Read More >>"> Teman Hidup (Chapter 30: Akhirnya..) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Teman Hidup
MENU
About Us  

Jingga menyepuh langit sore Jakarta, menemani Dhisti yang baru saja mengirim postingannya ke blog. Wanita itu mengulas senyum saat satu pekerjaannya selesai. Kegiatan hari ini lumayan menguras tenaga dan pikiran. Ia mendesah pelan sebelum beranjak dari tempatnya. Melihat hijaunya tanaman pasti membuat pikirannya lebih tenang.

"Dhis, tunggu." 

Wanita itu berbalik dan menemui Damian yang berjalan ke arahnya. "Kamu tolong ke depan, bantuin Rania."

Dhisti mendesah pelan tapi ia segera berjalan ke teras dan menemui banyak pelanggan yang memenuhi tempat itu. Wanita itu mengulas senyum, menyadari A Latte kembali bernapas. Langkah kaki yang berpadu dengan riuh renyah percakapan memenuhi ruangan. Dhisti, Rania dan Bella mengunjungi meja para pelanggan sambil melayani mereka. 

Di pantry, Fino juga ikut sibuk. Lelaki itu membuat cappucino dan kopi Arabika bergantian. Tangannya menuang bubuk kopi ke prosesor, menambah sedikit krim dan menyajikan minuman sesuai pesanan. Fino sempat kehilangan konsentrasi saat pesanan menumpuk. Namun, setelah Dion membantunya Fino menjadi sedikit lebih tenang. 

"Fin, cappuccino sama Arabika nya udah belum? Buat meja 7," teriak Dhisti.

Lelaki berambut gondrong itu mengacungkan ibu jarinya sebelum meletakkan dua cangkir kopi di dekat meja pengambilan. Dhisti dengan cepat memindahkan cangkir ke nampan, mengabaikan kepalanya yang berdenyut. 

"Are you okay, Dhis? Lo kelihatan capek banget."

Wanita itu refleks memegang wajahnya. "Ah, gue nggak papa. Mungkin kaget aja karena dapat tugas dadakan," jawab Dhisti.

Fino menatap lekat wajah Dhisti. Lelaki itu menyadari ada yang aneh. "Mendingan lo istirahat sebentar abis ini, Dhis."

Wanita itu mengibaskan tangan sebelum berlalu dari hadapan Fino.  "Sebentar lagi juga selesai, kok," ujar Dhisti dengan santai. Wanita bermata almond itu tersenyum tipis sebelum menyajikan cangkir kopi di hadapan pelanggan. Ia lalu melangkah ke meja seberang untuk merapikan beberapa piring dan cangkir. Kepala sebelah kanannya kembali berdenyut hingga wanita itu menutup matanya. Rania menaikkan alis saat melihat sahabatnya. “Dhis, kenapa lo?”

Dhisti menggeleng pelan sebelum beranjak dari tempatnya. Pandangan Rania lekat pada sahabatnya yang melangkah pelan menuju pantry. Dhisti memegang nampan dengan kuat seiring denyutan yang bertambah tinggi intensitasnya. Dhisti mendesah pelan sebelum meletakkan nampan di meja terdekat. Ia memijat kepalanya tapi hal itu tidak mengubah apapun. Tak lama, pandangannya berkunang-kunang hingga ia mencari pegangan.

Namun, segalanya berubah menjadi gelap dan Dhisti kehilangan kesadarannya. Rania yang menyadari hal itu segera berlari untuk menolong sahabatnya. Dengan cepat ia memapah tubuh Dhisti.

“Eh, ya ampun, Dhis,” ujar Rania panik. Wanita itu merentangkan tangan dan meraih punggung Dhisti. Rania yang tidak siap dengan hal itu memekik kaget. Namun ia harus memastikan Dhisti tidak membentur permukaan keras. Rania kini membiarkan Dhisti terkulai lemas di pangkuannya. Fino yang mendengar suara Rania segera menemui keduanya.  

