“Aaaaahhhhhhh…!!! Tolooong…!!” Alsa dan teman-teman berteriak sekencang-kencangnya, namun percuma saja. Tubuh mereka perlahan-lahan menghilang, terhisap cermin kotak ajaib. Lalu mereka terduduk di bawah sebuah pohon rindang di tengah kota. Berseberangan dengan posisi mereka, berjarak sekitar 500 meter, ada sebuah gedung pencakar langit tinggi menjulang. Seperti baru tersadar dari tidur yang lelap, mereka terbangun dengan mata yang berat. Sinar matahari yang terik menyelinap dari balik dedaunan.
“Kita ada dimana ini?” tanya Kiki panik. Sementara yang lain masih mengeryipkan matanya dan Alsa juga masih kebingungan melihat sekitarnya.
“Itu gedung apa tinggi banget?” Arum bertanya keheranan.
“Hm…aku rasa sekarang kita ada di Malaysia,” ucap Alsa sambil memandang ke arah gedung tinggi yang tadi ditanyakan Arum.
“Hah?! Malaysia?!” teman-teman yang lain kompak bertanya keheranan.
“Kok bisa sampai di sini? Gimana caranya kita balik?” Yanu mulai bertanya-tanya penuh kekhawatiran. “Alsa, ayo cari cara supaya kita bisa balik ke Jakarta. Aku mau pulang aja,” Yanu merengek hampir menangis. Arum membelai bahu Yanu untuk menenangkannya.
Mereka semua berkumpul dan mulai mengingat-ingat kejadian sebelumnya. Ada sebuah petunjuk yang muncul di kotak ajaib sebelum akhirnya mereka semua terhisap. Lalu kini mereka berada di negara tetangga dan tepat di hadapan mereka adalah Menara Kembar Petronas – gedung pencakar langit yang menjadi ikon dari negara Malaysia. Mereka harus segera menemukan jawaban dari petunjuk kotak ajaib agar mereka dapat kembali ke tempat asal. Alsa memimpin diskusi untuk mencari jawabannya yang ia rasa berhubungan dengan menara kembar tersebut.
“Apa kalian ingat petunjuknya mengatakan ‘temukanlah lingkaran di atas jembatan’?” Alsa membuka diskusi.
“Iya aku ingat. Tapi jembatannya di mana?” Indira balik bertanya.
“Hm…di sana ada jembatan,” Ovi menunjuk ke sebuah jembatan berwarna merah yang letaknya tak jauh dari posisi mereka. Lalu ia megajak semuanya untuk menuju ke jembatan tersebut. Jembatan itu banyak dikunjungi orang dan beberapa di antaranya mengambil gambar dengan latar belakang menara kembar.
Sesampainya di jembatan, Alsa dan Ovi melihat sekeliling mencari sebuah benda berbentuk lingkaran. Sedangkan Kiki, terlihat begitu antusias dengan telepon genggamnya. Ia mengambil gambar sekitar dan berfoto ria, tak peduli bagaimana khawatirnya Yanu yang takut tak bisa kembali ke rumah.
“Wow! Ga nyangka aku bisa sampai Malaysia! Aku mau foto-foto ah buat di-posting di akun IG. Yeayy!!” Kiki bersuka cita.
“Ki, hati-hati. Jangan jauh-jauh. Kita kan sedang dalam misi menyelesaikan teka-teki,” Indira mengingatkan agar Kiki tidak terpisah dari yang lainnya.
“Santai. Yanu, ayolah senang-senang, anggap aja kita lagi liburan,” ajak Kiki pada Yanu. Tapi Yanu hanya menggeleng dan terdiam, bersandar pada salahsatu sisi jembatan sambil menunggu tanda-tanda kepastian jawaban dari Alsa atau Ovi yang sibuk mencari petunjuk.
“Sepertinya bukan di sini,” ucap Ovi bimbang.
“Terus, kita harus kemana?” tanya Yanu yang semakin cemas.
“Lihat! Ada jembatan penghubung di antara kedua gedung. Mungkin di sana ada jawabannya,” tukas Alsa penuh semangat. Tanpa pikir panjang, ia mengajak teman-temannya untuk masuk ke gedung tersebut. Kiki yang masih asyik dengan ponselnya hampir saja tertinggal kalau saja Ovi tak segera berteriak memanggilnya untuk ikut masuk ke gedung.
