Read More >>"> THE CHOICE: PUTRA FAJAR & TERATAI (FOLDER 1) (Mata Surgawi) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - THE CHOICE: PUTRA FAJAR & TERATAI (FOLDER 1)
MENU
About Us  

“Kamu nggak ingat?” Kutatap Radi yang melemparkan pandangan kepadaku dengan alis terangkat naik.

“Enggak sih…” gumamku lirih. Namun, detik berikutnya memori yang enggan mampir di otakku untuk kuingat itu seolah-olah muncul hanya untuk meruntuhkan harga diriku. Aku terpekik dengan mata melotot ngeri seperti dihadapkan oleh malaikat maut. Minuman, mabuk, pemuda polos, dan… ciuman! “Mampus.”

“Yah. Syukurlah kalau kamu ingat.” Ujarnya seraya melengos.

Jantungku berpacu cepat. Kurasakan sekujur tubuhku merinding mengingat apa saja yang kulakukan malam itu. Bodoh, Zeline, bodoh! Ingin rasanya kukubur dalam-dalam mukaku ke dalam tanah saat ini juga. Ah, siapa pun, bawa aku pergi dari sini! Di mana pun itu asalkan tidak di depan muka anak ini. Mau ditaruh di mana mukaku, duh, Gusti.

Aku bahkan mulai mengingat mengapa aku bertindak memalukan seperti itu. Salah sendiri ia terlalu menarik di mataku—setidaknya malam itu—dengan kepolosannya yang seperti bocah kecil di sarang orang-orang dewasa. Ketika di sekitarku hanya terlihat lelaki-lelaki hidung belang. Ia duduk tenang seolah-olah ia jelmaan malaikat yang diutus turun ke bumi dan dilarang Tuhan berbuat dosa. Dan aku, yang sudah tak waras lantaran mabuk, menghampirinya karena merasa tertantang. Mengoceh entah kalimat apa saja. Karena yang kuingat adalah bagaimana lidahku melumat bibirnya sekilas. Kukatakan kepadamu, itu bukan ciuman sebenarnya. Karena ia tidak membalasnya!

Ah, situasi macam apa ini.

“Itu bukan ciuman ya!” Ia berjengit mendengar suaraku yang tiba-tiba. “Itu bukan. Maksudku, memang bukan! Kamu nggak membalasnya.”

“Jadi, kamu mau reka ulang adegan?” Spontan kutendang kakinya dan membuatnya mengaduh. “Kok ditendang?”

Menahan kedongkolanku yang tercampur rasa malu sampai puncak ubun-ubun, kukaitkan rambut ke belakang telinga. “Sorry. Aku mabuk dan bertindak memalukan.”

Kudengar suara desahannya di sampingku. “Yah, kamu memang salah. Kamu udah menodai aku, tahu.”

Apa katanya? “Aku kan udah minta maaf!” Sergahku jengkel. Namun ia tak menghiraukanku, memilih untuk sibuk dengan ponselnya ketika benda itu berdering. Menjawab telepon, ia pergi meninggalkanku sendiri di sini. Maka, kuputuskan untuk menatap alam yang tidak pernah kutemui di Jakarta selama ini. Apa yang tidak pernah kurasakan di ibu kota, segalanya kini baru kurasakan. Tanaman serba hijau, air kolam yang memantulkan cahaya matahari, dan cerewetnya suara burung-burung yang bersembunyi di dahan-dahan pohon. Kuhirup kuat-kuat aroma segar untuk memenuhi paru-paruku.

Ini, sih, namanya surga!

Tunggu, aku belum tahu ini di mana. Dan koperku! Nyaris saja aku melupakan benda keramat yang akan sangat kubutuhkan ke depannya itu. Aku berlari gesit mencari keberadaan Radi di ruang tamu. Ia terlihat ongkang-ongkang kaki di atas kursi panjang.

“Anterin aku ambil koperku, dong.”

Ia menoleh, alisnya mengerut dalam. “Apa? Ke mana?”

“Plaza.”

“Haish. Kamu gila? Mager ah.” Ia kembali memusatkan perhatiannya pada ponsel.

“Kalau begitu pinjemin aku baju ganti. Nggak ada baju nih. Semua ada di koper.”

Mendengar ocehanku, ia berdecak kesal dan beranjak berdiri. Di belakangnya aku mengekor seperti anak ayam kepada induknya. Membuka lemari, ia menarik kaus asal dan dilemparkan tepat terkena mukaku. Aku mendesis dan melotot padanya. Sebelum ia pergi, kutahan pergelangan tangannya, ia menoleh dengan raut ingin meledak. Aku berbisik di samping telinganya, “Aku nggak tahu kamar mandinya.”

“Haiiish.” Lantas, ia berjalan mendahuluiku menuju arah belakang. Sampai di ambang pintu, ia menunjuk tempat di mana dapat kulihat pintu khas kamar mandi. Meringis kecil, kugumamkan terima kasih padanya. Namun ia tak menjawab apa-apa dan meninggalkanku begitu saja. Kutatap kepergiannya sambil menahan dongkol. Apakah ia manusia es?

Selama aku membersihkan diri dari aroma alkohol, batinku berkali-kali merutuk betapa dinginnya air di sini. Gila. Ini air gunung memangnya?

Keluar dari kamar mandi, ibunya Radi—yang bahkan aku belum tahu namanya siapa—menyapaku. Beliau tengah mengaduk-aduk tehnya yang masih mengepulkan asap. Senyumannya yang hangat begitu menenangkan. Apakah aura orang Jawa memang semenarik itu? Tidak ibunya, tidak pula anaknya.

