Hari ini kota Manchester sedang musim peralihan dari musim semi ke musim panas. Aku menyeret koper milikku keluar apartemen. Tidak terasa sudah dua tahun aku tinggal di sini. Aku telah menyelesaikan studi magister-ku di Manchester University. Hari ini aku berencana pulang ke Indonesia, dan kembali lagi ke sini untuk prosesi wisuda.
Rasanya masih ingin berlama-lama disini, tetapi keluargaku menyuruhku pulang. Sampai-sampai Ayah mengirimi uang tambahan. Padahal semua sudah tercukupi dari beasiswa. Sebenarnya aku masih ingin jalan-jalan keliling benua biru ini. Tak pernah puas rasanya, meski sudah mengunjungi beberapa negara di sela-sela liburan.
Pak Hartono dan supirnya telah datang. Dia merupakan salah satu teman Ayah yang merupakan homestaff KBRI London. Selama ini Ayah selalu menitipkanku dengan keluarga Pak Hartono, meski aku tinggal bersama teman-teman satu universitas dan jarak ke kota London sangat jauh.
Jadi sebelum pulang ke Indonesia, aku menyempatkan diri untuk ke London. Masih ingat dengan penulis novel bestseller yang pernah kuwawancarai bersama Kak Adit sewaktu masih menjadi kru majalah? Nama penanya Black Hoodie. Aku bisa ketemu sama dia! Dan ... kabar lebih menggembirakannya, Black Hoodie membuat acara berkolaborasi dengan Zoulfa Katouh! Itu lho penulis muslim yang tinggal di Swedia. Dia lagi book tour dan salah satu kota yang didatangi adalah London.
Banyak yang ingin aku ceritakan, tapi berkat Black Hoodie, aku bisa berkomunikasi dengan Kak Adit. Jadi awalnya aku mendengar berita acara itu dari salah satu podcast-nya Black Hoodie. Aku iseng mengirim pesan kepada Kak Adit untuk menanyakan kontak Black Hoodie. Bahagianya, aku mendapatkan kontaknya!
Dari situlah kami akhirnya berkomunikasi kembali. Lucunya, Kak Adit masih saja menagih cokelat yang belum kuberikan kepadanya sewaktu acara wisudanya. Aku sudah menyiapkan oleh-oleh untuknya dan teman-teman lainnya. Kebetulan Karin dan Kak Bastian akan datang ke rumah ketika aku sampai. Aku juga membeli oleh-oleh untuk Bagas berupa gantungan kunci. Entah aku akan bertemu dengannya lagi atau tidak.
Bicara soal Karin, dia sudah mempuyai anak. Umurnya sudah setahun, lucu sekali. Aku melihat foto-foto yang dia kirimkan. Aku senang sekarang sahabatku sudah lengkap kebahagiaannya.
Kira-kira kapan ya aku mendapatkan kebahagiaaan itu?
***
"Bilang ke Tante, makasih ya buat oleh-olehnya," kata Karin sambil kepada Shakira kecil yang belum bisa berbicara. Dia hanya tertawa lucu.
"Oh iya, ada yang kangen sama kamu tuh," celetuk Kak Bastian.
"Siapa, Kak?" tanyaku.
"Ih, nanti aja bilangnya. Nanti nggak surprise," protes Karin.
Aku makin penasaran. Semuanya tersenyum dan seperti menyimpan rahasia. Biarkan saja, nanti kalau sudah waktunya, mereka akan jujur dengan sendirinya. Aku sibuk memisahkan oleh-oleh yang harus kuberikan kepada orang lain. Rencananya besok aku akan bertemu dengan Kak Hawra.
Aku melihat sekotak cokelat yang rencananya akan ku berikan kepada Kak Adit.
"Oh iya, Kak Bastian, minta tolong kasih tahu Kak Adit kalau aku bawa oleh-oleh buatnya. Dia masih nagih utang cokelat yang belom aku kasih coba," kataku sambil tertawa.
"Kasih tahu sendirilah," cibir Kak Bastian.
"Aku nggak enak, takutnya dia udah nikah. Nanti aku dicurigain sama istrinya lagi."
"Memangnya lu pernah lihat Kak Adit nyebar undangan? Dia masih single kali, kan nunggu seseorang... uppss!" Karin menutup mulutnya.