Sesampainya di dalam gedung, mereka begitu terkesima melihat isi gedung Petronas. Lampu-lampu yang terang, tangga berjalan di sisi-sisi gedung, lift transparan yang megah, dan pemandangan mall yang begitu mewah. Decak kagum menyelimuti, namun Alsa tetap mengingatkan teman-temannya agar tak terpisah.
“Tetap bersama ya. Aku mau tanya bagian informasi dulu,” ucap Alsa sebelum berlalu mencari seseorang untuk menunjukkan letak pusat informasi. Setelah mendapat arahan, Alsa mengajak yang lain untuk mengikutinya ke tempat informasi. Begitu sampai di sana, dengan segenap keberanian Alsa menanyakan tentang jembatan penghubung gedung, dan bagaimana cara untuk menuju ke sana.
“Hari ini ada kunjungan dari sekolah kebangsaan, jadi untuk pengunjung umum kami batasi ke jembatan itu,” ucap petugas bagian informasi. “Mereka sudah mengantri di sana, jadi kalian baru bisa ikut setelah mereka semua naik karena kapasitas lift-nya hanya 20 orang.”
Mendengar penjelasan petugas tersebut, Alsa menjadi bimbang bagaimana untuk bisa ke jembatan itu. Misi ini harus selesai, kalau tidak ia dan teman-temannya tidak dapat kembali. Alsa mengatakan kebimbangannya pada Ovi dan yang lain. Ovi terdiam sejenak lalu tiba-tiba ia mengajak teman-temannya untuk mengikuti barisan murid-murid sekolah kebangsaan.
“Udah kita baris aja di sini. Siapa tau bisa ikut masuk,” ajak Ovi.
“Ayo, semua ikutan baris. Paling belakang aja tapi jangan terpisah ya,” Alsa mengikuti ajakan Ovi. Semua ikut dalam barisan. Suara murid-murid sekolah kebangsaan begitu antusias dengan bahasa Melayu menutupi kebimbangan Alsa dan teman-temannya. Begitu petugas mempersilakan masuk lift, murid-murid mulai berdesakan ingin memasuki lebih dulu, tapi petugas penjaga tetap mengatur agar tertib. Tersisa sekitar 12 orang dari rombongan sekolah, lalu ada sekitar 8 orang pengunjung umum yang mengantri di belakang Alsa dan lima temannya. Mereka berharap bisa masuk tanpa diketahui bukan dari rombongan yang sama. Alsa menggenggam erat tangan Indira, lalu Indira menggenggam erat Arum, begitu seterusnya hingga ke belakang. Mereka sangat berharap untuk dapat menjejakkan kaki di jembatan yang berada di lantai 41. Lalu menemukan lingkaran yang dimaksud dan dapat segera kembali ke rumah.
“Next, silakan masuk hanya 20 saja,” dalam bahasa Inggris yang berlogat Melayu, petugas penjaga mempersilakan masuk sambil menghitung jumlah pengunjung yang akan memasuki lift. “Okay, sudah 20. Silakan tunggu untuk yang selanjutnya.” Sekilas Alsa melihat wajah-wajah di sekelilingnya, ia meyakinkan diri kalau semua temannya bisa masuk. Lift bergerak sangat cepat, degup jantung Alsa pun terpacu. Di dalam lift, petugas memberikan informasi singkat tentang jembatan penyeimbang yang akan mereka kunjungi.
Alsa menoleh ke arah Ovi dengan sedikit gugup. Ovi melihatnya sekilas lalu kembali melihat layar yang menunjukkan angka 27, berarti lift sudah melewati lantai 27.
“Tiap lantai dilewati 1 detik, luar biasa,” pikir Alsa. Karena Ovi terlihat tenang dan yakin, maka Alsa pun menjadi semakin yakin akan menemukan jawaban dari misi yang pertama. Ia sangat berharap dapat membawa teman-temannya kembali.
