Read More >>"> Lingkaran Bodoh dan Sikap Apatis Tanpa Titik (Bab 2 Bahagia Sulit Diungkapkan) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Lingkaran Bodoh dan Sikap Apatis Tanpa Titik
MENU
About Us  

Bab 2

Bahagia Sulit Diungkapkan

 

Kau rasakan kehilangan untuk mencapai puncak kebahagiaan. Percaya atau tidak, tiap ‘karma’ yang berlaku di kehidupan normal, akan balik kembali ke kita. Kehilangan sebagai puncak tertinggi dari segala rasa. Kau sungguh sulit berbuat sesuatu saat kehilangan tiba. Lagu cinta yang kau dengar saat ini, lebih banyak, bertema kehilangan, putus cinta, putus asa, putus harapan; sekonyong-konyong kenikmatan hidup telah hilang.

Di suatu musim banjir. Seekor anak kucing tersangkut di gubuk reot di belakang rumah saya. Hujan yang deras sulit diprediksi. Genangan air terus meluap dari sungai. Si anak kucing yang tidak peka, instingnya ada namun tidak memiliki akal sehat untuk memikirkan apa yang terjadi. Setelah hujan lebat itu. Bertahan sejenak.

Banjir kian meningkat. Si anak kucing mencakar ke mana-mana. Suaranya serak. Putus harapan untuk keluar dari gubuk reot itu. Sementara hujan tak berhenti, bahkan, menjadi gerimis sekalipun.

Insting hewan yang tinggi, sifat kucing yang sensitif dan membaui, di alam bawah sadarnya ia yakin bahwa tempat ia berdiri akan tenggelam. Apa yang diyakini oleh seekor hewan kesayangan manusia itu terjadilah. Gubuk reot tumbang karena penyangganya tidak lagi kuat, atapnya berjatuhan, si anak kucing terlempar ke puing-puing di atas air mengapung.

Jika kau lihat tatapan matanya waktu itu, kau juga akan berujar; kehilangan. Tubuh mungil yang ‘takut’ air, apalagi arus yang deras, bisa-bisa tubuhnya hanyut tak berbekas. Kehilangan yang kentara sekali meskipun ia hanya seekor anak kucing.

Meong-nya tidak lagi terdengar. Kuku-kuku tajam mencakar kayu yang lapuk. Ia telah putus asa. Tidak ada apa-apa lagi, selain mati.

Saya ambil si anak kucing. Tangan saya dicakar. Amarah meledak karena termenung saya telah merenggut waktunya bermain dengan tulang ikan. Ia meloncat ke tanah yang belum tersentuh banjir di bagian dapur rumah kami. Memicingkan mata ke banjir. Loncat ke sana-sini – mungkin untuk mengeringkan badannya.

Tak lama setelah itu, si anak kucing datang menghampiri saya dengan mata berbinar. Meong yang kuat sekali. Minta makan. Yang lezat. Lapar pasti sehabis berendam di banjir. Di bawah hujan yang melebat.

Si anak kucing mudah sekali lupa pada kehilangan. Sebentar saja sudah bahagia. Ia menyantap tulang ikan yang digemarinya. Lahap dalam sesekali mengaung, takut bagian terenak diambil ‘sosok’ lain.

Habis makan. Kau tahulah tabiat si anak kucing. Manja ke semua orang. Lupa di luar sedang banjir. Padahal, kami sedang membereskan beberapa barang agar tidak terendam. Si anak kucing mudah saja. Banjir masuk ke rumah. Ia naik ke genteng. Aman hidupnya. Toh, masalah paling berbahaya telah ia lewati.

Akhirnya selesai. Si anak kucing telah berbahagia. Begitu mudahnya, bukan?

Definisi bahagia di kita tidaklah semudah di si anak kucing. Kau terombang-ambing layaknya anak kucing tadi, bedanya di lautan – misalnya, berhari-hari tanpa arah. Kehilangan teramat parah. Tak mungkin ada lagi bahagia. Trauma melanda menjadi kabut yang menghalangi setiap detik kebahagiaan yang ingin kau renggut.

Posisi kita di tengah laut tak ubah dengan posisi si anak kucing tadi. Kita nggak mudah menjangkau ke mana-mana. Kita terombang-ambing yang tidak bermuara. Kita cuma menanti bantuan datang yang telah membaca sinyal yang telah dikirim – kalau kita mengirimnya.

Insting kita tentu telah gagal atau hilang sudah bahagia. Manusia memang dibenarkan untuk memakan ‘apa saja’ dalam keadaan mudharat. Tetapi itu hanya untuk bertahan hidup saja. Butuh berapa lama kita makan ikan mentah di tengah laut? Namun, semua misteri itu bisa terkuak. Meski berbeda, kita tak boleh lupa kisah pemuda yang terangkum dalam Ashabul Kahfi. Pemuda-pemuda ini terperangkap di dalam gua untuk mempertahankan iman mereka.

