Read More >>"> Miracle of Marble Box (Tujuh Lautan di Atas Kepala) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Miracle of Marble Box
MENU
About Us  

“Kamu yakin dengan keputusanmu, Al?” ucap Mama.

“Iya Ma. Insya Allah, Alsa sudah berniat dan yakin.”

“Kamu siap dengan konsekuensinya nanti? Bisa jadi kamu susah cari pekerjaan atau susah dapat jodoh…” Papa menegaskan tentang kesiapan Alsa.

“Semua kan sudah diatur sama Allah, Pa. Alsa yakin kalau semua diniatkan karena Allah, insya Allah akan ada jalannya.”

Perbincangan orangtua dan anak bungsunya yang mengutarakan untuk mengubah penampilan – berhijab. Alsa yang masih berusia 15 tahun, di masa remajanya yang begitu banyak tantangan dan petualangan, telah mantap berniat untuk menutup auratnya dan bertanggung jawab sepenuhnya atas keputusan yang diambil tanpa paksaan dari kedua orangtua. Mamanya yang bijaksana begitu menghargai keputusan Alsa, dan Papanya yang visioner sangat terharu dengan pemikiran dan keteguhan hati Alsa.

“Aku tidak ingin Papa menanggung dosa karena aku yang sudah remaja tidak menutup aurat,” ucapan Alsa mengundang pelukan hangat dari Papa yang begitu menyayanginya.

“Semoga kamu istiqomah ya, nak. Mama yakin kamu tetap akan sukses nantinya dan berada di lingkungan yang selalu dilindungi oleh Allah karena hijabmu…” Alsa merasa lega atas izin dan dukungan yang diberikan kedua orangtuanya.

***

Tersisa tiga buah kelereng di dalam kotak ajaib, dan terhitung sudah empat hari Kiki belum dapat ditemukan kembali. Alsa dan Indira pernah berpikir mungkin di salahsatu kelereng yang dimasukkan ke dalam kotak akan memberikan sebuah petunjuk untuk kembali ke Malaysia, tetapi setiap kelereng membawanya ke negara yang berbeda. Alsa mulai gelisah memikirkan bagaimana caranya agar dapat menemukan Kiki. Jika sampai nanti kelereng habis tetapi tak ada petunjuk yang mengarah kepada Kiki, apa yang harus ia lakukan kemudian? Ovi sudah mempercayainya sejauh ini, namun jika akhirnya tak ada kejelasan maka ia harus terbang ke Kuala Lumpur demi mencari Kiki dan membawanya kembali.

“Ra, besok mau ke rumahku lagi untuk melanjutkan permainan?” Alsa menanyakan kepastian pada Indira.

“Hm…Ovi belum bilang apa-apa sih. Memangnya kamu sudah di rumah?”

“Iya. Tadi malam aku sekeluarga pulang karena Papa harus masuk kerja, Mama yang masih bolak-balik ke rumah mbah.”

“Oh oke… Nanti aku coba tanya ke Ovi deh,” ucap Indira.

“Eh, biar aku saja yang telepon Ovi. Ada yang mau aku bicarakan juga sama dia,” Alsa mencegah inisiatif Indira karena ia ingin memberikan alternatif cara untuk menemukan Kiki. Panggilan telepon diakhiri dan Alsa mengumpulkan segenap rasa untuk berbicara pada Ovi. Semoga Ovi dapat memahami dan mendukung ide Alsa.

“Baiknya, kita cepat menyelesaikan misi itu,” ucap Ovi. “Kalau ternyata sampai kelereng terakhir ga ada petunjuk juga. Baru kita ke Malaysia…”

“Aku nanti bilang sama orangtuaku deh tentang masalah ini,” Alsa pasrah.

“Yaa terserah kamu... Yang jelas aku cuma mau, Kiki kembali.” Ovi yang begitu menyayangi Kiki sangat berharap dapat segera menemukan sahabatnya kembali.

Mereka merencanakan untuk memulai petualangannya esok hari dan menyelesaikan tiga kelereng yang tersisa. Arum dan Yanu pun diharapkan dapat ikut menyelesaikan bersama, setidaknya pada kelereng terakhir yang dipilih.

***

“Alsa, kamu…” Indira terkejut melihat Alsa begitu ia disambut dari dalam rumah.

“Taa-daa…this is me,” Alsa tersenyum merespon.

“Kamu abis ada pengajian ya? Apa mau pergi ke masjid?” tanya Ovi yang sedikit heran karena sepagi ini Alsa sudah menggunakan jilbab.

