Memasuki pintu bar, keadaan benar-benar temaram. Oh, jadi ini yang namanya dugem. Beberapa wanita berpakaian ketat berlalu-lalang sambil mengerlingkan mata menggoda kepada kami. Kulirik Dirja di samping yang menampakkan ekspresi berbinar. Bocah tengik satu itu selalu bersemangat jika menyangkut wanita.
Pras menggiring kami menuju meja dengan tiga kursi, lantas memesan minuman kepada bartender. Ia kembali ke meja setelah itu, dan mengeluarkan vape yang tidak sempat ia hirup selama di kafe. Kuamati Pras yang menghirup vape di tangannya. Saat ia mengembuskan asapnya di udara, aroma kopi tercium oleh indraku. Rupanya ia benar-benar pecinta kopi akut.
Tidak membutuhkan waktu lama bagi bartender untuk menyiapkan minuman kami karena ia datang dengan membawa tiga botol berbeda merek yang masih tersegel rapi.
“Aku yang traktir,” ucap Pras. Setelah bartender itu meletakkan tiga gelas berkaki, ia segera enyah melayani pelanggan lainnya. Kutatap lagi rak-rak minuman yang bersinar diterangi cahaya lampu. Botol-botol itu tampak berkilauan membentuk barisan rapi yang selalu sukses membuat para pelanggan ingin menjamahnya satu per satu. Kuambil satu botol espora dan menuangkan isinya.
“Kita baru aja kenal, Pras. Langsung ditraktir minum. Nggak takut apa?”
Pras tertawa, mengisap vape-nya lagi. “Aku punya sedikit kelebihan untuk menebak seseorang, bro. Keberadaan kalian sama sekali bukan ancaman bagiku. Apa yang perlu ditakutkan?”
Dirja menenggak habis minuman dalam gelas berkakinya. “Makasih karena udah percaya.”
Kuambil gelasku di atas meja, “Oh ya. Nanti bakal aku ganti uang minumannya.”
“Alaaah, taik. Ngapain sih pakai ganti-ganti segala. Anggap aku sebagai temen yang kenal lama sama kalian.” Pras meletakkan vape di atas meja, lantas menuangkan separuh minumannya ke dalam gelas miliknya. Ia memutar dan mengamatinya seolah-olah sedang meneliti sesuatu sebelum menyecapnya sedikit. “Lumayan kan, dapet temen baru dari luar kota. Buat alasan bagus kalau aku lagi mampir di Sidoarjo.”
“Kenapa sama Surabaya? Kayak neraka?” tanyaku, diikuti tawa Dirja di samping.
“Bosen lah gila. Kuliah aja udah dicekokin Ayah sama urusan bisnis. Apalagi nanti kalau udah lulus. Makanya, selagi masih muda, aku nikmatin sepuasku.”
“Bisnis?” sahutku dari balik gelas kacaku.
“Yap. Sebenernya Ayah punya bisnis kecil, nggak sebesar pejabat ibu kota. Tapi relasinya di sana banyak. Dia punya saham di beberapa perusahaan di sana, tapi tetap ngerahasiain identitasnya.” Pras menggeleng-gelengkan kepalanya, “Trust me, dunia bisnis bukan lingkungan yang menyenangkan.”
“Lah? Kan banyak duit. Kenapa jadi nggak menyenangkan?” Dirja mulai membeo mendengar penuturan Pras.
“Ya itu poinnya. Karena banyak duit, apa pun selalu dilakukan untuk duit. Yaaa, meski nggak semuanya sih.” Pemuda itu meraih vape-nya lagi dan mengisapnya, lantas mengembuskan asapnya di udara. “Ada banyak rahasia yang harus selalu dipendam dalam urusan bisnis, Ja. Meski banyak duit, kamu harus siap terjun dalam lumpur kotor. Bisnis dan politik itu hampir mirip.”
Teman laknatku Dirja menyeringai samar mendengar penuturan Pras di sampingnya. Kuputar bola mata mengetahui apa isi pikirannya. “Dirja tuh cocok dimasukin ke lubang itu, Pras. Tipe manusia picik.”
Mendengar omongan pedasku, Dirja menyemburkan tawa, “Lambemu, cuk.”
Pras ikut terkekeh. “Terus, kenapa nggak nyari kerja di perusahaan Surabaya aja?”