Kisah yang jauh sebelum Nabi Muhammad datang diabadikan dalam al-Quran dengan nama Surat Al-Kahfi. Tentu alasan yang sangat kuat sehingga mereka diabadikan dalam kitab suci umat Islam. Tidak saja soal kesabaran, kemunafikan tetapi bahagia yang mungkin terlupa dari apa yang diinginkan.

Tujuh orang pemuda berpikir bahwa sesaat saja mereka berada di dalam gua untuk perlindungan dari raja yang zalim. Sejarawan Islam menyebut mereka adalah Maxalmena, Martinus, Kastunus, Bairunus, Danimus, Yathbunus dan Thamlika dan seekor anjing bernama Kithmir. Beberapa pendapat menyebut bahwa Kithmir adalah satu-satunya anjing yang akan masuk surga.

Bagaimana kehilangan dari 7 pemuda ini? Tidak sanggup kita menelaah karena dipikir sehari untuk berlindung tetapi 309 tahun lamanya.

“Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi),” (Q.S. Al-Kahfi ayat 25).

Pola pikir yang ‘ringan’ dari 7 pemuda itu. ‘Sebentar’ saja mereka terperangkap di dalam gua. Kisah Ashabul Kahfi tentu berbeda dengan film-film Hollywood. Dalam film divisualisaikan jika kelaparan maka akan saling membunuh; sekali lagi untuk bahagia seorang saja. Siapa yang paling kuat, ia akan bertahan. Siapa yang punya pengaruh akan menang. Karena – sekali lagi – saat mudharat manusia dibenarkan untuk makan apapun.

Ashabul Kahfi yang teruji dalam waktu lama, seekor anjing saja tidak mereka santap apalagi saling membunuh. Mereka tahu bahwa bahagia itu milik bersama. Kehilangan itu milik mereka. Maka, mereka mencari cara dengan sabar dan berdoa kepada Tuhan-nya agar segera kembali ke kehidupan normal.

Tuhan menjawab ‘segera’ doa-doa mereka. Usai raja zalim berkuasa dan kehidupan yang jauh berbeda. Bukankah kebahagiaan itu bisa datang kapan saja? Bukankah butuh waktu lama agar kita benar-benar bahagia?

Kita manusia. Tak mudah lupa tapi ingin bahagia. Sadar atau tidak sadar kita membentuk bahagia, bukan dibiarkan datang dengan sendirinya.

Tiap orang dapat pekerjaan, pasti akan melakukan syukuran. Ungkapan bahagia yang paling nyata. Pekerjaan plus kesuksesan sama dengan kebahagian. Di mana-mana komposisinya tetap sama. Penyair terbaik dalam merangkai kata juga memberlakukan bahagia di atas ini. Pecipta lagu tidak hanya tahu cara mengenakkan nada saja tetapi untaian lirik cukup memengaruhi. Seandainya, anak kucing bisa merayakan syukuran, ia akan mengundang kawan-kawannya, ibu bapak kucing untuk menyantap menu terlezat.

Si anak kucing telah bahagia. Tentu, sesuai komponen kebahagiaan seekor hewan.

Kisah Ashabul Kahfi yang menanti bahagia ratusan tahun, tak lain catatan sejarah abadi yang mengajarkan kita sabar namun bukan berarti tidak berbuat apa-apa.

Jika kau ingin bahagia, kau harus bahagia. Nggak ada alasan untuk berujar, nanti. Mudah sekali berujar bahagia tetapi mengapresiasi kebahagiaan itu sangatlah sulit. Bahagia tidak saja semenit. Bahagia butuh waktu laman bertahan dalam membangun komposisi yang kita inginkan.

Kubahagia. Mudah diucapkan. Kubahagia. Enak didengar. Bahagia yang bagaimana? Orang-orang sukses pasti bahagia. Belum tentu. Bisa saja hatinya kosong karena baru diputus cinta, kalah bertarung, atau mati seekor hewan peliharaan. Orang-orang ‘pengangguran’ pasti tidak bahagia. Juga tidak ada yang bisa mempersenkan hal demikian.

Jika kau mengacu pada lirik lagu Melly Goeslaw dengan judul Kubahagia, ini bukan soal kisah Cinta dan Rangga dalam Ada Apa dengan Cinta saja. Semua orang berhak bahagia sesuai kapasitasnya di bumi ini. Di mana kita menginjakkan kaki adalah bahagia yang harus diraih. Suka dan duka adalah biasa dalam membumbui bahagia yang dimaksud.