“Ga ada apa-apa. Aku sekarang ya seperti ini. Bismillah…mudah-mudahan bisa istiqomah,” ujar Alsa ke teman-temannya yang masih setengah tak percaya dengan penampilan barunya.

Alsa mempersilakan semua temannya untuk duduk dan mengambilkan minuman segar beserta cemilannya. Yanu siap menunggu di ruang tengah dengan berbinar. Yang lainnya membicarakan tentang rapor yang akan segera dibagikan di hari Sabtu. Mereka sempat mengkhawatirkan beberapa hari saat mereka tak hadir ke sekolah.

“Kira-kira Bu Dian marah ga ya sama kita?” Arum bertanya ke yang lainnya.

“Kemarin beliau sempat tanya, aku bilang saja kalau hari sebelumnya kita semua jalan-jalan sama keluarganya Ovi,” ucap Yanu.

“Wah, jual nama aku nih. Kan kita jalan-jalannya diajak sama Alsa,” Ovi melirik pada Alsa.

“Maaf ya, kalian jadi bingung dan serba salah,” ucap Alsa sembari merapikan jilbabnya.

“Memangnya cuma kalian aja yang bingung. Terus, aku harus bilang apa sama Mamanya Kiki, kalau sampai hari ini atau besok dia ga ketemu juga,” Ovi mengucapkan kalimat yang membuat Alsa menjadi terpojok. Ia teringat akan tanggung jawabnya untuk menemukan Kiki kembali karena Ovi sudah membantunya memberikan alasan pada orangtua Kiki bahwa ia diajak liburan bersama keluarganya.

“Maaf ya, Vi… Aku tetap tanggung jawab kok,” ujar Alsa. Yang lainnya hening sejenak mendengar Alsa dengan kalimat untuk tetap meyakinkan atas tanggung jawabnya.

“Hm…kita mulai aja sekarang, gimana?” Indira memecah keheningan. “Siapa yang mau memasukkan kelerengnya?”

“Yang jelas, aku tetap di sini ya…” Yanu tak berubah untuk tetap tidak ikut dan hanya duduk menjaga kotak ajaib.

“Ah payah kamu, Nu. Padahal asik lho jalan-jalan ke luar negeri gratis,” ucapan Ovi membuat Yanu merapatkan bibirnya. “Rugi kalau ga ikut,” Ovi tambah menyindirnya.

“Arum? Kamu belum pernah coba kan?” Alsa menawarkan pada Arum yang sedikit terkejut begitu namanya disebut.

“Ayo, Rum. Kan kita perginya bareng-bareng…” Indira membujuknya dengan mendekatkan kotak ajaib ke hadapan Arum. Tetapi ia hanya tersenyum tipis dan mendorongnya kembali ke arah Indira dan Ovi.

“Kalian saja ya. Maaf, kali ini aku di sini saja sama Yanu. Jagain kotaknya…” Arum menolak dengan halus. “Aku sudah cukup senang, sudah tiga kali ikut kalian. Sampai bisa merasakan sampai di Mekah. Gratis lagi…”

Alsa tak bisa memaksa keduanya walaupun sangat mengharapkan dapat menemukan Kiki bersama dengan semuanya seperti pertama kali mereka melalui portal waktu ke negeri jiran. Alsa mempersilakan Indira untuk memasukkan kelereng selanjutnya. Indira ragu namun menyanggupi. Ia mengambil kelereng berwarna kuning berbintik perak.

Hadiah dari sahabat untuk kebebasan dan kebahagiaan.

Api yang berkobar dan rantai kaki yang terputus.

Tujuh lautan di atas kepala menatap dunia.  

Sebuah petunjuk baru tampak bersinar di kaca tanam. Indira mencoba untuk mengingat kalimat itu dan yang lainnya saling menggenggam bersiap berpetualang mencari jawaban atas teka-teki yang diberikan kotak ajaib. Yanu dan Arum memicingkan mata karena cahaya terang yang menghisap ketiga temannya begitu menyilaukan. Dengan doa dan harapan yang terdalam, mereka merelakan teman-temannya menghilang demi mencari jawaban dan dapat mendatangkan Kiki kembali.

Disebuah taman yang luas dan teduh, mereka bersandar di salahsatu pohon tua yang kokoh. Terbentang rerumputan hijau berkawan langit terang kebiruan. Alsa dan yang lainnya membuka mata lalu melihat sekelilingnya. Menerka-nerka lokasi tempat mereka ‘terdampar’ dari portal waktu.

“Apa kita di Malaysia lagi ya?” tanya Indira sembari mengingat tempat pertama kali mereka melalui portal waktu.