“Heh, ngomongmu kayak segampang ngeludah aja. Mereka butuh seenggaknya lulusan sarjana, bukan lulusan SMK.” Lantas ia menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi, membiarkan Pras terkekeh akan penuturannya.
“Ngelihat kalian berdua kayak lihat burung ya.”
“Lah?”
Sedangkan kutatap Pras dengan alis berkerut bingung.
“Bebas. Kalian nggak terkurung di kandang dan bebas terbang di langit.”
Keadaan menjadi hening. Dirja yang terlalu tolol harus menanggapi bagaimana hanya menyesap minumannya sedikit demi sedikit.
“Sebenarnya, Pras,” aku membuka suara, “menjadi bebas itu cuma soal pilihan. Sekuat apa pun orang lain berkuasa, kenyataan bahwa kita punya kehendak penuh atas diri kita itu mutlak. Hidup segalanya cuma soal pilihan. Tetap terkurung atau memilih terbang.”
Mereka memandangku macam anak SD yang mendengar cerita menarik dari gurunya. Kulipat bibir menjadi satu garis lurus, lantas mengangkat gelasku. “Untuk pertemanan baru?”
Mereka berdua menyunggingkan senyum, ikut mengangkat gelasnya dan bersulang bersama.
“Untuk pertemanan baru.”
Dari suara denting gelas kami bertiga, kami seolah-olah mempertegas tali takdir yang telah mempertemukan kita. Bahkan detik ketika kami mulai mengobrolkan berbagai macam hal, memaki-maki kemunafikan manusia, dan menggila di balik gelas minuman, kami tidak tahu ada hal apa yang akan membuntuti kami ke depannya.
***
Untuk kesekian kalinya aku mengecek jam berlian di pergelangan tanganku. Kukenakan lagi kacamata hitamku, lantas mengamati kesibukan pengunjung hotel di atas rooftop ini. Beberapa wanita hanya memakai bikini, beberapa lagi memilih berjemur, dan para selebgram sibuk mengabadikan lekuk tubuhnya untuk kebutuhan beranda media sosial.
Sosok yang sedari tadi kutunggu baru muncul dengan kardigan cokelat dan senyum lebarnya. Namun senyumannya lenyap ketika melihat apa yang aku kenakan saat ini. Keningnya mengerut, “Heh, kok pake rok mini sih? Kamu tuh bukan mau liburan aduh, Zeline. Kamu lagi ngadain jam ketemu sama produser film loh. Produser film!!! Do you already insane with your outfit?”
Kulepas kacamata hitamku dan menatap Anastasia dengan tampang bodoh, menundukkan kepala melihat pakaianku, lantas kukedikkan bahu, “What’s the problem, huh?”
“Apa masalahnya kamu bilang? Udah gila kamu.”
“Ya bodo. Lagian ini juga hotel Papa. Aku Check in sehari, jadi sah-sah aja dong aku berlaku sebagai guest di sini. VIP guest malah.” Kulesatkan tatapanku kepada Anastasia yang masih berdiri mengomeliku. “Duduk. Kamu kayak istri om-om yang lagi ngomelin simpenannya tahu, nggak.”
“Sialan.” Ia meloloskan umpatan itu dan duduk bersilang kaki tepat sebelum sosok Fahlefi Alterio muncul dan menyapa kami berdua. Aku dan Anastasia berdiri demi menyambut kedatangan pria itu dan menjabat tangannya.
Fahlefi mengedarkan pandangan sekitar dengan senyuman lebar. “Ah, nice rooftop.”
Menyadari lirikan Anastasia yang dilesatkan padaku, kuangkat sebelah alisku. See? Pria itu bahkan tidak mencampuri mengenai pakaianku saat ini. Mungkin ia juga tahu bahwa hotel ini adalah milik perusahaan Papa, atau ia akan terlalu bodoh bila mengomentariku yang notabenenya adalah seorang yang ia tawari peran untuk film terbarunya. Permainan bisnis, kukatakan padamu.
Fahlefi mendesah, “So, here we are. Pasti udah tahu, kan, kita bakal bahas apa. Sebelumnya, Zeline,” ia beralih menatapku, “seperti yang aku bilang di pesan-pesanku sebelumnya, proyek film ini mungkin akan sukses besar buat karir dan industri perfilman kita. Bahkan, aku yakin beberapa negara akan menerima film ini dengan tangan terbuka. Yah, semoga.” Ia mengeluarkan naskah yang telah disusun rapi dan menyerahkannya padaku. Fahlefi memberiku waktu untuk mempelajari isi naskah tersebut sedangkan ia mengobrol sebentar dengan Anastasia.