Kau bahagia, ya bahagia. Orang lain bahagia, ya bahagia. Beda. Raut wajah orang bahagia itu selalu berseri-seri. Lepas masalah. Aura terpancarkan.

Kau tidak salah. Seorang selebritas yang sedang mempromosikan sebuah produk bisa memanipulasi kebahagiaan itu. Hari ini syuting iklan. Besok putus dengan pasangannya. Ada jaminan kalau dia ‘baik-baik saja’ atau berujar, “I’am fine!” atau kita terpesona dengan sikapnya yang memamerkan tas mahal.

Kasus bunuh diri selebritas di Korea Selatan atau Jepang misalnya, atau pelarian mereka ke obat-obatan terlarang. Kau yakin sekali bahwa mereka sangat bahagia karena berada di puncak popularitas. Selain kehilangan, tak ada alasan untuk tokoh idola mengakhiri hidupnya. Jabaran kebahagian tidak cukup dengan harta benda; naik mobil BMW, pamer tas Hermes Limited Edition, iPhone Porche…

Kau rasakan dulu kehilangan baru dapat kebahagiaan.

Dengan cara apa? Saya mempunyai sebuah cerita kehilangan itu. Saya kira, semua orang punya cerita atau pernah kehilangan. Tak ada orang yang tak pernah. Sifat impulsif ini terjadi begitu saja meskipun pada sebuah hal kecil.

Bagaimana cerita kehilangan ini membuat saya yakin dan survive terhadap kehidupan di babak berikutnya. Adalah cerita di mana kau punya cara tersendiri untuk menyelesaikannya.

 

Dalami Kehilangan

Selesai kuliah. Lamar pekerjaan. Kerja. Dapat gaji. Hal lumrah yang diingini banyak orang. Konsep hidup yang demikian memiliki kewajiban tersendiri dalam mengenakkan batin manusia. Pekerjaan yang mapan dengan gaji rutin bulanan, ciri khas unik dalam bersosialisasi dengan hidup lebih baik.

Kau dapat pekerjaan, ada gaji, artinya kau tidak akan ‘kelaparan’ atau kasus simpel kau mudah beli baju baru tiap bulannya. Orang-orang dengan tidak bekerja, atau gaji minim, tidak sesuai standar gaji, atau gaji harian, atau gaji kapan ada, tidak mungkin atau bahkan tidak mau membeli baju baru tiap bulan. Bagi orang yang punya gaji, sudah ada sifat ‘malu’ dalam takaran lebih tinggi; jika mengenakan pakaian itu-itu saja!

Saya ‘dipaksa’ harus keluar dari pekerjaan yang prosesnya sama seperti kau jalani. Kontrak sudah jelas, sampai dengan nominal gaji bulanan yang akan saya terima. Di awal menerima Surat Keputusan kerja, saya sudah optimis bahwa kehidupan akan lebih baik. Saya bekerja selama 3 bulan dalam keadaan fisik yang stabil, smile to happy, bersosialisasi dengan rekan kerja dan klien, ending yang memutuskan saya bersalah akan sesuatu yang ‘tabu’ bagi saya, langsung kehilangan semangat hidup.

Sebenarnya, saya tinggal happy-happy saja. Terima gaji. Bahagiakan orang tua. Bangun rumah. Beli kendaraan yang layak. Makan enak. Jalan-jalan...

Ingat trauma kehilangan pekerjaan sepihak ini saja, saya khawatir soal keberuntungan. Di posisi saya yang tidak bisa mencari bantuan karena lemah; relasi tidak ada, pejabat tinggi tidak dikenal, orang yang pintar ‘mengolah’ data tidak tahu siapa, adalah melepas kebahagiaan itu lalu kembali ke titik nol.

Karena kita selalu berkata jujur sehingga mudah terbuang!

Kini pun saya merasakan kehilangan yang jauh melampaui batas akan hal itu. Sekadar mengingat, saya pernah bekerja, saja tidak mau lagi karena, saya bekerja tetapi tidak digaji. Manusiawi sekali memang jika kau mengejek posisi saya. Pijakan yang tidak aman sama sekali untuk mengumpamakan hidup lebih sesuai dalam pandangan masyarakat. Cukup primitif jika saya menyebut masyarakat kita enggan hidup kaya atau sejahtera. Definisi sejahtera sendiri di dalam masyarakat kita adalah; memiliki uang atau ada gaji!

Bahwa saya kehilangan, itu pasti. Siapapun yang ‘dewasa’ dan mempunyai terobosan-terobosan di tahun mendatang, pekerjaan itu sangat penting. Saya mau menyebut, memiliki gaji tetap itu sangat krusial. Bekerja digaji. Digaji bekerja. Dua konotasi yang tepat dalam memaknai kebahagiaan yang diagung-agungkan.

