Malam ini semakin menggerutu jiwaku, kesunyian ranting yang makin tak bersuara menggenggam pembuluh darahku. Pertanyaan-pertanyaan itu membelenggu jiwaku. Jiwa ini tak lagi bertuan. Siapa aku sebenarnya? Mengapa aku bisa terdampar dikerajaan ini? Whiteland? Froca? Aku makin tidak paham saja.
“Aku harus kembali ke Jakarta malam ini juga!” teriakan di kepaku.
Lyra dan Ruth terlelap dalam tidur mereka. Pelan namun pasti aku membungkus tiap helai pakaianku. Ya! Aku tak mau meninggalkan seragam Froca. Inilah satu-satunya bukti bahwa aku tidak gila. Bahwa benar adanya aku pernah berpijak di sekolah kerajaan ksatria ini. Ksatria? Oh, sungguh mustahil! Langkah ku mengendap sudah melalui tangga Jasmine Room. Lift menuju gerbang bawah mati sekitar jam sepuluh tadi. Lalu jalan mana yang harus ku lalui?
“Setiap jam sepuluh lift turun menuju gerbang pasti sudah tidak menyala lagi dan satu-satunya jalan hanya melewati ratusan anak tangga untuk meninggalkan lantai tujuh belas ini," jelas Rick tadi pagi padaku dengan senyum yang sangat lebar. Seakan menahan langkahku.
Namun, saat aku melihat ke bawah dengan ratusan anak tangga yang harus aku lalui membuat pikiranku semakin gila saja.
"Benar! Ini adalah tindakan yang benar, aku harus pergi!” tegas hatiku. Bergegas aku melewati ratusan anak tangga itu. Seluruh detak jantung ini mengejar tiap langkahku agar langsung menuju gerbang depan.
“Satu terlewati…,"
“Dua terlewati…” terengah–engah napasku mengejar tiap larian tengah malam ini. Benar sekali aku sudah gila, lelah tak lagi mencengkramku.
“Tujuh belas!! Yeaah!" teriakku terlepas dan langsung membuangkam mulutku. Napas yang sudah tak beraturan aku tarik sedalam yang aku sangggup. Pelan aku memijakkan kaki tak beralas diatas rumput hijau taman bunga melati yang akan sangat aku rindukan ini. Tanpa ku sadari airmata terjatuh begitu saja. Delapan belas hari aku hidup di sini sudah seperti tanah kelahiran yang sangat sulit untuk aku tinggalkan. Wajah Ms.Rev yang menjemputku dengan senyuman indah tak terlupakan.
֍֍֍֍֍
“Sarah!!!” teriak seorang wanita dari balik pintu.
“Wake up! Kamu gak sekolah?!" seru Reva mungkin matanya terbelalak di balik pintu kamar putih itu.
“Haaaa!!” kagetku mengusap rambut cokelat dan membuka kelopak mata dengan pelan. Aku sempat terduduk dari tubuhku yang terlungkup pada bantal kesayangan.
“Iyaa.. udah bangun..,” kataku seperti mengigau dan kembali memejamkan mata ke hadapan bantal biru itu. Lelap semakin dalam dan semakin dalam.
Detik jam yang berdetak pelan, membuat tidurku semakin dalam. Lalu semua penglihatannya menjadi gelap. Napasku tiba-tiba saja terengah-engah. Sampai aku membuka mata, gelap itu semakin dalam.
“Hmm..grhmm gerhmm,” suara menyeramkan dari belakang tubuhku. Namun, aku tak juga bisa melihat cahaya. Perlahan aku melangkahkan kaki. Aku merasa memijakkan tanah yang penuh dedaunan kering dan batang-batang pohon. Pelan, pelan dan pelan. Suara itu semakin dekat, langkahnya pun semakin cepat.
“Di mana aku sebenarnya?” Banyak pertanyaan memenuhi isi kepalaku. Langkah kaki ku terus berjalan.
“Gerrhmm gerrhmm," suara itu sungguh membuat bulu kuduk berdiri. Ternyata binatang besar dengan mata yang besar pula tepat di belakangku. Aku mengambil langkah seribu.
“Haa..haa…ha…!” nafasnya terengah-engah.
“Cepat.. cepat.. cepat…!” ucap hatiku.
