Langkah Meka terhenti ketika tiba-tiba terdengar suara menggelegar bagai halilintar.
“Ka… MEKAA!”
Uh, itu ternyata teriakan Bunda yang memanggil.
Tapi,
Ups!
“Ooo….”
Panggilan itu menggugah konsentrasi Meka yang sedang memutar bola basket di atas jari telunjuknya. Si bola terlonjak tanpa ampun membentur rak yang berisi keramik-keramik kecil milik bunda. Sang bunda dan si anak melongo sesaat menyaksikan sepasukan kurcaci dan kendi-kendi mungil berhamburan ke lantai. Mata sang bunda langsung menusuk tajam ke tersangka. Si anak tak berani membalas tatapan membunuh itu.
“Keramikku!” pekik Bunda meratapi puing-puing keramiknya. Bunda lupa pada tujuan semula memanggil Meka.
“Maaf Bunda,” Meka ikutan membantu Bunda memungut serpihan keramik yang tercecer kemana-mana.
“Oh, keramik kesayanganku….” ratap Bunda, mendesah menatap Meka seakan ingin memasukkan Meka ke dalam Rahim lagi. “Kamu, jangan main bola dalam rumah!” kata Bunda yang kemarahannya lalu tertelan oleh rasa sedih.
“Yah habisnya, Bunda ngagetin Meka sih. Bolanya kan jadi ikutan kaget.” Meka membela diri.
“Ambilin sapu sana!” perintah Bunda masih dengan nada kesal.
Tanpa banyak komentar Meka langsung menurut perintah Bunda. Padahal biasanya, Meka tuh paling ogah diperintah-perintah, alasannya sih, kan ada Mak Suli, kenapa tidak dipekerjakan lagi? Jadinya gini deh, Bunda repot mengurus pekerjaan rumah aku jadi ikut terlibat. Huh, sebel banget! Tapi kali ini beda, sebagai tebusan rasa bersalah.
Meka sudah datang dengan sapu di tangan. Tapi karena terlalu bersemangat menaati perintah Bunda, sampai-sampai sapu yang akan dia serahkan secara formal layaknya pasukan pengibar bendera menyenggol deretan keramik yang masih bertengger.
“MEKAAA!” seru Bunda super marah.
“Yah, kena lagi deh,“ Meka meringis.
“Pergi-pergi!“ usir Bunda sebelum semua keramiknya pecah oleh Meka.
“Maafin Meka, Bunda.” ucap Meka bergegas kabur sebelum sapu yang dipegang Bunda berubah jadi sapu terbang.
Hiih, ngeri banget! Meka bergidik sendiri. Belum pernah dia melihat Bunda marah sampai sampai terbakar begitu.
Setengah berlari Meka menuju ke lapangan basket yang ada persis di depan rumahnya. Lapangan basket milik kompleks perumahan Meka. Di lapangan tersebut tampak tiga cowok sepantaran Meka sedang main basket.
“Ada apa, Ka? Kok kayak habis lihat hantu?” sapa Albi.
“Iya tuh, Bunda lagi kalap. Sampai keluar sungutnya.” ucap Meka disambut tawa Albi dan Vito.
“Hush!” tegur Gian. “Sopan Non, sama Nyokap juga,”
“Memang kamu buat dosa apaan?” tanya Albi.
“Kamu bisa lihat sendiri nanti.” sambar Meka sambil melemparkan bola basket ke ring. “Main yuk!”
“Dari tadi kami juga udah main.” jawab Vito. “Kirain kau bobo ciang dulu.”
“Bayi kalee, bobo ciang.” sahut Meka. “Kita mulai dari awal ya, aku sama Albi.”
“Huu, maunya!” sambar Vito.
“Ya udeh, ayo!” kata Gian menengahi. “Tenang Vit, kali ini kita kalahin mereka.”
“Nantang nih?” balas Albi yang kemudian toas dengan Meka. “Kita habisi mereka.”
Keempatnya mulai main seru. Bola didribel ke sana kemari, dioper kanan kiri, lawan mem-blok, saling oper lagi… lay up dan… haaaap, yaaak Gooool! Eh salah, sepak bola kali gol. Masuk ring! Berkali-kali tim Meka-Albi memasukkan bola.
Siang berikutnya lagi-lagi Meka dibuat kaget oleh sesuatu. Hmm… apa ini indikasi Meka punya penyakit jantung? Sudah dua hari ini Meka jadi gampang kaget. Saat pintu rumah terbuka seutas wajah yang sama sekali tidak ingin dilihat memajang senyum manis menyambut kedatangannya.
“Haah? Kamu?” Mata Meka mengerjap-ngerjap tidak percaya.
“Halo Kak Meka, selamat datang!” Seorang gadis berambut panjang dikuncir ekor kuda mempersilakan Meka masuk dengan sangat sopan seperti gaya pelayan bangsawan Eropa. Kaki sedikit mentekuk dengan salah satu kaki menyilang ke belakang. Tak lupa dua tangan mengembangkan rok mininya.
“Selvi? Ngapain kamu? Kapan datang?”