Kehilangan pekerjaan sebelum menerima gaji menjadi tidak ikhlas. Saya mengumpat pada peruntungan hidup tetapi tidak bisa mengakali waktu untuk kembali. Pijakan yang tepat tak lain menerima. Tidak mudah. Yakin sekali saya tidak mudah. Kau mencurangi sedih pun saya tetap berkata, “Tidak mudah!”

Saya dihadapkan untuk menerima kenyataan, telah dipecat. Akal sehat tidak bisa menerima, untuk mengingat lembaga itu saja saya enggan. Apalagi bertemu dengan rekan yang pernah bekerja selama 3 bulan itu. Mereka dibayar gajinya, saya dipaksa untuk menuliskan surat pengunduran diri.

Di mana kebahagiaan? Saya pikir-pikir, inikah akhir ‘keberuntungan’ atau saya harus menerima kenyataan pahit atau bukan di sana tempat saya berkarir. Yang terakhir, poin penting untuk kau ketahui karena tanpa itu Lingkaran Bodoh dan Sikap Apatis Tanpa Titik, tidak pernah tercetus ide untuk saya tulis.

Cukup di sana. Saya mulai menata apa arti kehilangan yang sesungguhnya. Saya tidak nyaman berada dalam lingkaran kehilangan itu. Otak saya berpikir cukup keras sampai menyalahkan takdir sejak saya belum lahir. Kenyataannya, saya memang tidak dibenarkan berada dalam pekerjaan – pekerja kontrak – yang tidak memberi gaji sepeser pun itu. Selama saya masih di sana, lingkaran yang terbentuk tak lain cabang-cabang dari lingkaran bodoh yang telah saya sebutkan. Saya akan melihat kehilangan-kehilangan lain. Saya akan beradaptasi dengan rasa tidak ada. Yang sebenarnya harus saya hindari karena suatu waktu, saya pernah merasakan kehilangan yang lebih besar dari ini.

Ada yang membutuhkan tenaga saya – di tempat lain. Dari sini saya mulai menata kehilangan. Saya rasakan sedalam-dalamnya rasa kehilangan itu. Titik tersebut yang akan mengubah cara saya berpikir, menerima dan bahkan lebih survive dari yang sesungguhnya saya inginkan.

Butuh waktu lama untuk mendalami kehilangan itu. Kau harus mengkotak-kotakkan serpihan kehilangan sebelum menyatukan kembali. Ada bagian yang harus kau buang. Ada bagian yang jadi pelajaran hidup. Di posisi ini saya menemukan sesuatu yang berada di luar batas kesanggupan seorang manusia untuk menerima. Makin kau kehilangan, makin kuat jiwa kau untuk mencari kebahagiaan.

Sah jika saya berkata, tanpa kehilangan itu, saya tidak akan mencari kebahagiaan di tempat yang sebenarnya menjadi passion sejak lama. Kau juga harus tahu, ketika kehilangan pekerjaan, kau akan mulai kehilangan rekan, relasi atau bahkan kepercayaan dari masyarakat. Ketika itu terjadi, bukan saja ‘kehilangan’ yang kau dapat tetapi bagaimana menjalani hidup seorang diri.

Orang-orang yang tidak lagi seprofesi mulai menjauh karena kesibukan, atau kita yang mulai menjaga jarak. Biasanya kita menerima telepon dari relasi kerja, seharian bisa tidak mendapatkan satu pesan singkat pun. Jika semasa masih kerja masyarakat memandang kita hebat, keluar atau lebih kasarnya, dikeluarkan dari pekerjaan, picingan mata masyarakat meskipun awam di kampung tetaplah rendah.

Saya sudah siap dengan segala risiko itu. Saya percaya rezeki sudah ada yang mengatur. Tanpa usaha, saya bukanlah siapa-siapa. Demikian juga dengan usaha saya yang belum meninggalkan profesi sebagai guru honorer, yang tidak kau tahu, ada tarikan dahsyat dari batin saya untuk bertahan. Demi anak-anak. Demi masa depan pendidikan yang buram. Demi kemelut teknologi yang kian merambah sekolah. Di sana saya lebih dibutuhkan untuk saat ini sebelum nanti dibuang juga!

Saya membangun kembali kebahagiaan dari sini. Bersama anak-anak yang berganti tiap tahun. Saya tidak mau menjabarkan oh karena ijazah kau bekerja sebagai guru. Oh karena ‘akan’ diangkat kau bertahan jadi guru honorer. Itu keberuntungan semata. Bukan itu.

Oh kau tidak punya kemampuan. Itu sangat kasar. Ada bagian yang membuat hari-hari saya jadi lebih bahagia saat bersama anak-anak. Bagian ini yang kemudian saya atur ulang agar menemukan seat yang tepat; meskipun nanti saya tetap kecewa.