"Bukannya waktu wisuda orangtuanya ketemu calonnya? Siapa itu? Oh iya, Kak Sekar!"
Karin dan Kak Bastian tertawa besar. Aku semakin kesal.
"Yah, kalau Kak Sekar itu calon abangnya yang pertama, kali. Udah nikah tahun kemarin," ungkap Karin.
"Oh, jadi itu yang ngebuat kamu sakit perut tiba-tiba waktu itu? Kamu nyangka Sekar itu calonnya Adit?" ledek Kak Bastian.
"Ih, apaan sih! Bukan kali," sanggahku.
"Idih, udah ketangkep basah masih aja ngelak. Kok bisa ya dulu nggak kepikiran itu." Karin menggeleng-geleng dramatis.
Setelah beberapa jam mengobrol, Karin dan Kak Bastian berpamitan untuk pulang. Aku memasukkan oleh-olehku ke dalam kamar. Di kamar aku mengirim pesan kepada Kak Adit bahwa aku sudah di Indonesia dan membawa oleh-oleh untuknya.
Tiba-tiba aku melihat gantungan kunci bertuliskan London yang rencananya akan kuberikan kepada Bagas. Aku masih ragu akan memberitahunya atau tidak. Aku putuskan untuk mengiriminya pesan. Akan tetapi tak ada balasan darinya. Hanya ada balasan dari Kak Adit. Dia mengatakan bahwa dia akan ke rumahku minggu depan.
***
Usai makan malam bersama, Bang Aldi menyuruhku untuk ke ruang tengah untuk membicarakan sesuatu yang penting. Ini rupanya yang membuat mereka memaksaku untuk segera pulang. Aku, Bang Aldi dan, Kak Salsa sudah berkumpul di ruang tengah, sedangkan Aisyah sudah tertidur di kamar.
"Jadi gini, kenapa kita menyuruh kamu untuk pulang cepat-cepat, karena minggu depan kita akan kedatangan tamu," terang Bang Aldi.
"Siapa tamunya? Memangnya sepenting itu, sampai-sampai Ayah juga ikut maksa untuk pulang?" tanyaku.
"Ada yang mau melamar kamu. Kira-kira kamu sudah siap untuk menikah?" tanya Kak Salsa.
Aku meneguk ludah. "Memangnya siapa yang mau melamar?"
"Aditya. Tadinya sih mau langsung ke sini pas kamu pulang ke Indonesia. Cuma orangtuanya baru bisa minggu depan," ungkap Bang Aldi.
Jantungku berdetak kencang. Aku mencoba untuk mencubit lenganku. Sakit. Jadi ini kenyataan? Ternyata selama ini Kak Hendra tidak berbohong.
"Setahun lalu waktu kamu udah di Manchester, Abang ketemu sama Adit waktu mas ngisi kajian di daerah dekat kampus kamu dulu. Dia habis pulang kerja dan menanyakan kabar kamu. Dia kaget kalau kamu nggak di Indonesia," jelas Bang Aldi.
"Terus Abangmu ini ngorek-ngorek si Adit, kenapa kok nyari-nyari kamu. Akhirnya beberapa hari setelah itu, Adit datang ke sini dan terus terang. Sebenarnya sehabis kamu wisuda, dia berencana untuk ngelamar kamu. Ya tapi ternyata dia ada masalah keluarga setelah ibunya meninggal dan juga mendengar bahwa kamu dilamar sama Bram dari Bastian," kata Kak Salsa.
"Adit mengaku kalau dia nggak percaya diri secara finansial. Apalagi dia juga mendengar dari Karin kalau kamu menolak Bram yang notabene dari keluarga yang mapan. Ya kita ngeyakinin dia kalau kamu bukan orang yang melihat seseorang dari hartanya. Kita juga membuka lebar siapa saja yang mau melamar kamu. Asalkan dia mempunyai komitmen yang kuat. Abang juga ngerasa Adit sudah lebih matang untuk membina keluarga ketimbang Bram dulu. Apalagi kakakmu ini semangat banget pengen punya adik ipar si Adit," sindir Bang Aldi sambil melirik ke arah Kak Salsa.
