Pandangan Damian lekat pada layar laptop tapi pikirannya tertuju pada perkataan Nadia tadi pagi. Lelaki itu mendesah pelan sambil menatap pot-pot aglaonema yang berbaris rapi di taman belakang. Damian menoleh pada Satria yang tertidur lelap sebelum mengelus pipi anaknya. Perlahan ia berjalan keluar. Damian bersyukur, Nadia menyewa tukang kebun untuk merawat taman. Lelaki itu mengulas senyum saat pandangannya terarah pada batu bata yang disusun sepanjang jalan setapak. Ada kanopi yang menaungi jalan dengan sulur tanaman dan bunga-bunga kecil merah muda. Damian melewatinya dan menuju sebuah kursi rotan. Sebuah pohon mangga yang rimbun menjadi peneduh.
"Tempat ini bisa jadi sumber inspirasi," ujar Damian.
Tak lama lelaki itu mencium aroma masakan yang menusuk hidung dari dapur.
Dari tempatnya, lelaki itu mengamati Dhisti yang sibuk memasukkan sesuatu ke wajan sebelum mengaduknya. Damian perlahan berjalan ke arah Dhisti. Wanita itu mengulas senyum tipis dan mengangguk pada Damian.
"Ada apa, Pak?"
Damian menjulurkan leher dan menemui sayuran yang tercampur di sana. Warna hijau dan oranye yang berpadu satu membuat Damian seketika lapar.
"Kamu sekalian masak buat saya, nggak?"
Dhisti menggeleng. "Ini buat Tante Nadia aja, Pak. paling sisa sedikit. Saya kirain Bapak mau pesan aja nanti."
Damian berdecak. "Kelamaan. Belum nungguin dia antarnya. Kamu bisa buat nasi goreng? Kamu juga nggak peka kalau bosnya belum makan. "
Dhsiti memajukan bibir mendengar sindiran Damian. "Ya, mana saya tahu. Bapak dari tadi juga sibuk sendiri. Saya kan, juga harus menemani Tante Nadia, Pak. Bukannya saya diminta kemari buat jagain beliau?"
Damian menaikkan alis mendengar jawaban Dhisti yang santai. "Asal kamu tahu, ya. Cuma kamu satu-satunya orang yang berani membalas perkataan saya kayak tadi. Untung saya nggak langsung kasih kamu SP."
Wanita itu melirik Damian yang kini menuang air mineral sebelum meminumnya sekali teguk. Dhisti tidak tahu harus menjawab apa karena hal itu seperti otomatis saja keluar dari mulutnya. Tidak mau Damian menemukan hal lain untuk dikomentari, Dhisti mengupas bawang merah dan putih. Hampir seharian berada di dapur membuatnya jadi lebih fleksibel menggunakan pisau dan mengolah makanan.
"Saya tunggu di belakang, Dhis," ujar Damian lagi.
Wanita itu mengiakan dan segera menyibukkan diri. Dhisti kini menuang minyak ke penggorengan dan mengatur api. Segera ia memasukkan bumbu yang sudah ia haluskan setelah minyaknya panas. Dhsiti mengaduknya dengan spatula sambil memastikan bumbu tadi tidak gosong. Tangan Dhisti bergerak untuk mengambil botol gula dan garam saat tangisan Satria terdengar. Dhisti menoleh ke arah Damian yang berbincang di telepon. Lelaki itu menganggukkan kepala sebelum berbicara.
Dhisti tidak punya pilihan lain. Ia segera berjalan cepat menemui Satria, meninggalkan kompor yang menyala dengan wajan di atasnya.
Tangisan Satria makin kencang hingga Dhisti menunduk untuk memeriksa anak itu. Ia mendesah pelan sambil mengelus kepala keponakannya lembut.
"Anak baik, kita ganti pampers dulu, yuk. Sudah penuh."
Dhisti perlahan menggendong Satria dan melepas pampers itu, membuat tangisan anak itu membahana. Dhisti menenangkan keponakannya sambil membasuh tubuh Satria dengan tisu basah.
"Sebentar lagi, ya, Satria."
Dhisti mengulas senyum lebar sambil menimang Satria. Wanita itu meletakkan keponakannya di tempat tidur sebelum memasang pampers baru.
"Good boy, begini lebih nyaman, kan?"
Dhisti memandang wajah imut Satria dan menenangkannya sampai ia terlelap lagi. Sudut bibir Dhisti terangkat membentuk bulan sabit saat Satria perlahan menutup matanya. Dhisti menatap dalam wajah anak itu.
"Kamu mirip Damian banget, Sat. Cuma hidungmu yang sama kayak Mbak Laras."
Dhisti mendesah pelan sambil mengamati wajah Satria yang membawanya dalam sebuah kenyamanan. Tak lama, wanita itu membaui aroma gosong. Ia meletakkan Satria ke tempat tidurnya dan berjalan cepat ke dapur. Dhisti membulatkan mata melihat apa yang terjadi. Kompor yang masih menyala kini menguasai wajan dan hampir menyebar ke tembok dapur.