Baru saja aku bilang apa?

“Nak Zeline, kalau mau bikin teh atau sesuatu, bikin langsung saja yo. Atau minta tolong bantuan Radi. Hari ini ibu ada urusan di luar sebentar.”

“Ah iya, Bu. Beres. Saya bakal sering-sering merepotkan anak Ibu.”

Wanita itu mengangkat cangkir tehnya dan berjalan menghampiriku, lantas ia berbisik di depan telingaku seakan-akan rumah ini disadap orang-orang intel. “Hati-hati. Radi anaknya memang begitu. Kurang ramah sama orang lain.”

“Iya. Dia sensi kalau sama saya.”

“Kalian ngapain?” Baru saja dibicarakan diam-diam, sosoknya muncul dengan kerutan di dahinya. Ia berjalan menghampiri kami berdua. “Bisik-bisik kayak ibu-ibu rumpi aja.”

“Heh, mulutmu ya. Ibumu ini juga ibu-ibu, lho.” Wanita itu menoleh kepadaku, dan tersenyum manis. “Ibu tinggal dulu ya,” ujarnya, menepuk-nepuk punggungku.

“Iya, Bu. Nggak apa.”

“Nanti malam kita ke sana. Ambil kopermu.” Begitu saja, lantas ia berbalik dan berjalan pergi meninggalkanku. Memasuki kamar, ia duduk di atas kasur dan mulai membuka laptop. Mataku menjarah setiap sudut kamarnya. Memang, seingatku, ketika aku bangun tadi, mataku menangkap keberadaan beberapa lukisan di kamarnya. Namun aku belum terlalu peka, lantaran panik perihal koperku. Kini, aku mendapatkan kesempatan untuk melihat-lihat.

“Ini semua karyamu?”

Menoleh sekilas ke arahku, ia kembali fokus pada layar laptopnya. “Hm.”

“Sebanyak ini? Wah.” Aku berhenti di depan lukisan berjudul Anak-Anak Embongan. Apa artinya? “Di, embongan itu apa?”

Matanya bergerak melirikku tanpa mengangkat kepala sama sekali. “Embongan artinya jalanan.”

Aku kembali menyusuri lukisannya yang lain. Ada banyak sekali, kukatakan kepadamu. Seharusnya ia memiliki galeri pribadi untuk karya-karya indahnya ini. “Kamu suka pelukis siapa? Affandi? Basuki Abdullah?” Kuhampiri ia dan duduk di sampingnya, “Kamu tahu lukisan Goya, nggak? Itu loh, yang judulnya La Maja Desnuda’.

Ia berdecak lagi dan mengangkat alisnya. “Iya tahu. Kenapa? Kamu mau dilukis telanjang juga?”

Spontan kupukul lengannya dan membuatnya mendesis. “Mulutmu tuh ya.”

Ia mendesah dan pada akhirnya memilih mengalihkan perhatiannya dari laptop kepadaku. “Di balik lukisan Maja karya Goya ada analisisnya.”

“Hah? Masa?”

“Iya,” jawabnya enteng. “Katanya, tubuh dan kepala dalam lukisan itu berasal dari orang yang berbeda.”

Keningku mengerut dalam. Aku tidak pernah mendengar dugaan seperti itu. Apa pula maksudnya? “Kamu tahu dari mana?”

Radi mengangkat bahunya dan mencebikkan bibir. “Novel.”

Fuck you.

Dan tawanya membahana mendengar umpatanku baru saja. Lantas, ia kembali menyibukkan diri pada novelnya. Kuangkat tubuhku dan berjalan menghampiri rak buku, di mana terdapat buku-buku yang berjajar rapi di sana. Tanganku, yang dihiasi kutek merah menyala itu menyusuri setiap judul di sana. Cantik Itu Luka, Babat Tanah Jawa, Dunia Sophie, Dunia Anna, Dunia Cecilia, Dunia Maya, Sayap-Sayap Patah…

Tunggu. Laju tanganku kembali dan berhenti pada buku berjudul Dunia Maya. Menarik benda itu dari barisannya, kupamerkan buku itu kepada Radi yang sibuk melarikan jemarinya di atas keyboard. “Novel ini yang tadi kamu maksud?”

Ia menggerakkan matanya melirikku sekilas. “Hm.”

Duduk di sampingnya lagi, kubuka buku karangan Jostein Gaarder di tanganku. Aku bukan penikmat karya sastra, apalagi buku-buku berbau filsafat. Bisa-bisa otakku meradang bila berhadapan dengan hal-hal seperti itu. Dan, buku ini, belum sampai lebih lima puluh halaman, kututup bukunya dengan perasaan kesal. “Ah, gak tahu deh! Aku nggak paham.” Lantas aku beranjak berdiri untuk mengembalikan novel dalam genggamanku pada tempatnya semula. Berbalik badan, Radi mengulum senyumnya. Berniat mengejekku. Kulipat tangan di depan dada. “Aku nggak bakal bisa nyantol kalau berurusan sama filsafat. Mending menghabiskan waktu berjam-jam menonton pertunjukan teater daripada harus membakar otak memikirkan kalimat-kalimat rumit.”

Di tempatnya, Radi menutup laptopnya perlahan. “Filsafat itu bagus tahu. Kamu bisa merenungkan apa yang belum pernah kamu renungkan selama hidup.”

