“Kamu membunuhnya.”
Membunuh siapa?
Pertanyaan itu tidak terlontar. Mendadak aku baru sadar bahwa yang menyatakan kalimat baru saja adalah diriku sendiri. Di hadapanku, berdiri seorang pria berkaca mata yang melemparkan seringai jahat ke arahku.
“Ya. Kamu harus tahu betapa menyenangkan melihatnya mati. Kurasa akan berlaku hal yang sama juga untukmu, Bhanu.”
Mengapa dia menyebut ayahku?
Aku tidak mengenal pria itu. Tapi meskipun aku kebingungan, tubuhku bergerak dengan sendirinya seolah-olah ini bukanlah tubuhku. Karena detik berikutnya pria di hadapanku itu menyambar furnitur keramik dari atas meja yang berada tepat di balik bahuku. Pria itu berniat menghantamkannya pada kepalaku, namun gagal. Refleks baikku membuat keramik itu menghantam satu lenganku dan pecah berkeping-keping. Lantas, kulayangkan tendangan pada perutnya dan membuatnya terhuyung mundur.
Seolah-olah tubuhku ini tak lagi mengenal kendali, kudaratkan dua bogeman pada wajah dan rahang lawanku, disusul tendangan yang mendarat pada dadanya sehingga membuat tubuh pria itu menghantam sofa yang terguling ke belakang membawa serta sosoknya. Kulompati sofa dan mendapati wajah lawanku telah separuh babak belur. Namun di bawah bobot tubuhku, kutarik kerah bajunya dan kulayangkan sebanyak mungkin tinju pada mukanya. Ada yang terasa membakar dadaku hingga membuatku semarah ini.
Tak lama, terdengar suara pelatuk yang ditekan dari balik tubuhku. Kutolehkan kepala dengan kejengkelan luar biasa karena kegiatanku diinterupsi. Erangan pria di bawahku mengudara saat dadanya kutekan dan kukunci dengan lututku.
Aku terkejut dan tidak terkejut dalam satu waktu. Ada pusaran dimensi yang mendadak menarikku tepat ketika aku melihat wajah seseorang yang membidikkan pistol padaku. Kini, aku tidak lagi tengah menindih pria asing berkaca mata. Sebaliknya, aku berdiri di ujung ruangan tempat terjadinya perkelahian baru saja. Mataku membeliak lebar.
Karena yang tengah menindih musuhnya di depan sana adalah ayahku, dan sosok yang menodongkan pistol padanya adalah orang yang kukenal.
Seseorang yang disebut oleh kekasihku Papa.
Tubuhku terhempas dan sensasi nyaris terjatuh menderaku sedetik sebelum mataku terbuka lebar. Langit-langit kamar hotel, selimut yang membungkus dada telanjangku, dan keberadaan Ara yang terlelap di sampingku. Kudesahkan napas pelan menyadari itu semua hanya mimpi.
Namun, sungguhkah itu hanya mimpi?