Perjalanan hidup manusia di bumi ini pasti selalu ada halangan atau rintangan yang harus di hadapi dan harus di selesaikan. Sudah menjadi garis hidup manusia bahwa tidak selamanya akan merasakan bahagia. Setiap orang pasti pernah memiliki masalah berat di dalam hidupnya. Pengalaman pahit tersebut ada yang sifatnya ringan, sedang, hingga berat yang bisa menyebabkan seseorang mengalami trauma psikis dalam jangka panjang.
Banyaknya masalah di dalam hidup bisa memunculkan pikiran-pikiran negatif yang menyebabkan seseorang menjadi cemas, stres, bahkan mengalami depresi obsesif. Hal ini terjadi bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti pola pikir yang selalu negatif terhadap diri sendiri, dan lingkungan sekitar. Masalah berat ini jika tidak segera diatasi maka bisa memicu terjadinya gangguan serius, seperti depresi.
Taehyung baru mengetahui jika gadis yang selama ini dia taksir itu banyak menyimpan masalah dalam hidupnya. Taehyung berpikir hanya dirinya sendiri yang sedang menghadapi masalah keluarga, ah ralat tepatnya masalah yang di timbulkan oleh dirinya sendiri, yang mengakibatkan dia harus kabur dari rumah dan tinggal di kost-kostan.
Ada banyak hal yang dapat memberikan kekuatan agar termotivasi dalam menggapai impian dan hidup ini memang harus diperjuangkan, meski masalah datang silih berganti. Untuk mencapai segala tujuan yang kita inginkan, diperlukan suatu perjuangan yang tak kenal lelah dan tak kenal putus asa.
"Apa kau akan ke Seoul hari ini?" tanya Taehyung yang berdiri di ambang pintu kamar Haewon lalu berjalan mendekati Haewon.
Haewon mengangguk menandakan jawaban iya, "aku tidak tahu, kenapa tiba-tiba aku merasa rindu dengan Ayah. Kenapa aku harus bertemu dengan dia lagi!" cicit Haewon. Matanya mulai berkaca-kaca mengingat kejadian di waktu itu.
Tak terasa buliran bening mengalir membasahi pipi Haewon. Mengalir mengikuti lekukan pipi gadis itu hingga menetes jatuh ke tangannya.
"Aku merasakan beban yang cukup berat ketika dia meninggalkanku, Adik, dan juga Ayah," isakan tangis Haewon mulai terdengar, "terlebih lagi ketika aku harus kehilangan Adikku. Dia meninggal di usia yang masih muda, bahkan aku pun belum mewujudkan keinginan dia untuk bertemu dengan Ibu sebelum dia menghembuskan napas terakhirnya!" Haewon tak kuasa menahan tangisnya. Ada sedikit penyesalan di raut wajahnya tapi juga bercampur dengan rasa benci. Kebencian yang dia rasa, tapi juga tak bisa dia hindari. Cinta dan Benci memang beda tipis. Mungkin itu yang dirasakan oleh Heawon terhadap Ibu kandungnya sendiri. Memang tak sepantasnya kalau seorang anak membenci Ibu kandungnya sendiri tapi Heawon mungkin dia ada alasan tersendiri, kenapa dia bisa sampai membenci Ibu kandungnya.
Taehyung merangkul Haewon dan menepuk-nepuk bahu gadis itu. Pemuda ganteng itu juga bisa merasakan apa yang dirasakan gadis yang berada di sampingnya.
Rasa benci memang sama seperti rasa cinta yang bisa muncul dengan tiba-tiba tanpa bisa ditepis. Rasa itu muncul begitu saja. Secara emosi, membenci orang menimbulkan berbagai gejolak dalam diri seseorang.
"Aku tahu kau begitu sangat membenci Ibumu," Taehyung menatap Haewon. Tangannya mulai terulur mengusap buliran bening di pipi Haewon. Gadis itu masih terisak menahan sesak di hatinya.