“Bukan. Ini bukan Malaysia. Lihat banyak bule tuh di sana,” Ovi menunjuk ke arah kanan mereka dan terlihat di kejauhan beberapa orang asing sedang berfoto dan ada juga yang berbincang-bincang sambil berjalan.

“Ayo kita jalan. Mungkin ada petunjuk yang bisa membantu,” ajak Alsa.

Sambil berjalan perlahan dan mencari obyek yang sesuai dengan petunjuk dari kotak ajaib, Ovi melihat di kejauhan beberapa gedung tinggi menjulang dan perairan di dekat lokasi mereka berada. Lumayan ramai orang berlalu lalang di tempat mereka berjalan, dan siapapun yang berpapasan dengan mereka pasti melirik penuh tanya atau menatap sambil berjalan hingga membelakangi. Mungkin karena mereka terlihat seperti anak-anak yang bukan dari bangsa mereka dan berpenampilan berbeda.

Menemukan peta lokasi adalah langkah pertama yang selalu mereka lakukan untuk mengetahui dimana sebenarnya mereka berada. Mereka mulai menyusuri jalanan yang bersebelahan dengan gedung-gedung tinggi.

“Battery Park City, New York?!” Alsa membaca judul peta dengan nada tercengang.

“Berarti, sekarang kita di Amerika,” ucap Indira.

Yeayy, finally, I’m in New York…” Ovi berucap sambil menghirup udara dalam-dalam dan menatap ke langit New York. Wajahnya begitu bahagia seolah mencapai sebuah keinginan yang terpendam. “Dari sini ke Los Angeles jauh gak ya?”

“Ovi, kita ke sini kan bukan untuk liburan atau jalan-jalan,” Alsa berkomentar. “Kita harus segera cari jawaban supaya bisa balik ke Jakarta.”

“Iyaa…iyaa… Aku ingat kok. Lagian cuma tanya aja, segitu sensinya sih! Takut ya kalau Kiki ga bisa balik lagi… Makanya kalau punya keinginan itu dipikir dulu baik buruknya,” Ovi kembali menyindir Alsa.

“Sudah… Kalau berdebat terus kita ga akan bisa cepat cari jawaban dari teka-teki yang sekarang ini,” Indira menengahkan keduanya.

Lalu mereka kembali membaca peta lokasi, mempelajarinya sambil berpikir tentang petunjuk dari kotak ajaib. Tentang sahabat, api, rantai, dan tujuh lautan. Apa sebenarnya yang dimaksud dari petunjuk itu?

“Begini, kalau kita mau ke Pulau Liberty bisa dari sini. Pakai kapal dan berbayar…” ucap Alsa mencoba menjelaskan.

“Memangnya harus ke sana?” Ovi bertanya sinis.

“Ya ga juga sih. Tapi kita mau cari jawabannya kemana? Di sini ramai banget, dan belum ada tanda-tanda mengarah ke petunjuk kotak ajaib,” Alsa berpendapat sambil terus melihat-lihat sekeliling.

Indira yang mulai memicingkan mata dan mengerutkan keningnya, berpikir tentang kalimat petunjuk dan mencari-cari sebuah obyek di sekitarnya.

“Itu…Patung Liberty kan?” Indira menunjuk ke arah yang berlawanan. Dari kejauhan, diantara perairan biru yang tenang terlihat sebuah patung berwarna biru kehijauan berdiri membelakangi, namun siapapun pasti mengenali bentuknya. Alsa dan Ovi pun melihat dari kejauhan patung simbol negara adikuasa tersebut. Ingin sekali Alsa mengunjunginya tetapi mereka adalah wisatawan ‘gelap’ yang tak ada paspor, tak bawa uang, dan tak ada orangtua yang menemani, hanya berbekal sebuah teka-teki dan keberanian diri melewati portal waktu untuk sampai ke tempat itu.

Oh, damn! I have paid for this and it’s useless! What a hell!” Terdengar seseorang menggerutu kasar dengan aksen khas seperti seorang rapper. Seorang lelaki berkulit hitam dengan pakaian kasual dan bertopi merah. Ia terlihat kesal dan kecewa sambil meremas beberapa kertas di tangannya. “Damn it! Damn it!

Alsa dan teman-teman menelan ludah dan berdiri saling merapat. Mereka mulai khawatir dengan lelaki Afro-Amerika yang dilihatnya. Dengan rasa penasaran yang menggelayuti, Alsa melihat lelaki itu tak hanya kecewa tetapi juga terlihat sedih. Raut wajahnya seolah masih mengharapkan sesuatu.

“Al, ga usah sok jadi psikolog ya…” Ovi tiba-tiba berkata pada Alsa sebelum ia mencoba mendekati lelaki tersebut. “Kamu mau coba ngomong sama orang itu kan?”

