Minggu pagi, seperti biasa keluarga cemara Jayden kini tengah berada di Gereja Katerdal. Berdoa, membaca kitab suci, manyanyikan lagu pujian dan mendengarkan ceramah keagamaan sesuai dengan ayat utama, semua itu mereka lakukan dengan sangat khusyuk. Jayden hidup dikeluarga yang harmonis dan penuh keagamaan. Walau mereka kini hidup dengan bergelimang kekayaan, tak membuat mereka melupakan Tuhan, bahkan mereka tidak pernah sekalipun absen untuk menjalankan ibadah di tengah kesibukan mereka masing-masing.
Jayden Estu Alexius, putra sulung dari pasangan Andrew Rain Alexius dan Jaelyn Geraldine. Putra-putri tunggal dari dua keluarga terpandang, yang tidak perlu ditanyakan lagi sebanyak apa kekayaan mereka saat ini. Dan Jayden memiliki seorang adik perempuan bernama Adelyn Celeste Alexius. Lengakap sudah keluarga mereka, satu anak laki-laki dan satu anak perempuan.
Hingga sampailah di penghujung acara, dimana orang-orang tengah bersiap kembali pada kesibukan mereka masing-masing. Jayden mengedarkan pandagannya, menyusuri seisi gereja. Berharap manik obisidiannya itu dapat menangkap sosok kekasihnya. Namun nihil, sang kekasih tidak berada di tempat yang sama dengannya.
Terdengar helaan napas lelah dari Jayden, sebelum ia menyatukan kedua tangannya kembali. “Tuhan berikan aku kekuatan,” mohonnya dalam hati, dengan mata tertutup.
~oOo~
Mobil Bugatti La Voiture Noire hitam melenggang santai di jalanan, mengabaikan tatapan kagum dari beberapa pengendara lainnya. Jaydenlah orang yang berada di balik kemudi mobil mewah itu. Mobil yang membelah jalan untuk mencapai tempat ia menunaikan janji temu.
Dan disinilah Jayden berada, di bawah atap sebuah café bernuansa klasik. Sudah hampir dua jam ia duduk menunggu, orang yang ia tunggu belum juga menunjukkan batang hidungnya. Sampai suara bel pintu mengalihkan atensinya, penanda seseorang memasuki tempat ia ia huni kini.
“Hallo sayang, kamu sudah memesan?” sapa seorang gadis cantik dengan tubuh ramping dan rambut hitam panjang bergelombang, menenteng banyak kantong belanjaan di tangannya.
“Belum.” Balas Jayden datar.
“Kamu mau minum apa?” tanya gadis itu lagi, penuh kelembutan.
“Elsy.” Panggil Jayden, menghentikan pergerakan tangan gadis yang tengah membolak-balikkan buku menu.
“Hm?” dehem gadis itu lembut, ada gurat cemas di wajahnya, yang masih belum ia angkat untuk menatap rupa rupawan sang kekasih.
Entah mengapa hatinya seakan mengatakan akan terjadi sesuatu yang buruk. Semoga itu salah, semoga itu hanya sebatas pikiran buruk saja.
“Ada yang ingin ku katakan.” Ungkap Jayden, secara tidak langsung memaksa wajah tirus itu menghadapnya.
“Apa itu?” Tanya gadis bernama Elsy, tak bisa lagi menyembunyikan rasa penasarnya. Lebih tepatnya rasa takut akan sesuatu yang buruk.
“Aku berpikir untuk terus bersamamu, tapi kurasa tidak bisa.” Imbuh Jayden, menatap tepat ke arah manik yang tengah menatapnya berkaca-kaca.
“Apa maksudmu?” Elsy berusaha menepis pikiran buruknya, ia berharap otaknya salah mengkap makna.
Matanya memanas, dengan bahu bergetar menahan tangis. Berbeda dengan Jayden yang masih nampak biasa saja, dengan wajah datar andalannya. Bahkan tidak ada gurat bercanda di sana.
“Kita berhenti disini, ayo putus.’’ Tambah Jayden, yang mendapat gelengan dari kekasihnya. Atau mungkin kini bisa di sebut sebagai mantan kekasih.
“Kenapa? Apa karena aku tidak ikut gereja minggu lagi?” sambut Elsy lirih, dengan liqud bening yang sudah tak mampu lagi ia tampung. Meminta penjelasan dari pria yang sudah menjalin hubungna empat tahun lamanya dengannya.
Namun tak ada balasan yang Jayden lontarkan, hanya sebuah senyum yang tak lagi tampak manis di mata Elsy, pahit sangat pahit. Sepahit ucapannya.
“Brengsek.” Umpat Elsy, langsung berdiri dari tempatnya dan mengambil paksa minuman yang di bawa oleh seorang waitress yang kebetulan berjalan tepat di samping meja mereka.
Berakhir dengan cairan coklat kental itu terjun bebas menghantam wajah mulus Jayden. Untung saja kopi yang Elsy disiramkan dingin, jika panas tamat sudah. Wajahnya pasti tengah melepuh sekarang.
