Sudah hari ke sekian, di sekolah Maria belum juga bisa dekat dengan teman perempuannya. Jujur, sebenarnya Maria ingin bergaul tetapi dari raut wajah teman-temannya sangat risi melihat dirinya. Menurut Maria, lebih baik dia selalu di samping Jun daripada harus berbaur dengan mereka.
Maria sedang duduk di gazebo, seperti biasa dia ditemani oleh Jun. Jun sibuk dengan ponselnya, sementara Maria sibuk membaca novel sambil sesekali melihat ke arah teman-teman perempuannya yang sedang berkumpul.
“Sampai kapan gue kayak gini terus? Kenapa gue dicuekin sama teman-teman gue?” batin Maria.
“Woi!” Jun mengageti Maria yang sedang melamun.
“Astaghfirullah Jun ... ngagetin gue tahu nggak!” Maria kaget.
“Lo ngapain lihatin mereka? Pengen kumpul. Ya sana coba gih.” Jun memang pintar menebak isi hati orang layaknya seorang cenayang.
“Iya, sih pengen. Tapi gue males nanti dijulidin sumpah,” jawab Maria terus terang.
“Jangan negatif thinking mulu ah. Hobi banget dah kayaknya lo,” ledek Jun sambil menahan tawanya.
“Hihhh! Iya waktu pulang, deh gue coba. Untung gue bawa snowy nggak nebeng lo!” ucap Maria geram.
“Anak pintar.” Jun mencubit pipi Maria gemas lalu melanjutkan bermain game.
“Sakit Jun, ya ampun. Pusing gue,” rengek Maria. Setelah itu dia fokus kembali membaca novel yang dibawanya.
Baru saja akan membaca novelnya kembali, Maria ingat kalau dia belum menanyakan video kemarin kepada Jun. Karena Jun berjanji untuk mengeditnya sendiri, padahal sebenarnya Maria juga bisa mengedit video. Mereka jago dengan hal-hal seperti itu, tidak heran kalau mereka memilih masuk di jurusan broadcasting.
“Junkuy,” panggil Maria sambil meledek.
“Apa Mar? Gue asik ngegame padahal.” Dengan pasrah Jun tidak melanjutkannya dan memilih untuk meletakkan hpnya ke dalam saku.
“Lo udah ngedit apa belum?” tanya Maria to the point.
“Udah,” jawab Jun singkat dan santai.
“Kok nggak bilang, sih? Tapi belum lo upload, kan?” protes Maria karena Jun tidak memberitahunya kalau video mereka sudah jadi.
“Ya belum lah, ada, kok di hp gue. Mau lihat sekarang apa gimana?” ujar Jun.
“Sekarang aja, deh, Jun. Gue penasaran banget.” Maria menyodorkan tangannya di depan Jun. Dia meminta agar Jun segera mengeluarkan ponselnya dari saku.
“Hmm ... iya.” Jun mengeluarkan ponselnya, mencari video tersebut. Setelah itu memberikannya kepada Maria.
“Thank you,” ucap Maria sambil bertingkah imut lalu melihat hasil editan Jun dengan fokus.
“Gimana gimana?” Jun iseng melihat ekspresi Maria yang masih menonton video tersebut. Durasinya sebentar lagi akan selesai.
“Sumpah lo keren. Gue ajarin, dong ngedit kayak gini!” Wajah Maria benar-benar sangat puas setelah melihat video tersebut.
“Lo suka?” tanya Jun.
“Iya lah, gila kali kalau gue nggak suka. Gue ajarin Jun,” rengek Maria.
“Iya gampang,” jawab Jun.
Jam istirahat telah berakhir, Maria benar-benar muak. Karena setelah ini adalah waktunya pelajaran Matematika, Maria benci dengan pelajaran itu walaupun kurang lebih ada sedikit manfaat di kehidupan nyata.
“Yahh ... udah masuk Jun.” Maria putus asa.
“Ya iya masuk memang. Kenapa, kok sedih?” tanya Jun kebingungan.
“Lo, kan tahu gue nggak suka sama MTK. Pusing banget!” Maria memegang kepala dengan kedua tangannya. Lalu bersandar di bahu Jun.
“Ngeluh mulu, nanti malah nggak bisa-bisa. Tenang ada gue.” Jun mendorong kepala Maria menggunakan jari telunjuknya, berniat untuk membangunkan Maria agar segera masuk ke kelas.
“Lo emang dari sononya udah encer Jun,” ledek Maria sambil memutar kedua bola matanya.
