Kutemukan dia diantara gemerlapan ratusan bahkan ribuan bintang di malam yang sepi itu. Bukan karena dia bintang yang paling terang dengan kilatan cahayanya yang memukau. Namun sebaliknya, dia bintang paling redup yang pernah kutemui. Kesederhanaannya membuatku kagum, kesedihan dan kekurangannya yang berhasil ia tutupi menjadikannya sosok bintang yang sekarang ada di dalam hatiku.
Dia adalah ketidakmungkinan yang selalu aku semogakan. Seseorang yang mampu membuatku terdiam dalam keramaian, tersipu malu dan salah tingkah saat jarak kami tak berjauhan, terperangkap dalam lamunan yang berujung kekecewaan dan tentunya seseorang yang kusesali mengapa aku harus terpesona begitu dalam dengannya.
Hujan turun tidak terlalu deras. Meja dosen tampak kosong. Kuliah hari ini ditiadakan. Aku yang duduk menepi di sudut kelas dengan mata menerawang sibuk memperhatikan dia dari salah satu jendela yang memudar, bergumam pelan saat menyadari rintikan hujan telah memenuhi seluruh sisi jendela sehingga membuat pandanganku terhadapnya turut memudar.
“Nay, pulang yuk!” Suara Pita berhasil membuat lamunanku buyar. Kupaksa bibir ini tersenyum agar Pita tak curiga dengan yang kulakukan barusan. Namun, justru membuat Pita terheran, ia mencoba mengikuti arah tujuan mataku beberapa menit yang lalu.
“Nay, sudahlah, lupakan dia!”
Aku yakin Pita akan berkata seperti itu. Kalimat itu sudah sangat lumrah kudengar. Bukannya tidak mau mengikuti kata-katanya, tetapi karena tak mudah melakukan hal itu. Melupakan cinta pertama tak semudah membalikkan telapak tangan.
Jujur saja, aku belum pernah jatuh cinta, kalau pun sudah, pasti itu hanya sekadar cinta monyet. Di umurku yang sudah mencapai 20 tahun ini dengan status mahasiswi pun aku belum pernah sekalipun pacaran. Aku teringat doaku waktu itu, ingin rasanya merasakan jatuh cinta. Kemudian Allah mengabulkannya, aku diberikan kesempatan mencicipi rasa itu. Namun, karena kutahu Allah begitu sayang padaku dan tak ingin aku terjerumus pada hal-hal negatif. Aku diberikan cobaan yang menurutku adalah sebagai pagar imanku agar aku tidak pacaran.
Seseorang yang menjadi cinta pertamaku menyandang agama yang berbeda. Aku umat islam sedangkan ia tidak. “Kami berbeda” Dua kata itulah yang membuatku berasumsi bahwa aku dan dia tidak akan pernah bersatu.
Beberapa bulan sebelumnya, saat menyadari aku benar-benar sudah terpikat dengannya. Pikiranku berkelibat bingung memikirkan cinta terlarang ini. Sikapku makin dan semakin aneh tiap hari. Kegelisahan terasa menyelimuti hatiku. Berulang kali berusaha ingin melupakannya hingga tak sedikit air mata yang jatuh dikala sujud berhadapan dengan yang Maha Esa, berulang kali pula aku gagal. Semakin aku melupakannya maka semakin sering aku mengingatnya. Karena untuk melupakan terlebih dahulu harus mengingat, itu yang kubenci.
“Eh kebanyakan ngelamun ini anak, ayo pulang!” karena sudah tak sabar lagi, akhirnya Pita merebut paksa tasku kemudian berjalan menuju pintu keluar. Mau tidak mau aku harus berlari-lari kecil mengikutinya.
“Gak kuliah ya, Nay?” kalimat tanya itu terdengar bergema di telingaku. Aku kenal suara ini. Sangat-sangat mengenalnya. Aku tergagap entah mengapa panik seketika. Mataku tak berani menatap tatapan matanya yang mengarah padaku.
“Iya, gak masuk” akhirnya pertanyaan itu terjawab. Tapi bukan berasal dari mulutku. Melainkan Pita. Oh tidak. Pita menarik tanganku erat kemudian membawaku pergi. Kupikir Pita sudah sangat kesal dengan ulahku saat ini. Ragu-ragu kulirik ke arah dia yang tampak terdiam melihat kepergianku.
“Ta, kamu jutek banget sih tadi” keluhku dengan bibir yang maju beberapa senti. Pita tak menghiraukan perkataanku, ia sibuk dengan motornya yang hendak dikeluarinya dari area parkiran.