Saya tinggalkan sekolah; saya teringat. Beda dengan saya lepaskan tenaga kontrak, saya kecewa tetapi tidak teringat-ingat.

Ah, kau terlalu cengeng memaknai hidup. Kau salah. Dalami dahulu kehilangan, kau akan dapat kebahagiaan. Selama kau tidak mengenal kehilangan, kau tidak pernah mengenal diri sendiri.  

 

Membangun Kebahagiaan dari Kehilangan

Kau sok ngajarin hidup orang. Sebentar. Pelajaran hidup itu bukan berdasarkan teori-teori. Teori kuantum sekalipun tidak akan mampu menafsirkan isi hati seseorang. Kau bersikap riang, karena kebutuhan, pekerjaan, atau kau tak lain pelakon kehidupan yang layak mendapatkan penghargaan tertinggi di OSCAR.

Orang-orang yang pernah kehilangan, tahu harus bangkit kembali. Rasa sakit menjabarkan stimulus ke seluruh tubuh untuk menghilangkannya. Teori konspirasi yang kau pelajari di bangku kuliah ‘hanya’ akan berlaku sedikit di lapangan. Ada orang yang bahagia karena mencuri. Ada pula orang yang bahagia karena mengintip. Kontradiksi ketika dikaitkan dengan teori di bangku sekolah; bahwa orang-orang bodoh selalu jahat. Pencuri adalah orang pintar yang tahu kesempatan dan peka di mana benda berharga. Pengintip tahu sasaran cantik biasa saja atau cantik sekali. Pencuri dilabeli ‘koruptor’ yang tak lain mereka yang berpendidikan tinggi. Pengintip bisa saja hacker yang coba-coba intip brankas sebuah bank. Lalu berbuat jahat.

Semua adalah pengalaman. Pelajaran hidup. Proses dari kegagalan. Apa korelasinya dengan membangun kebahagiaan?

Jadi begini. Seandainya saya tetap bekerja sebagai pekerja kontrak, saya tidak akan jatuh, sampai kecewa berat dan merasa kehilangan yang berarti. Saya akan terus bahagia, bukan? Nantinya, saya akan memandang orang lain sebelah mata. Saya akan masuk ke dalam golongan yang selalu berpemikiran bahwa orang-orang sukses itu adalah bekerja – bukan pekerja keras.

Step by step dalam mengakali kegagalan membuat saya khawatir tentang satu hal; saya tidak mudah menyerah. Tagar bahagia itu sederhana sudah menggema di media sosial, maupun di hati milik orang-orang tertentu. Saya malah menilai bahagia itu sangat kompleks. Seorang yang miskin sekali akan merasa bahagia begitu mendapatkan seorang anak. Ia tidak sedang khawatir dengan apa memberi nafkah kepada anak jika makin tumbuh besar. Ia tidak menampakkan bahwa sengara itu telah terlihat jelas.

Saya pernah bertemu seorang penyemir sepatu. Bertahun-tahun lalu. Seorang anak yang merasa sebagian jiwanya telah hilang. Orang tua entah di mana. Cari makan sendiri. Tinggal di panti asuhan yang banyak lalatnya. Apa yang dijalani anak itu justru membangun kebahagiaan dengan di bawah bayang-bayang kehilangan dan rasa sakit.

Anak lain – satu panti dengannya – mengemis di depan kami, seolah mereka tak saling kenal. Jalan pintas yang mudah dengan pakaian gembel dan menarik iba dari banyak orang. Instan dan tidak lelah. Dapat uang langsung pulang.

Anak dengan kotak hitam ditentengannya itu menjumpai satu persatu orang di sekitarnya, “Semir, Bang?” begitu seterusnya. Mata kau boleh berpaling kepadanya dan lebih memilih anak yang meminta-minta. Kita memang mudah iba terhadap mereka yang malas dibanding dengan anak pekerja.

Mereka berada di kehilangan yang sama. Satu kita hargai karena malas. Satu lagi tidak kita hargai karena, tidak ada sepatu yang bisa disemir. Tangan kita mengeluarkan uang lima ribuan untuk anak pengemis tetapi tidak memberikan uang sejumlah sama kepada anak penyemir sepatu.

Saya menarik kesimpulan untuk, “Kau sudah makan?” jawabnya belum. Saya tawarkan menu apa yang ingin dimakan. Anak pengemis itu berujar, “Enggak ada sepatu yang saya semir,”

Pikiran saya terhipnotis akan sesuatu yang kosong. Kebahagiaan yang selama itu saya bangun diganti dengan kesimpulan, kau tidak bekerja maka tak ada upah. Di antara kami memang tidak ada yang memakai sepatu yang bisa disemir. Kacamata anak penyemir itu adalah menyemir, bekerja, dapat upah.

