Cahaya keemasan baru saja terlukis di upuk timur, disambut dengan Jayden yang tengah menggengam kedua tangannya menghadap tepat pada sang surya. Rutinitas yang selalu ia lakukan setiap pagi, yaitu berdoa pagi sebelum mulai beraktivitas.
Yohan yang baru bertamupun langsung menupuk jidat saat melihat sang sahabat yang tengah berdiri khusyuk di balkon. Ia lupa belum melakukan doa pagi seperti apa yang Jayden lakukan. Iapun akhirnya ikut berdiri di samping tubuh yang jauh lebih tinggi darinya, turut melakukan hal yang sama.
“Kau sungguh memperbaikinya?” tanya Yohan, langsung menyerang Jayden begitu manik obisidian itu terbuka.
Yohan yang lebih dulu selesai dengan doanya sempat mengedarkan pandangannya pada ruangan yang sudah tidak asing baginya. Sehingga mudah baginya untuk menemukan hal baru di sana. Seutas tashbih kristal berkilauan yang bersanding dengan rosario batu alam Jayden, di atas nakas samping tempat tidur si pemilik kamar.
“Kenapa hanya tiga puluh tiga butir saja?” tanya Yohan lagi, pada sang sahabat yang tengah bersiap untuk menegak segelas kopi yang beberapa saat lalu sudah ia anggurkan di atas meja kaca.
Menegak sesuatu yang hangat dengan ditemani angin pagi, adalah suatu kenikmatan yang tak dapat diindahkan.
“Harusnya berapa?” bukannya menjawab, Jayden malah balik bertanya.
“Setahuku sembilan puluh sembilan,” jawab Yohan, menuturkan pengetahuan yang ia lupa dapat dari mana.
“Benarkah?”
Kini Jayden tengah membongkar ingatannya, apakah ia pernah menumpahkan isi tas seurut beludru kecil itu. Namun tak ada satu ingatanpun yang membenarkannya. Semoga saja ia tak melupakannya, dan bukan salahnya. Karena enam puluh enam butir itu tidak sedikit, lebih banyak dibandingkan dengan butiran yang sudah Jayden rangkai.
~ooo~
Detik berganti menit, menit berganti jam, dan jam berganti hari. Sudah tujuh kali purnama dan mentari silih berganti, manik obisidian dan manik caramel itu tidak pernah bertukar pandang lagi. Seperti agama mereka yang berbeda, nampaknya mereka juga mengambil jalan yang berbeda, hingga tidak pernah lagi menghirup udara di tempat yang sama.
Namun seperti bulan dan matahari yang nampak mustahil untuk bertemu, dan Tuhan mempertemukan mereka lewat gerhana. Tuhan juga mempertemukan kedua manik berbeda warna itu kembali, ditengah keramaian makhluk-makhluk yang mengisi perut mereka.
Jayden pikir mereka hanya akan sekedar bertukar pandang saja, tetapi siapa sangka gadis bernama Salwa itu menunggunya di depan pintu kantin. Salwa melambaikan tangannya, membuat Jayden terkekeh dibuatnya. Sepertinya Salwa sangat suka menunggu. Jaydenpun memasukkan tangan beruratnya ke saku celananya saat berjalan mengikis jarak antara dirinya dan Salwa, bukan untuk bergaya namun ia berniat ingin mengembalikan tashbih yang selalu ia kantongi kemana-mana.
“Ini punyamu kan?” ujar Jayden membuka percakapan lebih dulu, begitu sampai dihadapan gadis yang tengah mendongkak untuk menatapnya. Seraya menyerahkan tahsbih yang ia rangkai dengan susah payah.
“Eoh?, terimakasih. Kau memperbaikinya?” sambut Salwa, menyadari tashbih di tangannya yang kembali ke bentuk semula.
Ia pikir, dia sudah kehilangan tashbih yang kini tengah bertengger di tangannya. Siapa sangka pemuda berwajah datar yang berapakali berbenturan dengannya akan membawanya kembali, bahkan pemuda yang ia tak tahu siapa namanya itu memperbeikinya seperti semula.