“Eh, hm, ga kok.”

Lalu ketiganya mulai perlahan menjauhi lelaki itu. Menuju ke sebuah bangunan yang padat antrian. Mereka sepertinya hendak menuju ke pelabuhan untuk menaiki kapal. Alsa mengajak kedua temannya untuk mendekat ke arah pelabuhan dan mencari-cari petunjuk untuk dapat memecahkan teka-teki.

“Setau aku, patung Liberty itu lambang kemerdekaan Amerika Serikat,” Alsa memulai analisanya. “Apa itu yang dimaksud kebebasan dan kebahagiaan ya?”

“Bisa jadi, Al. Hm…gimana kalau kita cari di internet tentang sejarah dan detailnya patung Liberty?” Indira merespon dan memberi saran.

“Kalau semua bisa dicari di internet, kenapa juga kita harus sampai di sini,” Ovi berkomentar sinis seolah percuma yang disarankan Indira. “Kalau sudah di sini ya berarti harus cari di sini.”

“Tapi di sini, ga ada yang merujuk ke petunjuk itu, Vi. Kecuali kalau kita bisa ke sana, mungkin ada sesuatu yang lebih pasti,” Alsa menunjuk ke arah patung Liberty di tengah perairan. Di tempat mereka saat ini memang hanya ada kerumunan turis yang akan mengunjungi patung itu.

Hey, do you want to go there?” tiba-tiba terdengar seseorang bertanya pada mereka. Suaranya terdengar seperti lelaki yang tadi. “Are you getting lost, girls?” Indira gemetar ketakutan mendengar pertanyaan lanjutan dari lelaki hitam itu.

“Hm… We want to go there but our money isn’t enough to buy the tickets,” Alsa menjawab seadanya. Ovi mencolek lengannya memberi tanda untuk tidak berkomunikasi dengan orang asing.

You should buy it before arriving here; internet,” lelaki itu memberi saran.

Yeah, we don’t consider that…” Alsa tetap menimpalinya karena ia pikir lelaki itu tidak berbahaya meskipun dari penampilannya ia terlihat seperti anggota gangster.

Lelaki yang bernama Jacob Randall itu menanyakan asal mereka dan menanyakan apa yang akan mereka lakukan di Battery Park. Sebelum menjawab pertanyaannya, mereka bergantian memperkenalkan diri. Begitu Ovi merasa yakin bahwa Jacob tidak akan berlaku kriminal terhadap mereka barulah ia mau berbincang-bincang.

“Kapal terakhir pukul 3 ini. Aku sudah membelikan teman-temanku tiket untuk berkunjung ke Liberty tetapi mereka tidak datang dan tiket ini tidak bisa diuangkan kembali,” Jacob menjelaskan kekesalannya. Ia sengaja membeli tiket untuk merayakan hasil ia bekerja selama tiga bulan pertama dengan teman-temannya. Jacob sangat kecewa karena ia merasa rugi besar.

“Mengapa temanmu tidak datang?” Alsa tergelitik mencari tahu.

“Ah, mereka belum berubah…” Jacob menjawab pertanyaan Alsa dengan nada datar dan tatapan yang terasa pilu. “They made another mistake and…” ia tidak melanjutkan kalimatnya dan hanya memandang ke arah perairan dengan tatapan kosong.

Alsa dan yang lainnya semakin penasaran, tetapi mereka juga tak ingin membuat Jacob seperti diinterogasi oleh orang asing. Jacob menarik napas panjang lalu berdiri dan merogoh kantong celana kargo hitamnya. Alsa mulai deg-degan, khawatir Jacob akan mengeluarkan senjata tajam atau lainnya yang berbahaya.

Will you join me?” Jacob menyodorkan sebuah kertas dengan barcode yang tertera di sana. “Going to Liberty, the freedom statue.

Setengah tak percaya dengan apa yang didengar, Alsa, Indira dan Ovi saling berpandangan. Jacob mengajak mereka untuk mengunjungi Patung Liberty dengan tiket yang sudah dibeli olehnya. Seolah seperti mengganti teman-temannya yang tak jadi datang untuk berlibur bersamanya. Ovi menanyakan kepastian tawaran itu, dan Jacob merespon dengan sungguh-sungguh bahkan ia langsung mengajak mereka untuk segera ke pelabuhan, mengantri untuk menaiki kapal menuju Pulau Liberty. Kini Alsa mulai meyakini sebuah pepatah – Don’t judge the book from the cover.