Kuangkat sebelah alis dan memutar bola mata. “Otakmu dan otakku beda ya, asal kamu tahu aja.” Dan ia terbahak lagi, lebih keras. Aku baru tahu ia memancarkan aura yang jauh lebih memikat ketika tertawa dan tersenyum daripada harus selalu memasang wajah sinis. Tak kusangka, dari sekian banyaknya artis dan model terkenal yang menjadi idaman wanita, mataku justru terpesona oleh pemuda desa berkulit kecokelatan dengan mata tegas ini. Serta bibir seksi yang melebihi bibir Jefri Nichol. Dan bibir itu pernah singgah untuk kucicipi…

Ah, aku baru saja memikirkan apa? Kugelengkan kepala perlahan mengingat-ingat kejadian memalukan itu.

Radi berjalan menghampiriku dan berhenti di depan rak buku. Mengambil sebuah buku karya Jalaludin Rumi. Ia membuka sekilas benda itu, seolah-olah memikirkan sesuatu. Meletakkannya di atas meja, ia menoleh kepadaku yang berdiri menyamping di sisinya. “Dari semua yang udah aku baca, aku tahu satu hal. Bahwa eksistensi cinta bisa beragam artinya. Namun satu hal yang pasti, Zeline, adalah bahwa cinta termasuk bagian dari alam semesta dan tubuh manusia.”

Kutatap matanya dari jarak sedekat ini. Melihat adanya warna cokelat yang berusaha mengalahkan kelegaman matanya. “Kamu sendiri?” Ia berkedip sekali mendengar pertanyaanku.

“Apanya?”

“Cinta yang bagaimana, yang kamu harapkan bakal kamu alami?”

Mulutnya terbuka, namun tertutup lagi. Urung mengatakan sesuatu. Lantas kepalanya terteleng ke satu sisi. “Sejujurnya, aku nggak tahu. Aku nggak mau mendikte rencana Tuhan.”

Kuamati lagi kedua bola mata pribuminya itu. Ia benar-benar misterius.

*

Aroma menyengat dari sampah-sampah yang dibakar Radi menguar sampai di tempatku berdiri. Sesekali aku berbalik untuk melihat pemuda yang masih berkutat di sekitar api itu, lantas melabuhkan kembali perhatianku pada rumput liar panjang-panjang di seberang sana. Membungkukkan badan, kupetik setangkai dandelion bertepatan kudengar suara gesekan kaki di atas rerumputan. Disusul kemunculan Radi di sampingku. “Musim hujan rumputnya tinggi-tinggi. Aku belum sempat motong.”

Mengabaikan kalimatnya, aku meniup tangkai bunga dandelion di tanganku dan melihatnya terserpih di udara. Kusunggingkan senyuman lebar. Cantik sekali. “Kamu tahu nggak? Seumur-umur baru kali ini aku tahu langsung bentuk bunga dandelion. Ada ya ternyata di sini. Kamu beruntung lho bisa tinggal di surga kayak begini.” Membungkuk, kuambil setangkai lagi dan mengamatinya.

“Memangnya di Jakarta nggak ada?” Tanyanya seraya mengamatiku dari samping.

Kudesahkan napas berat. “Nggak ada. Aku cuma bisa lihat-lihat di internet dan buku-buku.” Ia diam tak menjawab kalimatku. Pemuda ini memang irit bicara. “Oh ya. Rencananya, setelah ambil koperku, aku mau cari hotel buat aku tinggal sementara di sini.”

Kudengar dengusannya di samping. “Yakin mau cari hotel? Nggak takut dikenali masyarakat?” Menepuk jidat, baru kuingat hal sepele semacam itu. Bila aku menampakkan diri di depan satu orang saja yang mengenaliku, bisa-bisa pelarianku ini akan terendus media. Sudah cukup dari keluarga Radi yang mengetahuinya. Aku tidak bisa membayangkan bila keberadaanku benar-benar tercium paparazzi. “Seperti kata Ibu, kamu bisa tinggal di sini selama yang kamu mau.”

Kugigit bibir bawah merasa bahwa sudah terlalu banyak merepotkan. “Makasih ya.”

“Mau lihat anjing, nggak?”

“Hah? Ada memangnya?”

Ia mengangguk antusias, lantas menggandeng tanganku dan berlarian kecil melewati jalan kecil yang mengikuti batas kolam. Jalanan sedikit becek karena musim hujan yang jatuhnya lebih sering di daerah ini, sehingga membuat kami bergerak lebih hati-hati. kami berhenti di depan gazebo kayu sederhana tepat di tengah petak-petak kolam. Di pohon samping gazebo dapat kulihat seekor anjing yang ditugaskan untuk menjaga kolam-kolam itu bebas dari pencuri. Dari sini, dapat kulihat dengan jelas rumput-rumput panjang serta ilalang yang dapat terjangkau mata dari rumah Radi. Ternyata asalnya dari rawa-rawa.

“Hai, tampan.” Kuhampiri anjing berbulu cokelat itu dengan hati-hati, untuk berjaga-jaga apabila ia anjing pemarah selayaknya anjing penjaga pada umumnya. Aku berjengit kaget ketika anjing itu menggonggong ke arahku. Spontan, lenganku ditarik menjauh oleh Radi.

“Hati-hati. Dia baperan.” Lantas ia kembali duduk di dalam gazebo, merebahkan tubuhnya. Duduk di sampingnya, kupejamkan mata seraya mencium aroma menenangkan dari tempat ini. Kurasakan angin menerpa wajahku.

“Radi.”

“Hm.”

“Dari tadi aku belum bertemu Ayahmu.”