Keningku mengerut ketika sampai di naskah berisi adegan ranjang di sana. Sebelumnya, aku menemukan kissing scene yang bagiku bukan apa-apa. Namun, ketika mataku menangkap barisan kalimat vulgar seperti itu, lidahku gatal ingin menyemburkan kalimat-kalimat kasar. “What the… heck??” Sontak, mereka berdua serentak menoleh padaku mendengar umpatanku baru saja. “Cari artis lain aja deh kalau adegannya macam begini.” Anastasia merebut naskah itu dari tanganku.
“Hei, hanya sedikit cuplikan, Zeline. Itu bukan masalah bes—”
“Bukan masalah apanya. Maaf, tapi, saya tidak bisa menerima dan menyanggupi tawaran Anda. Mungkin saya hanya belum terbiasa dengan adegan sevulgar naskah ini. Sekali lagi, saya minta maaf karena tidak bisa.” Beranjak berdiri, kukatupkan tangan di depan dada dan berpamitan pergi. Aku tidak peduli apa yang akan Anastasia omelkan nantinya. Enak saja memberiku peran yang sudah mirip pelacur rumah bordil. Dikira aku ini wanita macam apa?
Aku memasuki lift dengan perasaan kesal. Berdesakan dengan tamu hotel lainnya. Sementara lift bergerak turun, kulipat tangan di depan dada sambil menahan kedongkolanku sendiri, membayangkan bagaimana jadinya bila aku menerima peran yang ditawarkan Fahlefi. Ada satu adegan di mana aku—yang berperan sebagai Monica—datang ke apartemen tokoh bernama Damian hanya karena diabaikan. Mendorong tubuh lelaki itu ke dinding dan mencumbunya habis-habisan. Di tengah adegan mengerikan itu, Monica berkata, “Kamu nggak boleh mengabaikan aku, Ian. This body is yours.”
I hate that fucking scene there, please! Coba saja adegannya tidak semurah itu, misal, si Damian yang terlihat menginginkanku, mungkin? Dengan begitu rasa malunya akan terminimalisir ketika filmnya launching nantinya. Lagipula, siapa yang dengan kurang ajarnya menulis naskah memalukan seperti itu? Mungkin penulisnya hyper-sex, sorry untukmu wahai penulis dan pembaca yang membaca ini. Tapi aku berhak mengumpat dan mengutuk sepuasku di sini, bukan? Ini bagianku seandainya kau lupa thankyouverymuch.
Lift berhenti dan berdenting sebelum pintunya terbuka. Kuputar mataku melihat tulisan yang tertera: Lt. 6. Tanpa basa-basi, kulangkahkan kaki jenjangku keluar dari lift, mengundang mata-mata wanita jalang melirikku tak suka atau sebagian yang memandangiku penuh damba. Entah karena mereka mengenal sosok Zeline Arabella atau malah membencinya, ada banyak ambigu tetapi aku terlalu sibuk untuk memusingkan fans atau haters yang berkeliaran di sekitarku.
Kukeluarkan kunci kamarku dalam langkah panjang-panjang. Memasuki kamar, lampu otomatis menyala. Dan aku dibuat terkejut setengah mampus mendapati Kenzo yang sudah terbaring menguasai ranjang king size milikku.
“Heh, cecunguk!” Kutarik kakinya dan membuatnya mengaduh. “Kok bisa masuk? Kapan datengnya? Kok nggak ngabarin? Mau cari mati ya?!”
“One by one, dong, Darling.” Kujambak rambutnya sekali, ia memutar mata mendapatkan pelototan mataku. “Pertama, harusnya nggak perlu dipertanyakan ya kenapa aku bisa masuk. Itu salahmu karena sewa kamar di hotel sendiri. Kedua, aku udah sampai dari jam… berapa ya? Nggak tahu deh, lupa. Dan aku mampir ke suatu tempat sebentar. Ketiga, sengaja biar ada yang ngajak ribut. Terakhir, aku ke sini ya pulang dong. Orang gila mana yang pulang kampung cari mati. Kamu kali yang gak waras.”
