Apa rasanya menikah?
Setiap orang mempunyai jawaban yang berbeda. Jika aku ditanya hal tersebut, jawabannya tentu saja menyenangkan. Mungkin ada yang mencibir, "Halah, itu biasa. Namanya pengangin baru." Namun menurutku, pernikahan indah atau tidak, tergantung pasangannya.
Pasti semua orang mempunyai cobaan. Makanya, seindah-indahnya pernikahan, tentu memiliki badainya masing-masing. Namun jika seorang muslim bisa memilih pasangan dengan ilmu yang baik, pasti akan terasa ringan. Dan di situlah letak keindahannya.
Walaupun orang lain melihat Kak Adit adalah pria sempurna, tentu saja dia mempunyai kekurangan. Misalnya, dia sering tidak menaruh sepatu di rak. Padahal sudah diteriaki istrinya. Kalau dia mengambil lauk atau nasi, pasti berceceran. Dan ... banyak lagi.
Apa aku mengeluh? Ya, awal-awal. Namun aku sadar, aku juga banyak kekurangan. Hebatnya Kak Adit tidak pernah meneriakiku. Padahal kalau aku berpikir secara jernih, apa yang kulakukan kepadanya itu menyebalkan sekali. Makanya, semenjak itu aku sudah tidak pernah berteriak-teriak. Aku malu. Masa aku tidak bisa sabar sedikit saja?
Buktinya malam ini Kak Adit sedang membantuku untuk melipat baju. Besok aku akan pergi ke Manchester untuk wisuda. Hanya aku yang pergi. Kak Adit harus bekerja. Mungkin Ayah nanti akan menyusul. Tadinya Ayah menawarkan akan membayarkan tiket Kak Adit. Namun harga diri Kak Adit terlalu tinggi.
Katanya begini, "Nanti kamu foto yang sendiri banyak-banyak. Aku gabungin sama foto aku pake Photoshop."
Aku hanya tertawa menanggapi idenya. Lagi pula aku tidak keberatan jika Kak Adit tidak datang. Dia mempunyai kewajiban yang lebih penting, yaitu bekerja untuk menafkahiku.
"Boleh lanjutin dulu nggak? Aku mau masak buat makan malam."
Kak Adit mendongak. "Kenapa nggak beli aja makannya? Kamu capek lho. Udah kamu lanjutin aja. Biar aku yang beli makan ke luar."
Pasti Kak Adit lebih rela membeli makan keluar ketimbang melipat baju. Lihat saja lipatannya. Namun aku sudah menguci mulutku supaya tidak mengomentarinya.
Ah, sepertinya aku akan membawa satu-dua novel untuk kubaca di pesawat. Saat aku memilih novel, pandanganku terpaku pada novel yang Bagas berikan dulu sebelum aku berangkat ke Manchester. Eh, ada kertas jatuh.
Bagas, terima kasih atas kenangan yang kau berikan.
Namun aku harus melanjutkan episode kehidupan ini.
Kehidupan tidak bisa berhenti hanya dengan menunggu sepucuk surat darimu.
Jangan pernah tanya perasaanku kepadamu.
Kamu bisa melihatnya dengan jelas
Jelas dan terang benderang, mengalahkan sinar lampu-lampu jalanan di malam hari.
Sementara perasaanmu seperti lampu temaram yang redup berwarna kuning.
Kini, ada seorang lelaki yang menungguku di ujung sana.
Menungguku untuk berjalan mengarungi masa depan bersama.
Kuharap kau mendapatkan kebahagiaan yang sama denganku.
Semoga kamu bisa berbahagia tanpaku.
Ah, ini kan surat yang rencananya akan kukirimkan beserta undangan pernikahan. Namun waktu itu kuputuskan untuk tidak menyelipkan surat ini. Ya, buat apa? Bagas tidak perlu memgetahui perasaanku. Meskipun aku sangat tahu dia mengetahui perasaanku.
Menurutku, surat ini akan menambah luka di hatinya saja. Ya, itu pun jika dia memang benar-benar menyukaiku. Jika dia tidak serius, syukurlah. Aku menjadi tidak merasa bersalah.
Sebaiknya surat ini kurobek dan kubuang. Ah, novel-novel yang Bagas berikan akan kusumbangkan. Kuberitahu ya, Kak Adit itu cemburu banget. Terutama dengan Bagas.
Sewaktu awal pindahan setelah kami menikah, dia tidak sengaja menemukan surat dari Bagas dan foto kami berdua saat wisuda. Seharian dia mendiamkanku. Makanya aku tidak mau ada kejadian serupa. Aku harus menjaga perasaan Kak Adit.
Apakah aku kesal? Tentu saja tidak. Itu artinya Kak Adit sangat menyukaiku. Mau tahu sejak kapan dia menyukaiku? Sejak dia mewawancaraiku saat perekrutan kru Majalah Suara Pemuda. Iya, dari awal kami bertemu dia sudah menyukaiku. Dan bodohnya aku malah galau dengan playboy cap kabel.
Aku merasakan dekapan dari belakang punggung. Ah, sudah ya! Aku ingin menikmati detik-detik terakhir bersama Kak Adit. Padahal hanya beberapa hari saja kami berpisah, tapi rasanya tetap sedih.
"Apa ini? Kamu nulis diary?" tanya Kak Adit sembari mengambil buku kecil berwarna oranye. "Nyanyian Burung di Ufuk Senja?"
"Ini ... rencananya aku mau bikin novel. Isinya ide ceritanya. Nyanyian Burung di Ufuk Senja itu judulnya."
"Tentang apa?"
"Emm ... tentang kisah cinta kita. Kan indah, bagaikan Nyanyian Burung di Ufuk Senja."
"Kalau Hendra dengar ini, dia pasti langsung muntah."
Kami pun tertawa.