Alsa membawa kotak ajaib kembali ke kamarnya, dan ia rehat sejenak. Sambil merebahkan diri di kasur, ia mengingat kembali kejadian yang baru saja dilalui bersama teman-temannya. Petualangan singkat ke negeri jiran untuk menemukan jawaban dari teka-teki yang muncul di kotak ajaib.
“Waktu mulai buka kotak itu sekitar jam 2. Terus, begitu sampai di sini lagi jam 4 lewat. Jadi, perjalanan itu cuma dua jam…” Alsa berpikir mengingat-ingat rentang waktu yang ia lewati selama masuk ke dalam portal waktu. “Kalau setiap kelereng itu adalah tantangan, berarti… Mungkin bisa diselesaikan dalam satu hari,” Alsa mencoba menghitung, memperkirakan waktu untuk dapat menyelesaikan teka-teki yang tersisa. Jika ia dapat menyelesaikannya lebih cepat, ia berharap Kiki dapat segera kembali.
“Setelah selesai, kotaknya berubah warna. Di dalamnya jadi seperti apa ya?” Alsa mulai penasaran untuk melihat isi kotak kembali dan ingin menghitung sisa kelereng di dalamnya. Ia mendekati kotak itu dan agak ragu untuk membukanya. Ia menarik napas panjang agar lebih tenang lalu membuka tutup kota berornamen emas itu. Kaca tanam hitam tak memunculkan kata-kata, namun didapatinya sembilan kelereng warna-warni tersisa.
“Apa ini?” tanyanya heran ketika ia mendapati sebuah gambar berada di rongga sebelah kanan. “Ini persis seperti foto yang aku ambil tadi,” ujarnya. Lalu ia mengambil ponsel miliknya dan mencari sebuah foto di galeri khusus tempat ia menyimpan gambar lingkaran di atas jembatan menara kembar. Betapa terkejutnya, ternyata foto itu sama persis dengan yang ada di ponselnya. “Seperti dicetak langsung.”
***
Selasa pagi di sekolah, suasana kelas Alsa begitu ramai. Teman-temannya masih memperbincangan tentang kegiatan Persami sebelumnya seolah tak habis-habis cerita yang ingin dibagikan bersama. Alsa dan Indira hanya mendengarkan berbagai cerita dan berkomentar apa-apa. Mereka terdiam karena menyimpan sebuah cerita yang tak kalah serunya. Berbeda dengan Ovi yang terlihat kurang bersemangat karena tak ada teman sebangkunya. Kiki masih belum kembali dan masih menjadi sebuah teka-teki. Ovi yang hanya bersandar tak semangat di bangku sambil memainkan ponselnya.
“Vi, si Kiki kemana? Kok tumben ga ada,” tanya salah seorang teman lain yang duduk di seberang kirinya. Sontak Alsa, Indira, Arum dan Yanu melihat ke arah Ovi, menunggu respon dari pertanyaan tadi.
“Kiki lagi kurang sehat. Dia ga masuk,” jawab Ovi tanpa menoleh. Alsa dan yang lain hanya tertegun mendengar jawaban Ovi yang berusaha menutupi keadaan sebenarnya. Saat Alsa ingin menghampiri Ovi di bangkunya, masuklah Bu Dian. Akhirnya Alsa urung mendekati Ovi.
“Hari ini sampai Jumat, kalian diberi kesempatan untuk melengkapi tugas yang belum selesai. Jika ada yang mau remedial, silakan menghubungi langsung guru mata pelajaran yang bersangkutan. Ingat ya, nilai KKM semester ini 80. Jadi, jangan sampai nilai kalian ada yang masih di bawah KKM,” Bu Dian memberi penjelasan kepada seluruh siswa.
“Kalau nilainya udah aman semua, gimana Bu?” Ovi buka suara.
“Kalian diperbolehkan mengikuti classmeeting. Setelah itu, boleh kembali ke rumah.” Jawaban Bu Dian disambut tepuk tangan meriah oleh beberapa siswa yang merasa nilainya sudah mencapai standar ketuntasan. Alsa dan kelompoknya pun merasa aman.
“Maaf Bu. Untuk Kiki apa ada nilai yang kurang?” tanya Ovi menghampiri meja Bu Dian. Ia begitu peduli dengan sahabatnya.
“Hm…sepertinya nilai Kiki aman. Memangnya dia kemana? Kok hari ini ga masuk?”
