Pukul 22.10 di perempatan lampu merah yang lenggang. Di jam malam seperti itu, aktifitas para warga berkurang lebih dari lima puluh persen bila dibandingkan pagi harinya. Sehingga membuat jalanan tampak sepi.
Melihat lampu merah yang menyala, Fujiyama dengan tenang menginjak setengah kopling bersamaan dengan rem bawah demi menghentikan laju mobilnya.
Mobil Cayla hitam polos tanpa ornamen apapun baik di luar mau pun di dalam. Hanya ada aroma kopi segar dari dalam mobil milik Fujiyama.
Pria itu lebih memilih kebersihan dari pada ornamen berlebihan yang nantinya akan pudar dan membuat nilai barang-barangnya jatuh lebih rendah atau jadi aneh dari sebelumnya.
Selain mobil Cayla hitam miliknya, ada beberapa kendaraan lain yang ikut berhenti karena aktivitas rambu lalu lintas. Namun ia tidak begitu mempedulikan kendaraan lainnya.
Justru, sudut matanya malah menangkap seorang pengendara sepeda motor yang ia lihat dari pantulan spion sebelah kanannya.
Begitu lampu merah mulai berhitung mundur, pengendara sepeda motor itu langsung menerobos rambu lalu lintas yang ada seolah tidak melihat warna merah yang masih menyala di atas sana.
Dengan suara mesin motornya yang begitu berisik, pengendara sepeda motor itu melesat bagai angin dan menghilang di jalanan.
Mungkin bagi sang pengendara sepeda motor tadi, jalanan bagaikan tidak berpemilik seolah dialah penguasa jalanan pada malam itu. Mungkin juga karena dia tidak pernah berpikir bahwa kematian bisa datang kapan saja tanpa direncanakan.
Fujiyama hanya bisa menghela nafas pendek. Meski dikatakan ia sudah mulai terbiasa namun tetap saja ia merasa heran dengan perubahan perilaku kaum milenial di zaman sekarang.
Lima belas menit kemudian, Fujiyama tiba di rumahnya. Sudah tidak ingat kejadian di rambu lalu lintas tadi.
"I'm home." Fujiyama melangkah memasuki ruang tengah rumahnya.
"You are early than yesterday." Meira muncul dari dapur sambil mengelap tangannya dengan kain.
"Thought you're already asleep."
"I just finished some work." Meira melangkah mendekati Fujiyama.
"I made some macaroni cheese. You can take it on the table if you want." Meira berdiri lima puluh meter dari Fujiyama.
"Okay. Thanks."
"Gee. I should sleep now."
"Sure. Night."
"Night." Meira melangkah menuju kamarnya yang ada di bagian seberang dapur. Berdekatan dengan ruang keluarga.
Fujiyama melangkah menuju dapur dan melihat macaroni cheese bersebelahan dengan teh hangat yang dibuat oleh istrinya.
Tanpa banyak bicara, ia menghabiskan semangkok kecil macaroni dan meneguk secangkir teh hangat yang sudah tidak terlalu hangat itu.
Setelah membersihkan dirinya, ia bersiap untuk tidur di kamar yang berada di sisi berbeda dari kamar istrinya, lebih tepatnya di halaman belakang. Seorang diri.
Untuk beberapa detik pertama, ia hanya terdiam sambil menatap langit-langit kamar. Kemudian matanya mulai tertutup hingga kesadarannya pun hilang.
Sebaliknya, Meira yang awalnya berpamitan akan tidur malah kembali duduk di meja kerjanya dan mengerjakan projeknya hingga tengah malam.
Meira, wanita berusia dua puluh enam tahun itu bekerja sebagai desain grafis di sebuah perusahaan kontraktor.
Kemampuannya bisa dikatakan jenius dalam menggambar dan desain grafis. Sambil memanfaatkan keahliannya itu, Meira pun merambah ke pekerjaan sampingan lain seperti menerima tawaran commissioning. Bahkan ia sudah menerbitkan beberapa komik anak dan remaja di penerbit dan platform online.
Tak jarang juga ia mendapatkan request dari beberapa pelanggannya untuk membuat sampul buku, novel dan projek-projek lain.
Kesehariannya sudah sangat padat, belum lagi pekerjaan tetapnya yang sering kali memaksanya untuk bekerja lembur.
Pukul dua belas lewat tiga menit, Meira mulai sering menguap. Lima belas menit berlalu, kedua matanya sudah tidak sanggup untuk terus berjaga. Ia pun memutuskan untuk menutup laptop dan menghentikan pekerjaanya.
Masih di meja kerjanya, Meira dengan refleks meregangkan tubuhnya dengan menarik kedua tangan ke depan. Tanpa ia sadari, tangannya menyenggol pigura foto yang dipajangnya dengan sengaja di atas meja.
Untungnya pigora itu tidak jatuh ke lantai. Hanya tergeletak tak berdaya dan menimbulkan suara yang membuatnya sedikit terkejut.
Sambil memeriksa pigura yang tertidur itu, Meira melihat foto yang ada di dalamnya secara tidak langsung.
"Well, I do look good after all." Meira tersenyum melihat foto pernikahannya.
Sejenak, ia mulai melamun dan memikirkan bagaimana semua ini bisa terjadi. Mengingat pernikahan bukanlah sesuatu yang ia inginkan sebelumnya.
¤¤¤