Loading...
Logo TinLit
Read Story - Teman Hidup
MENU
About Us  

Bulan menggantung di langit malam, berpadu dengan bintang yang gemerlap. Laras menyingkap selimut dengan kesal dan menatap Dhisti yang terlelap. Napas wanita bermata almond itu teratur dan wajahnya begitu damai. Laras berdecak dan merindukan jam tidurnya yang tidak pernah terganggu apapun. Laras mengguncang lengan saudaranya dan memintanya bangun. Dhisti hanya mengerang tapi matanya tetap terpejam. Laras menepuk kening sebelum menarik selimut Dhisti, membiarkan udara dingin AC menyerangnya. Dhisti tak lama menggerakkan kaki seiring tangannya mencari kain yang bisa menghangatkannya.

“Dhis, bangun dong. Nggak ngerti apa aku lagi kesusahan?”

Dhisti perlahan membuka mata dan mengusapnya, memaksa diri untuk bangun. Perlahan dia menoleh pada Laras yang memegangi pinggulnya sambil mengaduh. Dhisti mendesah pelan dan berjalan menghampiri Laras di meja belajarnya. 

“Mau aku pijat, Mbak? Biar Mbak enakan,” ujar Dhisti setelah kantuk terusir darinya.

Laras menoleh pada saudaranya dan mendengkus. “Kamu emang nggak peka. Kamu ambilin salonpas aja. Kamu mana ngerti pijat? Nanti kalau aku kenapa-napa, kamu mau tanggung jawab?” sentak Laras.

Dhisti menurut dan mengambil kotak P3K. Tidak perlu dia melawan perkataan Laras yang selalu benar. 

“Damian mana pernah mikir kalau dia buat aku menderita begini? Yang dia tahu cuma yang menyenangkan aja," lanjut Laras dengan kesal.

Dhisti mendesah pelan sambil memasang label yang mengeluarkan bau harum, hampir menyengat. “Di sini, Mbak?” tanya Dhisti menekan punggung bawah Laras.

Laras tidak menjawab. Pandangannya terarah pada gawai Dhisti di dekat komputernya. Menahan sakit di punggung dan teringat bagaimana Damian menjerumuskannya ke lubang terdalam, Laras mengambil benda itu. Dhisti tertegun melihatnya tapi ia hanya terdiam. “Cari nomor Damian. Aku perlu bicara sama dia.”

Dhisti terkesiap, menatap wajah Laras. Ada ketegasan yang terpancar di sana, membuat Dhisti melakukan apa yang diminta saudaranya. 

Damian yang bersiap tidur mengernyitkan kening ketika Dhisti menelponnya. Hatinya mengatakan ada yang tidak beres dengan Laras.

“Kenapa, Dhis? Ada masalah sama Laras?”

Laras menggeleng. Walaupun Damian terlihat peduli, tidak ada percikan di hati Laras kala mendengar suara lelaki itu. 

“Kerja bagus ya, Dam. Kamu udah buat aku susah,” ujar Laras dengan nada kesal. 

Damian berdiri dari tempatnya dan membuka tirai, menampilkan langit malam. “Ra, hey. Gimana keadaanmu sekarang?”

“Nggak usah basa-basi. Aku cuma mau bilang, setelah anak ini lahir kamu harus merawatnya. Tapi jangan pernah bilang aku ibunya. Dia udah merampas kebahagiaanku,” ujar Laras langsung pada sasaran. 

Wanita itu kembali mengaduh dan menekan label di bawah punggungnya, memastikan hal itu bisa sedikit meringankannya. 

Damian memijat pelipisnya sebelum menghela napas panjang. Ia tidak pernah menyangka semua berakhir dengan kebencian Laras yang tak berujung.

“Aku ngerti, Ra. Kalau kamu kasih kesempatan sekali lagi, aku pasti menjagamu.”

Laras berdecak, menatap bunga mawar  dan daisy yang baru diganti. “Nggak perlu. Aku mau kamu tahu kalau perbuatanmu menghancurkan hidupku. Jadi, kamu juga harus menanggung semua yang berhubungan dengan anak ini. Jangan pernah libatkan aku. Aku akan buat surat perjanjian.”

Damian membuka mulutnya, hendak merespon tapi Laras sudah mematikan sambungan telepon. Lelaki itu berbalik dan menghembuskan napas. Ia tidak bisa tinggal diam dan membiarkan Laras hidup dalam ketidakpastian. Damian mengangguk mantap. Ia yakin ada saatnya wanita itu mencintainya.

Dhisti terdiam lama menatap saudaranya yang kembali mengaduh kesakitan. Perutnya makin membesar, membuatnya kadang kesulitan berjalan karena beban yang bertambah.