Anak pengemis lain datang silih berganti. Anak pengemis terus dapat uang dari banyak orang. Anak penyemir sepatu masih saya yakinkan, “Makan saja, besok kau bisa semir sepatu saya,”

Yang saya tahu – kau pun tahu – mana mungkin saya bertemu kembali dengan anak penyemir sepatu itu. Anak penyemir sepatu itu memesan menu apa saja. Wajahnya berubah bahagia. Kehilangan kesempatan; mungkin dicuri oleh anak pengemis, mengubah jati dirinya lebih kuat. Ia butuh makan. Ia menyemir untuk makan.

Lihatlah anak penyemir sepatu itu. Saya ‘hanya’ mentraktir dirinya sepiring nasi goreng dan juice alpokat. Binar kebahagiaan yang ia bangun karena perut terisi sangat berbeda dengan tatapan anak-anak pengemis yang datang dan pergi.

Anak penyemir ini sungguh telah merasa kehilangan yang panjang. Maksud saya, ia kehilangan kesempatan menyemir sepatu karena orang-orang yang baru pulang kantor tidak membutuhkan jasanya. Anak penyemir sepatu ini membangun kebahagiaan yang sama sekali tidak saya dapatkan dari anak pengemis yang menerima lebih banyak ‘setoran’ di malam itu.

Sederhana sekali membangun kebahagiaan. Anak penyemir sepatu itu selesai makan, saya kasih sedikit uang jajan. Kau bisa menebak. Tabiat yang telah saya gambarkan, ia menolak. “Saya tidak menyemir,”

Selesai.

Anak penyemir sepatu itu meninggalkan kami. Pelajaran penting malam itu masih membekas dalam benak saya. Kebahagiaan itu tidak selalu dinilai dari banyaknya dapat uang tetapi bagaimana kehilangan membangun kepercayaan. Saya yakin sekali. Saat anak pengemis menghitung pemasukan dari mengemis, anak penyemir sepatu sudah tidur pulas meskipun kantongnya kosong.

 

Harta dan Jodoh; Kunci Utama Kebahagiaan?

Kau hidup mencari harta. Kau hidup juga mencari jodoh. Dua hal yang sepadan. Dua hal pula yang mendatangkan kebahagiaan. Saya belum berani memvonis orang-orang kekurangan harta dan belum berjodoh tidak bahagia. Konteksnya sejalan dengan apa yang dipikirkan dan diinginkan untuk bahagia itu sendiri. Hal sederhana yang sudah saya gambarkan bisa mendatangkan kebahagiaan. Bagaimana mungkin hal-hal besar tidak mengubah kekecewaan menjadi kebahagiaan.

Keyword dari kebahagiaan dasar itu tak bisa lepas dari harta maupun jodoh. Orang-orang yang hidup berkecukupan, pasti perut buncit. Orang-orang yang sudah menikah, pasti perut buncit. Meskipun tidak selamanya demikian tetapi masyarakat awam menilainya seperti itu.

Hidup senang ya gemuk – badan berisi. Vonis masyarakat memang kejam. Kau mau keluar dari vonis itu tentu tidak mungkin karena belum ada planet yang bisa kau tinggali sendirian.

Kau masuk kantor awal bulan; ditagih arisan. Kau ngopi sore hari ketemu kawan lama; ditanya sudah menikah. Soal harta dan jodoh itu maju mundur kena. Layak jika semua orang di dunia mencari keduanya; untuk kebahagiaan.

Pertanyaan apa yang paling sulit dijawab? Kapan kawin. Kau sama sekali tidak bisa terbang dengan Baling-baling Bambu, lalu buka Pintu Ke mana Saja dari harta warisan paling berharga Doraemon. Kau pindah kerja, bertemu kawan baru, berinteraksi, lama-kelamaan juga muncul pertanyaan serupa.

Orang-orang yang bertanya kapan kawin didominasi oleh mereka yang sudah menikah. Mereka merasakan kebahagiaan dari bertemu jodoh.

Jodoh. Keturunan. Begitu seterusnya sampai akhir zaman. Orang belum berjodoh mudah marah, bisa jadi karena kurang perhatian. Emosi yang tidak stabil karena keyword kebahagiaan itu belum didapati.

Tidak ada kawan cerita. Tidak ada kawan jalan bersama. Orang lain bersama pasangannya. Kita sendiri. Apa yang kau cari siang dan malam itu tak lebih dari harta dan juga jodoh. Harta untuk hidup lebih baik. Jodoh untuk yang kau pikirkan sendiri; melanjutkan keturunan.

Kenapa orang mencari jodoh? Karena ingin bahagia. Simpel, bukan?