~oOo~
Lagi, rumahnya terasa seperti neraka saat sang ayah berada di dalamnya. Ayah yang di katakan orang-orang adalah cinta pertama anak perempuan, itu tak berlaku bagi Salwa. Di saat gadis lain menginginkan jodohnya kelak seperti ayahnya, maka itu tidak berlaku bagi Salwa. Ia takut bernasib sama dengan ibunya, ia tak ingin lagi berbagi dengan orang lain lagi, cukup berbagi ayah saja jangan suami juga.
Mentari bersinar dengan sangat cerah, namun sayangnya hari Salwa tak berjalan secerah itu. Rencananya berlibur bersama keluarganya dibatalkan karena pagi-pagi buta istri kedua sang ayah menelpon, meminta ayahnya menhampirinya yang sedang sakit. Ia tahu ia bukan anak kecil lagi yang bisa marah karena tidak jadi pergi, tapi tak bisakah ayahnya menepati janji. Ia paham ibu tirinya sedang sakit, tapi kenapa rasanya menyakitkan.
Saat ayahnya pergi, iapun turut pergi meninggalkan rumah. Mengabaikan panggilan khawatir dari ibu dan kakanya. Dan disinilah ia berada, menginjak rumput-rumput hijau taman. Duduk di bangku taman yang kebetulan menghadap ke arah danau kecil yang airnya nampak sangat damai. Tak sedamai isi pikiran Salwa. Bahu sempitnya bergetar, bersamaan dengan setetes liquid bening yang mulai menetes dari manik caramelnnya.
Sampai pandangan buramnya menangkap bayanga sapu tangan putih yang dijulurkan ke arahnya.
“Jangan bilang kau tak bisa melakukannya sendiri,” ujar suara yang terdenagar berat, menggoyang-goyangkan tangannya yang menggenggam sapu tangan sutra. Membuat Salwa tak memiliki pilihan lain selain menerimanya.
Salwapun merebut kasar kain sutra kecil itu, dan menghapus paksa jejak air matanya. Meskipun tak dapat turut menghilangkan rasa kecewa di hatinya. Sementara makhluk yang memberikannya sapu tangan putih itu turut duduk di sampingnya, menyebarkan harum mint dengan campuran citus yang mampu membawa ketenangan di hari Salwa.
Ada rasa nyaman dan aman yang ia rasakan hanya dengan menghirup aroma orang di sampingnya, ia pun tak tahu mengapa yang jelas hatinya terasa damai seketika. Ia palingkan wajahnya menghadap makhluk yang berbagi tempat duduk dengannya, matanya yang kini sudah tidak lagi buram karena terhalang air mata akhirnya menagkap figur seorang pemuda yang ia kenal lewat kecerobohannya. Pemuda yang masih belum ia tahu siapa namanya. Pemuda yang kini tengah disibukkan dengan sebuah buku di tangannya.
Merasa di perhatikan, Jaydenpun langsung merespon tatapan manik rusa itu. Mempertemukan manik obisidian miliknya dengan manik caramel milik gadis yang tengah salah tingkah dibuatnya. Terlihat jelas dengan pipinya yang bersemu semerah tomat.
Rasanya Salwa ingin menceburkan diri ke danau di hadapannya, karena ketahuan memerhatikan orang di sampingnya.
“A-aku penasaran dengan apa yang kau baca, hehehe….” Ujar Salwa beralasan, dengan tangan yang menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Berusaha menyembunyikan yang sebenarnya, ia tak mau membuat pemuda di sampingnya ini besar kepala.
“Apa kau sudah membacanya? Ini novel terlaris bulan ini.” Sahut Jayden, diawali dengan sebuah anggukan. Tak menaruh sedikitpun keraguan akan ucapan gadis berhidung bangir itu.
“Belum, tapi sepertinya menarik.” Sambut Salwa, mendalami perannya.
“Ini sangat bagus, aku merekomendasikannya.” Ungkap Jayden, menutup bukunya. Dan memamerkan buku di tangannya di hadapan Salwa, agar gadis di sampingnya bisa melihat jelas rupa sampul buku yang ia baca.
“Benarkah? Aku harus mencatatnya.” Balas Salwa, menimpali bersikap seolah-olah tertarik.
Yang sebenarnya adalah ia sangat benci membaca buku, itu sangat membosankan baginya. Terlebih membaca dapat membuat matanya perih dan mengantuk.
“Aku sudah selesai membaca.” Ungkap Jayden, menyodorkan buku di tangannya ke arah Salwa.
“Hah?” heran Salwa, masih belum bisa menelan makna ucapan pemuda berhidung prosotan itu.
“Baca dan kembalikan,” ujar Jayden, meletakkan lembut buku itu di atas pangkuan Salwa. Lalu bangkit dari duduknya, meninggalkan Salwa yang masih berkutat dengan pikirannya.
“Terimakasih.” Otak Salwa baru berhenti loading saat punggung Jayden yang sudah nampak semakin mengecil, akhirnya ia harus meneriakkan ungkapan yang ingin ia sampaikan.
Entah pemuda itu mendengarnya atau tidak, Salwa hanya ingin mengungkapkannya saja. Dan itu selesai.