Read More >>"> Nyanyian Burung di Ufuk Senja (4. Ulang Tahun Bagas) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Nyanyian Burung di Ufuk Senja
MENU
About Us  

Sambil menunggu kelas selanjutnya, aku memutuskan untuk mengerjakan tugas di taman kampus. Di bawah pohon dan di atas rerumputan adalah tempat favoritku. Apalagi cuaca hari ini sangat bagus, matahari tidak terlalu terik. Berawan tetapi tidak mendung tanda sebentar lagi ingin hujan. Masih ada satu jam lagi untuk kelas selanjutnya. Tiba-tiba sudah duduk seseorang di sampingku. 

Ternyata Bagas, dia duduk di sampingku tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Aku pun mencoba memecahkan keheningan dengan mengajaknya berbicara.

“Kamu lagi enggak ada kelas, Gas?” tanyaku sambil menoleh kepadanya.

Dia pun menggelengkan kepala.

“Ada kelas lagi jam berapa? Oh iya aku selesai kelas jam dua belas, abis zuhur kita lanjutin cerpen kita yuk!” 

“Aku enggak bisa.” Dia mulai memalingkan wajahnya.

“Kamu kenapa sih dari kemaren diam aja setiap aku tanya? Kamu marah sama aku?” 

Lagi-lagi dia hanya menggelengkan kepala. 

Aku merasa kesal dan membiarkannya sambil kembali mengerjakan tugas di laptop. Bagas masih saja duduk di sampingku sambil terdiam. Malah sekarang dia mulai membaringkan tubuhnya di atas rerumputan. Aku sebisa mungkin menjaga jarak dengannya agar tidak terlalu berdekatan. Memang kita sebelumnya sering bersama, tetapi aku selalu menjaga jarak ketika duduk dan berjalan. Begitu pun dengan lawan jenis lainnya.  

Beberapa menit berlalu, kemarahanku benar-benar berada di ujung tanduk. Bagas tidak kunjung mengajakku berbicara. 

“Plis deh, Bagas, kalau kamu marah tuh ya jelasin ke aku, jangan diam...,” belum selesai ku memarahinya, dia langsung memotongnya.

“Katanya kamu enggak percaya diri kalau perform di depan orang? Terus aku lihat minggu lalu kamu jadi moderator di acara Language Day. Aku tahu jika tampil menemaniku membaca puisi dan bernyanyi itu adalah hal yang memalukan,” ujarnya. Terlihat jelas kemarahan dari kedua bola matanya. 

“Gas, bukan gitu, aku terpaksa menerima tawaran itu karena...,” lagi-lagi, belum saja aku menyelesaikan kata-kataku, dia beranjak pergi meninggalkanku. 

Aku merasa frustrasi dibuatnya. Aku tidak bisa mencegahnya pergi, karena tidak mungkin aku menarik tangannya. 

Merasa konsentrasiku buyar karena ulah Bagas, aku pun mematikan laptop. Bergegas ke kelas bersiap-siap untuk mata kuliah selanjutnya.

***

Tiba-tiba hari ini perasaanku sedang tidak bagus. Entah karena bangun kesiangan atau kejadian dua hari yang lalu dengan Bagas. Dia masih saja diam seribu bahasa hingga kemarin. Tidak keluar sepatah kata pun meski tak sengaja bertatapan langsung denganku di koridor kampus. Malah ketika kumpul Komunitas Sastra dan majalah dia dengan sengaja mengacuhkanku dan berbicara dengan teman-teman wanita lain. Ada yang membara di dalam hati ini. 

“Eh, tumben sendirian. Biasanya berduaan di bawah pohon sama pria gembel itu.” 

Ketika aku menoleh ke samping, ternyata sudah duduk sesosok yang membuat perasaanku tambah kacau. Dia tersenyum riang dan duduk mendekatiku di atas bangku taman. Siapa lagi kalau bukan Bramantyo.