Mereka begitu senang setelah duduk di dalam kapal. Tak pernah terbayangkan kalau mereka akan melihat patung Liberty dari dekat dengan seseorang yang baru saja dikenalnya. Selama di perjalanan menyeberang dari Battery Park ke Pulau Liberty, mereka berbincang-bincang dengan Jacob yang ternyata memiliki pengalaman buruk. Ia pernah terjebak dalam sebuah kasus pencurian karena diajak oleh seorang tetangganya dan ia sangat menyesali. Selama 25 hari ia di penjara, lalu ia mendapatkan masa percobaan untuk tidak mengulangi perbuatannya. Jacob berusaha mencari pekerjaan kesana kemari, namun sulit bagi seorang mantan narapidana untuk segera mendapatkan pekerjaan. Akhirnya, ia diterima bekerja sebagai petugas kebersihan di sebuah pusat perbelanjaan meski dengan penghasilan yang tidak begitu besar. Ia berusaha untuk menebus kesalahannya dengan bekerja dan bertingkah laku baik. Tak lupa ia juga beberapa kali mengajak teman dan tetangganya untuk mengikuti langkah yang telah dilakukan, namun sayangnya teman-teman Jacob masih saja melakukan hal yang sama – mencuri, berkelahi, bahkan menggunakan obat terlarang.

Setelah 15 menit berlayar dengan Statue Cruises, akhirnya mereka tiba di Pulau Liberty. Alsa dan teman-teman tak sabar untuk segera turun dan mengunjungi patung terkenal di seluruh dunia itu. Seperti layaknya tuan rumah, Jacob dengan ramah mempersilakan ketiga remaja itu untuk turun terlebih dahulu. Jacob juga mengingatkan gadis-gadis itu untuk melangkah dengan hati-hati karena beberapa turis yang bertubuh tinggi berjalan bersamaan dengan mereka.

Over there! The statue is welcoming us,” Jacob menunjuk ke arah patung wanita mengangkat obor yang berada tak jauh dari tempat mereka berjalan. Alsa dan teman-teman melangkah lebih cepat dan hampir berlari. Jacob mengikuti ketiganya.

Wow! That’s cool… Akhirnya sampai di sini juga,” ucap Ovi begitu sampai di depan patung Liberty, simbol dari negara Amerika Serikat yang begitu terkenal. Patung tembaga berwarna biru kehijauan terlihat begitu kokoh dengan rantai yang terputus di kaki kanannya. Selain itu, ia juga membawa buku di tangan kiri dan obor menyala di tangan kanannya. Terdapat mahkota dengan tujuh pisau yang melingkar di kepalanya. Pengunjung juga dapat masuk hingga ke dalam mahkota Liberty itu.

Yeah, finally… Let’s take a pic over there,” Jacob mengajak untuk berfoto di depan patung. Setelah beberapa pose diambil menggunakan kameranya, Jacob terlihat tersenyum simpul seolah ada rasa kepuasan yang didapatkannya. Ia memandang ke atas dan mengajak Alsa, Ovi, dan Indira untuk masuk ke dalam patung dan naik ke bagian atasnya.

“Tapi, kita kan ga punya uang…” Indira hanya melirik ke Alsa dengan murung.

“Saya akan bayar tiketnya untuk kalian,” lagi-lagi Jacob menawarkan kebaikan. “Anggaplah hari ini adalah hari kebebasan saya dari segala kesalahan yang pernah saya perbuat. Dan…saya ingin membagi kebahagiaan ini dengan kalian.”

“Terima kasih atas kebaikanmu, Jack.”

“Saya berharap kamu dapat menjadi orang sukses di kemudian hari,” Alsa menambahkan ucapan Ovi dengan harapan untuk Jacob.

Lalu mereka semua masuk ke dalam patung Liberty dan menaiki tangga untuk mencapai di dalam kepalanya. Sambil berjalan meniti anak tangga, Alsa mendengarkan seseorang yang menjelaskan tentang sejarah patung tersebut. Liberty yang artinya kebebasan adalah sebuah hadiah dari Perancis kepada Amerika Serikat atas kemerdekaan negaranya. Begitu sampai di bagian jendela yang merupakan mahkota Patung Liberty, Alsa dan teman-temannya dapat melihat beberapa kota Amerika Serikat dan pemandangan laut yang indah. Atmosfer kebebasan begitu terasa saat melihat laut terbentang di hadapan mereka. Sebebas yang dirasakan Jacob dari segala kekesalan dan kekecewaan sebelumnya. Namun, Indira membisikkan sesuatu pada Alsa kalau Jacob sedang menerima telepon dan terlihat gelisah.