Dengan sekedipan mata, aku beranjak tepat di samping Kenzo dan memiting lehernya. Membuatnya berampun-ampun ria di bawah lenganku. Kulepaskan ia yang mulai kehabisan napas, lantas berbaring di samping Kenzo. Anak itu mengumpat sekali dan memilih kembali berbaring bersamaku.
“Eh, tapi, tumben deh kamu check in di hotel Papa. Kenapa?”
“Ada janji temu sama produser film tadi di rooftop.”
“Terus?”
“Aku tolak.”
“Lah, bego. Otakmu nggak lagi kebentur kan, Sayang?”
Kucubit lengannya dan membuatnya mengerang gaduh. “Banyak adegan mesumnya! Enak aja, menang banyak dong yang jadi lawan main aku.”
Di samping, Kenzo menopang kepalanya dan menyampingkan tubuh menghadapku. Satu tangannya mencubit hidungku dan lantas ia tertawa. “Keputusan bagus. Kadang kita nggak perlu melakukan hal murahan cuma untuk terkenal, oke? I’m proud of you.”
Aku memandangnya beberapa detik, lantas menerjangnya dengan pelukan erat dan kembali mendengar tawanya. “Tahu nggak, Zo? Kalau kamu bukan kakak aku, kayaknya aku udah jatuh cinta deh sama kamu.”
Lagi, ia tertawa, lebih membahana daripada sebelumnya. Kudongakkan kepala menatapnya, lantas ia mengecup keningku. “I love you.”
*
Kenzo memutuskan untuk menumpang di mobilku dan meninggalkan mobilnya tetap terparkir di basemen hotel Papa. Aku tidak menemukan keberadaan Mama di rumah, tidak biasanya. Ika datang menyambut kami berdua dan menawarkan apa yang kami butuhkan.
“Bawain es sirup aja ya,” kata Kenzo yang membanting tubuhnya di atas sofa ruang keluarga. Sedangkan aku masih berdiri menenteng tas tanganku sambil memandangi cecunguk bodoh itu. Menghela napas, aku meminta minuman yang sama kepada Ika.
Baru saja kudaratkan pantat di atas sofa sekaligus mengistirahatkan punggung, ponselku meraung-raung di dalam tas. Tertera nama Anastasia Roxel di sana. Kudecakkan lidah kesal dan memutar bola mata.
“Zeline, kamu di mana?!” Perlu kujauhkan sejenak ponselku dari telinga, mengecek apakah yang meneleponku benar-benar manajerku Anastasia. Tapi memang benar dia. Wah, ia baru saja membentakku?
“Yang santai, dong. Kurang ajar banget bentak aku ya.”
Anastasia terdengar mendesah di seberang telepon, lantas berdeham. “Maaf. Kamu sih. Astaga, nggak tahu lagi lihat kamu ini, Zeline. Setelah nolak naskah film itu, kamu hilang tanpa basa-basi. Gimana pandangan pria itu ke kamu setelah ini? Ah, tingkahmu bener-bener, deh.”
“So?”
“Apa? So Kamu bilang? Astaga,” Anatasia kembali mendesah. Bibirku tersenyum miring. Dapat kubayangkan saat ini wanita itu sedang menyentuh kepalanya memikirkan ulahku. “ya oke kamu nolak. Tapi yang sopan, dong, di depan dia. Lagipula, kenapa sih harus ditolak? Ini kesempatan besar buat kamu. Kamu tahu sendiri hampir semua film produksi Fahlefi udah go international.”
Alisku terangkat sebelah. Baiklah, aku mulai kesal dengan situasi ini. “Anastasia Roxel, harusnya kamu tahu aku. Mungkin aku belum siap ambil adegan seperti itu sekarang, karena aku bukan aktris profesional yang berani ambil peran besar. Bukan sekarang,” ekor mataku melirik keberadaan Mama yang baru saja melewati ambang pintu dengan wajah kesal, “dan jangan paksa aku. Aku nggak suka dipaksa. Kututup dulu.”
Usai memutus sambungan, mataku mengekori langkah Mama yang menuju ruang makan. Beranjak berdiri, kulangkahkan kaki membuntuti Mama. Kuhentikan Ika yang tengah mengantar minuman untuk Kenzo dan mengambil satu gelas dari atas nampan yang ia bawa. “Dari mana, Ma? Kenapa juga itu muka?” Wanita itu tidak menjawab, masih sibuk dengan kekesalannya sendiri. Kuputar bola mata, merasa jengkel diabaikan.
