Denting sendok yang beradu dengan piring memenuhi ruang makan keluarga Prasetya. Nadia mengunyah saladnya sambil tangannya menambahkan nasi goreng ke piring anaknya. “Kamu harus makan banyak, Dami. Kamu jarang sarapan di sini. Mama udah siapin dari subuh, loh.”
Damian mengulas senyum walau hatinya tak menentu. “Makasih, Ma. Tapi nggak perlu serepot itu. Aku cuma mampir sekalian ada yang mau aku bicarakan.”
Nadia menatap wajah lelaki di hadapannya dan mengernyitkan kening. “Tumben. Pasti ini hal yang penting, ya?”
Damian meletakkan sendoknya sebelum menggeser piring ke sisinya. Sepasang mata lelaki itu menghujam dalam pada manik cokelat Nadia. “Ma, aku udah menemukan pendamping hidup yang tepat."
Nadia membuka mulut, seiring matanya yang berbinar penuh bahagia. Ia tak percaya dengan perkataan anaknya yang di luar dugaan. “Ah, beneran? Siapa wanita beruntung itu, Nak?”
Damian mengembuskan napas dan menutup matanya sejenak. Ia belum siap untuk memberitahu yang sebenarnya tapi ini adalah langkah awal dari bentuk tanggung jawabnya. “Laras anak Tante Nuri, Ma.”
Nadia membesarkan matanya sambil pandangannya lekat pada manik Damian. Tak lama, sudut bibir Nadia membentuk bulan sabit. “Serius? Dami, ini berita baik. Tapi kenapa kamu kasih tahu sekarang? Tante Nuri juga nggak ada cerita apapun ke Mama.”
Damian meraih tangan Nadia sebelum menggenggamnya dengan erat. “Maafin aku kalau semua ini mendadak. Tapi yang perlu Mama tahu, aku mencintai Laras dan nggak pernah bermaksud buruk sama dia.”
Nadia membalas genggaman tangan lelaki itu dan mengelus punggung tangannya. “Dami, yang namanya sayang, pasti ada ketulusan. Kok kamu gitu ngomongnya?”
Damian menarik napas panjang dan melepasnya, menghilangkan kegugupannya. Dalam hitungan menit, lelaki itu menceritakan yang sebenarnya. Rasa yang ia pendam pada Laras memang tersampaikan tapi tidak pada akhir yang ia ciptakan.
Nadia terperanjat mendengarnya. Genggaman tangannya mengendur mengikuti hatinya yang patah. “Kenapa kamu nggak mikir panjang, Dami? Itu sama aja kamu makin menghancurkan hidup Laras. Belum kalau Tante Nuri tahu semua. Kamu juga membuat hubungan kami berantakan. Dia teman baik Mama, Dami. Ya Tuhan.”
Lelaki itu memijat pelipisnya yang berdenyut. Ia sudah memikirkan semua hal dan konsekuensi yang mengikutinya. Kalau pun Nadia menentang niatnya, lelaki itu tak peduli. Ia lebih mementingkan masa depannya dan Laras untuk saat ini.
“Aku tahu, Ma. Makannya aku kemari untuk minta restu. Aku akan menikahi Laras dan bertanggung jawab padanya dan anak kami.”
Nadia melihat pancaran mata penuh ketegasan yang tergambar di wajah Damian. Rahang lelaki itu mengatup dan kedua tangannya terkepal di sisi. Nadia tahu kalau niat Damian sungguh bulat. “Mama menyesali semua yang kamu perbuat sama Laras. Biar bagaimanapun, cinta nggak bisa dipaksakan, Dami. Oke, Mama apresiasi kejujuran dan tekadmu. Tapi gimana sama Laras dan Tante Nuri? Udah kamu bicarakan niatmu?”
Damian menggeleng. “Sebentar lagi, Ma. Aku harus pastikan Mama tahu ceritanya dari sudut pandangku dulu. Aku tahu ini salah tapi semua sudah terlanjur buat diperbaiki.”
Nadia mengelus pelan pundak anaknya dan menatap dalam sepasang manik cokelat itu. “Untuk membangun keluarga, diperlukan komitmen kuat. Apa kamu udah pikirkan semuanya, Dami?”
Lelaki itu mencerna perkataan Nadia, mengumpulkan beberapa hal yang bisa mendukungnya sebelum membangun bahtera keluarga. “Aku belajar dari Mama dan Papa selama ini. Juga dari Mas Galang. Memang bukan awal yang baik tapi aku pasti bisa, Ma.”
Nadia menatap lelaki di sampingnya dengan lembut. “Mama tahu, Dami. Tapi sekarang lebih baik kamu ke rumah Tante Nuri. Jelaskan baik-baik dan percaya mereka menyetujuinya. Tapi kalau tidak, terimalah itu.”
Damian sedikit tersentak dengan kalimat terakhir Nadia. Laras memang membencinya tapi dengan keadaannya yang sekarang, apa mungkin tidak ada cinta yang tersisa?
Damian menatap bunga lili di vas dan membuang napas. Yang lelaki itu tahu, semua akan menuntunnya pada sebuah kebahagiaan.
**
Laras melirik semangkuk bubur ayam dengan taburan bawang dan irisan daun seledri di nakas. Harumnya cukup menggoda tapi ia tidak bisa menyantapnya. Pikirannya hanya pada masa depannya yang buram. Masih jelas di ingatan wanita itu ketika Nuri mendengar pembicaraannya dan Dhisti.
“Jadi, kamu dan Damian? Benar yang kamu bilang tadi, Ra?”