“Jangan suka berbicara sembarangan tentang orang lain! Ngapain sih kamu disini? Hari-hari aku tuh udah tenang semenjak kamu enggak pernah gentayangan kayak dulu,” jawabku ketus. 

Bram memang suka berbicara seenaknya tentang orang lain. Dia berkata seperti itu mungkin karena melihat Bagas yang tidak terlalu peduli dengan penampilannya. Namun tetap saja mahasiswi lain juga bakal lebih tertarik kepada Bagas, karena paras dan senyumannya yang memikat.

“Kenapa sih kamu selalu judes sama aku? Sama pria gembel itu aja berdua-duaan terus. Katanya enggak mau pacaran, tapi sering kelihatan berduaan sama dia,” ujar Bram.

Aku kesal dengan omongannya, meski ada benarnya. Sepertinya aku harus mengurangi berduaan dengan Bagas. Akan tetapi bolehkan jika ada project membuat cerpen berdua? Atau mengerjakan tugas bersama? Lagi pula selain di luar kampus, kami tidak pernah benar-benar berduaan. 

Aku tidak menanggapi omongannya sambil terus menggulir beranda sosial media di gawai. Aku tersadar bahwa hari ini adalah ulang tahun Bagas, terlihat dari notifikasi yang masuk. Langsung aku mengirim pesan beberapa teman dari komunitas sastra untuk membuat pesta kejutan untuk Bagas sebagai ketua. Mereka semua setuju dan aku langsung berdiri dari tempat dudukku, bergegas ke toko kue. Kebetulan hari ini kelasku selesai cepat.

“Mau ke mana?” tanya Bram.

Aku lupa bahwa masih ada manusia menyebalkan di sampingku. 

“Mau ke toko kue.” 

“Aku ikut!” Dia ikut beranjak dari bangku.

“Yakin bener mau ikut? Aku mau beli kue buat Bagas lho.” 

Bram mencibir dan berkata, “Apa istimewanya sih dia? Apa jangan-jangan kalian udah jadian? Katanya malu pacaran karena pakai jilbab?” 

“Jangan salah paham. Ini pesta kejutannya yang ngadain komunitas sastra kok. Aku cuma dikasih tugas buat beli kue. Udah jangan ikutin. Katanya enggak boleh gue berduaan sama cowok?” 

Bram terdiam dan aku meninggalkannya. Ada toko kue dekat kampus. Saking senangnya, aku tersenyum-senyum sendiri. Mungkin ini bisa jadi peluang untuk minta maaf kepada Bagas. Setelah mendapat kue, aku kembali ke kampus dan mengkontak teman-teman yang lain. Tadinya teman-teman menyuruhku untuk menghubungi Bagas, tetapi mengingat kondisi hubungan kita yang tidak baik dari percakapan terakhir, maka aku menolaknya. 

Setelah beberapa menit kami menunggu, ada yang membukakan pintu. Kami pun bersiap-siap, lalu berteriak, “Surprise!”

“Gila! Jantungan gue! Lihat dulu kek siapa yang datang! Si Bagas ketinggalan jauh di belakang gue noh!” seru Ezra. 

Kami pun tertawa.

Beberapa menit kemudian, tangkai pintu ada yang menggerakkan dan kali ini benar-benar Bagas. Kami berteriak, "Surprise!" seperti tadi. Dia tersenyum terharu, terlebih ketika melihatku sedang memegang kue dan berjalan ke arahnya. Dia meniupkan lilin, kami pun bersorak mengucapkan selamat. Setelah kami makan kue, teman-teman menarik Bagas ke halaman belakang kampus dan menjatuhkan beberapa telur ayam kepadanya. Kami pun tertawa melihatnya gelagapan akibat serangan dadakan. 

Setelah aksi penceplokan telur, kami pun pulang. Bagas juga pulang ke kosan untuk membersihkan kotoran telur yang terasa lengket di badannya. Tadinya aku ingin mengajaknya bicara, tetapi melihat kondisinya seperti itu, aku harus menundanya. 