“Biar aja dia mikir, Dhis. Harusnya dia nggak dapat kesempatan buat menikmati hidup. Nggak adil buatku,” lanjut Laras masih dengan kekesalan yang sama.

Dhisti mengiakan sebelum merapikan tempat tidur. Menyusun bantal agar posisinya lebih tinggi, Dhisti menoleh pada saudaranya. “Aku harap ini buat Mbak nyaman. Istirahat dulu, Mbak.”

Laras mendesah pelan sebelum berjalan pelan menuju peraduannya, bersiap menjemput mimpi.

**

Dhisti mendesah kesal saat gawainya bergetar panjang. Ia tidak mengerti dengan hidupnya yang selalu membawanya dalam hal penuh kejutan. Membuka matanya yang berat, wanita bermata almond itu menerima panggilan dari Damian. 

"Dhis, aku mau ke sana. Tolong bukain pintu," ujar Damian dengan cepat.

Dhisti mengiakan dengan pelan tapi hatinya bertanya untuk urusan apa lelaki itu kembali datang.

“Dhis, dengar nggak?”lanjut Damian yang berdecak.

“Iya, Pak. Mau ngapain sih, Pak?” jawab Dhisti, melupakan tata krama saat harus berbincang dengan atasannya.

Damian membelokkan mobilnya menuju jalan Melati yang lengang. “Nggak usah banyak tanya. Yang jelas, kamu juga ikut saya. Siapin semua pakaianmu dan Laras. Sedikit aja.”

Dhisti hampir menjatuhkan gawainya ketika mendengar perintah Damian yang di luar dugaan. “Ini kita mau ke mana dan ngapain sih, Pak?”tanya Dhisti dengan rasa penasaran yang menumpuk.

Damian mematikan sambungan telepon dan fokus menyetir, meninggalkan Dhisti dengan pertanyaan tak terjawabnya. Tapi wanita itu akhirnya bangun dan mengambil tas, memasukkan tiga potong pakaian miliknya dan saudaranya. Begitu juga dengan obat dan perlengkapan lain Laras. Menoleh pada saudaranya yang tertidur, Dhisti mendesah pelan. Sepertinya semua hal baik menghampiri Laras tapi jarang mampir padanya. Dhisti beranjak dari tempatnya berjalan pelan menuju pintu samping. 

Siapa tahu dia udah datang.

Benar saja. Ayla hitam itu muncul dengan Damian di dalamnya. Dhisti membuka pintu kayu dan membiarkan Damian masuk dengan langkah lebar.

"Pak, sebenarnya-"

Damian menempelkan ujung jari telunjuk di bibirnya. "Nanti Saya jelasin. Saya mau bawa Laras dulu."

Dhisti terdiam menyadari kalau Damian sungguh rela berbuat apapun untuk Laras. Wanita bermata almond itu mendesah pelan dan berjalan mengikuti Damian. 

Di kamar, lelaki itu menatap Laras seiring hatinya yang berdesir hangat. Apa mungkin ini perasaan calon Ayah yang merindukan untuk bersatu dengan orang terkasihnya? 

Lelaki itu menghampiri Laras dan perlahan menyentuh pundak wanita itu. Beruntung posisi Laras yang telentang membuat Damian lebuh mudah untuk mengangkatnya. Perlahan Damian bersiap untuk membawa Laras. Penuh perhitungan, ia mendekatkan tubuh pada Laras dan membawanya dalam pelukan. Dhisti menatap keduanya dengan perasaan campur aduk. 

"Pak, hati-hati. Takut jatuh."

Damian memegang pundak dan kaki Laras memastikan wanita itu aman dalam gendongannya.

"Bukain pintu mobil, Dhis. Kuncinya di tas saya."

Dhisti menurut dan membiarkan Damian berjalan di belakangnya. Rupanya kursi mobil sudah diatur sedemikian rupa untuk Laras. Posisinya hampir setengah tertidur membuat Laras tak bergeming sedikit pun. Dhisti kembali ke rumah dan mengambil tas, sementara Damian membuka bagasi sebelum bersiap menyetir. 

"Udah kamu tutup bagasi sama pintu rumah?" tanya Damian menoleh ke belakang.

Dhisti mengiakan dan memandang wajah Damian yang dihiasi keringat di kening. Ingin Dhisti menyekanya tapi urung. Laras sudah menguasai hati Damian hingga lelaki itu membawanya pergi tanpa seizin Nuri. 

"Oke. Thanks buat kerjasamanya. Kita ke Bogor. Aku udah sewa villa sama temanku."

Dhisti terperanjat mendengarnya. "Ini penculikan, Pak. Gimana kalau Bude Nuri tahu anaknya hilang? Bapak kan, nggak mendapat sambutan baik dari awal."