“Ambilin anggur, Ika.” Katanya ketika Ika kembali ke ruang makan. Pembantuku itu mengiyakan permintaan Mama dan segera menuju gudang anggur.
Kusilangkan kaki di bawah meja dan menyesap sirupku dari pinggiran gelas. “Ada masalah?”
Kini ia menoleh menatapku beberapa detik, lantas mengembuskan napas berat. “Saham Kana Group turun 22%. Investasi yang Mama tanam juga ikut merugi.”
“Hah? Mama main saham sekarang?” Alisnya yang terangkat satu dan bibirnya yang mencebik menjadi jawaban bagiku. Aku mendengus setengah tertawa. Ia menatapku heran. Ika datang membawa satu botol anggur dan menuangkannya sedikit dalam gelas berkaki. “Namanya aja perusahaan. Pasti ada naik-turun kondisi saham. Mama juga tahu soal ini, kenapa dibikin pusing?”
Ia mengernyitkan hidung, antara menelan rasa pahit dan manis dari anggurnya atau kesal dengan ucapanku baru saja. “Dasar. Turun 3 sampai 5% masih nggak mengkhawatirkan. Ini 22 lho, gila apa. Dasar perusahaan payah. Bayangkan, 1% saham setara dua ratus juta, Zeline. Tahu, kan, rugi berapa kalau jatuh drastis ke angka 22%.”
“Ya udah sih. Lagian masa nanam satu aja.” Aku cukup mengenal Mama bila menyangkut uang. Kulirik wanita di sampingku yang sedang bermain-main dengan gelas anggurnya saat ini.
“Nggak. Ada Jaya Group, Na-eun Style, SnV Corporation.”
Alisku terangkat tertarik, lantas menatap Mama. “Jaya Group?” Mama mengangguk membenarkan. Ah, aku ingat sekarang. Pemuda sok ganteng di pesta kolega Papa tempo hari. Kalau tidak salah, namanya Kevin. Benar tidak? Ah, terserah namanya siapa.
“Wait wait. Ngomong soal Jaya Group, Mama baru ingat,” katanya, mulai menatapku intens, “kenapa sih sikapmu waktu itu? Kamu tahu itu nggak sopan, kan?”
“Iya, tahu. Terus?”
“Padahal Kevin anaknya baik. Perusahannya juga berkembang pesat.”
“Tahu dari mana kok langsung menyimpulkan dia baik? Emang Kevin anak Mama?”
“Zeline!” Kuputar bola mata. Mencoba menahan diri. Di samping, Mama mengembuskan napas berat. “Coba kamu mengenal dia lebih dalam, deh. Selain nambah relasi, Mama yakin kalian berdua akan ngasih pengaruh besar seandainya kalian bersatu. Kamu tahu maksud Mama.”
Kuhantam meja dengan gelas es dalam genggamanku, namun Mama tampak biasa saja di atas kursinya. “Apa di pikiran Mama cuma ada uang, perusahan, dan reputasi? Mama pikir hubungan cuma sebatas permainan bisnis?”
“Lalu apa? Cinta? Jangan konyol, Zeline.”
“Mama!” Aku spontan berdiri dari kursiku. Aku tidak percaya Ibuku sendiri akan mengatakan hal seegois itu untukku. Membasahi bibir, kucoba mengatur napas dalam-dalam, “Kayaknya Mama mabuk. Jangan sering minum anggur. Zeline ke kamar dulu.”
“Mama kepikiran buat undang Kevin sama ibunya ke sini.” Aku spontan berbalik. Di kursinya, Mama menolehkan kepala dan tersenyum seolah kekesalannya tadi menguap begitu saja. Menghampirinya, kusambar botol anggur di atas meja dan menjejalkannya ke dalam kulkas. Wanita ini benar-benar sudah mabuk.
Saat aku hendak pergi meninggalkannya, Mama kembali bersuara, “Zeline, apa kamu pikir Mama menikahi Papamu dulu karena cinta?” Entah apa yang harus kukatakan mendengar hal itu. Kutelan ludahku sendiri dengan susah payah. “Darling, love is just a bullshit word.”
