Read More >>"> 1' (Kerupuk Basah) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - 1'
MENU
About Us  

Pagi yang cerah di pinggir Dermaga kayu.

Aku dan dia sudah duduk di bangku longboat yang berjalan cepat. Sensasi-nya masih sama saat pertama kali ke sini. Dulu dengan Inak Banun, sekarang, dengannya. Persis ada di depanku. Tenang menghadap ke depan, entah apa yang dia pikirkan.

Sudah seminggu anak-anak belajar sungguh-sungguh, sampai harus menginap di Puskesmas, termasuk aku. Anak-anak tetap sekolah, tapi pulang lebih awal, tepatnya ke Puskesmas. Mereka diajari dulu oleh dia, sedangkan aku akan menyusul. Kerja keras kami tidak sia-sia. Buktinya, anak-anak juga bersemangat, percobaan dimulai. Pertandingan sederhana. Tiga anak lawan Dia sendirian. Aku sebagai juri.

Dia kalah telak. Skor 15-7 di simulasi akhir tadi malam. Aku penasaran, apakah dia memang sungguh-sungguh kalah atau hanya berpura-pura?

Okelah, mumpung ada kesempatan, aku akan bertanya. Lumayan, untuk menjadi bahan obrolan di atas longboat.

“Melamun, Bang? Nanti tercebur ke sungai, aku yang nol besar soal berenang tak bisa menolongmu.” Aku tertawa kecil. Sekarang, aku mulai berani meledeknya. Mungkin, karena sudah terbiasa bersama.

Dia menoleh ke belakang. Tertawa. “Kalau aku tercebur, mudah. Minta tolong pada buaya untuk mengangkatku.” Dia melangkah mendekatiku, duduk persis di sampingku. Oke, tolong, jantung kamu harus baik-baik saja.

“Memang, Abang pikir seperti film? Sekalian saja ada naga terbang lantas parkir di depan pasar.”

“Ternyata, kau lumayan pandai melawak juga.”

Aku mengangkat bahu. “Tak juga. Ngasal saja.”

Hening.

“Eh, iya, Bang, tadi malam Abang memang kalah atau sengaja kalah?” tanyaku membuka percakapan lagi.

Dia tersenyum lebar. Menatapku. “Pendapat kau?”

Matanya semakin terlihat being cokelat tertimpa sinar. Ingin rasanya, kusimpan, lantas kunyalakann saat malam-malam gelap di kamar. Tersenyum sepanjang malam.

“Da-May?” tanyanya sambil mengangkat alis.

“Oh, eh, ekhem. Abang pasti sengaja, kan?” Sial, ketahuan kalau aku lama menatapnya.

Dia menggaruk rambutnya. “Betul.”

 Aku melotot. “Kok tega, Bang? Kalau anak-anak tahu, pasti mereka bakal kesal.”

“Aku yakin dengan melihat simulasi tadi malam, mereka akan menang saat perlombaan.”

“Abang seyakin itu?”

Dia mengangguk. “Aku yakin sekali.”

“Berikan alasan, Bang! Tidak afdol kalau hanya soal keyakinan. Harus ada bukti.”

Dia tertawa. “Lama-lama kau mirip Dosenku dulu. Killer.”

 Aku menimpuk bahunya. “Bang, aku serius.”

“Wah, kalau aku duarius, pasti kau sudah minta tanda tanganku.”

Tanpa kamu menjadi Darius saja sudah membuat hatiku selalu tertuju padamu.

Dia berdeham. “Ya, aku memang sengaja. Sudah kukatakan, bukan? Aku sangat yakin mereka akan juara, kenapa?”

Dia membenarkan posisi duduk. Lebih menghadap padaku. “Karena, materi yang aku berikan tiga kali lipat lebih susah daripada latihan biasa.”

“Maksudnya?”

“Coba kau ingat-ingat soal yang kubuat dengan soal yang kau cari di buku SD. Bandingkan. Beda tidak?”

Aku berusaha mengingat. Membelalakan mata. “Eh, iya juga, Bang. Memang hampir mirip, tapi lebih susah soal dari Abang.”

Dia menjentikkan jari. “Logika sederhana. Bila anak-anak bisa menjawab pertanyaan dari soal-soal yang susah, maka akan lebih mudah mengerjakan soal-soal yang mudah, bukan?”

Aku mengangguk setuju.

“Kita sudah puluhan kali melakukan simulasi. Awal, anak-anak memang kalah dariku. Bahkan skor telak, aku menang. Lagi, mereka berlatih lagi dan lagi. Yang aku banggakan, mereka tidak berputus asa, terus belajar dan maju, bahkan merengek minta menginap di Puskesmas.”

