Cakrawala sudah mengitam, purnama sudah bertahta dengan megahnya, ditemani oleh ribuan bintang yang turut menghiasi angkasa. Jarum pendek jam dinding di kamar Salwa sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, namun tidak ada pertanda manik rusa itu akan terpejam.
Sulit dipercaya, seorang Salwa yang benci membaca kini betah berhadapan dengan buku berjam-jam lamanya. Ditemani beberapa bungkus cemilan yang berserakan di atas kasur empuknya, ia berbaring nyaman dengan buku di tangannya.
“Sulit dipercaya, pria dingin sepertinya menyukai cerita romansa.” Gumam Salwa, dengan kedua manik caramelnya yang tak berhenti menatap deretan huruf pada tiap lembar buku itu. “Orang itu, dia memilikki mata yang bagus dalam memilih novel.” Lanjut Salwa, sebelum memasukkan sebuah kripik kentang ke mulutnya.
Satu jam, dua jam dan berjam-jam berlalu. Suhu yang semakin dingin tak membuat Salwa terganggu. Entah sudah berapa banyak posisi yang ia ambil demi melepas rasa penat dan merasa nyaman untuk melanjutkan acara membacanya. Dari berbaring, telungkup, tengkurap dan lainnya, semuanya telah ia lakukan.
Entah mengapa, untuk pertama kalinya ia tak merasa mengantuk melihat saat melihat lembaran-lembaran kertas dengan banyaknya huruf yang berderet panjng di sana. Mungkin karena ceritanya yang amat menari atau karena hal lain Salwa pun tak tahu.
Dan setelah sekian banyak angka yang jarum jam lewati, akhirnya Salwa tiba di lembar terakhir buku itu. Halaman yang menyampaikan akhir dari kisah yang Salwa baca. Lembaran yang berdampingan dengan kertas polos bernoda tanda tangan dari sang penulis novel. “Terimakasih atas dukungannya – Jayden.”, seperti itulah ungkapan yang ditulis oleh sang penulis. Sangat klise, namun berkat torehan tintah itulah Salwa dapat menemukan nama pemuda yang akhir-akhir ini Tuhan pertemukan dengannya.
~oOo~
“JAYDEN!!! KAU PUTUS DENGAN ELSY?” teriakan itu menggema di kamar laus bernuansa moderen milik Jayden.
Teriakan Yohan yang menghanguskan tata krama dalam bertamu itu menggelegar, saat pintu kamar Jayden ia buka dengan kasar. Dan membuat si pemilik kamar terpenjat kaget karenanya. Ia sudah tahu pasti sang sahabat akan segera menemuinya, tapi tidak sekarang juga. Matanya sudah mulai berat terbawa usia malam.
Sementara Yohan langsung mendudukan dirinya di tepi kasur empuk yang sudah menampung berat badan Jayden dengan rasa kaget yang masih belum terlepas dari dirinya, sejak mantan kekasih sang sahabat menelponnya. Menanyakan apakah ada alasan lain Jayden memutuskannya, secara tidak langsung memberinya kabar bahwa hubungan mereka berakhir. Hubungan yang tampak tentram tanpa pernah ada percekcokkan kini berakhir begitu saja. Terlebih sang sahabatlah yang mengakhirinya, bagaimana bisa? Apa yang ada di dalam pikirannya? Yohan harus tahu.
“Apakah ini jam untuk bertamu?” sindir Jayden, dengan mata terpejam. Mengabaikan lontaran pertanyaan dari Yohan.
Ia yakin pasti wajah sabatnya itu tengah masam, namun siapa yang peduli? Rasa kantuknya lebih penting. Lagi pula itu salahnya, mengapa juga ia berkunjung ke rumah seseorang tepat di sepertiga malam.
~oOo~
Mentari sudah terbit kembali, menandakan berakhirnya waktu untuk berleha-leha di kasur empuk. Begitu juga Salwa yang tengah menyembunyikan wajahnya dalam lipatan tangan di atas meja. Harusnya hari ini ia bisa tidur sepuasnya, sebelum hilal kelas yang tiba-tiba ditarik paksa muncul oleh dosenya.
“Disini kosong?” tanya seseorang, yang jika diukur dari volume suaranya tepat berada di samping kiri Salwa.
Bisa Salwa tebak bahwa si pemilik suara sedang mengincar kursi di sebelahnya, kusri yang sengaja ia sisakan untuk sang sahabat.