“Sakit, Bu,” jawab Ovi singkat. Lalu ia meminta izin untuk kembali ke tempat duduknya.
Bel panjang berbunyi menandakan waktu kepulangan. Seketika Ovi berdiri di samping Alsa, lalu mengajak pulang bersama. Yang lain hanya melihat penuh keheranan. Alsa dan Ovi pulang bersama, diikuti oleh Indira, Arum, dan Yanu. Mereka menuju ke rumah Alsa, menaiki mobil pribadi Ovi yang disupiri oleh Pak Handoko, supir pribadi papanya.
Sesampainya di rumah Alsa, Ovi menawarkan diri untuk membelikan makan siang agar Alsa tak perlu repot untuk menyiapkan. Semuanya menyambut dengan senang, Alsa hanya tinggal menyajikan minuman segar untuk teman-temannya. Setelah selesai makan siang dan shalat zuhur, mereka beristirahat sejenak. Sambil mengumpulkan energi untuk melajutkan petualangan, Alsa menyiapkan beberapa perlengkapan yang akan dimasukkan ke sakunya.
“Buat jaga-jaga. Kita kan ga tau negara mana yang akan dikunjungi nanti,” ujar Alsa sambil menunjukkan sebuah buku kecil dan pulpen, spidol merah, dan juga plester luka.
“Aku juga bawa ini. Siapa tau nanti berguna,” imbuh Ovi seraya menunjukkan sebuah tas pinggang kecil yang ia perlihatkan isinya. Di dalamnya ada kompas kecil, senter, pisau lipat, dan tisu kering.
“Kalian ga ada yang bawa cemilan?” imbuh Yanu. Lalu semua mata tertuju padanya.
“Kita bukan mau piknik. Tapi mau memecahkan teka-teki,” jawab Ovi tegas.
“Heheheheee…” Yanu hanya tertawa cengengesan.
Sebelum Alsa membawa kotak ajaib itu ke hadapan teman-temannya, Yanu mengusulkan bahwa dia akan menjaga kotak tetap aman selama yang lain terhisap portal waktu. Yang lainnya menyetujui usul Yanu. Lalu Arum juga mengingatkan Yanu jika terjadi apa-apa dengan kotak tersebut, Yanu harus tetap didekatnya – jangan ditinggal pergi. Kali ini Yanu mengangguk mengiyakan karena mereka tetap harus bekerja sama meski salahsatunya tak ikut masuk ke dalam kotak ajaib.
“Kalian siap?” tanya Alsa memastikan. “Sekarang giliran Ovi yang memasukkan kelerengnya.”
“Oke, aku siap.”
Penutup kotak dibuka oleh Alsa, yang lainnya tertegun menunggu. Yanu diam-diam menggeser posisi duduknya dan mendekat ke arah pintu. Ia berharap tak ikut terhisap ke dalam kotak ajaib. Lalu Ovi mulai mengambil sebuah kelereng berwarna jingga metalik. Yang lainnya menarik napas panjang sambil mendekat, menatap kaca tanam di penutup kotak.
Keluarga adalah segalanya. Hapuslah air mata dan dekaplah agar bahagia.
Yang terkasih akan tetap abadi meski pernah pergi.
Begitu mereka membaca tulisan yang muncul, tangan mereka saling berjabat erat. Bersiap mencari jawaban di negeri yang tak pernah diketahui. Cahaya yang menyilaukan muncul dari kaca tanam. Yanu bersembunyi di balik bantal kursi dan bersandar pada pintu. Teriakan teman-teman membuat jantungnya berdegup kencang. Ia menyaksikan dengan samar keempat temannya menghilang terhisap cahaya terang, lalu sunyi…
***
Terdengar suara anak-anak sedang bermain riang. Alsa dan teman-teman perlahan membuka matanya, menyadari ada di sebuah arena bermain anak-anak. Udara sejuk berhembus ditemani sinar matahari yang hangat, tak sepanas seperti di kotanya.
“Kita dimana?” tanya Arum, sedangkan yang lainnya masih melihat-lihat kondisi sekitar.
“Sepertinya…di Jepang,” jawab Indira mengira-kira karena ia melihat sebuah tulisan seperti huruf kanji. Lalu semuanya saling berpandangan, kebingungan.
“Kita ga ada yang bisa bicara bahasa Jepang. Trus gimana?” Arum mulai khawatir.