“Auuw..!” teriakku karena rok biru yang aku kenakan tersangkut cabang pohon yang melintang. Oh sungguh sial! Genggeman tangan kecilnya itu berusaha agar merobek saja kain gaun yang tersangkut.
“Come on!!” aku berusaha keras.
“Kreek!!” sobekan rok itu lalu aku melompat dan terus berlari
“Guaarhhh!!” teriakan binatang itu semakin garang dan aku yang terus berusaha melihat kebelakang tak menyadari didepanku sudah tak ada tanah yang ia pijak. Langkah terakhir itu.
“Akkkkhh!!!!” teriakku yang sudah melayang diiringi kicau burung Elang. Dan aku terjatuh diatas tempat tidurku.
“Haa!!” hela nafas terakhirku dari mimpi itu, terbangun dan mataku langsung terbelalak. Keringatnya mengucur deras dibagian dahi rambutnya. Namun ia masih diatas tempat tidur.
“Itu mimpi?” tanya aku pada hatinya tak percaya. Semua itu sungguh sangat nyata! Aku bangkit dan berlari mencari kakak perempuanku.
“Reev…!” teriakku keluar kamar dan mencari Rev ke dapur . Aku hanya menemukan kompor yang sedang memasak air. Aku mencari ke kamar hanya ada ranjang yang kosong. Kamar mandipun hanya bersuara keran dan tak ada Rev disana.
“Di mana sih? Reev!!”
“Ting nong..,” bel berbunyi dan. Aku berlari membuka pintu.
“Ngett..!” dengan sangat pelan, tangan kiriku sambil menyapu rambut coklat yang masih berantakan itu.
“Selamat pagi,” ucap wanita cantik bermata cokelat dengan baju seragam putih itu. Senyumannya membuatku tak mampu berkedip. Harum bunga-bunga yang menyejukkan jiwa. Hujan tadi malam berubah menjadi musim panas yang indah. Udara begitu sejuk. Angin yang bercampur harum itu menepuk pundak ku dan menyadarkan kekagumannya.
“Pa..gi..,” jawabku yang masih belum tersadarkan, bak bidadari turun dari kayangan dengan ribuan kedamaian syurga yang ia bawa sampai ke bumi.
“Waktunya kita berangkat Sarah,”
“Ke mana?”
“Ke sekolah..”
“Oh..O..kee.” jawabku termangu. Aku masih tak bisa memalingkan mataku. Aku tak bosan melihat wajah cantik itu. Aku benar-benar terhipnotis. Seorang supir sudah membukakan pintu belakanng untuk kami. Mobil hitam mewah bak limosin. Sungguh bak putri raja. Dari pantulan kaca aku melihat jembatan besar yang kami lewati. Lalu langsung membuka kaca dari pintu kirinya. Ini bukan di Jakarta kan?
“Ini memang bukan Jakarta,”
“Terus kita dimana dan mau kemana?”
“Kita di Whiteland dan kita akan ke sekolah. Froca." Wanita itu pelan masih dengan senyuman indah. Pikiranku masih terus saja berputar dalam benaknya, apa semua ini masih mimpi?
“Kita sudah sampai,” ucap Bidadari itu. Gedung putih indah nan megah menjulang tinggi melewati batas awan. Seluruh gedung berwarna putih dengan pilar yang yang besar dengan hiasan lampu emas yang bergelimangan dilangit langit. Taman bunga yang mereka lewati menyapa dengan harum semerbak melati putih yang melambai.
“Ini sungguhan, Miss?”
“Sure..,” jawab wanita cantik itu. Mereka menuju lift dan sampai pada lantai 17. Begitu lift itu terbuka, mereka menemukan kesibukan anak-anak dipagi hari. Membenahi dasi biru navy, merapikan jas blue, memamerkan rambut yang baru saja diblow dan segala “antusias hari upacara” tak lupa bando yang warnanya sepadan dengan jas yang mereka kenakan. “Kita sekarang mau ke mana, Miss?”
“Ikuti saja langkah saya," jawabnya tersenyum. Akhirnya langkah kami terhenti setelah melewati beberapa koridor perpustakaan dan beberapa anak tangga. “Girls The Lark!” tulisan tepat depan pintu langkah mereka terhenti. “Tok.. Tok.. Tok..,”
“Ngeeeeet…," suara pintu perlahan dibuka Ruth.