Wanita itu berlari ke gudang mencari lap dan segera membasahinya dengan air. Tangannya gemetar saat memeras lap tadi. Ia tak menyangka jika kelalaiannya berujung begini. Dhisti segera kembali menuju dapur, menenangkan detak jantungnya.
Api terus berkobar memenuhi wajan membuat Dhisti makin ketakutan. Namun, ia harus memadamkan api sekarang atau hal buruk lain terjadi. Memegang kedua ujung lap, Dhisti berjalan mendekat. Wanita itu tidak menyadari jika Damian berlari kencang dari taman menuju dapur. Lelaki itu mendorong Dhisti menjauh dan mengambil alih kain yang ia pegang. Perlahan, Damian menutup permukaan wajan. Api tidak segera padam, menyisakan cipratan kecil. Damian menggerakkan lap menutupi permukaan wajan dan tak lama api padam. Ia menghembuskan napas lega saat kekacauan itu berakhir.
Tak lama, Damian berbalik dan menemui Dhisti yang menutup mulutnya. Semua terjadi karena kelalaiannya meninggalkan kompor yang menyala. Dhisti kehilangan kata dan terpaku di tempat. Ia menggeleng dan menatap penggorengan dengan lap basah itu. Wajan sepenuhnya menghitam, meninggalkan bekas yang sulit hilang untuk dibersihkan. Bumbu tadi juga sudah menyatu dengan api.
"Maaf, Pak. Saya tadi nggak matiin kompor," ucap Dhisti lirih setelah menguasai dirinya. "Tapi, Bapak nggak papa, kan?"
Damian menatap Dhisti dalam. Wanita itu tak berani membalas tatapan yang penuh ketegasan bercampur amarah. Wanita itu memilih untuk menatap lantai.
"Seharusnya saya yang nanya. Kamu hampir mencelakai diri sendiri, tahu nggak? Apa susahnya kamu panggil saya dan minta tolong?"
Wanita itu mendongak dan menatap sepasang mata Damian lekat. "Maaf, Pak. Saya pikir Bapak sibuk tadi."
Damian menggeleng dan menghampiri wanita itu. Tangan lelaki itu bergerak menangkup pipi Dhisti, menatap pancaran mata yang penuh ketakutan dan rasa bersalah.
"Ini yang saya nggak suka dari kamu, Dhis. Suka ngelamun. Lihat kan, hasilnya? Bukan cuma kamu yang mungkin celaka tapi seisi rumah ini."
Dhisti terdiam, membalas tatapan tajam Damian dengan hati hancur. Rasa bersalah yang menguasai hati Dhisti kembali menyeruak menimbulkan kesedihan. Sepasang mata Dhisti berkaca-kaca seiring bahunya yang berguncang.
Dhisti menggeleng, tak mau menangis di hadapan Damian. Ia perlahan mengibaskan tangan lelaki itu Namun, Damian malah menarik Dhisti ke dalam pelukan. Wanita itu terperanjat tapi ia membiarkan Damian mengelus punggungnya, menenangkannya. Ada sedikit kedamaian yang tercipta di hati Dhisti ketika lelaki itu dekat dengannya.
"Saya nggak ada maksud buat mencelakai siapapun, Pak," ujar Dhisti di sela tangisnya. Ia mengusap matanya agar air matanya tidak membasahi kaus Damian.
Lelaki itu melepas pelukan dan menatap sepasang mata Dhisti. Refleks lelaki itu menghapus air mata Dhisti.
"Apa kamu bisa berhenti buat saya khawatir, Dhis? Cara kamu memadamkan api buat saya takut kamu kenapa-napa, Dhis."
Dhisti menemukan sesuatu yang berbeda dari pancaran mata lelaki itu. Ditambah genggaman tangan Damian yang erat. Ada ketulusan yang berpadu dengan rasa yang membuatnya nyaman.
"Iya, saya janji, Pak. Biar saya rapikan dapurnya, Pak," ujar Dhisti pelan mengusir rasa tadi.
Damian mengangguk. "Nanti saya bantuin. Oh ya, biar saya yang bilang ke Mama soal ini."
Dhisti mengiakan sebelum mengambil lap dan memindahkannya ke kamar mandi. Damian menatap punggung Dhisti, tak mengerti dengan hatinya. Namun, ia merasakan kedamaian menyelimuti hati saat tahu Dhisti baik-baik saja.
**
Nadia tercengang mendengar penuturan Damian tentang apa yang terjadi siang tadi.
"Mama memang cium bau gosong tapi nggak menduga kalau hampir kebakaran. Untung ada kamu, Dami."
Damian mengangguk menoleh pada Dhisti yang menunduk. Kembali teringat pada peristiwa itu membuat perasaannya tidak karuan.
"Tante, maafin aku. Aku udah-"
"Nggak apa, Dhis. Tante ngerti kamu mau mendahulukan yang urgent. Kan, Satria memang perlu perhatianmu juga," ujar Nadia memotong pembicaraan wanita itu.
"Yang jelas, Dami peduli sama keselamatanmu, Dhis. Itu saja sudah buat Mama tenang."
Damian melirik Dhisti yang menatapnya lembut. Entahlah. Damian sudah lelah menyangkal perasaannya pada Dhisti.
**