Laras terpaku di tempat, menyadari tidak ada hal yang bisa ia sembunyikan lagi. “Semua kecelakaan, Bu. Aku nggak mencintai dia,” ujar Laras. “Damian buat hidupku berantakan.”
Nuri mendekati anaknya sebelum tangannya bergerak menyentuh perut anaknya. “Ibu nggak pernah membayangkan ini terjadi sama kamu, Ra. Biar Ibu yang bicara sama Damian. Apa Auriga tahu masalah ini?”
Laras menatap wajah Nuri dalam. Bayangan Auriga dan Tania yang menyakitinya kembali muncul dan Laras menceritakannya pada Nuri. Wanita paruh baya itu mengusap wajahnya, menyadari jalan hidup Laras yang pahit. “Kamu kenapa baru cerita sih, Ra?”
Laras menunduk seiring bahunya yang berguncang dan kedua matanya berkaca-kaca, menahan tangis yang menjelma duka. Wanita itu tidak bisa menahan rasa yang berkecamuk, membiarkan air matanya turun melewati pipi. Nuri perlahan mengusapnya dan berjanji untuk mengembalikan lagi harapan baru di hidup Laras.
“Aku mau menghilangkan anak ini, Bu,”ucap Laras, di sela tangisnya.
Nuri menggeleng kuat. “Itu sama saja kamu membunuh, Ra.”
“Tapi ini berat buatku, Bu. Gimana aku bisa hidup dengan hal yang aku benci?”
Wanita paruh baya itu menghela napas dan menatap manik hitam Laras. “Bertahanlah, Ra. Ibu yakin kamu bisa. Kalau kamu harus resign, Ibu bisa tanggung biaya hidupmu. Nanti Dhisti akan merawat anak itu. Dan kamu bisa melanjutkan hidup dengan lebih baik.”
Laras menyadari ketegasan dalam nada suara Ibunya. Ia tidak bisa berpikir jernih sekarang tapi mendengar solusi yang ditawarkan, itu bisa sedikit mengurangi bebannya.
Ketukan di pintu menyadarkan Laras dari peristiwa semalam. Perlahan ia menoleh, menemukan Nuri yang berjalan ke arahnya.
“Ra, kamu di kamar aja. Nadia dan Damian mau kemari. Mereka mau membicarakan tentang kalian.”
Laras terperanjat. “Gimana kalau Dam punya rencana lain, Bu?”
Nuri mengelus rambut anaknya lembut. “Kamu tenang, ya. Ibu bisa menggagalkannya. Kamu fokus saja sama dirimu. Kalau perlu apa-apa, panggil Dhisti. Dia di kamar tamu.”
Laras mengiakan walau hatinya tak menentu.
**
Nadia mengulas senyum tipis pada Nuri yang duduk di seberangnya. Damian mengangguk penuh hormat pada Nuri. Lukisan penari Bali di dinding seakan mengejek pertemuan mereka yang jauh dari kesan indah.
"Nuri, terima kasih sudah mengizinkan kami datang. Sebelumnya, aku sungguh minta maaf atas semua yang Damian lakukan," ujar Nadia, mengusir kesunyian.
Damian melirik Nadia sebelum mengambil alih pembicaraan. Lelaki itu menjelaskan segala yang terjadi dan mengemukakan maksudnya.
Nuri menghunus Damian dengan tajam. “Saya kecewa sama kamu, Damian. Kamu pikir semua masalah selesai dengan kamu menikahi Laras?”
Lelaki itu menatap Nuri tepat di mata. Semua pembelaannya sudah di ujung lidah tapi ia menahannya ketika Nuri kembali melanjutkan perkataannya. “Kami sudah memutuskan, Dam. Saya nggak mau Laras menghabiskan sisa hidupnya bersama orang yang ia benci. Ingat, Dam. kamu udah mengambil yang paling berharga dari dia secara nggak baik.”
Nadia meraih tangan anaknya dan mengelusnya, memberi ketenangan.
“Laras akan mengandung anak itu sampai melahirkannya tanpa kamu, Dam. Biar itu jadi tanggung jawab saya.”
Damian membesarkan matanya, tak percaya dengan apa yang didengarnya.“Tapi saya-”
Nuri mengangkat tangannya, memberi petunjuk ia tidak mau diinterupsi. “Laras nggak pernah sudi melihat anak itu. Yang dia lakukan sekarang cuma sebagai bentuk kemanusiaan.”
Damian bertukar pandang dengan Nadia yang menggeleng. “Nuri, kamu nggak bisa mengambil keputusan sepihak begini. Dami kan sudah berniat baik. Biar bagaimanapun, Laras juga perlu dukungan Dami. Aku nggak memaksa dia harus jatuh cinta sama Dami, tapi setidaknya Laras nggak sendirian.”
Nuri menggeleng kuat. “Aku nggak bisa, Nad. Laras segalanya buatku. Aku ikut hancur saat tahu dia hamil dengan orang yang ia belum kenal. Kamu lebih nggak punya perasaan dari Rose, Damian. Jadi lebih baik kamu pergi sekarang.”
Nadia terperanjat mendengar perkataan itu. Walau Damian melakukan kesalahan besar, Nadia tidak rela anaknya disamakan dengan Rose.
Wanita paruh baya itu menarik tangan Damian dan berdiri. “Aku nggak nyangka kamu bisa berpikir begitu, Nuri. Udah lah, Dami. Kita pulang. Pasti ada jalan buat kita mendapatkan yang terbaik.”
Nuri mengalihkan pandangan ke kolam ikan di dekat tanaman palma. Ia tidak bisa lagi melihat sisi baik dari sahabatnya. Laras terluka begitu dalam dan Nuri akan melakukan apapun untuk menghapusnya walau harus merelakan persahabatannya.
**