Loading...
Logo TinLit
Read Story - Teman Hidup
MENU
About Us  

Jingga menyepuh langit sore Jakarta, menemani Dhisti yang baru saja mengirim postingannya ke blog. Wanita itu mengulas senyum saat satu pekerjaannya selesai. Kegiatan hari ini lumayan menguras tenaga dan pikiran. Ia mendesah pelan sebelum beranjak dari tempatnya. Melihat hijaunya tanaman pasti membuat pikirannya lebih tenang.

"Dhis, tunggu." 

Wanita itu berbalik dan menemui Damian yang berjalan ke arahnya. "Kamu tolong ke depan, bantuin Rania."

Dhisti mendesah pelan tapi ia segera berjalan ke teras dan menemui banyak pelanggan yang memenuhi tempat itu. Wanita itu mengulas senyum, menyadari A Latte kembali bernapas. Langkah kaki yang berpadu dengan riuh renyah percakapan memenuhi ruangan. Dhisti, Rania dan Bella mengunjungi meja para pelanggan sambil melayani mereka. 

Di pantry, Fino juga ikut sibuk. Lelaki itu membuat cappucino dan kopi Arabika bergantian. Tangannya menuang bubuk kopi ke prosesor, menambah sedikit krim dan menyajikan minuman sesuai pesanan. Fino sempat kehilangan konsentrasi saat pesanan menumpuk. Namun, setelah Dion membantunya Fino menjadi sedikit lebih tenang. 

"Fin, cappuccino sama Arabika nya udah belum? Buat meja 7," teriak Dhisti.

Lelaki berambut gondrong itu mengacungkan ibu jarinya sebelum meletakkan dua cangkir kopi di dekat meja pengambilan. Dhisti dengan cepat memindahkan cangkir ke nampan, mengabaikan kepalanya yang berdenyut. 

"Are you okay, Dhis? Lo kelihatan capek banget."

Wanita itu refleks memegang wajahnya. "Ah, gue nggak papa. Mungkin kaget aja karena dapat tugas dadakan," jawab Dhisti.

Fino menatap lekat wajah Dhisti. Lelaki itu menyadari ada yang aneh. "Mendingan lo istirahat sebentar abis ini, Dhis."

Wanita itu mengibaskan tangan sebelum berlalu dari hadapan Fino.  "Sebentar lagi juga selesai, kok," ujar Dhisti dengan santai. Wanita bermata almond itu tersenyum tipis sebelum menyajikan cangkir kopi di hadapan pelanggan. Ia lalu melangkah ke meja seberang untuk merapikan beberapa piring dan cangkir. Kepala sebelah kanannya kembali berdenyut hingga wanita itu menutup matanya. Rania menaikkan alis saat melihat sahabatnya. “Dhis, kenapa lo?”

Dhisti menggeleng pelan sebelum beranjak dari tempatnya. Pandangan Rania lekat pada sahabatnya yang melangkah pelan menuju pantry. Dhisti memegang nampan dengan kuat seiring denyutan yang bertambah tinggi intensitasnya. Dhisti mendesah pelan sebelum meletakkan nampan di meja terdekat. Ia memijat kepalanya tapi hal itu tidak mengubah apapun. Tak lama, pandangannya berkunang-kunang hingga ia mencari pegangan.

Namun, segalanya berubah menjadi gelap dan Dhisti kehilangan kesadarannya. Rania yang menyadari hal itu segera berlari untuk menolong sahabatnya. Dengan cepat ia memapah tubuh Dhisti.

“Eh, ya ampun, Dhis,” ujar Rania panik. Wanita itu merentangkan tangan dan meraih punggung Dhisti. Rania yang tidak siap dengan hal itu memekik kaget. Namun ia harus memastikan Dhisti tidak membentur permukaan keras. Rania kini membiarkan Dhisti terkulai lemas di pangkuannya. Fino yang mendengar suara Rania segera menemui keduanya.  

“Fin, bantuin gue. Ini Dhisti pingsan," ujar Rania lirih.

Fino membulatkan mata melihat Dhisti yang terjatuh di dekat areanya. Lelaki itu menghampiri Dhisti dan menepuk pelan pipi wanita itu. 

