Bangunan bergaya retro itu selalu menjadi kebanggan Damian. Sejak awal ia mendirikannya, selalu ada cerita yang menjadi penyemangat dalam hidupnya. Damian menghembuskan napas sebelum berjalan menuju ruangan kaca favoritnya. Tadi ia sudah meminta para karyawannya untuk tidak mengganggunya. Fino melirik Dhisti sebelum menarik tangan wanita itu ke pantry.
"Pak Bos kenapa, Dhis? Beberapa bulan terakhir kayak kehilangan semangat."
Dhisti mendesah pelan menyadari perubahan Damian yang begitu drastis dan menjadi sorotan karyawan lain.
"Mungkin ada urusan pribadi, Fin. Udah, dia pasti bisa menyelesaikannya," jawab Dhisti menyembunyikan yang sebenarnya terjadi.
Fino mengamati wajah rekan kerjanya. "Dhis, lo kan deket sama Pak Bos. Masak nggak ada yang lo lakuin biar dia lebih baik?"
Dhisti merangkai semua yang ia rasakan tentang Damian dan melawan sakitnya saat lelaki itu lebih memprioritaskan Laras. Apa lagi yang harus ia perbuat?
"Fin, nggak mungkin gue tanyain dia secara langsung, kan?"jawab Dhisti akhirnya.
Fino mendesah pelan sambil membuat adonan roti. "Mending lo hibur dia, Dhis biar balik kayak dulu. Nanti gue kasih kopi sama makanan. Trus, lo antar ke dia, okay?"
Dhisti mengiakan dan kembali ke area depan, melewati ruang kaca. Damian berdiri membelakanginya sambil kedua tangannya bersedekap memandangi kolam.
Sejenak, gemericik air menenangkan pikiran Damian. Lelaki itu mengulas senyum, menghilangkan segala kepenatan yang menghimpitnya. Pikirannya kini tertuju pada sosok yang ia cintai.
"Apa kabarmu hari ini, Ra?" ucap Damian, pelan.
Semua akses Damian menuju Laras tertutup rapat sejak lelaki itu mengembalikan Laras pada Nuri.
"Saya peringatkan kamu sekali lagi, Damian. Lupakan Laras dan jalani hidupmu. Jangan ganggu dia lagi," ujar Nuri dengan tegas.
Ditambah dengan Nadia yang memintanya untuk tidak bertindak gegabah. "Mama kecewa sama kamu, Damian. Apa salahnya menunggu sampai anak itu lahir? Laras pasti makin membencimu, Dami."
Lelaki itu tahu semua jalan tertutup untuk mencapai hati Laras dan membayar kesalahannya.
Tak lama, ketukan di pintu membuatnya menoleh, menghilangkan segala yang berkecamuk dalam pikirannya.
"Mau apa kamu, Dhis? Kamu tahu kan, saya lagi nggak mau diganggu?" ujar Damian kesal. Namun, ia membiarkan wanita itu masuk dan meletakkan secangkir kopi dan sepiring kecil croissant.
Dhisti mengulas senyum sebelum menatap lelaki itu. "Maaf, Pak. Ini saya buatin Bapak kopi biar pikiran Bapak jadi lebih relaxed."
Damian mengernyitkan kening mendengarnya, menatap Dhisti dalam. Wanita itu menunduk tapi perlahan ia mendongak. "Saya cuma ingat pas di Bogor. Bapak nggak tahu lagi gimana menghadapi Mbak Laras dan minta saya buat kopi. Dan pikiran Bapak jadi lebih tenang setelah itu," ujar Dhisti, mengulum senyum.
Lelaki itu menatap wanita di hadapannya dengan lekat. Dengan sepasang mata almond dan wajah ovalnya, Dhisti kadang membuatnya bertanya-tanya. Damian kadang tidak mengerti motivasi Dhisti mendekatinya.
"Kamu begini bukan untuk minta naik gaji, kan?" ucap Damian asal.
Dhisti memajukan bibirnya tapi ia mengulas senyum menyadari Damian yang kembali meresponnya dengan ketus.
Damian mengambil cangkir kopi dan menyesapnya perlahan, membiarkan kehangatan mengaliri tenggorokannya. Dhisti benar. Ada sesuatu dalam kopi yang membuatnya lebih baik.
"Kamu sekarang beneran nggak tahu Laras gimana, Dhis? Masak dia atau Tante Nuri nggak ngabarin apapun?"
Dhisti menggeleng, melawan rasa sakit yang menguasai hati ketika Damian kembali membahas Laras. "Sejak pindah kosan, saya kehilangan kontak, Pak. Tapi Bude Nuri pernah bilang kalau dia pasti ngabarin soal kelahiran anak itu."
Damian menghela napas sebelum membuangnya. Lelaki itu tidak pernah menduga jika akhirnya menuntunnya pada ketidakpastian. "Tolong kamu kasih tahu saya. Dan setelah dia lahir, kamu juga harus bantuin saya merawat dia."
Dhisti membulatkan mata. "Hah, maksudnya gimana, Pak?"
