Bagian 7
Anak bawang kembali bekerja hari ini. Saya memakai pakaian yang sudah dua hari belum dicuci. Kemeja abu-abu yang sangat saya banggakan. Sedikit kebesaran yang bisa menutupi bagian tubuh saya yang terlihat kerdil.
Oh, memang kecil. Seperti anak-anak. Seperti remaja.
“Kamu ini bagai anak SMP!” ungkap Bu Nurma bahkan sudah ratusan kali.
Saya berkaca lagi di cermin seukuran bingkai foto 5 inci. Saya arahkan dari ujung rambut ke ujung kaki. Tubuh kecil, boleh kau sebut kurus, milik siapa ini? Postur pendek siapa yang ingin memilikinya ini? Pertanyaan yang sudah muak saya utarakan di dalam hati.
Saya hanya perlu berbesar hati untuk semua hari. Jangan pernah mengutuk pemberian Tuhan yang telah lama dijanjikan bahkan sebelum saya terlahir ke dunia ini.
Hari ini, haruslah seperti hari biasa. Begitu-begitu saja.
Saya mengendarai Honda Astrea yang bunyinya sudah nyaring sekali. Itu pun mesti saya syukuri kalau mau hidup penuh nikmat. Saya masih untung memiliki sepeda motor yang telah mati pajak itu, daripada orang lain di dekat rumah, di ujung lorong saja, di depan masjid kampung kami, di dusun tetangga, di kampung orang lain; mungkin masih menaiki sepeda atau berjalan kaki jika hendak ke mana-mana.
Engkol Honda Astrea itu membal kembali saat saya hentakkan. Knalpotnya terbatuk-batuk. Keluar asap yang bau sekali. Mungkin karena belum ganti oli karena tak ada gaji untuk membelinya, belum tepatnya.
Saya engkol kembali dengan kuat. Dibalikkan kembali arahnya sampai mengenai betis kecil saya yang memiliki bulu halus. Saya berteriak kesakitan. Ngilu sampai ke seluruh tubuh.
Rasa sakit saya diamkan saja. Jam sudah menunjukkan pukul delapan kurang sepuluh menit. Saya tidak mau piket hari itu kembali membubuhkan X dengan bangganya di absensi kehadiran guru.
Oh, benarlah ini akan terjadi. Bu Rosmala yang butuh banyak pertolongan saya tetapi empati kurang adalah piket hari ini. Selalu berpura-pura datang lebih cepat untuk memastikan Pak Kepala menegurnya sebagai piket terbaik sekolah kami. Di hari ini pula, ada guru paling terlambat yang tak lain dan tak bukan adalah teman saya sendiri, Sabda Ahmad.
“Jangan banding-bandingkan Pak Ahmad dengan kalian semua!” amarah Bu Nurma kalau mendengar ada yang mengeluh tentang Sabda Ahmad, “Pak Ahmad mahkota sekolah kita. Guru serba bisa, biar sertifikasi Fisika tetapi mampu mengajar Matematika, Kimia, Biologi, Geografi, Ekonomi, dan Sejarah Indonesia pun belum sudah hapal di luar kepala. Kalian itu siap? Nggak ada bobot sama sekali!”
Kalau sedang bersama Bu Rosmala, maka tambahannya, “Pak Ahmad guru terbaik tingkat provinsi, pembina olimpiade Fisika yang sedang menuju seleksi nasional, pembawa berkah pada sekolah kita yang dulu tertinggal kini dikejar!”
Dan, demikianlah pembelaan yang terus terjadi dalam rangka menutupi kurang disiplinnya Sabda Ahmad. Tak pernah ada hari yang dirinya masuk lebih cepat kalau jam pertama. Saya sering bertanya alasan, jawabnya, “Ritual pagi saya itu panjang sekali. Bangun tidur duduk sebentar di kaki tempat tidur, ke kamar mandi lama menunggu keluar itunya, di depan bak mandi jongkok lama sambil terkantuk-kantuk, pakai baju pas nggak pas, cari celana lupa disetrika, tali pinggang kadang di bawah tempat tidur atau di tumpukan baju kotor, sarapan pagi pakai telur keasinan bikin baru lagi…,”
Saya maklum, dia teman cerita satu-satunya.
Orang-orang di sekolah kami maklum, karena dia emas permata. Saya masuk kelas tepat waktu, anak-anak masih kebingungan dengan materi yang diajarkan. Bu Rosmala masuk kelas lebih awal, anak-anak akan disuruh mencatat seluruh materi sampai jam berakhir. Bu Nurma masuk kelas sepanjang jalan kenangan jadi amarah tanpa ada materi pokok yang diajarkan dengan baik. Pak Adam masuk kelas, anak-anak sudah terlelap duluan. Sabda Ahmad masuk kelas, cuma lima menit saja satu soal Fisika rumit sekalipun menjadi sangat mudah dipahami.
Jangan kau tanya lagi, Sabda Ahmad idola seluruh siswa dan guru kami!
Honda Astrea yang saya tarik pedal gasnya perlahan-lahan sudah memasuki perkarangan sekolah yang terlihat sepi. Alamat saya kena tanda X lagi ini. Saya memarkirkan sepeda motor warna hitam itu di depan kantor dengan cepat lalu berlari ke kelas yang jaraknya 100 meter.