Begitu lift menunjukkan angka 41, pintu terbuka. Petugas mempersilakan semua pengunjung keluar dari lift dengan tertib dan tidak terburu-buru. Alsa melihat dari belakang, Arum berjalan dengan Yanu disusul Indira. Di belakangnya ada Ovi, dan yang terakhir ia sendiri. Ia terkejut, sambil menoleh ke kanan-kiri mencari sosok Kiki.
“Akhirnya sampai…” ucap Indira lega sambil memegang erat tangan Yanu yang terlihat sedikit pucat.
“Tunggu. Kiki mana?” Ovi bertanya ke yang lain. Lalu semuanya menjadi panik karena Kiki tidak bersama mereka. “Alsa, dimana Kiki?!” Ovi langsung merajuk pada Alsa.
“Aku pikir dia sama kamu. Kalian kan selalu bareng-bareng,” jawab Alsa. Akhirnya semua panik kembali. KIKI HILANG!
“Ayo kita cari Kiki di bawah! Dia pasti kebingungan, sendirian…” Ovi mengajak semuanya turun kembali. Karena paniknya, ia lupa bahwa untuk bisa sampai ke lantai 41 saja mereka harus menyelinap di antara rombongan pengunjung lain.
“Ovi, tunggu! Kalau kita ke bawah, belum tentu kita bisa naik lagi,” ucap Indira.
“Baiknya kita cari jawaban dulu dari petunjuk pertama. Abis itu kita cari Kiki di bawah,” Alsa memberi usul. “Aku yakin dia juga ga akan kemana-mana. Dia pasti akan tunggu kita di tempat yang sama,” Alsa mencoba meyakinkan Ovi tentang kondisi Kiki. Ovi yang masih setengah panik akhirnya mengikuti saran Alsa, dan ia meminta semua temannya untuk mencari sebuah lingkaran yang berada di jembatan itu.
“Guys, sebentar ke sini deh. Kok di HP aku muncul begini ya?” tiba-tiba Alsa menerima sebuah tulisan peringatan di ponselnya tapi bukan dikirim melalui WhatsApp ataupun SMS. Tulisan itu muncul di layar ponsel sebelum Alsa menggeser untuk membuka tampilannya. “Waktu semakin mendesak. Segera temukan jawabannya. Kembalilah ke tempat awal datang…” Alsa membaca tulisan itu dengan cermat dan yang lainnya mendengar dengan seksama.
“Ayo cepat, kita cari lingkaran itu di sini. Trus, kita balik ke pohon tempat kita datang tadi,” Arum menyemangati agar teka-teki segera dipecahkan dan mereka dapat kembali.
Semua berpencar mencari bentuk lingkaran yang dapat ditemui dari atas jembatan penyeimbang tersebut. Ada mencari di sisi kanan sepanjang jembatan, ada juga yang mencari dari sisi kiri. Alsa mencari dari depan lift naik, sedangkan Ovi mencari dari arah lift turun.
“Ovi, Alsa, coba lihat ke bawah,” Indira memanggil seraya menemukan sesuatu untuk dilihat bersama. “Kolam di sana, air mancurnya terlihat seperti bentuk lingkaran,” Indira menunjuk ke sebuah air mancur di tengah kolam yang berada di taman KLCC.
“Tapi itu kan di bawah, kita harus cari lingkaran yang ada di jembatan ini,” ujar Ovi mematahkan penemuan Indira. Lalu mereka mencari kembali.
“Hey semua! Coba kalian ke sini deh,” ajak Alsa yang berada di tengah-tengah jembatan. Lalu semuanya mendekat ke posisi Alsa. Begitu semua berkumpul, Alsa mendongak ke atas dan menunjuk ke arah sebuah benda. “Lihat itu,” ucapnya singkat dan semua ikut mendongak. Ada sebuah lingkaran besar di atas kepala mereka, dan dari arah itu mereka dapat melihat ujung menara kembar. Semuanya bergumam kagum melihat pemandangan tersebut.
“Itu dia!” Yanu yang tak banyak bicara dari semula tiba-tiba begitu antusias melihat sebuah celah melingkar di atas kepalanya. “Alsa, cepat difoto buat bukti kalau kita sudah mendapatkan jawabannya,” ujarnya penuh semangat. Alsa lalu memfoto obyek tersebut dan menyimpannya di galeri khusus.