Mereka serentak berdiri ketika ada seorang anak kecil menghampiri dengan wajah penuh tanya. Anak perempuan kecil berpipi tembam dengan rambut yang dikuncir dua, terlihat begitu menggemaskan. Ia menatap Alsa dan teman-temannya penuh keheranan. Saat anak itu mengatakan sesuatu tak ada yang memahami bahasanya. Indira dan Arum saling berpandangan. Alsa segera mengeluarkan ponselnya lalu mencari aplikasi penerjemah bahasa.
“Kalian siapa?” ponsel Alsa menerjemahkan kalimat anak kecil itu. Lalu ia membalasnya dengan mengucapkan kalimat jawaban yang langsung diterjemahkan dalam bahasa Jepang. Anak itu mengerutkan keningnya.
“Apa kamu bisa berbahasa Inggris?” tanya Ovi. Setelah anak itu melihat terjemahannya, ia mengangguk. Ovi dan yang lainnya langsung bernapas lega. Lalu mereka menanyakan dimana sebenarnya mereka berada.
“Ichikawa, Chiba,” jawab anak itu singkat menyebutkan kota tempat mereka berada. Lalu dengan sigap Alsa mencari nama kota Ichikawa di pencarian internet untuk mengetahui letak kota tersebut dari jarak ibukota Jepang. Ternyata Ichikawa berada di prefektur Chiba sekitar 30 km dari pusat kota Tokyo. Setelah itu, Alsa menuliskan beberapa kalimat pendek untuk memperkenalkan diri dengan bahasa Inggris. Lalu ia bertanya tentang identitas anak perempuan pemberani itu.
“Aishawa Hitomi,” anak itu menyebutkan namanya dengan senyum simpul yang manis. Alsa dan teman-teman begitu berharap Aishawa dapat membantu mereka memecahkan teka-teki kedua. Tak lama kemudian, Alsa mendengar seorang anak kecil lain menangis. Aishawa terkejut dan langsung menghampiri anak tersebut. “Dia adikku, Kazuo,” ucapnya dalam bahasa Inggris yang fasih namun dengan aksen khas orang Jepang.
Lalu Aishawa memeluk adiknya dan mengajaknya untuk pergi. Alsa mencegahnya dengan halus, menanyakan akan pergi kemana mereka berdua. Aishawa hanya menunduk, sedih. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya tentang Aishawa. Akhirnya Alsa mengajaknya untuk duduk dan melihat kondisi adiknya, memperhatikan lebih dekat apakah adiknya terluka. Namun, anak laki-laki itu hanya menggeleng sambil menghapus air matanya di pipi bulatnya.
“Dimana rumah kalian? Ayo aku antar ke sana,” ajak Alsa.
“Di dekat sungai Mama,” jawab Aishawa lirih. Lalu Ovi menggandeng tangannya untuk berdiri dan menunjukkan arah menuju rumahnya. Aishawa menolak, ia menggeleng.
“Ada apa? Kamu ga mau pulang?” Indira buka suara, namun Aishawa hanya terpaku.
“Kamu takut dimarahi orangtuamu?” Aishawa menggeleng merespon pertanyaan Ovi.
“Lalu kenapa?” Alsa menanyakan dengan penuh hati-hati. Aishawa dan adiknya hanya terdiam. Alsa mulai penasaran dengan kedua kakak-beradik tersebut. Tak lama berselang, ada seorang wanita muda berteriak seolah sedang mencari-cari di sekitarnya. Aishawa lalu segera menghampiri wanita itu bersama adiknya. Wanita itu memeluk keduanya dengan penuh kasih sayang. Terlihat Aishawa berbicara dengan wanita itu, lalu wanita itu menghampiri Alsa dan yang lainnya. Dengan begitu hormat, wanita itu mengucapkan terima kasih dan membungkuk di hadapan mereka. Alsa dan yang lain hanya membalas dengan membungkuk tanpa berkata apa-apa. Lalu Aishawa mengatakan sesuatu lagi kepada wanita itu yang ternyata ibunya Aishawa.
“Saya Mayuko. Silakan mampir ke rumah kami,” ucap Ibu Mayuko dalam bahasa Inggris beraksen jepang.
“Baik. Terima kasih,” ucap Alsa dan teman-teman bahagia.