Damian berdecak. "Masa nggak ngerti sih, Dhis? Itu kan, keponakanmu. Siapa lagi yang peduli kalau bukan kamu?"
Dhisti membayangkan harinya akan terasa jauh berbeda dengan tugas yang akan diembannya itu. Wanita itu mengiakan dengan hati tak karuan.
"Oh ya, Pak. Nanti malam ada live music. Bapak bisa datang kan, buat kasih sambutan?" tanya Dhisti mengalihkan perhatian.
Damian mengingat lagi jadwalnya hari ini. Seketika tumpukan pekerjaan yang menantinya kembali menyeruak dalam pikirannya.
"Ya. Saya siapin deh sekarang. Oh, tolong kamu urus blog kita, Dhis. Kayaknya saya harus serahkan ini sama kamu aja. Saya masih ada hal yang lebih penting," lanjut Damian sebelum meminta Dhisti membawakan kopi ke kantornya.
Wanita itu mengulas senyum tipis menyadari Damian sudah kembali mementingkan A Latte.
Thanks, Fino. Ide lo manjur juga.
**
Malam meramu mimpi bagi tiap orang untuk beristirahat dari aktivitas. Laras baru selesai merapikan pakaian saat perutnya seperti dililit. Ia menyentuhnya dan mengerang kesakitan. Perlahan wanita itu duduk di lantai dan meluruskan kedua kaki. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi.
"Bu, tolong aku," teriak Laras sambil mengaduh.
Nuri yang mendengarnya berjalan tergopoh-gopoh menuju kamar anaknya. Nuri membesarkan mata melihat Laras. "Ra, apa sakit? Ibu telepon ambulance, ya. Pasti sebentar lagi waktunya," ujar Nuri setelah memeriksa anaknya. Air ketubannya belum pecah tapi melihat Laras kesakitan ia harus mengambil tindakan.
Laras menegakkan tubuh dan bergidik ngeri. "Serius, Bu?"
Wanita itu terus mengaduh, mengabaikan Nuri yang kini membawa tas emergency yang berisi perlengkapan Laras.
"Ayo, Ra. Ibu bantu bangun. Kamu bisa."
Laras hampir menangis menyadari keadaannya tapi ia pantang meminta bantuan Damian. Wanita itu berpegangan pada pundak Nuri sementara sebelah tangannya di pinggiran tempat tidur. Laras mengaduh tapi ia berjalan pelan untuk segera mengeluarkan anak ini dari rahimnya.
"Bu, ini sakit banget."
Nuri merapikan rambut Laras yang mencuat ke wajah. "Bertahanlah Ra. Kamu tinggal selangkah lagi."
Laras menatap wajah Nuri menemukan kekuatan. Ya, setelah ini hari Laras akan membaik dan ia siap menjemput kebahagiaannya.
Mobil yang mereka tumpangi meraung-raung membelah jalan ibu kota. Sejenak bangunan berwarna putih menyambut keduanya. Laras membiarkan petugas membawanya ke ruangan khusus. Nuri mengikuti mereka dengan debaran di dada. Tak pernah ada dalam pikirannya tentang kehamilan Laras. Damian sungguh mengubah hidup anaknya menuju lubang gelap. Nuri mengepalkan tangannya. Lelaki itu harus membayar semuanya. Membiarkan Laras masuk ke ruangan tindakan, Nuri mengetik pesan pada Damian.
Di dalam, Laras menatap gelang atas namanya di tangan kirinya. Refleks ia meraba perutnya yang membesar dan memindai setiap peralatan di meja dekatnya. Dokter memutuskan untuk menjalani operasi caesar dan Laras menurut saja.
"Bu, aku takut," ujar Laras lirih.
Nuri menatap anaknya dengan pandangan lembut. "Tenang, Ra. Kamu selama ini sudah sering ketemu dokternya. Dia pasti tahu menanganimu."
Laras menghembuskan napas berkali-kali untuk menenangkan diri terlebih saat dokter dan seorang suster memasuki ruangan. Tubuh Laras menegang saat matanya memindai psikolog kepercayaannya yang ikut serta. Nuri mengulas senyum tipis pada mereka sebelum menatap lembut anaknya.
"Ibu tunggu di luar ya, Ra. Tenang, ok?"
Laras menggeleng dan memeluk tangan Nuri. Wanita paruh baya itu tersenyum sebelum menarik tangannya perlahan.
Suster yang melihat itu memberikan bantal pada Laras. "Peluk ini ya, Bu. Semua pasti baik-baik aja."
Tiara menatap Laras dalam. "Bu Laras, ada saya yang nemenin. Tarik napas dan buang lewat hidung. Saya bantu, ya."
Laras menoleh pada Tiara yang mempraktekkan cara bernapas dan mengikutinya. Benar saja. Perasaannya jauh lebih baik. Laras menutup kedua matanya, memberi kesempatan pada dokter untuk melakukan tindakan. Wanita itu bisa merasakan ada cairan yang disuntikkan dan beberapa menit kemudian perutnya seperti mati rasa. Laras berharap semua ini segera menuntunnya pada kebahagiaan yang sebenarnya.
**