Tanpa mengatakan apa pun, kulangkahkan kaki meninggalkan ruang makan dan menuju kamar dengan langkah panjang-panjang. Aku benar-benar tidak bisa bertahan di sini. Segalanya telah membuatku muak. Bila dengan statusku ini hidupku berubah menjadi boneka, maka akan dengan senang hati akan kulucuti semuanya. Memangnya siapa mereka bisa mengaturku seenak udelnya?
Kukeluarkan koper merahku dari dalam lemari tas. Kujejalkan beberapa pakaian dan sepatu serta barang-barang kecil yang sekiranya tidak bisa jauh dariku, termasuk laptop dan lima ATM milikku. Kulepas paksa sepatu hak dari kakiku dan melemparnya secara serampangan. Lantas, kuambil sepatu sandal biasa agar tidak menyulitkanku selama perjalanan. Setelah selesai, kutarik ritsleting koper dengan gerakan kasar dan mengembuskan napas berat.
Berdiri di balik jendela besar kamarku, kubuka layar ponsel. Setelah beberapa menit berdiam diri dan menimbang-nimbang, segera kupesan tiket untuk ke Surabaya. Usai itu, aku beranjak meninggalkan kamar dengan koper yang kuseret di belakang. Dari atas, Mama masih menetap di meja bar dengan kening menempel di meja. Ketika langkahku mulai menuruni anak-anak tangga dengan koper yang kuangkat, Kenzo yang hendak kembali ke kamarnya menyadari diriku yang hendak melakukan drama kabur-kaburan bodoh ini.
“Zeline! Seriously? Wah, udah gila kamu. Balik ke kamar.” Kuhempaskan tangan Kenzo yang menyentuh lenganku. Ia menatapku dengan pandangan bingung dan terluka. Maafkan aku, Kenzo. Untuk kali ini saja mohon mengertilah. “What’s wrong with you, huh?! Memangnya kamu ABG apa?”
“Urusi urusanmu sendiri.” Kutatap ia dengan dingin.
“Heh! Don’t be stupid, Zeline!” suara Mama menggelegar. Kuputar bola mata dan memandanginya yang berjalan ke arahku melawan rasa sakit kepalanya. “Ada yang salah dengan otakmu. Kamu bukan anak-anak—”
“Justru karena aku bukan anak-anak!” Perlu beberapa detik bagiku untuk sadar dari keterkejutanku sendiri lantaran mendapati bahwa aku berteriak, menggelegar ke dalam seisi rumah. Dan, wah bagus sekali, dadaku sesak menyadari bahwa saat ini aku bisa mengeluarkan apa yang selama ini kupendam sendirian. Air mata menggantung di pelupuk mataku, lantas jatuh membasahi pipi. Suaraku bergetar menahan isak tangisku sendiri. “Justru… karena aku bukan anak-anak, Ma. Cobalah untuk mengerti. Cobalah untuk paham bahwa aku nggak betah hidup macam boneka yang harus nurut. Cobalah buat ngerti! Bisa, hah?!”
“Zeline—” aku mengabaikan Kenzo lagi, menghempaskan tangannya di kedua lenganku. Lantas, perlahan aku berjalan mundur.
Mama maju selangkah dari tempatnya berdiri, “Eline, kita bisa bicara baik-baik.”
“Don’t move!” Telunjukku terancung ke arah mereka berdua, sementara kakiku terus berjalan mundur menuju pintu. “Jangan coba kejar aku. Jangan coba cari aku dan bikin kehebohan di media. Atau aku nggak bakal sudi buat pulang.”
“Zel, please.” Kenzo menatapku dengan tatapan penuh harapan.
Kutelengkan kepala ke satu sisi, setetes air mata jatuh lagi, “I’m sorry, Ken. I’ll be back, I promise.” Usai mengatakan itu, aku berlari menuju mobil dan meminta Pak Jaka mengantarku ke bandara. Dari kaca jendela mobil, dapat kulihat Kenzo yang berdiri di teras rumah, dan Mama yang memijit pangkal hidungnya di depan pintu. Setidaknya mereka tak berusaha mengejarku.
“Nona, apa Nona yakin?” tanya Pak Jaka dari balik roda kemudi.
Memandang keluar jendela, aku menghela napas dan mengembuskannya, “Ya. Saya akan menuju Surabaya. Tolong, sampaikan ke keluarga, jika mereka berusaha mengejar saya, saya akan lari ke provinsi lain. Bahkan negara lain.”
“Baik, Nona.”