“Fin, bantuin gue. Ini Dhisti pingsan," ujar Rania lirih.

Fino membulatkan mata melihat Dhisti yang terjatuh di dekat areanya. Lelaki itu menghampiri Dhisti dan menepuk pelan pipi wanita itu. 

“Dhis, bangun. Lo bikin gue takut, tahu nggak?”lanjut Rania. 

Fino mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan. Lorong menuju pantry lumayan sempit dan hanya memungkinkan dua orang lewat. Sofa hanya ada di lantai dua. 

“Ran, bantuin gue angkat Dhisti. Kita baringkan di sofa atas. Nggak ada pilihan lagi.”

Rania terperanjat. “Gue nggak kuat, Fin. Nanti kalau malah jatuh gimana? Lo ambil minyak kayu putih aja.”

Damian yang menyadari ketidakhadiran dua pelayannya segera berjalan cepat ke pantry. Ia tercengang saat menyadari Dhisti yang terkulai lemah di dekat Rania, sementara Fino mencari sesuatu di kotak P3K. Lelaki itu berlari menghampiri mereka.

“Dhisti!” seru Damian sebelum menoleh pada Rania. Wanita itu menjelaskan apa yang terjadi. Damian menggeleng dan tanpa pikir panjang mengangkat Dhisti. Fino memberi jalan, membiarkan Damian naik ke balkon sebelum membaringkan wanita itu di sofa. Rania dan Fino mengikuti langkah Damian. Lelaki itu menyentuh pergelangan tangan Dhisti dan memeriksa denyut nadi wanita itu.

“Kenapa kalian nggak langsung panggil saya?”

Rania dan Fino berpandangan sebelum menjawab. “Maaf, Pak. Kami juga panik pas Dhisti jatuh,” jawab Fino.

Damian menatap Fino dengan tajam seiring detak jantungnya yang berdetak cepat. “Tapi nggak ada yang luka kan, Fin?”

Lelaki itu menggeleng, menyadari ada kekhawatiran yang mendalam pada pancaran mata Damian. Rania juga menyadari hal sama dan ia mengulas senyum tipis.

“Ya udah biar Dhisti sama saya. Oh, tolong buat teh manis hangat, Ran buat Dhisti.”

Damian menyentuh kening Dhisti sebelum membaui hidung wanita itu dengan minyak kayu putih. Namun, tidak ada perubahan. Wanita itu tetap memejamkan mata, membuat Damian tidak karuan.

“Dhis, please bangun,” ujar Damian mengambil majalah dan mengipasi wanita itu.

Lelaki itu menghembuskan napas teringat satu cara untuk menyadarkan orang pingsan. Dengan lekat, Damian menatap wanita yang selama ini berotasi dekatnya. Hatinya seketika berdesir hangat. Perlahan, Damian mendekatkan tubuhnya pada Dhisti. Harum parfum yang menguar dari pakaian Dhisti membuat Damian nyaman. Dan untuk kali pertama ia membiarkan bibirnya bersentuhan dengan Dhisti. Ada kehangatan yang mengalir melewati hatinya seiring kedamaian yang menguasai perasaannya. 

Langkah Rania terhenti saat matanya bersirobok dengan pemandangan di hadapannya. Rania tersenyum menyadari kalau Damian sungguh mencurahkan perhatiannya pada sahabatnya. 

Damian membuka matanya seiring tubuhnya yang menjauh dari wanita itu. Sepasang mata Dhisti masih terpejam, membuat Damian mendesah panjang. Lelaki itu mengelus pelan kening Dhisti, sesekali memijatnya. Tak lama, wanita itu menggerakkan tangannya dan perlahan membuka mata. 

“Akhirnya kamu siuman, Dhis,” ujar Damian penuh kelegaan.

Dhisti menatap wajah lelaki di hadapannya dengan penuh tanya. Ia menegakkan tubuh tapi Damian melarangnya. “Kamu tiduran aja, Dhis. Kamu abis pingsan.”