Tak ada sahutan darinya. Namun, tak lama, ia beranjak duduk menyilangkan kaki. “Kamu nggak bakal ketemu dia.”

“Kenapa?” Bisikku, selirih terpaan angin hari ini.

Radi menengadahkan kepalanya menatap langit biru berhiaskan awan yang menyerupai gumpalan kapas. “Udah sama Tuhan.”

Seketika kurutuk diriku sendiri. Bodoh sekali. Seharusnya kukunci saja bibirku ini agar tidak bertanya aneh-aneh. “Maaf.” Ia hanya melipat bibirnya membentuk satu garis lurus. Obrolan mendadak mati di antara kami. Seketika aku sangat menyesali pertanyaan kurang ajarku itu.

Kami kembali setelah hari memasuki senja. Bahkan dari tempat ini, yang belum penuh bangunan-bangunan penduduk dan hanya sawah serta rawa, dapat kulihat matahari terbenam dengan warna keemasannya yang berkilau. Di dalam rumah, Kumala dan Ibu menyambutku dengan baik. Rupanya, ia sudah menyiapkan makanan di atas meja makan. Tidak ada agenda makan malam di dalam masyarakat sini, begitu kata Radi. Jadi mereka bebas memakan apa pun bahkan bila melewati jam makan malam. Namun, meskipun begitu, kami menyempatkan makan bersama lantaran keberadaanku di sini.

Sekitar jam tujuh malamnya, kudengar suara dua pemuda bercakap-cakap dari luar. Beranjak dari kasur, aku berjalan pelan ke ruang tamu dan mendapati Radi tengah berbincang dengan kawannya. Mereka berbicara dengan bahasa Jawa sambil menyebut-nyebut kata Trawas dan dolan.

Menyadari kehadiranku yang bagaikan hantu, mereka berdua serentak menolehkan kepala menatapku.

“Ah. Zeline, ini Dirja. Temanku. Dia juga yang bersamaku malam itu di club.”

“Makasih ya. Kalau nggak ada kalian, aku nggak tahu bakal gimana di sana.”

Duduk di kursi samping Radi, pemuda itu membuka suara. “Bentar lagi aku mau keluar sama Dirja. Temenku, Pras, lagi nggak di Sidoarjo. Besok aja ya ambil kopernya.”

Kucebikkan bibir dan mendesah pasrah. “Ya udah deh kalau gitu.”

“Mau ikut atau di rumah aja?”

“Ikut dong.” Daripada aku berdiam diri di sini seperti orang tolol. Kendati ada Ibu dan Kumala, rasanya pasti akan canggung. Selain itu, aku ingin lebih mengenal tempat-tempat di sini. “Aku ambil jaket dulu ya,” ujarku. Lantas, aku melesat pergi ke kamar Radi dan menyambar jaketku. Sebelum sempat aku melewati pintu, sosok Radi tiba-tiba muncul dan mendorong bahuku agar kembali masuk ke dalam. Membuka lemari, ia lemparkan celana training yang dengan sigap aku tangkap.

“Nggak usah pakai celana pendek. Di sana dingin.” Setelah mengucapkan itu, ia segera enyah dari dalam kamarnya.

Kupandangi kepergiannya dengan seulas senyuman samar.

*

Wah. Gila!

Aku perlu memeluk dan mengusap-usap lenganku yang sudah terlapisi jaket saking dinginnya. Kami berangkat pergi menggunakan motor yang Radi pinjam dari bocah SMA bernama Ian lantaran motornya masih berada di tempat parkir kafe kawannya. Ia juga mengatakan bahwa kawannya itu tidak bisa ikut bergabung karena masih ada urusan. Masa bodoh dengan semua itu karena berkali-kali aku menggigil kedinginan di tengah jalan yang semakin naik ke atas. Karena tak tahan, kususupkan tanganku ke dalam saku jaket Radi dan menyembunyikan mukaku di punggungnya. Udaranya sangat dingin, belum lagi bila dini hari.

Pada akhirnya aku bisa—sedikit—bernapas lega ketika sampai di tujuan. Warung kopi—atau kafe?—yang kami datangi memiliki banyak gazebo yang tersebar di sekitarnya. Juga ada tempat khusus bagi pelanggan yang lebih memilih lesehan untuk menikmati pesanannya. Kami bertiga memilih gazebo yang letaknya di dekat jalan, sehingga aku bisa melihat lalu-lalang kendaraan bermotor.

Kudengarkan suara samber sekumpulan pemuda di gazebo sebelah yang menyanyikan lagu berbahasa Jawa seraya memainkan gitar. Tak lama, pesanan kami datang. Kudengarkan saja pembicaraan kedua pemuda di sampingku ini sambil membagi perhatianku pada jalanan yang mulai sepi pengendara. Ada banyak penginapan dan motel di sekitar sini, kukatakan kepadamu. Dan kebetulan, di seberang kafe ini, terdapat penginapan kecil. Keningku mengernyit ketika datang sepasang kekasih yang bila kutilik melalui postur tubuh dan wajah, mereka masih pelajar.

“Jangan kaget, Mbak Zeline,” sahut Dirja yang menyadari arah pandanganku. “Di sini pemandangan kayak begitu udah biasa. Nggak yang tua nggak yang muda. Mereka hobi kimpoy.” Radi terkekeh-kekeh di tempatnya.

“Masa nggak ada patroli?” Tanyaku sentimen. Yang benar saja. Mereka masih pelajar!

Dirja mengangkat bahu. “Entah.”