Tiba di sebuah rumah bernuansa kayu khas rumah jepang, Indira begitu terkagum-kagum. Selama ini ia hanya dapat melihat rumah jepang di film-film kartun kesukaannya. Kini ia benar-benar memasukinya – rumah Aishawa-chan. Mereka dipersilakan duduk, dan ibunya memberikan suguhan air hangat dalam teko yang dituangkan ke beberapa gelas kecil.
“Maaf, kami hanya menyajikan teh hangat. Saya belum memasak apa-apa,” ucapnya begitu sopan sambil menunduk.
“Tidak apa-apa. Kami sangat berterima kasih atas keramahan anda,” ucap Ovi.
“Apa kalian ingin berwisata atau bekerja?”
“Hm…kami hanya berkunjung sebentar,” jawab Alsa. Ibu Mayuko mengangguk senang. Ia mempersilakan mereka untuk minum. Lalu Alsa melihat sebuah foto di sudut ruangan. Foto keluarga Aishawa. Alsa mencoba menajamkan penglihatannya menegaskan siapa saja di foto itu. Ternyata dari foto itu Alsa dapat memahami bahwa Aishawa memiliki ayah yang berkebangsaan lain. Pantas saja ia bisa berbahasa Inggris.
“Maaf, saya izin ke belakang sebentar,” ucap Bu Mayuko. Lalu semua mengangguk.
Dari ruang yang bersebelahan, terdengar Bu Mayuko sedang berbicara dengan Aishawa. Terdengar beberapa kali Bu Mayuko bernada agak tinggi dan Aishawa menjawab perkataannya. Karena tak paham yang diucapkan, Ovi langsung berinisiatif untuk membuka aplikasi terjemahan audio dari ponselnya. Namun karena suaranya kurang begitu jelas, kata-kata yang diucapkan tidak dapat sepenuhnya diterjemahkan. Hanya ada kata ‘jangan pergi lagi’ dan ‘hati-hati’ yang jelas terdengar dan dapat diartikan. Lalu tak lama, suara Aishawa tak terdengar lagi. Mungkin ibunya menyuruh ia untuk beristirahat.
“Anak-anak sedang mandi,” ucap Bu Mayuko pada Alsa dan yang lainnya.
“Maaf jika kami mengganggu,” ucap Ovi.
“Oh tidak apa-apa. Kami baru saja pindah ke rumah ini tiga hari yang lalu, jadi saya harus banyak berpesan pada Aishawa agar tidak bermain jauh-jauh, dan tidak mudah percaya pada orang asing,” Bu Mayuko menjelaskan. “Sebenarnya saya dan Aishawa berasal dari tempat ini. Tapi ketika Aishawa berusia 1,5 tahun, saya terpaksa meninggalkan kota ini agar Aishawa bisa hidup lebih baik,” ujarnya menceritakan asal-usul ia dahulu.
“Kenapa begitu?” Ovi penasaran. “Oh maaf, saya tidak bermaksud…”
“Ah tidak apa-apa,” Bu Mayuko sangat ramah merespon. “Dahulu saya dan suami hanya pekerja biasa. Ketika saya hamil, saya diberhentikan oleh majikan saya. Begitu Aishawa lahir, kebutuhan kami semakin banyak dan penghasilan ayah Aishawa tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Belum lagi harus membeli susu,” Bu Mayuko melanjutkan kisahnya dengan bahasa Inggris yang terkadang bercampur dengan kata-kata bahasa Jepang, namun Alsa dan Ovi masih dapat mengira maksudnya. “Saya kecewa ketika mengetahui ternyata Takeda mencuri uang beberapa kali. Bahkan dia juga melukai korbannya,” sambung Bu Mayuko menceritakan tentang Pak Takeda, suaminya yang terdahulu – ayah Aishawa.
“Saya turut prihatin,” respon Alsa.