“Dhis, bangun. Lo bikin gue takut, tahu nggak?”lanjut Rania. 

Fino mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan. Lorong menuju pantry lumayan sempit dan hanya memungkinkan dua orang lewat. Sofa hanya ada di lantai dua. 

“Ran, bantuin gue angkat Dhisti. Kita baringkan di sofa atas. Nggak ada pilihan lagi.”

Rania terperanjat. “Gue nggak kuat, Fin. Nanti kalau malah jatuh gimana? Lo ambil minyak kayu putih aja.”

Damian yang menyadari ketidakhadiran dua pelayannya segera berjalan cepat ke pantry. Ia tercengang saat menyadari Dhisti yang terkulai lemah di dekat Rania, sementara Fino mencari sesuatu di kotak P3K. Lelaki itu berlari menghampiri mereka.

“Dhisti!” seru Damian sebelum menoleh pada Rania. Wanita itu menjelaskan apa yang terjadi. Damian menggeleng dan tanpa pikir panjang mengangkat Dhisti. Fino memberi jalan, membiarkan Damian naik ke balkon sebelum membaringkan wanita itu di sofa. Rania dan Fino mengikuti langkah Damian. Lelaki itu menyentuh pergelangan tangan Dhisti dan memeriksa denyut nadi wanita itu.

“Kenapa kalian nggak langsung panggil saya?”

Rania dan Fino berpandangan sebelum menjawab. “Maaf, Pak. Kami juga panik pas Dhisti jatuh,” jawab Fino.

Damian menatap Fino dengan tajam seiring detak jantungnya yang berdetak cepat. “Tapi nggak ada yang luka kan, Fin?”

Lelaki itu menggeleng, menyadari ada kekhawatiran yang mendalam pada pancaran mata Damian. Rania juga menyadari hal sama dan ia mengulas senyum tipis.

“Ya udah biar Dhisti sama saya. Oh, tolong buat teh manis hangat, Ran buat Dhisti.”

Damian menyentuh kening Dhisti sebelum membaui hidung wanita itu dengan minyak kayu putih. Namun, tidak ada perubahan. Wanita itu tetap memejamkan mata, membuat Damian tidak karuan.

“Dhis, please bangun,” ujar Damian mengambil majalah dan mengipasi wanita itu.

Lelaki itu menghembuskan napas teringat satu cara untuk menyadarkan orang pingsan. Dengan lekat, Damian menatap wanita yang selama ini berotasi dekatnya. Hatinya seketika berdesir hangat. Perlahan, Damian mendekatkan tubuhnya pada Dhisti. Harum parfum yang menguar dari pakaian Dhisti membuat Damian nyaman. Dan untuk kali pertama ia membiarkan bibirnya bersentuhan dengan Dhisti. Ada kehangatan yang mengalir melewati hatinya seiring kedamaian yang menguasai perasaannya. 

Langkah Rania terhenti saat matanya bersirobok dengan pemandangan di hadapannya. Rania tersenyum menyadari kalau Damian sungguh mencurahkan perhatiannya pada sahabatnya. 

Damian membuka matanya seiring tubuhnya yang menjauh dari wanita itu. Sepasang mata Dhisti masih terpejam, membuat Damian mendesah panjang. Lelaki itu mengelus pelan kening Dhisti, sesekali memijatnya. Tak lama, wanita itu menggerakkan tangannya dan perlahan membuka mata. 

“Akhirnya kamu siuman, Dhis,” ujar Damian penuh kelegaan.

Dhisti menatap wajah lelaki di hadapannya dengan penuh tanya. Ia menegakkan tubuh tapi Damian melarangnya. “Kamu tiduran aja, Dhis. Kamu abis pingsan.”

Dhisti terkesiap dan merangkai lagi hal terakhir yang terjadi. Ia menutup mulutnya tak percaya. “Saya pasti merepotkan ya? Maaf ya, Pak.”

Damian belum menjawab saat Rania menyapa dan menyodorkan segelas teh. Damian menerimanya dan meminta Rania kembali ke tempatnya.