“Apa kau tidak bisa melihat tas sebesar itu?” komentar Salwa ketus, tak senang kegiatan tidurnya di gangu.
“Oh maaf, ngomong-ngomong apa kau sudah selesai membacanya?” ujar suara itu lagi, menghasilkan helaan napas kasar dari Salwa.
Ia merasa jengah pada si pemilik suara yang terus-terusan mengajaknya bicara, apa ia tidak bisa membiarkan salwa tidur dengan tenang. Rasa kantuk terngah bersarang padanya sejak tadi pagi, karena waktu yang seharusnya ia gunakan untuk beristirahan ia gunakan untuk melakukan sesuatu yang dulunya ia tak suka.
“Apa?” sahut Salwa jengah, masih belum mengeluarkan wajahnya dari persembunyiannya.
“Novelku.” Balas suara itu, membuat bahu sempit Salwa menegang sekatika dibuatnya.
Saat timbul kecurigaan kecil di otaknya, iapun menajamkan penciumannya untuk memastikan kebenaran. Dan benar saja, mereka orang yang sama, karena bau mint bercampur citus yang unik itulah yang menjadi ciri khasnya. Bau menenangkan yang hanya dapat Salwa cium saat Jayden di dekatnya.
Tersadar dari lamuannya, Salwapun menegakkan posisi duduknya dengan mata yang melebar menatap Jayden. Ia tidak menyangka mereka akan bertemu secepat ini. Di kelas campuran yang dosennya adakan, seungguh kebetulan kelasnya dan kelas Jayden digabungkan untuk menerima ilmu bersama-sama hari ini.
“Oh? Sudah selesai ini ambil saja.” Ujar Salwa sedikit gugup, menggeres benda tebal itu agar lebih dekat dengan Jayden. “Em… dan ini, ambil ini sebagai tanda terimakasih ku.” Tambah Salwa meletakkan sekotak kue, yang sejak tadi dianggurkan di atas meja.
“Hey itu punyaku!” bisik Shakira, di dekat telinga Salwa. Ayolah bahkan sesuap kenikmatan kue itu belum ia rasakan sedikitpun. Dan dengan seenaknya sang sahabt memberikannnya pada orang lain. Meskipun awalnya itu juga pemberian dari Salwa.
“Diam dulu nanti ku ganti.” Salwa balas berbisik, menenangkan Shakira yang siap mengamuk
“Buku itu sangat menarik, aku membacanya sepanjang malam.” ucap Salwa, kembali membuka percakapan dengan pemuda yang tengah menjelajah isi kota terbuka di tangannya dengan kedua manik obisidiannya.
“Baguslah kau menyukainya, haruskah aku merekomendasikanmu beberapa buku yang serupa?’’ tawar Jayden, yang masih belum beranjak dari tempatnya.
“Wah, sudah lama aku tidak membaca buku yang menarik, aku menjadi termotivasi untuk membaca.” Sambut Salwa nampak antusias, ia tidak berbohong. Entah mengapa sama sekali tidak merasa bosan membaca buku yang Jayden rekomendasikan, dan mungkin saja buku yang akan datang juga.
“Kau membaca? Astaga apa dunia akan segera berakhir.” gerutu Shakira penuh hiperbola.
Ayolah, ia bersahabat dengan Salwa sejak masih dalam kandungan karena kedua orang tua mereka yang bersahabat. Mana mungkin ia tidak tahu phobia Salwa terhadap buku, bahkan mencium baunya pun Salwa enggan.
“Aku punya banyak, tak perlu membeli. Akan ku pinjamkan padamu.” Tawar Jayden, menghentikan tatapan tajam yang sedang Salwa lontarkan ke arah Shakira. Tatapan yang seakan-akan bisa mengoyak tubuh Shaakira hidup-hidup.
“Eoh? Terimakasih.” Ucap Salwa.
“Sama-sama ….” ujar Jayden menggantungkan ucapannya.
“Salwa, nama ku Salwa” balas Salwa, memahami maksud Jayden.
“Okey, Salwa salam kenal. Aku Jayden.” Ungkap Jayden, turut memperkenalkan namanya. Sebelum beranjak dari sana, saat mendengar sapaan Yohan dari depan pintu. Sahabtnya itu memang sesuatu.
Dan akhirnya meraka bertukar nama setelah sekian pertemuan yang takdir tuliskan.