Keren.

“Dan, bukti nyata. Mereka semakin bagus pemahamannya, kuat ingatannya, bahkan,” Dia tertawa sejenak, “mereka tertidur sambil memegang buku. Acel ngorok, bukunya dijadikan bantal. Nico tidur dengan posisi duduk, dan Menteng tidur sambil menutup muka dengan buku.”

“Semangat mereka menular, membuatku tertidur di meja, menunggu mereka belajar.”

Mukaku mulai merona. Aih, kenapa pula dia harus cerita tertidur di meja. Aku, kan jadi ingat hal gila yang kulakukan. Menyelimutinya dengan jasnya. Menatapnya lekat saat dia tertidur pulas.

“Saat simulasi tadi malam, kalau aku tidak sengaja kalah, aku yakin skor hanya selisih tipis. Mungkin, 14-12.”

“Lantas, menagapa Abang sengaja?”

“Karena dua hari lagi perlombaan. Dan, nanti malam anak-anak tidak boleh belajar.”

“Oh, aku paham. Jadi, Abang sengaja membuat anak-anak menang, agar mental mereka lebih berani, bukan?”

“Nah, ini juga sengaja tak kuberitahu agar kau tahu sendiri.”

Orang tergila yang pernah aku temui. Gila dalam harfiah, bukan gila beneran. Dia, mampu memahami anak sepenuh hati—tidak heran, dia lebih dulu satu tahu di sini.

 “Bukankah, pembelajaran seperti ini sangat lekat pada kehidupa kita?” Dia menatap dalam ke sungai. Percikan air yang dihasilkan longboat membuatnya tertarik.

“Bagian mana, Bang?”

Dia tersenyum. “Menurutmu, bagian mana?”

“Menurutku bagian Acel ngorok.”

Dia tertawa. “Come back!”

“Lah, Abang selalu jahil balik.” Aku ikut tertawa.

Dia tertawa perlahan, lantas menghela napas pelan. “Saat hidup mulai berat. Beruntun banyak ujian. Entah yang membuat fisik lelah, mental lelah, atau lelah untuk lanjut hidup. Saat itu pula sebenarnya cahaya mulai terang. Saat kita mengeluhkan, marah-marah pada Sang Kuasa, merasa tidak adil apa yang diberikan oleh-Nya pada kita, saat itu pula kita menyerah. Putus asa. Dan tidak peduli lagi soal kehidupan. Berjalan sempoyongan tak tentu arah.”

Dia menghela napas. “Kita tahu sendiri, cahaya itu bisa terang benderang, tapi bisa redup sepenuhnya. Saat cahaya tertutup itulah, yang sebenarnya justeru kita kurang beruntung. Siapa atau apa yang menyebabkan cahaya itu semakin redup? Sebenarnya kembali ke diri masing-masing,”

Aku diam takzim mendengar kata-katanya yang indah. Lantas melihat riak air yang begitu ramai.

“Percayalah, seberat apapun masalah, pasti, dan sangat pasti. Untuk menaikan level kita.” Dia tersenyum lebar.

“Bang Fian, sepertinya cocok menjadi psikiater.”

Mukanya merona. “Oi, banyak cakap sekali aku di depan seorang psikolog?”

Aku tertawa kecil. Menggeleng pelan. “Apa yang dikatakan Bang Fian itu benar. Adanya cahaya terang dan redup memang kita sendiri yang menentukan.”

“Dan, tentu. Saat sudah menghadapi sebuah beban masalah yang berat, aku yakin menghadapi ujian selanjutnya pasti gampang!”

Aku menatapnya, tersenyum lebar. Betapa, apa yang dia katakan, ingin aku tuliskan, lantas kuberikan suatu saat pada seseorang yang meminta sebuah petuah pesan.

Longboat terus berbunyi di dalam keheningan kami.

                                                                                          ***

Setelah naik longboat, kami menumpang truk demi ke Putussibau.

Jalanan masih sama. Menanjak tinggi, membuat jantung berdebar. Hutan yang masih sama, asri. Dia masih ada di sampingku. Menatap tajam ke depan. Dan beberapa orang yang ikut menumpang, bercengkrama dengan bahasa yang kurang kumengerti.