"Ternyata ada fans garis kerasnya Kak Adit. Ya, aku bisa apa." Aku tertawa.
"Ya kan, yang mau nikah kamu, Ma! Kalau Kakak suka, tapi kamu nggak suka, nggak bisa dipaksa juga."
Aku tertawa. "Bercanda, Kak. Ya, kalau boleh jujur, aku lega banget kalau orang yang ngelamar itu Kak Adit."
"Ternyata adek kita ini udah naksir Adit sejak lama, Bang!" Kak Salsa mencubit lengan Bang Aldi.
"Ya, tapi aku nggak pede waktu dulu. Rasanya mimpi gitu kalau Kak Adit bisa suka sama aku."
"Tapi sekarang udah bukan mimpi, Ma." Kak Salsa menaruh telapak tangannya di atas tanganku.
***
Aku tahu ini bukan mimpi. Rasanya hatiku berdesir saat Kak Adit mengutarakan keinginannya melamarku. Hatiku seperti ingin meledak! Apalagi dia semakin terlihat dewasa. Dengan baju koko berwarna hijau tosca ditambah di bawah dagunya ditumbuhi janggut tipis. Pokoknya beda sama penampilannya dulu.
Usai acara lamaran, kami mempersilahkan Kak Adit dan keluarga untuk menyantap hidangan. Tidak hanya keluarganya yang datang, tetapi ada Karin, Kak Bastian, dan Kak Hendra yang masih setia dengan kesendiriannya. Aku berdoa semoga dia segera menemukan tambatan hatinya.
"Akhirnya perjuangan saya dan Bastian nggak sia-sia untuk menyatukan kedua merpati," celetuk Kak Hendra.
"Sampe ngirim cerpen-nya Kak Adit dan screenshot chatting-an kalian?" Aku melirik sinis kepadanya.
Kak Adit yang sedang minum menjadi tersedak. "Salma, serius si Hendra ngelakuin apa yang kamu bilang tadi?"
Aku mengangguk.
"Udah dibilangin, jangan naruh HP atau laptop sembarangan di depan tukang gosip," sindir Kak Bastian.
"Kamu kalau mau marah, marah aja, Dit. Yang penting saya sudah membangun satu rumah di surga. Kalian bisa berjodoh berkat saya." Kak Hendra menarik kerah kemejanya.
"Emang beneran ganjarannya dapet rumah di surga? Ah, tanya Pak Ustaz Aldi dulu lah. Takutnya si Hendra sesat." Kak Bastian beranjak untuk menghampiri Bang Aldi.
***
Saat semuanya berpamitan pulang, aku memanggil Kak Adit dan memberikannya cokelat.
"Maaf ya, Kak, kalau hadiah wisudanya telat," kataku tersenyum.
"Maaf juga saya telat datang. Kamu jadi harus menunggu dua tahun," ujarnya tersenyum.
Duh, lama-lama hatiku benar-benar akan meledak!
***
Setelah prosesi lamaran, aku disibukkan dengan persiapan pernikahan. Di tengah-tengah kesibukanku, tiba-tiba ada pesan. Ternyata dari Bagas. Aku memintanya untuk memberikan alamat rumahnya untuk mengirim gantungan kunci sekaligus surat undangan pernikahan. Aku tidak memberitahu tentang rencana pernikahanku dan hanya bilang jika ingin mengiriminya oleh-oleh.
Dia sangat senang bahwa aku masih mengingatnya dan membawakannya oleh-oleh. Dia berharap akan bertemu denganku jika dia sedang mampir ke Jakarta. Dia sendiri sudah pulang ke kota kelahirannya di Bogor. Maafkan aku Bagas, sepertinya kita tidak bisa bertemu seperti dulu lagi. Aku hanya ingin membalas budi kebaikanmu.
Akhirnya penantianku berakhir juga. Semua jawaban sudah terjawab. Perjalanan untuk bertemu dengan pendamping hidup memang penuh dengan emosi dan berurai air mata. Namun rasanya malu kepada Allah jika akan berakhir indah seperti ini. Ada perasaan menyesal jika dulu sering merasa galau dan resah. Padahal Allah sudah menyiapkan skenario terbaik. Terima kasih, ya Allah, Engkau telah mengirim Kak Adit sebagai penyempurna agamaku.