“Apa kamu bisa berhenti buat saya khawatir, Dhis? Saya takut hal buruk menimpamu.”

Dhisti terperanjat, menatap dalam sepasang mata Damian yang memancarkan kesungguhan hati. Lelaki itu menggeleng sebelum membantu Dhisti duduk. Ia menyodorkan gelas dan meminta Dhisti menyesapnya. 

“Jujur, saya lelah menyangkal perasaan nyaman tiap kali di dekatmu, Dhis,” lanjut Damian.

Dhisti balas menatap Damian, membiarkan hatinya berdesir hangat. Namun, ia belum berani untuk membiarkan rasa itu bertahta dalam waktu lama. Wanita itu menunduk, menyembunyikan wajahnya. 

Ada dorongan dalam hati Damian untuk tidak lagi berlari menjauh dari perasaan ini. Sebaliknya, lelaki itu mendekapnya dan memberi izin pada dirinya untuk kembali mencintai. Damian menaikkan tangan dan menangkup wajah Dhisti, menatap lekat sepasang mata almond itu. “Apa kamu bisa janji buat nggak ceroboh lagi, Dhis?”

Dhisti bisa merasakan kekhawatiran dalam nada Damian hingga ia mengangguk. “Tapi, ini di luar kendali saya, Pak.”

Damian mengulas senyum sebelum meraih tangan Dhisti, menggenggamnya erat. "Biar selanjutnya saya yang pantau kamu. Saya akan kurangi porsi pekerjaanmu. Kamu kelihatan pucat, Dhis. Pasti kamu belum makan dari siang, kan?"

Dhisti menatap sepasang mata cokelat Damian dan menemukan ketenangan yang bersatu dengan keyakinan utuh."Bapak yakin? Pekerjaan ini kayak udah menyatu sama saya. Lagian, harusnya kita bersyukur karena A Latte kembali ramai."

Damian mendesah pelan. "Memang kamu nggak bisa berhenti membantah saya, Dhis. Tapi saya senang kamu yang begini. Dhis, dedikasimu buat A Latte sudah nggak perlu diragukan. Tapi, dirimu lebih berharga. Saya nggak mau kamu pingsan lagi."

Dhisti menemukan kesungguhan dalam pancaran manik cokelat Damian dan tersenyum lembut. "Terima kasih, Pak buat perhatiannya. Saya nggak tahu harus gimana membalasnya."

Damian menaikkan bahunya dan mengeratkan genggamannya di tangan Dhisti. Wanita itu perlahan membalasnya, membiarkan semua penyangkalannya luruh. 

Damian tersenyum dan mengelus pelan rambut Dhisti. “Dhis, mungkin ini terlalu cepat tapi setelah ini kamu harus siap buat memulai segalanya sama saya.”

Dhisti mengiakan dengan debaran hangat di dada.

"Yang pasti kamu akan jadi Ibu anak saya, Satria," lanjut Damian penuh ketegasan.

Wanita bermata almond itu terperanjat. Ia tidak bisa menolak tawaran itu tapi ia perlu waktu buat beradaptasi. Damian menaikkan sudut bibirnya, membentuk bulan sabit. "Saya ngerti, Dhis. Anggap aja ini bukti keseriusan saya."

Dhisti tidak ingin membiarkan penyangkalan menguasai hatinya, maka ia menganggukan kepala. Mungkin ini bukan pernyataan cinta yang romantis penuh bunga dan hadiah. Namun, Dhisti bisa merasakan ketenangan mengalir di hatinya saat menatap Damian. Setelah ini, wanita itu tidak tahu apa nama hubungan mereka. Yang jelas, hari-harinya akan lebih berwarna dengan kehadiran Damian yang penuh cinta.