Let’s go down. Kita akan melanjutkan perjalanan ke Ellis Island,” ajak Jacob untuk kembali ke kapal dan melanjutkan perjalanan.

“Ada apa di Ellis Island?” tanya Ovi.

Let see there…” Jacob hanya berucap singkat.

Sebelum menaiki kapal untuk mengunjungi Ellis Island, Indira mengambil gambar patung Liberty dari depan dan ia begitu mengagumi lambang kebebasan tersebut serta sejarah yang dibawanya. Ada tujuh pisau lancip di atas mahkota Liberty yang merupakan tanda tujuh lautan yang ada di dunia. Patung Liberty yang kokoh sebagai simbol untuk kebebasan di seluruh dunia. Lalu ia berjalan mengekor di belakang Jacob, lelaki hitam yang menjadi teman baru dengan segala kebaikan yang diberikan sebagai ungkapan kebahagiaannya. Di dalam kapal dalam perjalanan ke Ellis Island, Indira mengucapkan kalimat yang begitu menyentuh kepada Alsa dan Ovi. Jacob yang tak memahami Bahasa Indonesia terdiam sambil melihat pemandangan sekitar.

“Aku benar-benar bersyukur memiliki teman seperti kalian yang begitu pemberani dan suka petualangan. Kalian juga cerdas dan baik hati. Itulah mengapa petualangan kita selalu bertemu dengan orang-orang yang baik.”

“Ra, kamu juga baik. Kalau ga ada kamu, mungkin beberapa kejadian akan menjadi perang antara aku dan Alsa,” balas Ovi.

“Kamu juga selalu menyemangati kita agar bisa menyelesaikan ini semua bersama-sama. Kamu sahabat terbaik, Ra.” Alsa menggengam tangan Indira.

Tiga remaja putri yang memiliki latar belakang berbeda dan juga pribadi yang berbeda menjadi satu kekuatan untuk bisa melewati segala tantangan di negara yang berbeda. Mereka menjadi bukti bahwa perempuan tak selalu menjadi makhluk yang lemah. Seperti halnya Liberty, wanita simbol kebebasan dari segala bentuk tirani, mereka adalah perempuan muda yang bebas, cerdas, dan berkarakter.

Sesampainya di Ellis Island, Jacob melihat sekeliling dan memberikan informasi tentang sebuah museum imigrasi di sana. Tetapi tak lama kemudian ada beberapa orang mendekatinya. Alsa dan teman-teman terkejut melihat Jacob seperti berdebat dengan orang-orang itu bahkan ada yang sampai menarik bajunya. Pemandangan yang mengkhawatirkan terjadi seketika. Keributan terjadi di hadapan mereka, lalu dua orang petugas keamanan datang menghampiri Jacob dan orang-orang yang ingin menyerangnya. Terdengar Jacob menyangkal tuduhan-tudahan dan ia bersumpah atas sesuatu yang tidak dilakukan. Alsa dan teman lainnya ketakutan dan bingung harus berbuat apa.

Don’t you know that he’s a prisoner?” tanya seorang petugas kepada mereka tentang status Jacob sebagai tahanan. Alsa ingin menjawab tetapi ia takut jika mengatakan yang salah.

“…tetapi ia sudah bebas dalam masa percobaan,” akhirnya Ovi yang bersuara.

“Kalian terlalu polos! Lelaki hitam ini berencana melakukan kejahatan pencurian dari wisatawan yang ada di sini,” ucap salah satu lelaki terdengar sangat rasisme.

Alsa sungguh tidak mempercayainya. Jacob adalah orang baik meskipun ia seorang mantan narapidana. Terlebih Ovi, ia bahkan mengatakan bahwa Jacob yang mentraktir mereka dalam perjalanan wisata ke Patung Liberty dan sampai di Ellis Island. Ia sudah menjadi pemandu wisata yang ramah. Indira pun menguatkan pendapat temannya dengan menunjukkan beberapa foto mereka bersama dan menunjukkan bahwa mereka tidak kehilangan apapun selama berwisata dengan Jacob.

This is slander!” Ovi tegas mengatakan bahwa Jacob difitnah. Ia berhasil membuat beberapa wisatawan lain terkejut dan memperhatikannya.

“Kalian tidak paham tentang ini. Lebih baik kalian pergi,” ucap lelaki lain yang berwajah Amerika Latin.

“Ya, lagipula kalian hanya turis dan masih di bawah umur. Seharusnya kalian bisa lebih berhati-hati dengan orang berkulit gelap seperti dia,” ucap petugas keamanan.