Aku yang kesal dengan perkataan yang tak dihiraukan memalingkan arah ke tempat lain, berusaha menahan emosi. Namun, apa yang kulihat. Beberapa orang muncul dari pintu masuk parkiran. Mereka yang kukenali sebagai teman mainnya dia dan dia ada di antaranya berjalan ke arahku dan Pita.
Lagi dan lagi. Jantungku berdegup kencang mengalahkan suara knalpot motor yang kudengar. Gerakan-gerakan aneh seketika kulakukan. Entah itu merapihkan jilbab, menggerak-gerakkan kaki, mengusap keringat di antara hidung dan bibir, sampai-sampai jerawat yang tak bersalah pun tak sengaja kugaruk. Ternyata jatuh cinta tak seindah yang kukira, justru kadang membuatku malu dan kelihatan bodoh sesaat.
“Nay, untung ya aku ini baik, naik atau kutinggal!” tukas Pita dengan nada suara yang sedikit membuatku takut. Tanpa pikir panjang aku langsung melompat, duduk di belakang Pita dan menyuruhnya agar cepat-cepat pergi dari sini karena mereka sudah tinggal beberapa langkah lagi dari tempatku dan Pita berada.
Bodoh-bodoh-bodoh-bodoh. Aku memaki-maki kecil kebodohanku tadi selama perjalanan. Sikapku barusan hanya memperburuk keadaan, gerak-gerik konyolku itu akan membuat perkiraan semua orang benar bahwa aku telah jatuh cinta pada dia, dan itu membuatku malu.
Aku yang berlatarbelakang seorang santriwati jatuh cinta pada seorang pria non muslim. Apa kata dunia. Rasa ini sudah seperti kanker yang bersarang di tubuhku, ingin segera kubuang agar tak menjalar kemana-mana.
Sesampainya di kos-an tempatku tinggal. Aku langsung masuk ke dalam, setelah sebelumnya berbasa-basi dengan Pita terlebih dahulu. Ketika kurebahkan tubuhku di atas kasur dan merogoh ponsel dari dalam tasku, aku terkejut hingga terlonjak bangun melihat pesan bbm dari seseorang. Dan itu dari dia.
Ping!
Hanya itu yang dia kirim. Akhir-akhir ini tidak tahu mengapa dia sering mengirimiku pesan. Aku jadi teringat dengan laporan Inda di kelas tadi, bahwa lelaki itu memang sering memperhatikanku dari jauh, seperti ingin mengobrol banyak namun tak punya keberanian. Bukan hanya itu, status di media sosialnya juga sering terdapat kata-kata yang menjurus kepadaku. Inda rasa dia sudah jatuh cinta padaku layaknya aku yang jatuh cinta padanya.
Bagus. Ini bukan cinta sepihak atau pun cinta yang bertepuk sebelah tangan. Melainkan cinta terlarang, cinta beda agama, cinta yang tak direstui dan itu sangat menyakitkan. Sungguh menyedihkan.
Ping!
Dua jam kemudian pesannya baru kubalas. Itu pun aku sempat meminta pendapat pada Pita dan Inda terlebih dahulu, dibalas atau tidak. Alhasil usulan mereka yang memilih tidak, tak kupatuhi. Aku tergiur pada pilihan satunya lagi. Beberapa detik kemudian pesanku dibalasnya. Isi pesan itu cukup membuatku tercengang.
“Telat banget balasnya, sholat gih, masjid udah berisik”
Aku tahu itu hanya gurauan, karena dia memang tipe lelaki humoris yang suka akan candaan. Tapi untuk kali ini, aku seperti tidak bisa mentolerirnya. Lelucon itu membuatku sedikit naik pitam. Kucoba untuk menenangkan diri agar tidak terbawa emosi, lalu kutekan huruf demi huruf hingga terangkai kata demi kata yang menurutku sudah cukup menjadi satu-kesatuan kalimat yang bagus.
“Terima kasih sudah mengingatkan, insyaallah aku tidak akan lupa. Masjid itu berisik bagi seseorang yang belum mengetahui arti dari seruan itu. Bagi seseorang yang mengetahuinya, suara berisik itu seperti lantunan penuh makna yang tersirat di dalamnya”
Setelah mengirim pesan tersebut. Kumatikan data seluler dari ponselku, tidak ingin waktu senjaku diganggu oleh kegiatan yang sebenarnya tidak bermanfaat. Kupersiapkan diri ini mandi dan segalanya untuk bersujud memohon ampunan pada Sang Pencipta, diiringi dengan takbir dan lantunan ayat suci Al-Qur’an di akhirnya, aku melakukan rutinitas ini hingga menjelang Isya.