Dhisti terkesiap dan merangkai lagi hal terakhir yang terjadi. Ia menutup mulutnya tak percaya. “Saya pasti merepotkan ya? Maaf ya, Pak.”

Damian belum menjawab saat Rania menyapa dan menyodorkan segelas teh. Damian menerimanya dan meminta Rania kembali ke tempatnya.

“Apa kamu bisa berhenti buat saya khawatir, Dhis? Saya takut hal buruk menimpamu.”

Dhisti terperanjat, menatap dalam sepasang mata Damian yang memancarkan kesungguhan hati. Lelaki itu menggeleng sebelum membantu Dhisti duduk. Ia menyodorkan gelas dan meminta Dhisti menyesapnya. 

“Jujur, saya lelah menyangkal perasaan nyaman tiap kali di dekatmu, Dhis,” lanjut Damian.

Dhisti balas menatap Damian, membiarkan hatinya berdesir hangat. Namun, ia belum berani untuk membiarkan rasa itu bertahta dalam waktu lama. Wanita itu menunduk, menyembunyikan wajahnya. 

Ada dorongan dalam hati Damian untuk tidak lagi berlari menjauh dari perasaan ini. Sebaliknya, lelaki itu mendekapnya dan memberi izin pada dirinya untuk kembali mencintai. Damian menaikkan tangan dan menangkup wajah Dhisti, menatap lekat sepasang mata almond itu. “Apa kamu bisa janji buat nggak ceroboh lagi, Dhis?”

Dhisti bisa merasakan kekhawatiran dalam nada Damian hingga ia mengangguk. “Tapi, ini di luar kendali saya, Pak.”

Damian mengulas senyum sebelum meraih tangan Dhisti, menggenggamnya erat. "Biar selanjutnya saya yang pantau kamu. Saya akan kurangi porsi pekerjaanmu. Kamu kelihatan pucat, Dhis. Pasti kamu belum makan dari siang, kan?"

Dhisti menatap sepasang mata cokelat Damian dan menemukan ketenangan yang bersatu dengan keyakinan utuh."Bapak yakin? Pekerjaan ini kayak udah menyatu sama saya. Lagian, harusnya kita bersyukur karena A Latte kembali ramai."

Damian mendesah pelan. "Memang kamu nggak bisa berhenti membantah saya, Dhis. Tapi saya senang kamu yang begini. Dhis, dedikasimu buat A Latte sudah nggak perlu diragukan. Tapi, dirimu lebih berharga. Saya nggak mau kamu pingsan lagi."

Dhisti menemukan kesungguhan dalam pancaran manik cokelat Damian dan tersenyum lembut. "Terima kasih, Pak buat perhatiannya. Saya nggak tahu harus gimana membalasnya."

Damian menaikkan bahunya dan mengeratkan genggamannya di tangan Dhisti. Wanita itu perlahan membalasnya, membiarkan semua penyangkalannya luruh. 

Damian tersenyum dan mengelus pelan rambut Dhisti. “Dhis, mungkin ini terlalu cepat tapi setelah ini kamu harus siap buat memulai segalanya sama saya.”

Dhisti mengiakan dengan debaran hangat di dada.

"Yang pasti kamu akan jadi Ibu anak saya, Satria," lanjut Damian penuh ketegasan.

Wanita bermata almond itu terperanjat. Ia tidak bisa menolak tawaran itu tapi ia perlu waktu buat beradaptasi. Damian menaikkan sudut bibirnya, membentuk bulan sabit. "Saya ngerti, Dhis. Anggap aja ini bukti keseriusan saya."

Dhisti tidak ingin membiarkan penyangkalan menguasai hatinya, maka ia menganggukan kepala. Mungkin ini bukan pernyataan cinta yang romantis penuh bunga dan hadiah. Namun, Dhisti bisa merasakan ketenangan mengalir di hatinya saat menatap Damian. Setelah ini, wanita itu tidak tahu apa nama hubungan mereka. Yang jelas, hari-harinya akan lebih berwarna dengan kehadiran Damian yang penuh cinta.