“Semoga jawabannya benar. Dan…semoga kita bisa menyelesaikan semua tantangan bersama-sama,” ucap Alsa penuh harap. Setelah selesai, Ovi langsung mengajak semuanya turun untuk mencari Kiki, namun Alsa memaksa untuk langsung ke taman.
“Ga bisa gitu dong! Kita ke sini berenam, pulang juga harus berenam,” tukas Ovi.
“Yaudah, sambil kita turun, kita cari Kiki. Tapi kalau waktunya ga cukup kita harus segera balik ke taman,” ujar Indira menengahkan. Namun sebelum memasuki lift turun, Alsa menerima pesan kembali.
Misi pertama selesai. Lekas kembali sebelum pukul 03.00.
Yang hilang akan kembali jika semua terlalui…
Alsa membaca pesan tersebut di hadapan teman-temannya. Lalu Arum melihat jam tangan digitalnya yang menunjukkan pukul 02.23 berarti sisa waktu mereka hanya 37 menit untuk segera menuju ke taman.
“Ayo cepat!!! Waktu kita tinggal sedikit,” ajak Alsa tergesa-gesa memasuki lift.
“Alsa, kamu harus tanggung jawab. Kiki belum ketemu!” Di dalam lift, Ovi mengeluh kesal terhadap ucapan Alsa.
“Ovi, kita harus segera ke sana. Kalau ga, kita semua akan terjebak di sini selamanya,” Indira mencoba menegaskan.
“Tadi juga pesan itu bilang ‘kalau yang hilang akan kembali’. Aku yakin nanti kita bisa ketemu lagi sama Kiki,” sambil berjalan terengah-engah keluar dari lift, Arum mengingatkan isi pesan yang dibacakan Alsa tadi.
“Kita harus balik ke pohon itu lagi, Vi. Aku janji, aku akan bertanggung jawab untuk menyelesaikan misi apapun agar Kiki kembali,” Alsa berjanji pada Ovi sambil memegang tangannya erat. Ovi pun menggenggam erat janji Alsa. “Kita berjuang sama-sama ya untuk menyelesaikan semua misi dari kotak ajaib itu,” ajak Alsa penuh harap pada Ovi yang begitu khawatir dengan Kiki, sahabatnya. Ovi menarik napas panjang, lalu mengangguk setuju.
Dalam ketergesaan menuju taman, Yanu hampir terjatuh di jembatan yang sebelumnya mereka lewati. Lalu ia bersandar di sisi kiri jembatan seolah ingin menyerah. Alsa dan yang lain menyemangatinya agar mereka dapat segera menuju pohon tempat mereka datang, dan kembali ke rumah dengan selamat. Alsa seketika teringat dengan mimpinya yang begitu mirip dengan kondisi saat ini. Ia segera menghempaskan bayangan mimpinya itu. Dengan sedikit tergopoh, Yanu mengikuti teman-temannya menuju taman. Mereka berjalan bersama dengan rasa senang, tegang, antusias, dan sedih yang bercampur dalam hati juga pikiran. Semua rasa itu datang karena kotak ajaib yang memberikan teka-teki penuh misteri. Alsa, sang penemu kotak ajaib, merasa harus bertanggung jawab penuh terhadap semua yang terjadi pada teman-temannya.
“Ayo semua duduk merapat. Kita berpegangan yang erat ya,” tak lama sebuah jam digital yang terpampang di sudut gedung mall di sebelah menara kembar menunjukkan pukul 03.00 tepat. Perlahan-lahan semua terlelap lalu tanpa diketahui pengunjung taman yang lain, mereka menghilang. Portal waktu membawa mereka kembali dengan misi pertama yang berhasil mereka pecahkan bersama-sama, meski salahsatu dari mereka harus terpisah. Namun dengan keyakinan, Alsa dan yang lain tetap bersemangat untuk melanjutkan misi dari kotak ajaib.
Di sebuah ruang tengah bernuansa putih gading, tiga remaja terlelap di atas sofa coklat kopi dan dua lainnya terduduk di karpet. Seperti habis menempuh perjalanan jauh, kelima remaja terlihat begitu lelah. Indira yang tersadar pertama kali lalu membangunkan Alsa.