"Aku tahu ini salah tapi---"
"Sssstttt ...." Taehyung menyela ucapan gadis itu, dia meletakkan jari telunjuknya di bibir tipis Haewon. "Membenci hanya akan menambah luka. Jika kita membenci, sebenarnya itu hanya akan menambah luka setiap harinya. Sebab, setiap orang akan menyimpan beragam kejengkelan yang membuat hatinya tidak lepas dari emosi negatif. Seperti prasangka, perasaan dongkol, iri hati, nyinyir, dan semacamnya. Hal tersebut tidak baik untuk kondisi psikologis. Menolaknya juga hanya akan membuat kita terluka. Bukankah lebih baik jika berdamai dengan orang atau sesuatu yang kita benci?" imbuh Taehyung menangkup pipi Haewon dengan kedua tangannya.
Kedua manik mata itu kembali beradu namun dalam keadaan dan suasana yang berbeda.
"Tae-Taehyung, aku--" kembali ucapan Haewon disela lagi oleh Taehyung.
"Seberat apapun masalahmu, ingatlah satu hal bahwa Tuhan tidak akan memberi ujian di luar batas kemampuan manusia tersebut," Taehyung menatap lembut gadis yang ada di depannya. "Berjalan, jangan berlari. Sebab hidup itu perjalanan, bukan pelarian." jelas Taehyung lebih lanjut. "Hidup adalah perjalanan yang harus dilalui, tidak peduli seberapa buruk jalan yang harus dilewati." Taehyung menatap Haewon dan mengusap lagi buliran bening yang kembali mengalir dari sudut mata gadis itu.
"Taehyung-ah ...." lirih Haewon menatap laki-laki berhidung mancung di depannya tersebut.
"Saat ini aku baru sadar, apa yang aku lakukan salah," Taehyung menundukkan kepalanya. "Kau tahu, aku kabur dari rumah karna Ayahku menganggap kalau aku ini adalah anak manja. Anak yang tidak bisa mandiri!" Taehyung menarik napas panjang.
"Aku berpikir, kalau hanya aku yang punya masalah berat. Tapi karna masalah itu pula, aku bisa belajar dan dari masalah itu pula, aku menjadi kuat walaupun di sisi lain aku pun bisa rapuh." Haewon duduk lesu di samping Taehyung.
Sesaat setelah itu, Taehyung menoleh ke arah Haewon dan tersenyum. "Pulanglah, lekas temui Ayahmu. Aku yakin dia pun pasti sangat merindukanmu."
"Apa kau juga akan pulang ke rumah untuk menemui kedua orangtuamu?" tanya Haewon pada Taehyung.
"Tentu saja!" jawab laki-laki bersuara baritone itu, "tentu saja, aku pun juga akan pulang ke rumah untuk menemui Ayah dan Ibuku." imbuhnya.
Haewon bangkit dari duduknya dan menarik koper, berjalan keluar mengekori Taehyung. Jari jemarinya yang lentik menarik knop pintu dan menutup pintu kamar tersebut lalu menguncinya.
"Taehyung-ah, soal itu---" Haewon terdiam sesaat menatap Taehyung, "maaf, aku belum menjawabnya."
"Lupakan. Tak perlu kau pikirkan itu. Tanpa kau jawab pun, aku sudah bisa menebak apa jawabanmu," Taehyung tersenyum, "kita bisa bicarakan nanti. Pulanglah dulu, temui Ayahmu. Mungkin dengan begitu kau akan merasa lega." sahut Taehyung. "Ingat jangan menangis lagi!" hardik Taehyung.
Haewon mengangguk dan tersenyum. "Baiklah, aku pergi dulu." pamit Haewon pada Taehyung kemudian berlalu dari hadapan pemuda itu sambil menarik kopernya. Taehyung hanya menatap punggung gadis tersebut hingga menghilang saat menuruni anak tangga.
Banyak orang yang merasa lelah, kehilangan semangat juang, dan putus asa dalam menggapai impian mereka, karena terpaan masalah yang tak kunjung usai. Namun perlu disadari bahwa sebagai manusia kita tidak akan pernah lepas dengan yang namanya sebuah rintangan dan juga permasalahan hidup.
Tetaplah semangat karena hidup perlu diperjuangkan setiap saat, agar kita memiliki kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya yang kita miliki. Percayalah bahwa hasil yang kita dapat tidak akan mengkhianati perjuangan yang telah kita lakukan sebelumnya.
ππππππ
Perjalanan yang di butuhkan dari Daegu ke Seoul hanya sekitar 3 jam 30 menit dengan Bus. Haewon memang sengaja memesan tiket Bus karna dia kehabisan tiket Subway.