Jodoh menjamin kebahagiaan? Lihatlah orang tua kita sendiri. Ayah punya perhatian tersendiri. Ibu juga demikian. Orang tua bahagia ketika bertemu anak-anak mereka, cucu mereka yang makin tumbuh besar, jadi orang, menikah lagi. Cerita bersambung yang terus berlanjut tanpa titik maupun koma. Demikian terus sampai ke keturunan-keturunan dengan silsilah yang tidak lagi tertulis.

Harta dan jodoh adalah ukuran kebahagiaan seseorang. Itu harga mati. Ada orang yang belum memiliki jodoh, ia akan mengejar harta. Ada orang yang sudah berjodoh juga mengejar harta. Ada orang yang bahagia dengan harta saja. Adapula yang bahagia cukup dengan berjodoh; tetapi harta juga dicari.

Oh, orang berharta bebas hidup sendiri. Kau menyebut demikian karena tubuh masih sehat. Pekerjaan sudah mapan dengan gaji puluhan juta. Investasi di mana-mana. Saya coba luruskan suatu keadaan mendesak, tiba-tiba dan di luar batas kemampuan manusia untuk memikirkannya.

Kau kena musibah. Titik di situ saja. Masuk rumah sakit. Dirawat perawat yang tidak kau kenali; mungkin juga bergantian. Dokter menjenguk sesekali. Kau akan dirawat inap dalam waktu lama. Tidak bisa makan sendiri. Tidak bisa ke kamar kecil sendiri. Semua dibantu orang lain.

Dengan harta kau bisa membayar orang. Itu semua semu. Harta habis. Biaya rumah sakit tidak ada lagi. Mau ke mana? Perawat maupun dokter tidak mengenal teori bunuh diri itu adalah indah. Agama yang kau yakini juga tidak membenarkan mengakhiri hidup diri sendiri. Dokter tidak ‘akan pernah’ salah memberi obat. Perawat menjaga sampai kau benar-benar sembuh. Jika, masih ada ‘uang’ atau biaya yang dibebankan kepada rumah sakit.

Jodoh datang, harta aman. Meskipun kau sekarat dalam waktu lama di rumah sakit, masih ada orang lain yang membantu kesembuhan, mengurangi biaya keluar bahkan bekerja untuk menyambung hidup keluarga yang sudah kita tinggalkan tanggung jawabnya.

Harta memang membawa pengaruh besar terhadap kebahagiaan, namun ibarat halusinasi, ia akan sirna dengan mudah dalam kabut. Apa yang menjamin kebahagiaan kemudian adalah orang-orang terdekat dengan kita.

Jika kau diminta untuk memilih, harta atau wanita – jodoh? Kau akan pilih yang mana?

Saya menyakini satu hal. Orang-orang bisa sukses karena pengaruh orang lain di belakangnya, salah satunya adalah jodoh kita. Manusia paling sempurna di dunia, Nabi Muhammad saw. merasakan kesedihan yang tidak pernah ada yang mampu mendefinisikannya, setelah ditinggal oleh istri tercinta, Khadijah. Tahun 619 disebut tahun kesedihan bagi umat Islam. Abu Thalib juga meninggal pada tahun yang sama. Allah memiliki cara terbaik untuk membuat Muhammad lupa akan sedihnya, yaitu peristiwa Isra’ dan Mi’raj.

Soal kekuatan jodoh tadi. Khadijah punya andil yang sangat besar dalam sejarah awal kemunculan Islam. Wanita berpengaruh dalam kejayaan Islam yang sampai kini masih dirasa. Moril dan tenaga diberikan sepenuhnya oleh Khadijah untuk Muhammad dalam berdakwah. Pesan cukup untuk mengenai peran jodoh kita sebagai pembawa kebahagiaan.

Di kehidupan sekarang, kita tentu tak akan pernah melupakan kehilangan dari BJ. Habibie ketika Ainun Habibie telah tiada. Bukan soal cinta saja di sini tetapi bagaimana pengaruh jodoh dalam segala urusan di dunia ini. Habibie telah kita lihat dengan sempurna dari tatapan matanya maupun ucapannya soal kehilangan itu sendiri.

Bagaimana – dan ini sangat mustahil terjadi – jika kita melihat Muhammad kehilangan Khadijah?

Dibalik sukses yang diraih oleh seorang pria karena wanita memengaruhinya. Kembali lagi, ini bukan soal makan enak atau baju tersetrika dengan rapi. Tetapi, alasan dibawah bayang jodoh yang membawa perubahan besar dalam bahagia yang hakiki. Jodoh akan menutupi kekurangan dan mengubah pola pikir untuk menjadi lebih baik.