“Ada beberapa kafe kecil di sekitar sini yang merangkap sebagai rumah bordil.” Di sampingku, Radi menyahut setelah menyeruput kopi hitamnya. “Kalau kamu udah lama tinggal di sini, kamu bakal tertawakan aja setiap kali dengar kata Songgoriti, Trawas, dan Tretes.”

“Kenapa?”

Radi dan Dirja saling melemparkan tatapan. Radi mengangkat bahu tak acuh pada kawannya itu. Menatapku, Dirja yang membuka suara, “Surganya prostitusi. Yah, meskipun ada berita kalau masyarakat di pegunungan Tretes sempat mengadakan festival atau bedebah lainnya buat menghilangkan citra buruk di tempatnya. Tapi, citra yang sayangnya udah telanjur buruk itu susah dihilangkan dalam tubuh masyarakat.” Ia menyeruput kopinya lagi. Lantas membuka suara kembali. “Bahkan, kita berdua pernah mampir ke kafe itu. Inget nggak kamu, Di?”

“Kamu sama Radi pernah ke sana?” Tanyaku, serupa petir yang langsung menyambar dahan-dahan pohon dan mematahkannya seketika. Melihat Dirja mengangguk dan lantas tertawa, kulirik Radi yang menampakkan ekspresi biasa saja.

“Waktu itu kita di sana cuma mau ngopi. Tapi, nggak disangka-sangka, ada satu cewek nyamperin dan bilang: “Mas, mau sewa kamar?”. Sebenarnya aku sih pengen-pengen aja ya. Tapi kayaknya jahat banget aku kalau ninggalin Radi yang polosnya nggak ketulungan ini sendirian. Ciuman aja nggak pernah dia.” Tawa Dirja membahana. Diam-diam aku menyembunyikan senyuman lantaran menyadari fakta bahwa aku menjadi yang pertama menyinggahi bibirnya. Dan itu semakin membuatku tertantang. Mengangkat kepala dan menoleh pada Radi, baru kusadari ia tengah melempar pandangan padaku sebelum dialihkannya ke tempat lain.

Kuangkat cangkir kopiku seraya mendengar ocehan Dirja yang lebih mendominasi.

***

Mendengarkan ocehan Dirja tentang tawaran sewa kamarnya itu, diam-diam kulirik gadis di sampingku yang sedang mengulum senyumannya. Sialan. Ia pasti tengah menertawakan aku dan merayakan kemenangannya karena berhasil menjadi yang pertama menyentuh bibirku.

Detik berikutnya ia menolehkan kepala menatapku. Secara instingtif, kualihkan kontak mata darinya dan memandang ke arah lain. Apa pun selain matanya. Kurasakan jantungku bagai genderang yang ditabuh.

Kami pergi meninggalkan tempat itu ketika lewat tengah malam karena kami harus menempuh perjalanan yang cukup lama bersama udara dingin yang menembus hingga tulang. Kubiarkan gadis di belakangku menyusupkan tangannya ke dalam saku jaketku—lagi!—dan merangsek mendekat, bahkan hampir merengkuh tubuhku. Meskipun begitu, tetap kurasakan tangannya menggigil.

Kudengar suara giginya yang bergemelatuk di dekat telingaku. “Radi, ini dingin banget anjir.”

Memutar kepala ke samping, kukeraskan suara membalas kalimatnya, “Ya terus aku harus gimana?”

Ia berdecak sekali tanpa menjawab pertanyaanku. Gigilannya mulai mereda ketika kami sudah menjauhi ketinggian. Tangannya semakin merileks. Aku dan Dirja berpisah di persimpangan. Memarkir motor di samping rumah Ian, kulihat pintu rumahnya sudah tertutup. Mungkin ia sudah tidur. Keadaan di luar hening dan sepi. Memasuki rumah, lampu ruang tamu dan tengah sudah mati. Masuk ke dalam, aku mengambil satu bantal. Namun sebelum aku enyah dari sana, suara Zeline menghentikanku.

“Anu, Di.”

“Apa?” Kutatap ia dengan alis terangkat naik.

“Makasih, buat hari ini.”

Matanya yang menyorot hangat dan keberadaan senyuman kecil di bibirnya itu kupandangi. Berkedip dua kali, aku berbalik dan meninggalkan kamar tanpa mengatakan apa pun. Usai menutup pintu, aku mengumpat untuk dadaku yang berdetak dua kali lebih cepat ini.

*

Paginya, kurasakan keberadaan selimut yang menutupi tubuhku. Beranjak duduk, keningku mengernyit. Tidak mungkin Ibu yang meletakkannya, karena ini adalah selimut di kamarku yang kupikir akan dikenakan oleh Zeline.

Mungkinkah dia?

Menggelengkan kepala, aku mencoba mengabaikannya. Tak kutemukan keberadaan gadis itu di kamar ketika aku masuk untuk mengembalikan bantal. Kasur sudah tertata rapi. Kusambar handuk di gantungan dan melesat menuju kamar mandi. Baru sampai di ambang pintu, pemandangan Zeline yang bergabung dengan Ibu di dapur membuat langkahku terhenti.

“Lho, udah bangun toh?” Suara Ibu terdengar menyadari kehadiranku. “Lihat nih. Zeline bantuin Ibu. Udah cocok kan kalau dijadikan istri.”

Gadis itu menolehkan kepala dan menatapku. Diulasnya senyuman kecil yang sama. Yang mampu meruntuhkan imanku seketika.

“Enggak,” dustaku. Lantas berlalu masuk ke kamar mandi.