Saya mengucap salam. Anak-anak menjawab acuh tak acuh. Dari 23 siswa kelas X-IPA 1, baru masuk kelas 17 siswa saja.
“Ke mana yang lain?”
“Kantin, Pak,”
“Ada yang belum datang, pak,”
“Ke kamar kecil, Pak,”
“Di luar, Pak,”
“Tolong panggilkan sebentar,” saya memberi tugas.
“Malaslah, Pak. Mereka nggak suka masuk kelas,”
“Untuk apa juga kalian sekolah?”
“Disuruh orang tua!”
“Mau jadi apa kalian?”
“Bapak saja masih guru honorer, kenapa tanya kami mau jadi apa?”
“Bisa saja kami cepat sukses daripada Bapak!”
“Saya tetap guru kalian hari ini. Saya akan mengajar siapa saja yang sudah masuk…,”
“Baik, Pak Kerdil…,”
“Kita lanjut materi hari ini mengenai…,”
Tiba-tiba, seorang anak melembar kerikil ke dalam kelas dari pintu masuk. Nyaris mengenai sepatu saya yang tidak disemir sudah sebulan lebih.
“Siapa di sana?” teriak saya. Saya mengejar ke pintu masuk dan tidak ada siapapun di sana. Bu Rosmala di meja piket tertunduk, mungkin mengantuk dengan kacamata melorot.
“Rahmat tadi, Pak,” sahut suara dari dalam kelas. Saya mendengar jelas ketujuh belas anak di dalam kelas X-IPA 1 itu cekikikan dengan garang.
Saya malu sekali membalik badan.
Amarah memuncak.
Harga diri saya sebagai guru terinjak-injak.
Wibawa saya sudah hilang.
“Kalian tidak menghargai saya sebagai guru ya?”
“Jangan fitnah, Pak. Kami dari tadi menanti pelajaran Bapak dengan serius,”
“Saya lihat sendiri Rahmat lewat tadi,”
“Iya, Rahmat lembar batu tadi,”
“Kenapa Bapak menuduh kami,”
“Rahmat yang nggak menghargai, Bapak,”
“Sudah-sudah,” saya mencoba melerai namun yang keluar suara penuh emosi, “Saya masih guru kalian dengan status apapun,”
“Enak sekali Bapak marah-marahi kami,”
“Bapak tetap saja guru honorer,”
“Itulah, sudah badan Bapak kecil,
“Pendek lagi,”
“Nggak ada wibawa seperti Pak Diwan,” guru olahraga yang mereka maksud.
“Bagaimana kami hargai Bapak kalau sering marah-marah,”
“Pantas Bapak dilempar batu,”
“Itu tandanya orang nggak suka, Pak,”
Mata saya jelalatan mencari-cari pemilik suara. 17 orang itu hampir semua bersuara. Hari ini tak seindah yang saya banggakan sejak semalam. Saya terus dihujani kalimat dari anak-anak. Rupanya, begitulah pelampiasan mereka kepada saya yang telah lama dipendam.
“Bapak harus punya prestasi kalau mau dihargai,”
“Jangan cuma banggain tubuh kurus dan pendek…,”
“Suka marah-marah juga,”
“Contoh Pak Ahmad. Pelajaran Kimia yang belum pernah kami pelajari di SMP lebih mudah dipahami daripada Fisika yang Bapak ajarkan pakai buku teks…,”
“Benarlah. Pak Ahmad malah nggak pakai buku mengajar,”
“Kasih soal pun mudah,”
“Bapak kasih soal bingung sendiri,”
“Bisanya Bapak apa juga?”
“Bapak kan masih guru honorer?”
“Belum jadi guru boleh dibilang,”
“Belum sah,”
“Apa juga kita masuk kalau begitu,”
“Ke kantin saja, yuk?”
“Ayo!”
Dan mereka benar-benar meninggalkan saya sendirian di dalam kelas.
“Hei…, hei…,” saya memanggil-manggil. “Saya masih ada jam ini!”
“Makanya, Pak, tahan emosi tunjukkan prestasi!” kata seorang anak yang mengekor paling akhir. Saya malah tambah emosi.
“Kalian ini tidak menghargai saya sebagai guru ya, saya X semua kalian hari ini, jangan harap dapat nilai bagus…,”
“Memangnya nilai Bapak ada pengaruhnya?” itu suara Rahmat, di seberang jendela. Wajahnya menyeringai penuh kemenangan.
“Kamu?” mata saya melotot.
“Apa Bapak manja?” cekikikan Rahmat kencang sekali, “Ye ye ye, ada Bapak lagi ngambek. Ye ye ye, ada Bapak lagi marah. Ye ye ye, ada Bapak lagi jomblo. Ye ye ye, ada Bapak kecil-kecil mau jadi guru. Ye ye ye, ada Bapak cuma seketiak si Deni. Ye ye ye, ada Bapak nggak bisa ngajar…,” Rahmat berlari sambil terus ‘ye ye ye’ kembali ke kelasnya.
Saya terduduk diam di kelas.
Berita hari itu menyebar ke mana-mana. Cepat. Setajam silet. Sejengkal jadi dua jengkal. Semut jadi gajah.
Begitu sampai ke telinga Bu Nurma. Kau tahu sendiri tanggapannya!
***