***

Cuaca hari ini terik sekali, aku buru-buru masuk rumah. Hari ini sepulang kuliah kereta sangat padat. Biasanya siang-siang seperti ini kosong, entah mengapa kali ini berbeda. Hari ini tidak ada kuliah sore dan kegiatan kampus.

Aku bergegas menuju kulkas yang berada di dapur. Satu tujuanku, yaitu air dingin. Setelah meneguk beberapa gelas, aku beranjak ke kamar untuk istirahat. Setelah mengganti pakaian, aku merebahkan badan di atas kasur dan bersiap untuk memejamkan mata. Tiba-tiba gawaiku bergetar dan menghilangkan kantuk.

Bagas: Kamu harus tanggung jawab. Aku demam gara-gara kemarin.

Bagas ternyata sakit? Pantas saja hari ini tidak terlihat batang hidungnya. 

Salma: Ya ampun, kamu udah berobat ke dokter? Maaf ya, yang aksi penceplokan telur bukan ide aku.

Bagas: Udah minum obat tadi. Iya, Salsabila, aku enggak marah sama kamu. 

Salma: Aku rencananya kemarin mau ngomong sama kamu ngejelasin tentang aku jadi moderator. Aku dipaksa Karin, karena dia jadi panitia dan waktunya mepet. Aku sebagai sahabatnya merasa neggak enak. Sebenarnya aku mau banget perform sama kamu di acara kampus untuk baca puisi sambil diiringi gitar sama kamu, tapi aku enggak dibolehin sama kakakku untuk nyanyi atau baca puisi. Mungkin karena aku perempuan dan banyak lelaki yang nonton. Kalau moderator beda sama nyanyi. Jadi maaf banget. 

Bagas: Iya nggak apa-apa, maaf kalau aku terlalu berlebihan menangggapinya. Btw, makasih ya kuenya, aku tahu kamu yang beli. Ezra bilang sama aku. Terus kamu nggak ada rencana mau jenguk aku?

Salma: Makasih udah mau maafin aku. Haha mau sih tapi kan enggak boleh masuk ke kosan cowok. Aku doain kamu cepat sembuh aja, supaya bisa ketemu lagi di kampus.

Bagas: Terimakasih, Gadis Manis. Doa kamu lebih mujarab dari obat mana pun.

Aku merasa lega Bagas sudah tidak marah kepadaku. Aku yang tadinya sempat mengantuk, akhirnya jadi seperti handphone yang baru diisi. Kami pun bertukar pesan sampai tidak terasa waktu asar tiba. Tiba-tiba ada yang membuka pintuku.

“Ma, jangan main HP terus. Ayo salat, terus bantuin kakak di dapur,” ujarnya. 

Aku pun langsung beranjak mengambil air wudu dan setelah salat aku menghampiri Kak Salsa di dapur. Dia pun menyuruhku memindahkan bahan masakan ke ruang makan, supaya kami mengerjakan di sana.

“Kamu chattingan sama siapa sih? Sampe enggak keluar-keluar kamar daritadi?” tanya Kak Salsa.

“Ada deh, mau tahu aja,” jawabku.

“Yee…! Ditanya malah gitu! Bagas ya? Kamu enggak pacaran, kan? Kamu tuh katanya enggak mau pacaran tapi malah chattingan sama Bagas. Sama aja itu tahu.” 

“Ih, kakak mah suka ngaco deh! Aku enggak pacaran sama Bagas! Emang apa salahnya cuma chattingan doang? Kan enggak jalan berduaan.” 

Kak Salsa mengehela napas lalu berkata, “Ya sama aja atuh, Neng. Chattingan sama cowok kan juga berduaan. Kan orang-orang enggak ada yang tahu kalian membicarakan apa. Walaupun awalnya cuma modus nanya-nanya tugas atau apalah, tapi lama kelamaan bisa berujung pada asmara. Kamu harus lebih hati-hati, Ma.”