**

TAMAT

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Nyanyian Burung di Ufuk Senja
3235      1168     0     
Romance
Perceraian orangtua Salma membuatnya memiliki kebimbangan dalam menentukan suami masa depannya. Ada tiga pria yang menghiasi kehidupannya. Bram, teman Salma dari semenjak SMA. Dia sudah mengejar-ngejar Salma bahkan sampai menyatakan perasaannya. Namun Salma merasa dirinya dan Bram berada di dunia yang berbeda. Pria kedua adalah Bagas. Salma bertemu Bagas di komunitas Pencinta Literasi di kampu...
Sebuah Kisah Tentang Dirinya
994      571     0     
Romance
Setiap orang pernah jatuh cinta dan mempunya ekspetasi tinggi akan kisah percintaannya. Namun, ini adalah kehidupan, tak selalu berjalan terus seperti yang di mau
Melody Impian
612      421     3     
Short Story
Aku tak pernah menginginkan perpisahan diantara kami. Aku masih perlu waktu untuk memberanikan diri mengungkapkan perasaanku padanya tanpa takut penolakan. Namun sepertinya waktu tak peduli itu, dunia pun sama, seakan sengaja membuat kami berjauhan. Impian terbesarku adalah ia datang dan menyaksikan pertunjukan piano perdanaku. Sekali saja, aku ingin membuatnya bangga terhadapku. Namun, apakah it...
6 Pintu Untuk Pulang
623      351     2     
Short Story
Dikejar oleh zombie-zombie, rasanya tentu saja menegangkan. Apalagi harus memecahkan maksud dari dua huruf yang tertulis di telapak tangan dengan clue yang diberikan oleh pacarku. Jika berhasil, akan muncul pintu agar terlepas dari kejaran zombie-zombie itu. Dan, ada 6 pintu yang harus kulewati. Tunggu dulu, ini bukan cerita fantasi. Lalu, bagaimana bisa aku masuk ke dalam komik tentang zombie...
Rinai Kesedihan
782      523     1     
Short Story
Suatu hal dapat terjadi tanpa bisa dikontrol, dikendalikan, ataupun dimohon untuk tidak benar-benar terjadi. Semuanya sudah dituliskan. Sudah disusun. Misalnya perihal kesedihan.
Delapan Belas Derajat
10694      2178     18     
Romance
Dua remaja yang memiliki kepintaran di atas rata-rata. Salah satu dari mereka memiliki kelainan hitungan detak jantung. Dia memiliki iris mata berwarna biru dan suhu yang sama dengan ruangan kelas mereka. Tidak ada yang sadar dengan kejanggalan itu. Namun, ada yang menguak masalah itu. Kedekatan mereka membuat saling bergantung dan mulai jatuh cinta. Sayangnya, takdir berkata lain. Siap dit...
Rumah
485      339     0     
Short Story
Sebuah cerita tentang seorang gadis putus asa yang berhasil menemukan rumah barunya.
Memories About Him
3692      1682     0     
Romance
"Dia sudah tidak bersamaku, tapi kenangannya masih tersimpan di dalam memoriku" -Nasyila Azzahra --- "Dia adalah wanita terfavoritku yang pernah singgah di dalam hatiku" -Aldy Rifaldan --- -Hubungannya sudah kandas, tapi kenangannya masih berbekas- --- Nasyila Azzahra atau sebut saja Syila, Wanita cantik pindahan dari Bandung yang memikat banyak hati lelaki yang melihatnya. Salah satunya ad...
Kala Badai Menerpa
1166      562     1     
Romance
Azzura Arraya Bagaswara, gadis kelahiran Bandung yang mencari tujuan dirinya untuk tetap hidup di dunia ini. Masalah-masalah ia hadapi sendiri dan selalu ia sembunyikan dari orang-orang. Hingga pada akhirnya, masa lalunya kembali lagi untuknya. Akankah Reza dapat membuat Raya menjadi seseorang yang terbuka begitu juga sebaliknya?
Chrisola
895      541     3     
Romance
Ola dan piala. Sebenarnya sudah tidak asing. Tapi untuk kali ini mungkin akan sedikit berbeda. Piala umum Olimpiade Sains Nasional bidang Matematika. Piala pertama yang diraih sekolah. Sebenarnya dari awal Viola terpilih mewakili SMA Nusa Cendekia, warga sekolah sudah dibuat geger duluan. Pasalnya, ia berhasil menyingkirkan seorang Etma. "Semua karena Papa!" Ola mencuci tangannya lalu membasuh...