“Alhamdulillah… Kita kembali, Ra.” Alsa sangat bersyukur karena dapat membawa teman-temannya kembali. Ia langsung mendekati kotak ajaib di atas meja yang tertutup dan sudah berubah warna kembali. Lalu ia melihat ke arah jam dinding – pukul 4.15 sore.
“Kotaknya berubah warna, Al,” ucap Arum yang baru tersadar.
“Dan…sekarang baru jam 4. Berarti tadi kita di Malaysia cuma satu jam. Kenapa rasanya lama ya?” Indira mulai berpikir.
“Udah lah, yang penting kita bisa balik,” ucap Yanu merasa lega. Namun Ovi masih terlihat muram. Ia begitu sedih karena Kiki tidak bisa kembali bersama. Di dalam hatinya ada rasa bersalah karena ia terlalu bersemangat untuk memecahkan teka-teki hingga terpisah dengan Kiki. Di samping itu, Ovi juga menyalahkan Alsa yang tidak ingin meluangkan sedikit waktu untuk mencari Kiki padahal ia sendiri yang mengatakan bahwa Kiki tak akan pergi jauh dari tempat mereka terpisah.
“Ovi, maaf ya tentang Kiki. Aku…”
“Sekarang kamu mau beralasan apa lagi, Al? Aku harus bilang apa sama Mamanya Kiki? Coba kamu pikir itu.” Ovi yang kesal dan bingung menumpahkannya pada Alsa yang belum menyelesaikan kalimatnya. “Kamu pikir dengan kata maaf semuanya bisa selesai?!” Ovi begitu emosional. Alsa pun terdiam, berpikir keras tentang bagaimana ia harus menjelaskan semuanya pada orangtua Kiki.
“Sabar, Vi. Kita cari solusinya bareng-bareng,” Indira mencoba untuk menenangkan Ovi agar tak semakin marah dan menyalahkan Alsa. Meskipun Alsa merasa terpojokkan, tapi ia memang tetap harus bertanggung jawab atas apa yang sudah terjadi.
“Aku yang akan bilang ke Mamanya Kiki. Kalian ga usah khawatir, aku tetap akan bertanggung jawab atas semua ini,” ucap Alsa begitu meyakinkan. “Seperti yang ada di tulisan waktu kita di menara kembar, aku yakin Kiki pasti bisa kembali. Asal kalian percaya sama aku, dan kita sama-sama menyelesaikan teka-teki dari kotak ini.”
Ovi dan yang lain terdiam mendengar perkataan Alsa yang tegas dan begitu meyakinkan. Alsa yang supel tak akan lari dari tanggung jawab, tapi ia tetap butuh dukungan dari teman-temannya agar misi dari kotak ajaib dapat diselesaikan dengan cepat.
“Tapi… Kalau kalian ga mau terlibat dengan kotak ini lagi, aku juga ga akan memaksa. Aku tetap akan menyelesaikannya. Sendiri.” Ucapan Alsa membuat yang lainnya saling berpandangan. Mereka seolah ditantang atas kesolidaritasannya. Penghargaan yang mereka raih sebagai regu terkompak saat Persami, kini diuji keabsahannya oleh tantangan baru.
“Aku akan tetap ikut, Al,” ucap Indira yang pertama memecah keheningan.
“Aku…aku juga. Aku siap,” lanjut Arum.
“Aku… Hm…maaf ya, kalau aku mundur aja. Aku takut…,” Yanu memberi jawaban.
Tersisa Ovi yang masih terdiam. Entah ragu atau sudah jera karena tantangan yang pertama sudah membuat Kiki terpisah dan tak bisa kembali bersama mereka. Alsa paham betul, ia tak bisa memaksakan Yanu karena ia punya kekhawatiran yang tinggi jika harus mendatangi tempat-tempat asing, apalagi melewati portal waktu. Tapi Alsa sangat berharap pada Ovi karena ia pemberani dan cerdas. Ovi dapat menjadi partner seimbang untuk memecahkan teka-teki misterius dari kotak ajaib.
“Hm… Oke, aku ikut,” jawab Ovi singkat. Semuanya menjadi lega dan bersemangat kembali. Lalu Alsa bersiap untuk membuka kotak ajaib untuk meneruskan petualangan. “Tunggu dulu. Apa kita mau mulai lagi sekarang juga?” tanya Ovi.