Damian menoleh pada Laras memastikan ia aman. "Saya udah pikirkan semuanya. Kamu matikan gawaimu satu hari ini biar nggak ada yang nanyain kamu," jawab Damian dengan ketegasan.

"Bapak yakin? Terus kerjaan saya siapa yang urus?"

Damian berdecak. "Ada Fino dan Rania yang siap ngabarin apapun. Selama di villa, kamu yang bertanggung jawab sama makanan Laras. Selebihnya saya yang kerjakan. Bisa?"

Dhisti menghela napas menyadari kalau dia tidak mungkin bisa meraih hati Damian. Ia menutup mata, membiarkan hatinya makin terluka. Ia harap ada pelangi yang membuat segalanya indah.

**

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Premium
Di Bawah Langit yang Sama dengan Jalan yang Berbeda
22053      1899     10     
Romance
Jika Kinara bisa memilih dia tidak ingin memberikan cinta pertamanya pada Bian Jika Bian bisa menghindar dia tidak ingin berpapasan dengan Kinara Jika yang hanya menjadi jika karena semuanya sudah terlambat bagi keduanya Benang merah yang semula tipis kini semakin terlihat nyata Keduanya tidak bisa abai walau tahu ujung dari segalanya adalah fana Perjalanan keduanya untuk menjadi dewasa ti...
Rindumu Terbalas, Aisha
539      374     0     
Short Story
Bulan menggantung pada malam yang tak pernah sama. Dihiasi tempelan gemerlap bintang. Harusnya Aisha terus melukis rindu untuk yang dirindunya. Tapi kenapa Aisha terdiam, menutup gerbang kelopak matanya. Air mata Aisha mengerahkan pasukan untuk mendobrak gerbang kelopak mata.
Crystal Dimension
320      222     1     
Short Story
Aku pertama bertemu dengannya saat salju datang. Aku berpisah dengannya sebelum salju pergi. Wajahnya samar saat aku mencoba mengingatnya. Namun tatapannya berbeda dengan manusia biasa pada umumnya. Mungkinkah ia malaikat surga? Atau mungkin sebaliknya? Alam semesta, pertemukan lagi aku dengannya. Maka akan aku berikan hal yang paling berharga untuk menahannya disini.
Like Butterfly Effect, The Lost Trail
5710      1530     1     
Inspirational
Jika kamu adalah orang yang melakukan usaha keras demi mendapatkan sesuatu, apa perasaanmu ketika melihat orang yang bisa mendapatkan sesuatu itu dengan mudah? Hassan yang memulai kehidupan mandirinya berusaha untuk menemukan jati dirinya sebagai orang pintar. Di hari pertamanya, ia menemukan gadis dengan pencarian tak masuk akal. Awalnya dia anggap itu sesuatu lelucon sampai akhirnya Hassan m...
1'
4269      1421     5     
Romance
Apa yang kamu tahu tentang jatuh cinta? Setiap kali ada kesempatan, kau akan diam-diam melihatnya. Tertawa cekikikan melihat tingkah konyolnya. Atau bahkan, kau diam-diam mempersiapkan kata-kata indah untuk diungkapkan. Walau, aku yakin kalian pasti malu untuk mengakui. Iya, itu jarak yang dekat. Bisa kau bayangkan, jarak jauh berpuluh-puluh mil dan kau hanya satu kali bertemu. Satu kese...
Janji
486      340     0     
Short Story
Dia sesalu ada, dan akan tetap ada.
Yang Terlupa
449      255     4     
Short Story
Saat terbangun dari lelap, yang aku tahu selanjutnya adalah aku telah mati.
BUNGA DESEMBER
537      371     0     
Short Story
Sebuah cerita tentang bunga.
Violet, Gadis yang Ingin Mati
6086      1799     1     
Romance
Violet cuma remaja biasa yang ingin menikmati hidupnya dengan normal. Namun, dunianya mulai runtuh saat orang tuanya bercerai dan orang-orang di sekolah mulai menindasnya. Violet merasa sendirian dan kesepian. Rasanya, dia ingin mati saja.
Why Joe
1279      658     0     
Romance
Joe menghela nafas dalam-dalam Dia orang yang selama ini mencintaiku dalam diam, dia yang selama ini memberi hadiah-hadiah kecil di dalam tasku tanpa ku ketahui, dia bahkan mendoakanku ketika Aku hendak bertanding dalam kejuaraan basket antar kampus, dia tahu segala sesuatu yang Aku butuhkan, padahal dia tahu Aku memang sudah punya kekasih, dia tak mengungkapkan apapun, bahkan Aku pun tak bisa me...