“Maaf,” balas Jayden menundukkan pandangannya, mendengar itu Salwa mengerutkan keningnya. “Aku tidak bisa menemukan sisanya,” lanjutnya tanpa menaikkan pandangannya.
“Hahaha…, ini sudah pas kok. Tashbih ada yang tiga puluh tiga butir dan ada yang sembilan puluh sembilan butir, dan ini versi yang lebih kecil.” Jelas Salwa, merasa gemas sendiri melihat kepolosan pria di hadapannya, rasanya ingin mencubit pipi tirus itu hingga memerah namun ia sadar diri mereka hanyalah orang asing yang kebetulan dipertemukan oleh Tuhan.
“Ah, aku tidak tahu.” Ucap Jayden menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, dibarengi senyum yang menghasilkan bulan sabit di matanya. Manis pikir Salwa.
“Ingin tahu lebih banyak, ayo Ashadu-” ajak Salwa penuh semangat, sangat tergambar dari nada suaranya.
“Mencurigakan,” sela Jayden memicingkan matanya ke arah Salwa. “kenapa kau memanngil ku?” tambahnya langsung ke inti, ia tidak terlalu suka basa-basi.
“Menurutmu mengapa seseorang menemui depkolektor?” tanya Salwa sedikit bermain-main, menaik turunkan alisnya meminta si pria berhidung prosotan menebaknya.
“Ingin pinjam uang,” jawab Jayden kelewat santai, membuat Salwa menganga di buatnya.
Ia tak habis pikir dengan jawaban yang pemuda itu lontarkan. Tidak salah sih, tapi… bagaimana ya.
“Selain itu.” Pancing gadis dengan rambut hitam bergelombang itu sekali lagi, setelah berhasil menepis keheranan yang baru saja menyelimutinya.
“Minta perpanjangan waktu, semiskin itukah kau?” balas Jayden, dengan ekspresi kaget yang sangat amat berlebihan.
“Hufh, sudahlah ini ambil. Bisa-bisa aku hipertensi karena terus berbicara denganmu,” Kesal Salwa, menarik paksa tangan pria di hadapannya. Dan meletakkan lima lembar uang merah di sana.
“Terus? kau ingin kita sering bertemu?” sambut Jayden, menampilkan raut seolah-olah sangat terkejut.
“Bye.” Tutup Salwa, meninggalkan Jayden yang tengah terkekeh karena telah berhasil mempermainkannya.
Lagi-lagi mereka berpisah tampa bertukar nama, masih dengan status orang asing yang kebetulan bertemu.
~oOo~
“Wih kaya nih mas bro, teraktir donk. Babi panggang enak nih.” Buka Yohan, saat melihat yang tengah berjalan ke arahnya dengan beberapa lembar kertas merah di tangannya.
“Tapi ini uang halal,” balas Jayden, saat sudah berdiri tepat bersebrangan dengan Yohan yang tengah menyandarkan punggungnya di mobil hitam milik Jayden.
“Hah?” hanya kata itu yang dapat terlontar dari mulut Yohan, sebagai simbol dari kebingunagnnya.
“Babikan haram.” Jelas Jayden, yang semakin menambah lipatan di kening Yohan.
“Kau masuk islam?” tanya Yohan, meninggikan nada suaranya dua oktaf. Dengan tangan yang menutup mulutnya yang tengah menganga tak percaya di sertai kedua maniknya yang melebar.
Bukankah sangat aneh jika seseorang yang sangat mencintai Tuhannya, tiba-tiba ia berpaling pada yang lain.
“Bukan, tapi uang ini dari orang islam.” Tutur Jayden, menghasilkan hembusan napas lega dari Yohan.
“Memangnya tidak boleh?” tanya Yohan lagi, yang hanya dibalas dengan kendikkan bahu oleh Jayden.
“Sumbangannya nak, untuk mesjid.” Sambung seorang pria paruh baya, yang tiba-tiba saja berada di samping mereka dengan mangkok kecil di tangannya.
Yohan dan Jaydenpun saling pandang, dan berakhir uang pemberian Salwa masuk ke dalam mangkok plastik kecil berwarna biru pudar di tangan pria tua itu.