"Pagi, Ms Rev,” buka seorang gadis bermata cokelat dengan kemeja putih yang masih melekat dikulit putihnya. Dan senyuman garing yang tak tertinggal.
“Sudah pukul 07.45 kalian masih belum bersiap?”
“Five minute, Miss!” teriak anak anak gadis lain dibalik pintu yang tak terbuka lebar. Dan gadis yang berada di depan pintu itu hanya mampu tersenyum malu.
“Well, Sarah ini adalah kamar kamu dan ini Ruth yang akan menjadi teman sekamar kamu bersana Lyra. Oke waktu kalian 5 menit lagi!”
“Oookeeh, Miss” jawab Ruth dengan wajah yang masih terkaget dengan ucapan Miss Rev. Ruth mempersilahkanku memasuki Jasmine Room. Lalu aku bertemu dengan gadis yang berteriak tadi. Suara indah itu persis dengan wajah cantiknya. Langkah kakinya mendekatiku perlahan. “Nama kamu siapa?” tanya bibir tipis merah jambu merona itu.
“Sarah Saphira,” jawabku sambil mengulurkan tangan.
“Oh Sarah aku Lyra.. terus maksud tangan kamu?” tanya Lyra dengan wajah yang bingung begitu juga Ruth.
“Hmm..mungkin kamu belum terbiasa dengan yang terjadi disini. Tapi karena waktu kita 3 menit lagi..so kita harus siap-siap!” seru Ruth dengan semangat membuka koperku dan mengambil seragam Froca.
“Coba dulu seragam kamu ini sebentar lagi upacaranya mulai,” tambah Ruth. Aku meraih jas biru muda, kemeja putih serta dasi biru navy bercorak garis putih. Rok biru dengan garis putih sepadan dengan dasi yang dipakaikan Ruth padaku. Bando dan ikat pinggang hitam kecil sudah terpasang rapih.
“Taraa..!” semangat Ruth setelah selesai membantu mengenakan seragam sekolah yang begitu indah. “Well done!” Lyra bertepuk tangan.
“Bagus yaa?” tanyaku ragu.
“Perfect!” seru kedua teman baru ku itu mengacungkan jempol. Kami segera menuju lantai dasar murid-murid sudah berkumpul dan menantikan Headmaster. Semua murid sudah mengambil barisan, Ruth langsung menarikku untuk segera berbaris paling depan. Tepat di depan para guru-guru. Kami bergabung dengan 3 pria yang sudah berbaris terlebih dahulu. “Hey, ada anak yang baru?” tanya salah satu dari pria itu. Ia berkulit hitam dan bergigi putih yang rapih. Ruth langsung memaling wajah dan menarikku menjahi pria itu.
“Anak baru..hai aku Vicko tapi panggil aja Vick.” Pria tinggi dengan dagu panjang tersenyum.
“Sarah Saphira” jawabku sambil mengulurkan tangan. Wajah mereka sama dengan Lyra saat di kamar. Bingung. Namun Vick menyambut tanganku. “Oh.. Sarah..,"ucap pria beralis tebal tadi mendekatiku.
“Terus kenaapa kamu jadi maju..” kata Vick dan menahan langkah Jo. Aku hanya tertawa melihat wajah polos itu. Satu pria bermata hitam berkilau itu masih tersenyum tanpa kedipan melihatku. Entah mengapa aku merasa hilang percaya diri. Tatapan itu seperti tokoh antagonis yang sedang berencana membunuhku malam ini. Ruth langsung menarikku menjauhi mereka. Headmaster sudah berdiri di depan dan semua siswa mulai mematung. Dengan telinga panjang serta deguban jantung yg berlarian. Lirikan pria itu. Ya satu diantara Jo dan Vick. Membuat jantung berdegub melambat. “Kenapa nih? Aku semakin gemataran?” lirih hatiku dan seluruh tubuhku seakan mulai membeku. Aku menggigit bibirnya, dan tercengang saat Headmaster memanggil sebuah nama.
“Ha? Aku?”
“Iya kamu! Buruan!” seru Ruth mendorongku.
“Selamat pagi teman-teman saya Sarah Saphira dari .Jakarta.. SMU 11..” ucapku terhenti melihat murid-murid yang saling berbisik satu sama lain. Headmaster pun mempersilahkanku untuk turun.