“Ya udah ayo,” Jun beranjak dari posisi duduknya lalu menarik lengan Maria serta menggenggamnya.
********
Suara yang paling ditunggu oleh semua murid di sekolah telah berbunyi, apalagi kalau bukan bel pulang sekolah? Pasti teman-teman perempuan satu kelas Maria berencana untuk pergi bersama, karena mereka terlihat terburu-buru menata barangnya. Maria hanya bisa melihatnya, sepertinya dia tidak bisa melakukan apa yang dia katakana sendiri pada Jun tadi.
“Diem aja, Neng. Ayo sana coba nimbrung ke mereka.” Jun menyenggol lengan Maria. Menyadarkan Maria yang terlarut dengan lamunannya.
“Apaan, sih,” protes Maria.
“Ayo tadi lo bilang ke gue pulang sekolah mau coba ngapain?” Jun mengingatkan ucapan Maria tadi ketika berada di gazebo.
“Aaa ... iya. Ngajak ngobrol mereka, ngajak mereka keluar,” rengek Maria dengan pasrahnya.
“Nah pintar. Ya udah sana keburu mereka pulang, gue pulang duluan. Oke?” Jun menggenggam tangan Maria lalu mencium punggung tangannya. Pamit untuk pulang terlebih dahulu.
“Ya hati-hati,” gerutu Maria. Jun hanya bisa menahan tawanya melihat Maria yang terlihat tersiksa dengan keadaan ini.
Tetapi mau tidak mau Maria harus melakukannya, barangkali saja teman-temannya selama ini takut mengajak Maria bicara karena Maria terlihat sangat pendiam dan judes.
Jun sudah menghilang dari pandangan Maria, Maria menarik napas dalam-dalam untuk mempersiapkan nyali yang cukup besar. Dia harus siap-siap jika nanti fisiknya akan menjadi bahan bully. Maria memberanikan diri beranjak dari bangkunya lalu mendekati teman-temannya.
“Hai,” sapa Maria kepada mereka semua. Mereka menatap Maria dengan aneh, ya mungkin karena Maria tiba-tiba muncul begitu saja.
“Hai hai, ada apa?” tanya Vina dengan nada bicara yang ketus.
“Heh ... jangan gitu!” Amel teman dekat Vina menegurnya.
“Ada apa, Mar?” tanya Amel kepada Maria begitu lembut. Memang, sifat atau tingkah laku Vina dan Amel ada beberapa yang memiliki kemiripan. Namun menurut Maria, Amel jauh lebih baik dan sopan daripada Vina.
“Mau nanya, dong, kalian mau ke mana? Gue boleh gabung nggak?” tanya Maria.
“Dih!” Vina berdecak kesal. Meskipun dia berusaha memelankan suaranya, Maria masih bisa mendengar. Indra pendengaran Maria dari lahir sudah sangat tajam, dia peka dengan suara apapun yang pelan.
“Boleh, kok boleh. Boleh, kan guys, teman kita, lho?” jawab Amel sambil menanyakan pendapat yang lainnya.
“Iya boleh,” jawab mereka serempak.
“Ya udah ayo kita berangkat,” ajak Vina beranjak dari kursi yang didudukinya lalu mengenakan tasnya.
Semua berdiri mengikuti perintah Vina, ya, di kelas broadcasting perempuan yang paling berkuasa adalah Vina. Geng itu adalah hal yang paling dibenci Maria. Jadi dia risi ketika melihat tingkah Vina yang sok berkuasa. Maria sengaja berjalan paling belakang, untuk mempersilakan temannya berjalan terlebih dahulu.
Maria kira di belakangnya sudah tidak seseorang lagi, tetapi ternyata ada satu teman di belakangnya yang bernama Naya. Naya menatap Maria dengan senyumannya yang begitu manis, lesung pipit yang dimilikinya membuat semua orang terkesima.
“Maria,” sapanya lalu berjalan mendekat ke arah Maria.
“Hai Naya,” ujar Maria.
“Mar, kapan-kapan gue boleh main ke rumah lo nggak? Gue baru tahu kalau rumah kita lumayan dekat,” ujar Naya.
“Oh, ya? Gue nggak tahu. Boleh boleh, gue senang banget!” jawab Maria begitu ceria. Dia senang akhirnya mendepatkan teman lagi yang rumahnya dekat dengannya.
“Haha ... thank you. Btw lo ke parkiran, kan, ambil vespa?” tanya Naya.
“Iya.” Maria mengangguk.
“Ya udah ayo barengan. Gue juga ambil motor gue,” kata Naya.