“Iya, iya ah bawel,” ucapku sambil meninggalkannya ke dapur untuk membawa beberapa sayuran di dapur.

***

Entah mengapa aku merasa panas melihat Bagas berbicara dengan teman-teman wanita yang lain. Bukannya tidak boleh, cuma mereka terlihat terlalu akrab. Tidak hanya sekali-dua kali aku melihatnya akrab dengan mahasiswi lainnya. Bahkan ada beberapa dari mereka yang merasa seolah Bagas tertarik dengannya. Aku pernah mendengar mereka bergosip tentang Bagas di belakangnya.

Apa Bagas seperti ini dengan semua perempuan? Meskipun dia selalu bilang aku orang yang pertama di ajaknya ke Cerita Café, juga wanita pertama yang dia ingin bernyanyi diiringi gitar dengannya. Apa aku harus percaya dengannya? Tidak usah menjawab itu, karena buktinya aku selalu terbuai oleh rayuannya.

Seperti halnya yang terjadi ketika sidang redaksi, dia secara terang-terang melarang orang lain duduk di sampingku. Akan tetapi sedari tadi kepalanya menoleh ke belakang untuk menanggapi wanita-wanita lain dan asyik tertawa-tawa. Untung saja Karin ada di sampingku juga, jadinya aku tidak kikuk.

“Salma, kamu bisa ikut saya wawancara dengan narasumber besok? Soalnya narasumbernya seorang native English. Jadinya kita butuh yang expert. Dia seorang penulis bestseller dari London. Teman saya seorang jurnalis bisa membuatkan janji untuk majalah kita. Karin sedang sibuk dengan pembukuan keuangan sampai minggu depan. Di sini cuma kamu dan Karin yang di program studi Inggris,” terang Kak Aditya.

“Oh boleh, Kak. Besok aku ada kelas cuma sampai zuhur,” jawabku.

“Oke, setelah salat zuhur saya tunggu di lobi kampus,” katanya.

Aku pun menganggukkan kepala tanda setuju. Tiba-tiba saja Bagas berhenti berbicara dengan teman-teman di belakang dan beralih menatapku. Tatapannya seperti orang sedang kesal atau mungkin itu hanya perasaanku saja. Aku pun tidak mengambil pusing. 

***

Aku mendapat pesan dari Kak Aditya bahwa dia telah menunggu di lobi kampus. Aku pun bergegas memakai sepatu di teras masjid. Aku melihatnya sedang menungguku. Dia pun menjelaskan bahwa kita akan berangkat menggunakan kereta dan turun di Stasiun Cikini. Kami akan bertemu di cafe dekat sana. Kak Aditya menyuruhku untuk masuk gerbong wanita dan akan menungguku di pintu keluar stasiun ketika sampai.

“Maaf ya, Kak, nunggu lama ya?” tanyaku setelah menemukannya di pintu keluar.

“Enggak kok, kita jalan saja ya. Kebetulan dekat kok dari sini,” ajaknya.

Aku pun menganggukkan kepala. Lalu sambil berjalan kami pun berbincang-bincang banyak hal. Ternyata asyik juga jika berbicara dengan Kak Aditya. Kami bisa saling berbagi satu sama lain tentang apa yang kami ketahui. 

Dia secara sigap berjalan ke sisi kiriku saat kami menyeberang di bawah jembatan layang. Pemandangan cafe unik dan beberapa bangunan lawas selama kami menyusuri trotoar membuat suasana semakin syahdu.

“Maaf ya bukan maksud ngajak kamu pergi berduaan, tapi teman yang lain sibuk. Juga narasumbernya cuma bisa hari ini,” katanya.