“Dasar. Anak siapa sih dingin sekali begitu.” Kudengar gerutuan Ibu dari luar.

Selesai membersihkan diri, kutatap mereka sekilas sebelum pergi dari sana. Di depan, kulihat Kumala tengah mengurus tanaman kaktusnya. Ia berseru mendapatiku berdiri melipat tangan di depan dada seraya bersandar pada daun pintu.

“Mas Radi! Besok pagi-pagi lari, yuk, sama Kak Zeline.”

Kukernyitkan hidung mendengar permintaan konyolnya. “Enggak ah. Ngapain.”

“Yah… ayolah! Lagian Mas, kan, nggak pernah keluar sama aku juga. Masa gak mau sama adik sendiri?”

Menatap adikku yang berdiri dengan mata menyorot memohon, membuat desahan pasrahku keluar. “Hm.” Mendengar itu, matanya melebar dan menghambur memelukku. “Udah, kan? Mas mau nulis di belakang dulu. Nanti kalau Ibu tanya, bilang aku di gazebo ya.” Setelah mendapatkan gestur oke dari Kumala, aku angkat kaki dan mengambil laptop sebelum berjalan menuju gazebo.

Udara pagi yang segar begini pas sekali bila dibuat untuk menulis. Anjing penjaga di pohon samping gazebo masih melengkungkan tubuhnya, tertidur. Bersama suara-suara burung di dahan-dahan pohon sebagai musik tak langsung yang menemaniku, tanganku berlari lancar di atas keyboard. Sesekali kuangkat kepala untuk mendapatkan ide cerita.

Bila suasana hatiku sedang ingin membuat sketsa atau melukis, aku akan nongkrong di tempat ini sendirian demi mendapatkan ketenanganku. Dan kembali ke rumah bila waktu sudah memasuki tengah hari.

“Sarapan dulu, Radi.”

Aku berjengit kaget mendengar kemunculan suara tiba-tiba itu. Menolehkan kepala, sudah kudapati Zeline bersama nampan dengan sepiring nasi dan secangkir teh hangat di atasnya.

“Nanti aja kali ah.”

“Sekarang, Dewangga Fajar Pradipta.” Ia mengeja nama lengkapku dengan sorot mata tak main-main. Kutatap ia untuk beberapa saat. Sialan. Ia punya kekeraskepalaan yang mirip sekali dengan ibu. Mendesah, kupindah laptop dari atas pangkuanku dan menjamah sepiring nasi goreng di atas nampan.

“Tadi Ibu kamu ngajarin aku bikin nasi goreng pakai sambal yang diulek,” katanya, seraya mengambil posisi di sampingku. “Gila. Begitu ya rasanya. Capek banget. Mana mataku tadi sempat nangis. Enak nggak?” Ia menolehkan kepala, menatapku yang tengah mendengarnya mengoceh sambil menyendokkan suapan demi suapan.

“Nggak,” dustaku. Padahal rasanya sudah lebih dari cukup bagiku. Ia memberengut kesal.

“Masa sih? Padahal tadi udah nurut instruksi lho.” Ia memajukan tubuhnya padaku, lantas menyambar sendok dan mencicipi masakannya sendiri. Untuk beberapa detik ia tampak berpikir, sedangkan lidahnya bergerak menilai. “Nggak ada masalah kok. Lumayan. Apa lidahmu yang lagi sakit ya?”

“Ngaco.” Teringat sesuatu, kukernyitkan dahi padanya, “Kok, nggak ikut makan?”

“Udah, tadi. Sebenarnya Ibu masak sayur lodeh sih. Tapi aku iseng tanya masakan kesukaanmu apa, dan minta diajarin.” Deretan giginya ia perlihatkan, tersenyum lebar. Tak memedulikan kesehatan jantungku sama sekali. Kucoba untuk mengabaikannya lagi. Tak mendapatkan respons dariku, ia menyambar laptopku yang masih terbuka dan kemudian memangkunya. “Kamu lagi nulis ya?” Ia amati sejenak dengan ekspresi serius membaca tulisanku. Detik berikutnya, ia mengangkat kepala. “Tulisan kamu bagus. Kenapa nggak nulis novel aja?”

“Belum ada niatan.”

“Jadi ini cerpen?”

“Hm. Kan udah kamu baca.”

“Setengah.”

Kuputar bola mata, disambut dengan tawanya yang meledak di sampingku. Ia kembali menyelami ceritaku. Meletakkan piring di atas nampan, kujamah cangkir berisi teh di sana. Berdeham, aku mencoba melempar pertanyaan.

“Tadi malem… nggak kedinginan, kan?”

“Hah?”

“Aku nggak ngulang pertanyaan,” ujarku, melempar pandang pada ilalang panjang di hadapan mataku.

“Ah, itu. Kan aku tidur di dalem.”

“Kamu yang ngasih aku selimut?” Tanyaku tepat sasaran. Ia berkedip beberapa kali, memindah laptop dari pangkuannya dan menyematkan rambut ke belakang telinga.

“Kenapa?” Ia balik bertanya. Suaranya serupa desing peluru yang melesat di dalam partikel udara. Melihatku yang menatapnya tanpa berniat menjawab, ia mencebikkan bibir. “Abis kamu tidur di luar sih. Ya kupikir kamu butuh selimut.”

Oh, begitu. Aku melengos, tak menanggapinya dengan kalimat apa pun. Kuletakkan cangkir di atas nampan dan beranjak berdiri, menutup laptop dan membereskannya.