“Belum lama kok,” Selvi langsung memeluk Meka, “Kangen!”
“Apaan sih?” Meka melepaskan diri dari pelukan Selvi dan langsung lari ke kamar.
“Budhe, Kak Meka udah pulang!” panggil Selvi dengan lincah dan riang.
“Mana, Sel?”
“Lagi ganti baju.”
“Panggil gih, suruh cepetan. Kita makan siang bareng.”
“Oke,” Selvi menghormat ala tentara lalu berlari kecil menaiki tangga menuju kamar Meka.
“Kak, Kak Meka… udah selesai belum? Suruh cepetan tuh ama Budhe.” ketuk Selvi dipintu kamar Meka yang tertutup. “Kak…”
“Ih, berisik amat!” gumam Meka sebal.
“Kak, Selvi masuk ya?”
Meka yang baru saja selesai ganti baju bergegas ke pintu. Dia tidak mau mahluk asing dari planet lain itu merambah kamarnya.
“Aduh!” seru Meka ketika kepalanya terbentur pintu yang tiba-tiba dibuka Selvi. Spontan Meka mendelik galak ke Selvi sambil memegangi jidatnya yang terasa nyut-nyutan.
“Aduh, maaf Kak!” ucap Selvi cepat. “Sakit?” Selvi senyum-senyum geli.
Meka diam, langsung ngeloyor gitu aja ke ruang makan yang ada di bawah tangga persis. Selvi dicuekin.
“Selvi, ayo, makan yang banyak.” kata Bunda.
“Selvi biasa makan segini, Budhe.” Selvi tersenyum manis, “Takut gemuk.” ucapnya lagi sambil melirik Meka.
“Apa? Memang aku gemuk?”
“Nggak, Kak. Cuma Kak Meka badannya besar, kekar.”
Meka tambah sewot.
“Kak Meka-mu ini hobi olahraga, Sel. Makanya badannya kekar. Kamu juga harus rajin olahraga biar sehat seperti Meka.”
“Ih Budhe, kekar itu kan nggak cantik.”
Meka hanya diam berusaha secepat mungkin menghabiskan nasi yang ada dalam piringnya. Malas menghadapi sepupunya yang centil dan sok imut itu. Suaranya itu lho… arrrghh… memuakkan! Cempreng kayak anak-anak. Terlalu dibuat-buat.
“Wah, dari dulu masakan Budhe nggak berubah, masih enak aja!” puji Selvi membuat hati Bunda berbunga-bunga.
“Ah, kamu tuh Sel, bisa aja!” kata Bunda tersipu-sipu sambil memegang pipinya.
Aih, Bunda apaan sih! Meka malah merinding dengar pujian Selvi. Pasti ada maunya.
“Beneran lho, iya kan Kak Meka. Makanya Selvi jadi kangen terus pengin ke sini.”
“Setelah di sini kamu nggak perlu kangen-kangenan lagi, Selvi. Kamu bisa terus makan masakan Budhe sampai bosan.” Bunda tertawa.
“Ya enggaklah Budhe, masa bosan.” tanggap Selvi.
“Oh ya Ka, ada kejutan untukmu,” kata Bunda senyum-senyum sambil sesekali melirik Selvi.
“Kejutan?” Meka melirik Selvi yang juga ikutan tersenyum dengan mulut penuh makanan.
“Mulai hari ini Selvi akan tinggal bareng kita.” kata Bunda sebelum menyendok sesuap nasi ke mulutnya. Mata Bunda tampak bersinar.
“Apa?” Meka tersedak. Air minum yang baru diteguknya menyembur keluar bak tsunami yang mem-bah. “Uhuk uhuk huk….”
“Meka, hati-hati, Sayang!” kata Bunda.
“Pelan-pelan Kak, minumnya.” Selvi beranjak sigap dan menepuk pelan punggung Meka.
“Minggir!” hardik Meka. Selvi kembali ke kursinya. “Beneran Bunda, Selvi mau tinggal di sini?”
“Iya,” sahut Bunda mantap.
Meka menatap Selvi yang masih saja menampilkan senyum manis yang baginya sungguh memuakkan. Oh tidak! Mahluk planet lain ini?
“Sampai kapan?” selidik Meka.
Bunda tersenyum senang, “Selvi akan tinggal di sini untuk selamanya. Dia akan menjadi bagian dari keluarga kita.” kata Bunda dengan bangga.
“Se—slamanya?” Meka membelalak.
“Iya, kamu pasti senang, Ka. Mulai sekarang kamu punya teman main dan ngobrol. Jadi nggak kesepian. Dan kamu nggak perlu main sama anak laki-laki lagi.”
Meka cuma nyengir lalu melirik Selvi dengan sebal.
“Oh ya, Senin besok Selvi akan masuk ke sekolah kamu, nanti kamu…”
“A—apa?” sontak tubuh Meka lemas, tubuhnya serasa tidak bertulang. Selvi masuk ke sekolahnya juga? OH NO! NO WAY!
Kok bisa sih? Meka masih tidak percaya. “Pasti mimpi, pasti mimpi” gumam Meka berkali-kali sambil menepuk-nepuk pipinya.