Haewon terduduk, matanya menatap keluar jendela. Pandangannya menatap obyek-obyek yang terus bergerak seiring dengan melajunya Bus yang sedang dia naiki. Sesekali dia melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya, dia berharap segera sampai di Seoul dan menemui sang Ayah. Haewon memang tidak memberitahu Ayahnya, kalau dia pulang hari itu. Dia ingin memberi kejutan pada sang Ayah.
Bus yang di tumpangi Haewon telah memasuki kawasan kota Seoul. Bus melanjut dengan kecepatan rata-rata menuju Dong Seoul Terminal. Setelah sampai di terminal, kini Haewon harus meneruskan perjalanannya ke Songpa-gu untuk menemui Ayahnya.
Pelukan hangat yang dirasa Haewon ketika bertemu dengan Ayahnya adalah kebahagiaan tersendiri. Lebih dari 6 bulan Haewon meninggalkan Ayahnya untuk bekerja di Daegu. Kini, dia bisa bertatap muka lagi dengan pria yang sudah membesarkannya.
Sosok wanita paruh baya yang bernama Go Junghae terlihat tersenyum bahagia melihat Haewon telah pulang.
"Kenapa kau pulang tidak memberi kabar? Bibi sama sekali belum memasak." ucap wanita paruh baya tersebut.
"Tak perlu, Bi. Terimakasih, nanti biar Haewon bantu Bibi memasak." ujar Haewon.
Haewon membalikkan badan menatap sang Ayah. Go Hwijae, pria berusia 55 tahun itu menatap sayu putrinya yang berdiri di depannya.
"Kau sedikit gemukan, Nak. Kau cuti berapa hari?" tanya sang Ayah.
Gadis cantik itu tersenyum sumringah, "nanti kita bicarakan lagi ya, Yah!" elak Haewon yang tak ingin membicarakan masalah cutinya. "Bibi Junghae mau pergi kemana?" tanya Haewon yang melihat Bibinya keluar dari kamar dengan memakai syal.
"Bibi mau belanja dulu untuk persiapan makan malam nanti." jawab wanita paruh baya tersebut.
"Aku boleh ikut, Bi?" Haewon menawarkan diri untuk ikut Bibinya belanja.
"Tidak perlu, Sayang. Kau pasti sangat capek karna perjalanan dari Daegu ke Seoul. Lebih baik kau istirahat saja, nanti bantu Bibi masak di dapur saja." saran bibi Junghae.
Haewon hanya mengangguk dan dia memilih opsi yang kedua, tinggal di rumah untuk istirahat. Karna tak di pungkiri badannya memang sangat letih saat itu. Dia segera menarik kopernya menuju loteng. Sang Ayah pun ikut naik ke loteng mengekori putrinya. Gadis itu meletakan kopernya di samping lemari kayu. Matanya menyapu ke seluruh ruang kamar tersebut. Tak banyak yang berubah dari ruang kamar yang ada di loteng itu, namun agak sedikit berdebu dan pengap.
"Apa Ayah tidak pernah membuka jendelanya?" tanya Haewon, gadis itu mendekati Ayahnya dan menatapnya. "Aku merasa sekarang Ayah agak kurusan."
"Hanya perasaanmu saja, Nak. Ayah baik-baik saja. Kau lihat kan, Ayah sehat!" elak Go Hwijae.
"Ayah, boleh aku memelukmu lagi ...." suara Haewon terdengar lirih.
"Kemarilah, Nak. Mendekatlah." sahut Ayah Hwijae.
Haewon tersenyum, dipeluknya pria itu. Ya, satu-satunya pria yang dia punya di dunia ini. Satu-satunya laki-laki yang tak pernah menyakiti hatinya. Enam bulan lebih Haewon meninggalkan Ayahnya. Dia sering sekali menahan rindu pada pria tersebut. Bukan berarti dia tak sayang pada Ibu kandungnya, hanya saja kesalahan Ibunya itu telah membuat Haewon sakit hati. Benci? Mungkin hanya sebagian saja yang Haewon tujukan pada Ibu saat itu. Dari lubuk hatinya yang paling dalam masih tersimpan secuil kerinduan pada sang Ibu.
πΎ