“Mau ke mana?” Ia mengekor di belakangku melihatku berjalan pergi. Gadis itu mirip seperti anak bebek yang tergopoh-gopoh mengejar induknya. Usai meletakkan laptop di atas meja kamarku, aku membanting diri di atas kasur dan membuka ponsel. Melihat-lihat notifikasi instagram. Pesan-pesan pelanggan hanya Dirja yang tahu. Selebihnya tugasku hanya menghasilkan karya. Zeline muncul di ambang pintu seraya mendesah. Ia berjalan menghampiri dan menduduki kursi di depan meja.

“Kamu jadi manusia kok jutek banget sih? Aku curiga kamu ini antisosial.”

“Emang.”

Kudengar desisannya di seberang. Dari balik ponselku, diam-diam kuamati ia yang tengah melarikan pandangan ke seantero kamarku. Menemukan gitar di samping meja, ia menyambar benda itu dengan mata berbinar. Lantas beralih duduk di pinggiran ranjang. “Ini gimana mainnya?”

Kudecakkan lidah kesal, namun tetap beranjak duduk dan menyambar gitar dari tangannya. Kumainkan intro lagu Stairway To Heaven dan menyanyikan sekilas lirik lagunya. Aku sendiri tak tahu mengapa harus lagu larat seperti ini. Di depanku, Zeline semakin merangsek dengan senyuman lebar. Sedangkan aku memejamkan mata, mencoba mengambil ruh dalam lagu ini.

Selama mataku memejam, justru sebaris kalimat utuh yang berputar dalam otakku.

Terkadang, eksistensi cinta ada untuk menuntun kepada akhir itu sendiri.

Kalimat itu muncul secara tak sopan dan mengaduk-aduk isi kepalaku. Napasku tercekat. Membuka mata, desahan beratku tertangkap pendengaranku sendiri. Bersamaan kutemukan sepasang mata cerah yang menatapku dengan senyuman indahnya. Tatapan yang mendamaikan, melebihi kedamaian surga itu sendiri, barangkali.

***

Radi menepati janjinya untuk mengantarku mengambil koper. Sebelumnya, kawannya yang ia sebut namanya sebagai Pras, menjemput kami—serta Dirja—dan berangkat ke Surabaya. Kembali ke Plaza demi satu koper berisi pakaian-pakaianku. Sementara Pras dan Dirja menunggu di dalam mobil, aku memasuki lobi mall dan berjalan ke arah meja informasi bersama Radi di sampingku. Untung saja Radi meminjamiku satu masker agar wajahku tak menarik perhatian.

“Atas nama Arabella Ranupatma ya?” Tanya perempuan di balik meja ketika aku tiba di sana dan mengatakan akan mengambil barangku. Kuanggukkan kepala mengiyakan. Di samping, kudapati Radi yang menatapku dengan alis terangkat naik. Aku melengos mengabaikannya. Perempuan dengan senyuman yang tak ia hilangkan itu menunduk, mengambil koperku dan menghampiriku untuk menyerahkannya.

“Terima kasih ya. Saya lupa ambil barang ini kembali.”

“Iya. Tidak apa-apa, Kak. Terima kasih kembali.” Perempuan itu mengatupkan tangan di depan dada. Usai itu, kudorong bahu Radi dan enyah dari sana.

“Ara.”

“Hah?”

“Daripada Zeline, Ara lebih bagus. Lebih membumi.”

Kupelototkan mata padanya. “Maksudmu, Zeline itu melangit, begitu?” Tawanya menggelegar di sampingku.

Memasuki mobil, kami kembali menuju perbatasan antara Sidoarjo dan Surabaya. Berhenti di tempat parkir kafe bernama Jagad Kopi. Baru aku tahu pemuda bernama Pras adalah pemiliknya.

“Mau di dalam aja? Biar nggak menarik perhatian?” Tanya Pras mengulum senyum. Apa pula maksudnya itu? Agaknya Radi yang jauh lebih memahami kalimatnya menyetujui penawaran Pras.

Kami digiring masuk ke dalam ruangan yang hanya terdapat satu sofa panjang dan satu sofa single. Musik mengalun lembut di dalam sini. Memutar lagu yang dinyanyikan Richard Marx. Until I Find You Again.

“Tadi maksudmu apa?” Tanyaku, lebih kutujukan kepada Pras.

Meletakkan vape di atas meja, ia mengangkat kedua alisnya. “Apanya?” Melihatku yang enggan menjawab dan melemparkan tatapan yang mengatakan bahwa aku tak ingin mengulangi pertanyaan, ia tertawa. “Kamu nggak mau dikenali, kan?”

Ia tahu identitasku?

“Kamu tahu?” Tanya Radi mewakili isi pikiranku.

“Tahu,” jawabnya enteng. Ia menghirup vape miliknya dan mengembuskan asapnya ke udara. “Ayahku tanam saham di perusahaan Papamu. Dan lagi, kamu itu artis, Zeline. Meskipun memang ada yang nggak mengenalimu, nggak menutup kemungkinan ada lebih banyak yang mengenalimu.”

“Kok nggak ada yang bilang aku?” Dirja membeo, merasa paling tolol sendiri di sini. Ia melemparkan pandangan padaku dan berbisik gaduh, “Kamu artis, Zel?”

Spontan kucubit pahanya, membuatnya mengaduh. “Jangan kenceng-kenceng mulutmu ya.”

Tak lama, pesanan kami datang. Pemuda yang mengantarnya pada kami sempat melirikku sekilas. Bila kubaca dari raut wajahnya yang takut-takut itu, aku tahu ia mengenaliku.