Alsa tidak terima atas perlakuan terhadap Jacob, ia menduga ada yang menjebak Jacob. Ovi tetap berkali-kali mengatakan bahwa Jacob adalah pria yang baik, tetapi tetap saja para petugas berusaha untuk menangkapnya karena beberapa pria lain yang menuduhnya. Indira mulai terlihat sedih karena teman barunya itu akan dibawa oleh petugas ke kantor polisi.

“Jack, hubungi manajer tempatmu bekerja agar dia mau bersaksi…” Ovi memberi saran tetapi dirasa percuma karena petugas tetap menggiring Jacob. Indira menarik tangan Ovi agar tidak terbawa emosi meski ia pun merasakan sebuah ketidakadilan. Terlihat Jacob berbicara kepada petugas keamanan untuk meminta sesuatu lalu ia diberi izin untuk berbicara dengan Alsa dan teman-temannya dengan pengawasan dari jarak 5 meter.

Don’t worry, girls… Saya akan hadapi ini,” ucap Jacob dengan tenang.

“Tapi, ini sebuah kesalahan. Mereka menuduh yang tidak benar!” Ovi masih tak bisa menerima.

“Dan mereka berkali-kali menyebutmu lelaki hitam seolah kamu adalah orang yang berbahaya. Ini sangat rasisme, Jack,” Alsa pun ikut terbawa emosi.

“Ssstt… That’s okay,” Jacob justru menyuruh mereka untuk tenang. “Saya sudah terbiasa dengan ini. Kalian tak perlu khawatir. Maaf, saya tidak dapat menemani kalian sampai selesai. Saya harap kalian tetap selamat sampai kembali ke sana.”

“Jacob… Thank you for all your kindness,” akhirnya Indira hanya dapat mengucapkan terima kasih dengan lirih.

“Saya yang seharusnya berterima kasih pada kalian yang sudah mau percaya kepada saya,” ucap Jacob pada semuanya. “Kamu… Muslim kan? Saya senang dengan ketulusanmu untuk menerima siapapun menjadi teman.” Jacob melihat Alsa yang berjilbab, mudah untuk dikenali bahwa ia adalah orang Islam.

Belum selesai mereka berpamitan, seorang petugas keamanan yang berkumis tebal memanggil Jacob untuk segera ikut dengannya. Jacob menoleh dan mengacungkan telunjuknya – meminta satu menit tambahan waktu. Lalu ia mengulurkan tangan untuk berjabatan, tetapi ia justru mendapatkan pelukan persahabatan dari ketiga remaja itu.

“Kembalilah ke kapal dan berhati-hatilah…” pesan Jacob untuk terakhir kalinya. “Take care and…I hope we can meet again.”

Alsa, Ovi dan Indira hanya dapat melihat punggung Jacob yang digiring oleh petugas keamanan. Kebahagiaan mereka terampas seketika bahkan cerita mereka dengan teman baru belum selesai. Di negara yang menjunjung tinggi kemerdekaan dan kebebasan ini ternyata masih ada orang-orang yang bersikap rasisme. Namun, Alsa tetap yakin bahwa kebenaran pasti akan menang. Jacob pasti dapat bebas dari tuduhan yang tidak benar. Perjalanan dari Battery Park, Patung Liberty, sampai ke Ellis Island adalah sebuah hadiah luar biasa dari seorang teman baru yang tak diduga. Cerita di tiap-tiap tempatnya pun membuat Alsa dan teman-teman memahami arti kebebasan yang sesungguhnya, juga tentang persahabatan.    

***

“Kok kalian malah murung sih abis dari Amerika?” tanya Yanu penasaran.

“Sssstttt…” Alsa dan Indira kompak merespon dengan ujung telunjuk di bibir.

“Makanya ikut,” Ovi menyindir Yanu.

Indira masih hanyut dalam kesedihan saat melihat-lihat foto yang ada di galeri ponselnya. Jacob Randall, hanya nama itu yang diketahuinya. Belum sempat mereka bertukar nomor kontak ataupun nama akun di media sosial, tetapi pengalaman yang diberikan memberi makna terdalam. Alsa dan Ovi pun masih memendam rasa kesal yang tak dapat disampaikan. Ingin sekali mereka membantu untuk membebaskan Jacob dari tuduhan, tapi apalah daya mereka hanya turis yang masih dibawah umur dan tak jelas asal kedatangannya. Ah, semoga saja harapan dari Liberty dapat terwujud di seluruh dunia.