“Suatu malam beberapa polisi datang dan mengatakan bahwa dia mencari Takeda untuk ditangkap karena membunuh seseorang. Saya takut dan tidak tahan lagi, maka malam itu juga saya membawa Aishawa pergi meninggalkan Ichikawa. Saya tidak ingin Aishawa menderita,” Bu Mayuko terlihat masih begitu terluka mengingat kejadian itu meski sudah 7 tahun berlalu. Wanita lembut yang harus menelan pahitnya kehidupan. Suaminya telah tiada dan ia harus tetap berjuang demi anaknya yang masih bayi. Ia berpindah ke kota lain hingga ada panti yang menampungnya dan ia mulai mencari pekerjaan baru untuk menghidupi Aishawa kecil. Beruntungnya ia bertemu dengan seorang sukarelawan berkebangsaan Australia yang menjadi guru di panti. Setelah tiga tahun menjanda, akhirnya Bu Mayuko menikah kembali dengan Tuan Hanzold dan mereka hidup bahagia ditambah dengan hadirnya Kazuo. Bu Mayuko lalu bekerja sebagai pengasuh anak pada keluarga seorang diplomat dan mendapatkan penghasilan yang cukup. Namun sungguh disayangkan, ayah Kazuo meninggal dunia karena sakit liver yang dideritanya. Bu Mayuko kembali terpukul karena harus kehilangan pasangan hidupnya dan harus kuat untuk tetap menghidupi kedua anaknya yang masih kecil.
“Ibu… Aku mau makan,” ucap Aishawa sambil membawa mangkok kecil ke hadapan ibunya. Bu Mayuko yang sedari tadi memasak sambil bercerita lalu mengisi mangkok Aishawa dan adik kecilnya dengan makanan yang siap disantap. Bu Mayuko beberapa kali menawarkan kepada Alsa dan teman-teman tapi mereka menolak dengan halus karena memang baru saja makan siang sebelum terbawa oleh portal waktu ke negeri sakura. Tak lama terdengar sebuah pintu diketuk dari luar. Bu Mayuko lalu beranjak.
“Brakk…!!” terdengar pintu ditutup dengan kencang. Semua terkejut dan Kazuo hampir saja menangis mendengarnya.
“Ada apa, Bu?” tanya Ovi heran begitu melihat Bu Mayuko kembali masuk dengan wajah tegang dan ketakutan.
“Tidak… Tidak ada apa-apa,” ucapnya sedikit gemetar. “Aishawa cepat masuk dan bawa Kazuo ke kamar,” perintahnya pada Aishawa yang belum selesai menghabiskan makanannya.
“Apa ada sesuatu yang bahaya, bu?” Alsa bertanya juga.
“Hm…tidak. Hanya…” belum selesai Bu Mayuko menjawab lalu terdengar lagi suara ketukan pintu di luar. Wanita itu sangat gugup. Alsa dan teman-teman pun menjadi penasaran.
“Mayuko… Mayuko…!! Aishawa!” orang yang mengetuk pintu itu memanggil nama Bu Mayuko dan juga Aishawa dengan keras. Suasana menjadi begitu tegang.
“Siapa dia, bu?” Indira pun mulai ketakutan.
“Aishawa!!” lelaki itu kini memanggil nama Aishawa seraya memaksa untuk keluar.
“Ibu…siapa dia?” tanya Aishawa ketakutan. Lalu ibunya menyuruh masuk kembali ke kamar dan menutup pintu kamarnya.
Bu Mayuko bermaksud keluar lagi tetapi kali ini Alsa dan Ovi meminta izin untu menemaninya. Bukan untuk ikut campur tapi lebih untuk menjaga, kalau saja orang itu akan berbuat jahat. Bu Mayuko mengiyakan, namun mereka hanya diperbolehkan berada di belakangnya. Alsa langsung bersiap dengan aplikasi penerjemah di ponselnya agar dapat mengetahui pembicaraan Bu Mayuko dengan lelaki itu.
“Jangan berisik! Aku sedang ada tamu,” ucap Bu Mayuko.
“Aku tidak peduli dengan tamumu. Aku ingin bertemu anakku. Mana Aishawa?!” ucap laki-laki itu kasar. Semua yang mendengar begitu khawatir dengan Bu Mayuko. Terlebih Alsa yang mendengar bahwa lelaki itu ingin menemui anaknya – Aishawa.
“Aishawa tidak ada di sini. Ia bersama bibinya,” ucap Bu Mayuko berbohong.
“Jangan bohong! Ada sandal anak kecil di sini. Aishawa, ini ayah, keluarlah!” ucap lelaki itu memaksa.
“Itu sandal Kazuo, anakku. Pergilah!” Bu Mayuko mengusir lelaki itu. Tetapi lelaki paruh baya itu tak bergeming, ia tetap memaksa untuk menemui Aishawa. Alsa mulai berasumsi bahwa lelaki itu adalah Pak Takeda, tetapi Bu Mayuko bilang dia sudah meninggal di penjara. Siapa sebenarnya lelaki itu?