“Tenang aja. Kamu bisa percaya sama karyawan Jagad Kopi,” sahut Pras seolah-olah mengerti apa yang kupikirkan.

Di tempatnya, Dirja menghempaskan punggung dengan desahan tak percaya. “Kalau kamu nggak mau dikenali, kenapa sampai di sini?”

“Aku perlu sedikit bernapas dari pekerjaanku.” Memandang mereka bertiga, perlu kutimbang sejenak untuk melanjutkan atau tidak. Tetapi, menurutku mereka bisa dipercaya. “Aku nggak suka disetir dan dikendalikan seperti boneka. Makanya aku kabur dari rumah.”

Nah, kan, bila aku menyinggung perihal kabur dari rumah, suasana akan berubah canggung. Kurasa mereka tak enak hati denganku. Hanya ada kepulan asap yang menguar dari vape milik Pras.

“Pernah ke Malang, nggak?” Suara Pras menyahut memecah keheningan yang merambat. Kugelengkan kepala sebagai jawaban. “Besok kita ke sana, yuk. Piknik bareng.”

“Wah iya. Kenapa aku nggak kepikiran ya?” Dirja menyahut antusias dari tempatnya duduk. Dan ia kembali mengoceh, seperti bagaimana Dirja seharusnya.

Menjelang tengah malam dengan cangkir-cangkir kopi dan makanan, kami bermain soliter. Wajah Dirja sudah penuh oleh tepung yang disediakan Pras sebelum permainan. Tawa kami membahana di dalam sini, menciptakan atmosfer hangat yang tidak pernah kutemui sebelumnya. Sesekali mereka mengumpat menggunakan bahasa Jawa.

Di samping, kulirik Radi yang tertawa keras-keras. Sudah kukatakan padamu, ia jauh lebih bersinar bila seperti itu.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Mawar Milik Siska
482      245     2     
Short Story
Bulan masih Januari saat ada pesan masuk di sosial media Siska. Happy valentine's day, Siska! Siska pikir mungkin orang aneh, atau temannya yang iseng, sebelum serangkaian teror datang menghantui Siska. Sebuah teror yang berasal dari masa lalu.
Rahasia
1627      999     2     
Short Story
Persahabatan bermula dari kenyaman yang membuat kami saling melengkapi satu sama lain. The sky julukan yang menggambarkan kami semua, karena langit akan tetap menjadi langit. Kami selalu menatap langit yang sama walaupun raga kami tidak bersama. Kami bagian dari langit, lima sisi yang saling menyatu bagaikan bintang. The sky terdiri dari Galang yang selalu menguatkan juga lucu serta b...
SEBUAH KEBAHAGIAAN
515      398     3     
Short Story
Segala hal berkahir dengan bahagia, kalau tidak bahagia maka itu bukanlah akhir dari segalanya. Tetaplah bersabar dan berjuang. Dan inilah hari esok yang ditunggu itu. Sebuah kebahagiaan.
ALACE ; life is too bad for us
1004      604     5     
Short Story
Aku tak tahu mengapa semua ini bisa terjadi dan bagaimana bisa terjadi. Namun itu semua memang sudah terjadi
Beautiful Sunset
736      440     3     
Short Story
Cinta dan Persahabatan. Jika kau memiliki keduanya maka keindahan sang mentari di ujung senja pun tak kan mampu menandinginya.
Nonsens
465      344     3     
Short Story
\"bukan satu dua, tiga kali aku mencoba, tapi hasilnya nonsens. lagi dan lagi gadis itu kudekati, tetap saja ia tak menggubrisku, heh, hasilnya nonsens\".
Wedding Dash [Ep. 2 up!]
2699      1021     8     
Romance
Arviello Surya Zanuar. 26 tahun. Dokter. Tampan, mapan, kaya, dan semua kesempurnaan ada padanya. Hanya satu hal yang selalu gagal dimilikinya sejak dulu. Cinta. Hari-harinya semakin menyebalkan saat rekan kerjanya Mario Fabrian selalu mengoceh panjang lebar tentang putri kecilnya yang baru lahir. Juga kembarannya Arnaferro Angkasa yang selalu menularkan virus happy family yang ti...
Written
343      239     1     
Short Story
Bored in her summer break , Celeste started to make up her own stories and wrote it in her book , but little did she know , everything she wrote happened in reality , what will she write next?
SERENA (Terbit)
16608      2837     14     
Inspirational
Lahir dalam sebuah keluarga kaya raya tidak menjamin kebahagiaan. Hidup dalam lika-liku perebutan kekuasaan tidak selalu menyenangkan. Tuntutan untuk menjadi sosok sempurna luar dalam adalah suatu keharusan. Namun, ketika kau tak diinginkan. Segala kemewahan akan menghilang. Yang menunggu hanyalah penderitaan yang datang menghadang. Akankah serena bisa memutar roda kehidupan untuk beranjak keatas...
Memoreset (Segera Terbit)
3227      1246     2     
Romance
Memoreset adalah sebuah cara agar seluruh ingatan buruk manusia dihilangkan. Melalui Memoreset inilah seorang gadis 15 tahun bernama Nita memberanikan diri untuk kabur dari masa-masa kelamnya, hingga ia tidak sadar melupakan sosok laki-laki bernama Fathir yang menyayanginya. Lalu, setelah sepuluh tahun berlalu dan mereka dipertemukan lagi, apakah yang akan dilakukan keduanya? Akankah Fathir t...