatnya Marry mengetahui sesuatu. Sesuatu tentang dirinya sendiri dan Henry.
Kanvas Putih
100      88     0     
Humor
Namaku adalah Hasywa Engkak, yang berarti pengisi kehampaan dan burung hitam kecil. Nama yang memang sangat cocok untuk kehidupanku, hampa dan kecil. Kehidupanku sangat hampa, kosong seperti tidak ada isinya. Meskipun masa depanku terlihat sangat tertata, aku tidak merasakannya. Aku tidak bahagia. Wajahku tersenyum, tetapi hatiku tidak. Aku hidup dalam kebohongan. Berbohong untuk bertahan...