“Aku harus menemui Aishawa. Aku ayahnya. Jangan kau sembunyikan dia, Mayuko.”
“Kalau kau memaksa, aku akan berteriak sampai semua orang datang dan menangkapmu. Pergilah! Sekalipun ada Aishawa, ia juga tak akan mau menemuimu,” ucap wanita itu mulai mengancam agar lelaki itu pergi. “Ia tak akan mau memiliki ayah seorang penjahat!”
Lelaki itu tertunduk setelah mendengar perkataan Bu Mayuko. Ia tersedu seolah menyesali perbuatannya yang terdahulu. Bahunya bergetar, matanya terlihat mulai basah. Wajahnya keras, namun tatapannya begitu pilu. Lelaki itu merindukan putrinya. Lalu ia pergi. Bu Mayuko menutup pintu, lalu terduduk di antara Alsa dan Ovi. Indira dan Arum menemani Aishawa dan Kazuo di ruang dalam.
“Siapa dia sebenarnya, Bu?” Alsa mencoba bertanya dengan sopan karena Bu Mayuko terlihat begitu gugup dan sedih setelah kejadian tadi. “Apakah dia ayah Aishawa?”
Lama Bu Mayuko tidak menjawab, masih mengatur napasnya yang terengah. Ada kebingungan di wajahnya untuk menjawab pertanyaan Alsa. Ia pun melihat ke arah ruangan dalam, memastikan anak-anaknya berada di kamar. Lalu ia mengangguk perlahan, memberi jawaban bahwa lelaki itu adalah ayah Aishawa. Semua menjadi bingung karena sebelumnya Bu Mayuko mengatakan bahwa ayah Aishawa telah meninggal di penjara.
“Mengapa ibu membohongi Aishawa?” Ovi bertanya dengan lirih.
“Saya tak ingin Aishawa malu kalau ayahnya seorang penjahat,” jawabnya terbata-bata.
“Tapi sekarang pasti Pak Takeda sudah berubah,” ucap Alsa.
“Aishawa tetap tidak boleh mengetahinya…” Bu Mayuko masih menyimpan kekecewaan terhadap Pak Takeda. “Jangan sampai ia tahu, ayahnya masih hidup.”
Tanpa disadari oleh mereka, Aishawa mendengar ucapan ibunya dari balik pintu. Ia mengendap keluar begitu menyadari tak ada suara ribut-ribut lagi. Aishawa menatap Indira dan membisikkan kalimat dalam Bahasa Inggris bahwa ayahnya masih hidup, dan ia ingin bertemu dengan ayahnya. Indira hanya mengatupkan kedua bibirnya, tak tahu harus apa.
“Ibu… Apakah benar ayah masih hidup? Apakah yang datang tadi itu ayah?”
“A…A…Aishawa!” Bu Mayuko terkejut. “Bukan. Yang tadi bukan ayahmu. Ibu kan sudah bilang, ayahmu sudah meninggal,” Bu Mayuko berkelit.
“Tapi aku mendengar bapak itu mengatakan dia ayahku, bu.”
“Sudahlah, Aishawa. Dia bukan ayahmu. Dia hanya pengacau…”
Mendengar kalimat Bu Mayuko, Ovi menjadi kesal karena wanita itu tetap saja membohongi anaknya. Ia tak berpikir bahwa mungkin saja yang dilakukan Pak Takeda saat itu semata-mata untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan Aishawa. Lagipula kejadian itu sudah lama terjadi, Pak Takeda pun sudah mendapatkan hukuman yang setimpal. Ia pasti menyesali semuanya dan ingin memperbaiki kesalahannya. Tetapi, Bu Mayuko seolah menutup semua pintu kesempatan kedua untuk Pak Takeda.
Saat Ovi ingin mengutarakan isi pikirannya, tiba-tiba ponselnya bergetar dan muncul sebuah tulisan di layarnya. Sama persis seperti yang muncul di ponsel Alsa saat berada di Malaysia. Ovi membacanya dengan penuh ketegangan: …segera kembali sebelum pukul 3…
“Al, waktunya hampir habis. Gimana ini?” Ovi berbisik ke Alsa yang juga kebingungan.
“Hm…aku coba bicara sama Bu Mayuko.”