Bahagia bagi tiap orang itu berbeda caranya. Ada yang mudah mengungkapnya, ada pula yang sulit. Semua kembali ke kapasitas dan style seseorang. Saat ingin bahagia ya bahagia saja. Tak ada alasan untuk itu. Cuma, kita siap atau tidak menuju bahagia itu?

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Fallin; At The Same Time
2231      1156     0     
Romance
Diadaptasi dari kisah nyata penulis yang dicampur dengan fantasi romansa yang mendebarkan, kisah cinta tak terduga terjalin antara Gavindra Alexander Maurine dan Valerie Anasthasia Clariene. Gavin adalah sosok lelaki yang populer dan outgoing. Dirinya yang memiliki banyak teman dan hobi menjelah malam, sungguh berbanding terbalik dengan Valerie yang pendiam nan perfeksionis. Perbedaan yang merek...
Ayugesa: Kekuatan Perempuan Bukan Hanya Kecantikannya
7225      2164     204     
Romance
Nama adalah doa Terkadang ia meminta pembelajaran seumur hidup untuk mengabulkannya Seperti yang dialami Ayugesa Ada dua fase besar dalam kehidupannya menjadi Ayu dan menjadi Gesa Saat ia ingin dipanggil dengan nama Gesa untuk menonjolkan ketangguhannya justru hariharinya lebih banyak dipengaruhi oleh keayuannya Ketika mulai menapaki jalan sebagai Ayu Ayugesa justru terus ditempa untuk membu...
Titik berharga di era pandemi
194      138     1     
True Story
"Bagaimana ya rek kalo libur selama satu tahun itu diberlakukan? Ah seketika indah pasti duniaku," celetuk gadis berkerudung itu. "Ah jangan ngaco toh kamu! imposible itu mah," Jawab salah satu dari kami. Ketika impian seorang bocah remaja yang duduk dibangku SMP menjadi realita nyata di depan mata. Perpaduan suka duka turut serta mewarnai hari-hari di era masa pandemi. P...
Titik Akhir Pencarian
250      168     1     
True Story
Lelah mencari pada akhirnya kuputuskan untuk menyendiri. Terimakasih atas lelah ini, maaf aku berhenti. . . Dara, 2022
Hidup Lurus dengan Tulus
129      119     4     
Non Fiction
Kisah epik tentang penaklukan Gunung Everest, tertinggi di dunia, menjadi latar belakang untuk mengeksplorasi makna kepemimpinan yang tulus dan pengorbanan. Edmund Hillary dan Tenzing Norgay, dalam ekspedisi tahun 1953, berhasil mencapai puncak setelah banyak kegagalan sebelumnya. Meskipun Hillary mencatatkan dirinya sebagai orang pertama yang mencapai puncak, peran Tenzing sebagai pemandu dan pe...
"Mereka" adalah Sebelah Sayap
431      307     1     
Short Story
Cinta adalah bahasan yang sangat luas dan kompleks, apakah itu pula yang menyebabkan sangat sulit untuk menemukanmu ? Tidak kah sekali saja kau berpihak kepadaku ?
Selepas patah
130      111     0     
True Story
Tentang Gya si gadis introver yang dunianya tiba-tiba berubah menjadi seperti warna pelangi saat sosok cowok tiba-tiba mejadi lebih perhatian padanya. Cowok itu adalah teman sebangkunya yang selalu tidur pada jam pelajaran berlangsung. "Ketika orang lain menggapmu tidak mampu tetapi, kamu harus tetap yakin bahwa dirimu mampu. Jika tidak apa bedanya kamu dengan orang-orang yang mengatakan kamu...
Ruas-Ruas Kisah
222      161     1     
True Story
Semua kisah yang terjadi dalam hidup memang tidak melulu tentang kesenangan, adakalanya yang duka juga menghampiri. Namun, yakinlah semua itu ada pelajaran yang dapat kita petik. Ruas-ruas kisah hanya berisi tentang perang batin dalam memahami arti ujian kehidupan yang hadir.
Broken Wings
1068      651     0     
Inspirational
Hidup dengan serba kecukupan dan juga kemewahan itu sudah biasa bagiku. Jelas saja, kedua orang tuaku termasuk pengusaha furniture ternama dieranya. Mereka juga memberiku kehidupan yang orang lain mungkin tidak mampu membayangkannya. Namun, kebahagiaan itu tidak hanya diukur dengan adanya kekayaan. Mereka berhasil jika harus memberiku kebahagian berupa kemewahan, namun tidak untuk kebahagiaan s...
Diary Pandemi
222      155     1     
True Story
Gue tahu, masa pandemi emang nyusahin. Tapi jangan lupa buat tetep senyum dan bahagia. Percaya deh, suata saat nanti pasti bakal ketemu titik terang yang bisa mengubah hidup kalian.