“Iya, Kak, enggak apa-apa aku paham kok. Aku juga masih banyak belajar soal berinteraksi dengan lawan jenis. Jadi ingat pas Kak Adit ngelarang aku buat pergi waktu itu, karena aku cewek sendirian. Aku jadi sadar kalau itu enggak baik. Soalnya dulu aku pikir, enggak ada salahnya. Lagian enggak berduaan ini.” 

“Dimaklumin kok, apalagi kita yang memang tidak fokus belajar agama, seperti mengambil jurusan keagamaan. Jadi pasti ada beberapa yang salah dalam memahaminya. Kalau kamu mau bisa ikut kajian-kajian yang diadain LDK, biasanya suka ada setiap Selasa dan Jumat di masjid kampus.” 

“Wah iya, Kak? Aku juga disuruh Bang Aldi sama Kak Salsa ikut LDK, eh malah aku ikut komunitas sastra." Aku menyengir. "Tapi aku masih sesekali ikut pengajian kalau Bang Aldi ngisi kok.” 

“Wah, kakak ipar kamu suka ngisi pengajian ya? Boleh juga sekali-kali saya datang buat nambah ilmu.” Terlihat kedua matanya berbinar. “Oh iya, kakak ipar kamu lulusan mana?” 

“Lulusan Universitas Al-Azhar Kairo, Kak. Kakakku juga. Nanti aku bakal kirim chat jadwalnya Bang Aldi deh, Kak.” 

“Wih, keren-keren. Oke nanti saya tunggu jadwalnya.”

Akhirnya kami sampai di depan cafe. Kak Aditya menunjuk seorang pria berambut pirang yang memakai topi beret dari kaca depan cafe. “Itu Mr. Wren.” 

***

“Bang, minta jadwal kajian dong. Kak Aditya minta katanya dia pengen datang,” kataku. 

Kak Salsa pun berdeham, berusaha menggodaku.

“Udah deh, Kak, jangan mengkhayal punya adek ipar kayak Kak Adit. Ketinggian nanti jatuh lho.” 

Bang Aldi hanya menggelengkan kepala melihat tingkah kami. Lalu masuk pesan dari Bang Aldi yang berisikan jadwal pengajian. Aku pun langsung mengirimkannya kepada Kak Aditya. 

Lalu tiba-tiba Kak Salsa mengejutkanku sebuah berita bahwa minggu depan Ibu akan datang ke Jakarta. Kebetulan suaminya ada urusan pekerjaan di sini dan akan menemui kita berdua. Jujur, dari awal kepindahanku ke sini, aku sama sekali belum pernah menghubungi Ibu. Aku masih trauma Ibu akan menjodohkanku dengan Bram. Oh iya, aku lupa soal Bram! 