“Ayo, cepet Al. Semoga Bu Mayuko mau mengerti…” ucap Arum yang baru buka suara. Sedari tadi ia hanya melihat, memantau, mengangguk, tak banyak bicara. Selain kurang begitu paham dengan bahasa Inggris, Arum juga agak sentimentil dengan sesuatu yang berhubungan dengan sosok seorang ayah karena ia sudah lama menjadi yatim. Maka, ia lebih banyak diam dan terus mendekat pada Aishawa. Ia paham betul yang dirasakan Aishawa.
“Bu Mayuko, maaf jika saya lancang dan ikut campur urusan keluarga Anda,” Alsa membuka percakapan kembali. “Menurut saya, ada baiknya jika ibu jujur saja pada Aishawa. Pak Takeda adalah ayah kandungnya dan ia masih hidup. Baik buruknya harus diterima. Kejadian yang lalu biarlah menjadi pengalaman buruk, tetapi saya yakin Pak Takeda sudah berubah...”
“Tidak. Saya tidak ingin Aishawa menjadi terpukul dengan ini semua.”
“Maaf bu. Tapi meskipun ibu menutupi semua ini bertahun-tahun, darah Pak Takeda tetap ada pada diri Aishawa. Sejauh apapun ibu memisahkan, mereka tetaplah ayah dan anak,” Ovi ikut berbicara dan agak mulai kesal dengan sikap Bu Mayuko.
“Saya tidak mau Aishawa malu karena masa lalu ayahnya…”
“Jika ibu sangat menyayangi Aishawa, berilah kesempatan untuk Pak Takeda memperbaiki kesalahannya dan membayar waktunya yang terbuang dengan Aishawa…” Alsa memberikan solusi bijak.
“Demi Aishawa, bu… Kasihan dia sudah lama memendam rasa rindu pada ayahnya yang ia pikir sudah meninggal dunia,” Ovi ikut menambahkan untuk meyakinkan Bu Mayuko. Mendengar Alsa dan Ovi yang berbicara pada ibunya dengan penuh harap, Aishawa meneteskan air mata. Wajahnya yang imut menjadi begitu pilu. “Katakanlah yang sejujurnya pada Aishawa. Jangan bohongi dia lagi, bu…” pinta Ovi hampir putus asa karena sikap Bu Mayuko yang tak goyah.
“Bagaimana pun ia tetap ayahnya. Kalian tetaplah keluarga. Maafkanlah Pak Takeda dan biarkan Aishawa menemuinya, bu,” kali ini Alsa benar-benar berharap Bu Mayuko akan luluh. Ia sampai membungkuk di depan Bu Mayuko, lalu disusul teman yang lainnya. Dalam isak tangisnya, Aishawa menatap ibunya seraya mengiba.
“Aishawa, maafkan ibu, nak…” pecah tangis Bu Mayuko sambil memeluk erat putrinya. Kazuo yang berada di pangkuan Arum menyusul ke pelukan ibunya. Arum pun tak kuasa menahan tangis. “Ayahmu masih hidup, Aishawa. Tadi ia mencarimu, tapi ibu melarangnya… Sekarang, temuilah ia tapi kamu harus tetap kembali ke sini ya.” Aishawa mantap mengangguk. Tanpa banyak kata, Aishawa meminta izin untuk mencari ayahnya. Rindu akan sosok ayah seperti gunung es yang terpancar dari wajahnya seolah luluh dengan derai airmatanya. Air mata sedih dan bahagia. Lalu Alsa dan yang lain pun ikut berpamitan pada Bu Mayuko untuk menemani Aishawa sekaligus untuk kembali.
“Saya harap ibu bisa berbesar hati memberikan kesempatan pada Pak Takeda untuk menjadi ayah yang baik bagi Aishawa dan juga Kazuo,” ucap Alsa sebelum ia pergi meninggalkan rumah Bu Mayuko. Wanita itu mencoba tegar dan menerima kondisi saat ini. Alsa, Ovi dan yang lain membungkuk, memberi hormat dan salam perpisahan pada Bu Mayuko. Aishawa menggamit tangan Arum dan berjalan bersama mencari ayahnya.
“Kita akan cari dimana?” tanya Aishawa.
“Hm…kita coba menyusuri sungai Mama sampai ke arah taman bermain,” jawab Ovi.
“Kamu panggil ayahmu dengan bahasa Jepang ya. Kami akan memanggil nama ayahmu agar ia juga mendengarnya,” Alsa membagi tugas. Aishawa mengangguk.