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Premium
Antara Aku Pelangi & Hujan
2795      1106     0     
Romance
Zayn bertemu dengan seorang gadis yang sedang menangis di tengah derasnya hujan dan tanpa sadar Zayn tertarik dengan gadis tersebut Ternyata gadis tersebut membawa Zayn pada sebuah rahasia masa lalu yang di lupakan Zayn Membawanya pada sesuatu yang tidak terduga
GAARA
4251      1436     14     
Romance
"Kalau waktu tidak dapat menyembuhkan luka, maka biarkan aku menjadi mentari yang dapat membuat hidupmu bahagia." Genandra Mahavir Aditama, si kutub Utara yang dipaksa untuk mencintai seorang perempuan bernama Akira Magenta Valencia, dalam kurun waktu lima belas hari saja. Genandra diminta agar bersikap baik dan memperlakukan gadis itu sangat spesial, seolah-olah seperti dia juga mencin...
Premium
Di Bawah Langit yang Sama dengan Jalan yang Berbeda
4045      1322     10     
Romance
Jika Kinara bisa memilih dia tidak ingin memberikan cinta pertamanya pada Bian Jika Bian bisa menghindar dia tidak ingin berpapasan dengan Kinara Jika yang hanya menjadi jika karena semuanya sudah terlambat bagi keduanya Benang merah yang semula tipis kini semakin terlihat nyata Keduanya tidak bisa abai walau tahu ujung dari segalanya adalah fana Perjalanan keduanya untuk menjadi dewasa ti...
Kiara - Sebuah Perjalanan Untuk Pulang
1791      911     2     
Romance
Tentang sebuah petualangan mencari Keberanian, ke-ikhlasan juga arti dari sebuah cinta dan persahabatan yang tulus. 3 Orang yang saling mencintai dengan cara yang berbeda di tempat dan situasi yang berbeda pula. mereka hanya seorang manusia yang memiliki hati besar untuk menerima. Kiara, seorang perempuan jawa ayu yang menjalin persahabatan sejak kecil dengan Ardy dan klisenya mereka saling me...
Lebih dari Cinta Rahwana kepada Sinta
652      490     0     
Romance
Pernahkan mendengarkan kisah Ramayana? Jika pernah mendengarnya, cerita ini hampir memiliki kisah yang sama dengan romansa dua sejoli ini. Namun, bukan cerita Rama dan Sinta yang akan diceritakan. Namun keagungan cinta Rahwana kepada Sinta yang akan diulas dalam cerita ini. Betapa agung dan hormatnya Rahwana, raksasa yang merajai Alengka dengan segala kemewahan dan kekuasaannya yang luas. Raksas...
Heliofili
1531      784     2     
Romance
Hidup yang sedang kami jalani ini hanyalah kumpulan berkas yang pernah kami tandatangani di kehidupan sebelumnya— dari Sastra Purnama
Premium
MARIA
5079      1839     1     
Inspirational
Maria Oktaviana, seorang fangirl akut di dunia per K-Popan. Dia adalah tipe orang yang tidak suka terlalu banyak bicara, jadi dia hanya menghabiskan waktunya sebagian besar di kamar untuk menonton para idolanya. Karena termotivasi dia ingin bercita-cita menjadi seorang idola di Korea Selatan. Hingga suatu ketika, dia bertemu dengan seorang laki-laki bernama Lee Seo Jun atau bisa dipanggil Jun...
Ketos pilihan
441      293     0     
Romance
Pemilihan ketua osis adalah hal yang biasa dan wajar dilakukan setiap satu tahun sekali. Yang tidak wajar adalah ketika Aura berada diantara dua calon ketua osis yang beresiko menghancurkan hatinya karena rahasia dibaliknya. Ini kisah Aura, Alden dan Cena yang mencalonkan ketua osis. Namun, hanya satu pemenangnya. Siapa dia?
My World
465      307     1     
Fantasy
Yang Luna ketahui adalah dirinya merupakan manusia biasa, tidak memiliki keistimewaan yang sangat woah. Hidup normal menyelimutinya hingga dirinya berusia 20 tahun. Sepucuk surat tergeletak di meja belajarnya, ia menemukannya setelah menyadari bahwa langit menampilkan matahari dan bulan berdiri berdampingan, pula langit yang setengah siang dan setengah malam. Tentu saja hal ini aneh baginya. I...
The Alpha
1166      582     0     
Romance
Winda hanya anak baru kelas dua belas biasa yang tidak menarik perhatian. Satu-satunya alasan mengapa semua orang bisa mengenalinya karena Reza--teman masa kecil dan juga tetangganya yang ternyata jadi cowok populer di sekolah. Meski begitu, Winda tidak pernah ambil pusing dengan status Reza di sekolah. Tapi pada akhirnya masalah demi masalah menghampiri Winda. Ia tidak menyangka harus terjebak d...