Jangan-jangan ibu akan mendatanginya lagi! Apa yang harus aku lakukan, ya Allah?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Under The Moonlight
1515      838     2     
Romance
Ini kisah tentang Yul dan Hyori. Dua sahabat yang tak terpisahkan. Dua sahabat yang selalu berbagi mimpi dan tawa. Hingga keduanya tak sadar ‘ada perasaan lain’ yang tumbuh diantara mereka. Hingga keduanya lupa dengan ungkapan ‘there is no real friendship between girl and boy’ Akankah keduanya mampu melewati batas sahabat yang selama ini membelenggu keduanya? Bagaimana bisa aku m...
Marry
866      408     0     
Fantasy
Orang-orang terdekat menghilang, mimpi yang sama datang berulang-ulang, Marry sempat dibuat berlalu lalang mencari kebenaran. Max yang dikenal sebagai badut gratis sekaligus menambatkan hatinya hanya pada Orwell memberi tahu bahwa sudah saatnya Marry mengetahui sesuatu. Sesuatu tentang dirinya sendiri dan Henry.
Seharap
4987      2105     0     
Inspirational
Tisha tidak pernah menyangka, keberaniannya menyanggupi tantangan dari sang kakak untuk mendekati seorang pengunjung setia perpustakaan akan menyeretnya pada sebuah hubungan yang meresahkan. Segala kepasifan dan keteraturan Tisha terusik. Dia yang terbiasa menyendiri dalam sepi harus terlibat berbagai aktivitas sosial yang selama ini sangat dihindari. Akankah Tisha bisa melepaskan diri dan ...
Premium
Antara Aku Pelangi & Hujan
3047      1180     0     
Romance
Zayn bertemu dengan seorang gadis yang sedang menangis di tengah derasnya hujan dan tanpa sadar Zayn tertarik dengan gadis tersebut Ternyata gadis tersebut membawa Zayn pada sebuah rahasia masa lalu yang di lupakan Zayn Membawanya pada sesuatu yang tidak terduga
Langit Indah Sore Hari
97      83     0     
Inspirational
Masa lalu dan masa depan saling terhubung. Alka seorang remaja berusia 16 tahun, hubungannya dengan orang sekitar semakin merenggang. Suatu hari ia menemukan sebuah buku yang berisikan catatan harian dari seseorang yang pernah dekat dengannya. Karena penasaran Alka membacanya. Ia terkejut, tanpa sadar air mata perlahan mengalir melewati pipi. Seusai membaca buku itu sampai selesai, Alka ber...
Asoy Geboy
3889      1203     1     
Inspirational
Namanya Geboy, motonya Asoy, tapi hidupnya? Mlehoy! Nggak lengkap rasanya kalau Boy belum dibandingkan dengan Randu, sepupu sekaligus musuh bebuyutannya dari kecil. Setiap hari, ada saja kelebihan cowok itu yang dibicarakan papanya di meja makan. Satu-satunya hal yang bisa Boy banggakan adalah kedudukannya sebagai Ketua Geng Senter. Tapi, siapa sangka? Lomba Kompetensi Siswa yang menjadi p...
Dear N
3341      1359     18     
Romance
Dia bukan bad boy, tapi juga bukan good boy. Dia hanya Naufal, laki-laki biasa saja yang mampu mengacak-acak isi hati dan pikiran Adira. Dari cara bicaranya yang khas, hingga senyumannya yang manis mampu membuat dunia Adira hanya terpaku padanya. Dia mungkin tidak setampan most wanted di buku-buku, ataupun setampan dewa yunani. Dia jauh dari kata itu. Dia Naufal Aditya Saputra yang berhasil m...
1'
2564      994     5     
Romance
Apa yang kamu tahu tentang jatuh cinta? Setiap kali ada kesempatan, kau akan diam-diam melihatnya. Tertawa cekikikan melihat tingkah konyolnya. Atau bahkan, kau diam-diam mempersiapkan kata-kata indah untuk diungkapkan. Walau, aku yakin kalian pasti malu untuk mengakui. Iya, itu jarak yang dekat. Bisa kau bayangkan, jarak jauh berpuluh-puluh mil dan kau hanya satu kali bertemu. Satu kese...
Aku baik-baik saja ¿?
2296      1015     2     
Inspirational
Kayla dituntut keadaan untuk menjadi wanita tangguh tanpa harus mengeluh, kisah rumit dimulai sejak ia datang ke pesantren untuk menjadi santri, usianya yang belum genap 17 tahun membuat anak perempuan pertama ini merasa banyak amanah yang dipikul. kabar tentang keluarganya yang mulai berantakan membuat Kayla semakin yakin bahwa dunianya sedang tidak baik-baik saja, ditambah dengan kisah persaha...
Edelweiss: The One That Stays
1353      583     1     
Mystery
Seperti mimpi buruk, Aura mendadak dihadapkan dengan kepala sekolah dan seorang detektif bodoh yang menginterogasinya sebagai saksi akan misteri kematian guru baru di sekolah mereka. Apa pasalnya? Gadis itu terekam berada di tempat kejadian perkara persis ketika guru itu tewas. Penyelidikan dimulai. Sesuai pernyataan Aura yang mengatakan adanya saksi baru, Reza Aldebra, mereka mencari keberada...