Setelah menunaikan kewajibanku, tanpa sadar bola mataku mengarah pada tanggal yang kulingkari dengan warna merah berbentuk hati di kalendar. Aku ingat di hari itulah untuk pertama kalinya aku jatuh cinta pada dia.
Kala itu. Semilir angin berhembus pelan dari arah belakangku, menyibakkan rambutnya yang basah oleh keringat yang bercucuran dari puncak rambutnya. Cahaya mentari pagi muncul dari balik pundaknya yang tampak kelelahan, bersinar terang menyilaukanku yang tepat berada di hadapannya. Terpesona dengan makhluk ciptaan Tuhan yang satu ini.
“Ambil ini, gantian!” suruhnya, meletakkan cangkul di depanku.
Seakan tak percaya, aku terdiam melihat cangkul itu yang sudah seperti ular berbisa. Aku? Nyangkul?
“Kenapa? Perempuan juga harus bisalah” katanya lagi, seakan bisa membaca pikiranku.
Kami sedang praktek lapang menanam jagung untuk matakuliah Ekologi Tanaman, dan aku satu kelompok dengannya. Semenjak hari itu, matakuliah itulah yang selalu kutunggu-tunggu tiap minggu.
Tanpa sadar air mataku mengalir deras dari pelupuk mata yang sudah tak mampu membendungnya lagi. Terisak pelan menahan getaran bahuku yang ikut menyesuaikan. Kenangan ini. Cinta ini. Sungguh menyiksa batinku.
Tuhan. Bisakah kuulangi lagi doaku waktu itu. Aku ingin memperbaiki isi dari doaku dengan sebaik mungkin. Aku bingung harus bagaimana, meneruskannya atau berhenti sampai di sini.
***
Keesokan harinya, mataku terlihat sembab. Ternyata menangis semalaman efeknya sangat sadis. Wajahku seperti wanita yang ingin dinikahkan paksa hari ini juga oleh orang tuanya. Pita dan Inda tak mau berhenti dengan pertanyaan mereka saat jam perkuliahan selesai.
“Nay, kamu nangis?”
“Nay, matamu kok kayak bakso?”
“Nay, jawab!!”
Kumpulan pertanyaan itu hanya kujawab dengan gelengan lemas, bertanda aku sedang dalam keadaan bad mood. Tadi saja, pelajaran yang disampaikan dosen, tidak ada satu pun yang menempel di otakku. Seperti menonton sebuah rekaman film bisunya Charlie Chaplin, aku tidak dapat mendengarkan suaranya melainkan hanya gerakan tubuhnya saja.
“Nay, bisa kita bicara sebentar”
Aku, Pita dan Inda sontak langsung menoleh ke belakang mencari sumber suara. Lelaki yang menjadi sebab tangisanku semalam berdiri tepat di hadapanku. Senyum khasnya menyeringai lebar. Perlahan Pita dan Inda menyingkir, setelah sebelumnya Pita memberontak tidak ingin pergi.
Kini tinggal kami berdua.
Situasi ini membuat jantungku serasa ingin meledak.
“Nay, maaf untuk yang kemarin, aku gak bermaksud menghina atau pun lainnya, itu hanya gurauan kecil yang tak sengaja kubuat” katanya membuka pembicaraan.
Aku menghela napas panjang, mencoba menangkan diri.
“Iya, aku sudah memaafkannya, sekarang, boleh aku pergi?”
Dia terdiam. Terhitung sudah lebih dari 10 detik, pertanyaanku masih juga belum ditanggapinya. Ia memandangku seperti banyak sekali kata-kata yang ingin ia keluarkan.
“Baiklah, aku pergi” kataku singkat, tak sabaran.
“Na-Nayra, bisakah kau jadi pacarku?”
Nging. Bunyi seperti inilah yang terdengar di telingaku saat kalimat itu berakhir. Kata-kata yang terdengar cepat dan terbata. Untuk pertama kalinya seorang pria menyatakan hal itu padaku. Aku yang sudah berbalik arah berjalan membelakanginya, berhenti sejenak. Masih belum bisa percaya dengan yang ia katakan. Otakku sibuk memikirkan jawaban apa yang tepat untuk kuungkapkan di waktu yang genting seperti ini.
Setelah siap, kemudian perlahan aku berbalik arah menghadapnya, menatap lurus tepat ke bola matanya yang tampak canggung. Sesungging senyuman muncul di antara kedua pipiku yang memerah dengan tak menghiraukan mata bengkakku. Kukuatkan diri ini untuk mampu mengucapkannya.
“Maaf Sein, tidak bisa, untukku agamaku dan untukmu agamamu”
Aku yakin, kalau pun kami memang berjodoh, tentu akan dipertemukan dalam hubungan yang halal nantinya. Dan kisah ini berakhir sampai di sini.