“Biar cepat selesai,” ujar Arum.
“Kita harus ke rumah Kiki dulu, baru kita mulai lagi,” usul Ovi. “Lagian ini udah sore, sebentar lagi orangtua Alsa juga bakal pulang,” tambahnya.
“Oke. Gimana kalau ini ditunda dulu sampai besok? Sekarang, aku sama Ovi mau ke rumah Kiki dulu, jadi kalian bisa pulang ke rumah masing-masing. Setelah kita pulang sekolah, baru kita mulai lagi,” Alsa memberi saran.
“Iya, aku setuju,” Arum cepat merespon. Lalu disusul yang lain yang juga mengiyakan.
Indira, Arum dan Yanu pamit untuk pulang ke rumahnya masing-masing. Alsa dan Ovi bersiap menuju ke rumah Kiki. Sebelum keluar rumah, tiba-tiba Ovi menyampaikan sebuah rencana pada Alsa untuk menutupi kejadian yang sebenarnya. Ia tak ingin jika orangtua Kiki mengetahui tentang hilangnya Kiki karena petualangan misterius mereka. Terlalu beresiko dan akan sulit dipercaya jika orangtua Kiki mendengar alasannya – meski hal itu jujur apa adanya.
“Aku akan bilang Kiki mau kuajak jalan-jalan sama keluargaku. Pasti mamanya akan lebih percaya,” ujar Ovi.
“Tapi, kegiatan sekolah kan masih sampai hari Sabtu. Kalau nanti mamanya tanya ke orangtuamu gimana?” Alsa ragu.
“Al, kamu kan ga tau gimana kondisi Kiki sekarang. Dia itu udah seperti adikku sendiri karena dia memang kurang perhatian dari orangtuanya. Bahkan mamanya sendiri kadang udah ga peduli Kiki mau kemana, mau sekolah apa ga, mau pulang apa ga…” cerita Ovi tentang kondisi Kiki terkini. “Asal perginya sama aku, mamanya pasti percaya aja,” imbuhnya.
Alsa tak bisa beralasan lagi. Ia percayakan semuanya pada Ovi. Keadaan ini pasti sangat berat buat Ovi karena hilangnya Kiki berarti Ovi kehilangan tak hanya sahabat tapi juga saudaranya. Ovi yang memang anak tunggal begitu senangnya karena memiliki sahabat yang sejalan seperti Kiki. Tak beda jauh, Kiki pun yang kurang perhatian dari orangtuanya karena berpisah dan masalah ekonomi mendapat perhatian luar biasa dari keluarga Ovi, sehingga ia tak perlu merasa rendah diri dengan kondisi keluarganya.
“Biar aku aja yang bilang ke mamanya. Kamu ga usah ikut,” ujar Ovi.
“Oke. Makasih ya, Vi. Aku percaya sama kamu. Maaf, karena kamu jadi ikut bertanggung jawab atas kejadian ini.”
“Ga apa-apa. Kamu punya tanggung jawab yang lebih besar untuk menyelesaikan semua yang sudah dimulai. Tapi, kita harus tetap kompak untuk menyelesaikannya bersama.”
Tanpa membalas kata, Alsa memeluk Ovi dengan erat. Pelukan sahabat yang saling menguatkan. Perbedaan dan perdebatan selama ini hanyalah ego remaja, tapi rasa peduli untuk yang lainnya adalah simpul yang kuat bagi mereka yang menjunjung tinggi persahabatan.
“Aku pamit ya, Al.”
“Oke. Jangan lupa, besok giliran kamu,” ucap Alsa mengingatkan.
“Hah?”
“Kamu kan yang menawarkan diri untuk memasukkan kelereng kedua,” jelasnya.
“Oh iya. Siap!”
Sambil melangkah keluar pagar rumah Alsa, Ovi berusaha menenangkan diri untuk bertemu mamanya Kiki. Dengan segenap skenario di dalam otaknya, Ovi juga merancang kalimat untuk meyakinkan beliau. Belum lagi besok ia yang akan memasukkan kelereng kedua di kotak ajaib. Petualangan akan dilanjutkan besok siang setelah pulang sekolah.
“Besok bakal kemana ya?” pikirannya berkecamuk.
***