**

TAMAT

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Dear Diary
592      388     1     
Short Story
Barangkali jika siang itu aku tidak membongkar isi lemariku yang penuh buku dan tumpukan berkas berdebu, aku tidak akan pernah menemukan buku itu. Dan perjalanan kembali ke masa lalu ini tidak akan pernah terjadi. Dear diary, Aku, Tara Aulia Maharani umur 25 tahun, bersedia melakukan perjalanan lintas waktu ini.
PENTAS
971      593     0     
Romance
Genang baru saja divonis kanker lalu bertemu Alia, anak dokter spesialis kanker. Genang ketua ekskul seni peran dan Alia sangat ingin mengenal dunia seni peran. Mereka bertemu persis seperti yang Aliando katakan, "Yang ada diantara pertemuan perempuan dan laki-laki adalah rencana Tuhan".
Dramatisasi Kata Kembali
648      324     0     
Short Story
Alvin menemukan dirinya masuk dalam sebuah permainan penuh pertanyaan. Seorang wanita yang tak pernah ia kenal menemuinya di sebuah pagi dingin yang menjemukan. \"Ada dalang di balik permainan ini,\" pikirnya.
In Your Own Sweet Way
387      270     2     
Short Story
Jazz. Love. Passion. Those used to be his main purpose in life, until an event turned his life upside down. Can he find his way back from the grief that haunts him daily?
SOLITUDE
1424      543     2     
Mystery
Lelaki tampan, atau gentleman? Cecilia tidak pernah menyangka keduanya menyimpan rahasia dibalik koma lima tahunnya. Siapa yang harus Cecilia percaya?
My Doctor My Soulmate
61      55     1     
Romance
Fazillah Humaira seorang perawat yang bekerja disalah satu rumah sakit di kawasan Jakarta Selatan. Fazillah atau akrab disapa Zilla merupakan seorang anak dari Kyai di Pondok Pesantren yang ada di Purwakarta. Zilla bertugas diruang operasi dan mengharuskan dirinya bertemu oleh salah satu dokter tampan yang ia kagumi. Sayangnya dokter tersebut sudah memiliki calon. Berhasilkan Fazillah menaklukkan...
Seberang Cakrawala
87      82     0     
Romance
sepasang kekasih menghabiskan sore berbadai itu dengan menyusuri cerukan rahasia di pulau tempat tinggal mereka untuk berkontemplasi
ZAHIRSYAH
5485      1659     5     
Romance
Pesawat yang membawa Zahirsyah dan Sandrina terbang ke Australia jatuh di tengah laut. Walau kemudia mereka berdua selamat dan berhasil naik kedaratan, namun rintangan demi rintangan yang mereka harus hadapi untuk bisa pulang ke Jakarta tidaklah mudah.
The Investigator : Jiwa yang Kembali
1801      730     5     
Horror
Mencari kebenaran atas semuanya. Juan Albert William sang penyidik senior di umurnya yang masih 23 tahun. Ia harus terbelenggu di sebuah gedung perpustakaan Universitas ternama di kota London. Gadis yang ceria, lugu mulai masuk kesebuah Universitas yang sangat di impikannya. Namun, Profesor Louis sang paman sempat melarangnya untuk masuk Universitas itu. Tapi Rose tetaplah Rose, akhirnya ia d...
Hujan Paling Jujur di Matamu
5403      1482     1     
Romance
Rumah tangga Yudis dan Ratri diguncang prahara. Ternyata Ratri sudah hamil tiga bulan lebih. Padahal usia pernikahan mereka baru satu bulan. Yudis tak mampu berbuat apa-apa, dia takut jika ibunya tahu, penyakit jantungnya kambuh dan akan menjadi masalah. Meski pernikahan itu sebuah perjodohan, Ratri berusaha menjalankan tugasnya sebagai istri dengan baik dan tulus mencintai Yudis. Namun, Yudis...