Mereka semua menyusuri sungai Mama yang dihiasi bunga sakura di tepi sisinya sambil memanggil-manggil nama Pak Takeda. Aishawa berteriak lirih memanggil ayahnya dengan terus berderai air mata. Arum beberapa kali mengusap pipinya namun rindu itu begitu besar. Tiba-tiba langit mulai redup pertanda akan turun hujan. Mereka mempercepat langkah menuju ke taman bermain.
“Ayaaahhh… Ayaaahhh… Dimana dirimu ayah?” panggil Aishawa mencari-cari sosok ayahnya. “Ayaahh… Ini aku…Aishawa.”
Sudah beberapa langkah lagi sampai di taman bermain, Alsa hampir putus asa mencari Pak Takeda. Langit mulai ikut menangis menemani air mata Aishawa. Gadis kecil itu memeluk Arum, bertambah sedih karena tak jua bertemu ayahnya.
“Apakah ayah tak mau menemuiku?” suara lirihnya begitu menyayat hati. Bertahun-tahun ia menerima kebohongan bahwa ayahnya sudah meninggal dunia padahal masih hidup. Kini saat ia mengetahui yg sebenarnya, ia tak dapat menemui ayahnya.
“Ai…Aishawa…” terdengar suara berat seorang lelaki dari arah belakang mereka.
“Pak Takeda?” Ovi menegaskan.
“Ayaaaaahhhhh…” Aishawa menghambur menuju lelaki itu dengan pelukan yang sangat erat. Keduanya melepaskan rindu yang menggunung. Pak Takeda menciumi Aishawa sambil berkali-kali meminta maaf. Air mata Aishawa semakin deras hingga sesenggukan.
Alsa mengucapkan kalimat pada aplikasi ponselnya untuk diterjemahkan dalam Bahasa Jepang agar Pak Takeda dapat memahaminya.
“Hapuslah air mata Aishawa. Kembalilah dan jadilah ayah yang terbaik untuknya.”
Pak Takeda lalu menghapus air mata Aishawa dan memeluknya erat sambil mengatakan sesuatu pada gadis kecil itu. Seperti kalimat janji yang begitu berharga, Aishawa menatap ayahnya lekat dan ia mengangguk. Lalu Pak Takeda membungkuk ke arah Alda dan yang lainnya, mengucap terima kasih dan salam perpisahan.
“Kakak…” panggil Aishawa. “Terima kasih telah membantuku mencari ayah. Aku sayang kalian…” pelukan hangat mendarat di lingkar perut Ovi. Lalu semuanya mendekat kepada Aisahwa, memeluk dan menciuminya bergantian. Ovi meminta izin untuk memfoto sebuah kenangan indah – Aishawa dan ayahnya. Setelah itu, mereka berpisah dan melangkah ke arah yang berbeda. Aisahawa begitu bahagia, dari kejauhan Pak Takeda terlihat menggendong Aishawa di punggungnya.
“Ayo cepat! Tinggal 5 menit lagi…” tiba-tiba Indira mengingatkan waktu mereka untuk kembali ke taman bermain. Seketika mereka berlari di bawah gerimis menuju taman bermain. Begitu tiba, mereka duduk bersama sambil mengatur napas dan saling berpegangan tangan. Bayangan Aishawa dan ayahnya masih samar di pikiran mereka. Gerimis di Ichikawa menemani kembalinya Alsa dan teman-teman melalui portal waktu.
“Hiks…hiks…” Arum masih meneteskan air matanya.
“Kenapa kalian pada diam semua sih? Trus, kenapa Arum sampai menangis?” Yanu melihat teman-temannya yang sudah kembali penuh keheranan.
Tak ada yang menjawab, hanya Ovi yang mendekati kotak ajaib dan langsung membukanya. Seolah mencari sesuatu yang berharga, namun Alsa sangat terkejut. Ia pikir Ovi akan langsung melanjutkan petualangan berikutnya.
“Kita ga istirahat dulu?” Alsa mencoba mengkonfirmasi.
“Aku hanya ingin melihat Aishawa dan ayahnya…” Ovi mengambil foto di dalam kotak lalu mengembalikannya. Kotak ditutup kembali. Semuanya masih menyisakan keharuan dari pertemuannya dengan keluarga Aishawa. “Semoga mereka menjadi keluarga yang utuh dan bahagia,” ucap Ovi.
***