Kami terdiam, hening menikmati perjalanan. Menikmati saat truk turun ke bawah saat jalanan temurun. Selalu seru, padahal ketika pertama kali aku ke sini, tegangnya minta ampun. Aku menoleh tipis-tipis kepadanya. Dia tetap menatap serius ke depan, entahlah. Mungkin, masih mencari kata-kata filosofis yang magis. Atau, hanya sekedar melihat pemandangan saja.

“Tebak, aku berasal dari mana?” Dia bertanya. Membuka obrolan atas keheningan kami. Mungkin, ada satu jam kami tak mengobrol.

“Pontianak.” Aku menjawab tanpa ragu. Dan sempurna membuat mukaku merona.

Dia menoleh padaku. “Kau tahu dari mana? Aku tak beritahu kau kota asalku.”

Skakmat!

“Em, hanya menebak saja. Lagipula, kota yang tidak asing di Kalimantan Barat, hanya Pontianak. Putussibau saja tahu saat aku ditempatkan di sini,” jawabku. Yang jelas, menghindar agar dia tidak tahu, selama ini aku selalu mengintip beranda Wacebook-nya.

Dia mengangkat alis. Menggaruk kepala. “Alamak, kukira, kau punya ilmu membaca pikiran orang.”

“Mana ada?” Aku tertawa, menutupi gugup.

“Hmm, apakah di kotamu, truk sebagai angkutan juga?”

Aku merasa ini hanya pertanyaan basa-basi. Lah, dia dua tahun di Yogyakarta. Saat itu juga, dia bertanya soal Yogyakarta. “Tergantung.”

Dia menoleh lagi. “Lama-lama kucatat saat kau berkata ‘tergantung’. Memang jemuran, tergantung?”

Aku tertawa kecil, menatap ke depan. Jalan aspal yang mulus. Kelok-kelok yang indah.

“Oi, tak kau jawab pertanyaanku?”

Aku menoleh. Nyengir. “Hehe, bagus pemandangannya. Jadi, lupa. Ah, truk sebagai angkutan? Ya, jawabannya memang tergantung. Bisa jadi angkutan barang  bisa juga jadi angkutan manusia. Aku pernah menaikinya, tentu saja.”

“Wow, kukira kau pakai sayap peri ke mana-mana,” ledeknya.

Aku mendengus pelan. “Mulai.”

“Habis, selalu menyenangkan menjahili kau.”

Mukaku merona. Dan, Dia juga.

Ekhem, ada acara apa kau naik truk? Apakah di sana juga hutan belantara?” tanyanya asal.

Aku menyipitkan mata, menatapnya. Ini, Dia yang tak tahu atau pura-pura bodoh? Eh, betul juga. Yogyakarta kan ada hutannya juga. “Tidak. Saat itu ada acara PMR,”

Deg! Aku terdiam. Jantungku mulai tak karuan lagi. Atas memori itu. Atas kejadian yang super ajaib. Rentetan demi rentetan kejadian, membuatku mengingat pertemuan itu. Aku dan dia.

“PMR? Ah, aku jadi ingat saat itu,” Dia menggumam.

Aku menahan napas. Jangan-jangan dia mulai ingat. Gawat! Alarm satu sudah kunyalakan di dalam diri. Ayolah, Damay! Cari obrolan lain.

“Saat tengah malam, aku bersiap pulang ke kota asal karena ada sesuatu, dua anak perempuan remaja, satunya bermuka pucat pasi duduk di atas kursi roda, satunya mendorong bermuka wajah pucat juga, sorot mata yang panik.”

 Dia menghela napas. “Kutinggalakn koper saat itu juga, berlari, membuka pintu UGD dengan tergesa. Anak yang duduk di kursi itu benar-benar pucat, harus membutuhkan oksigen, segera kudorong kursi itu. Aku hanya melihat temannya sekelebat saja.”

“Malam itu, ada kesialan dan keuntungan. Pertama, tanda pengenalku hilang. Kedua, remaja itu masih bisa selamat, ternyata dia memiliki riwayat asma. Sungguh beruntung. Walau, aku selalu bertanya-tanya sampai sekarang. Pakaian PMR yang tak bentuk rupa, muka tak karuan, dan di tengah malam. Apa yang mereka lakukan?”

“Saat aku mau bertanya pada temannya, ternyata dia pingsan. Sudah diurus oleh perawat. Baiklah, bergegas kuambil koper dan pergi. Nah, saat sampai di bandara kotaku, baru sadar. Tanda pengenalku hilang. Padahal, itu kenang-kenangan. Menyenangkan bisa praktik koas di sana.” Dia tersenyum.

Aku diam. Waspada. Gugup. Keringat dinginku mulai mengalir. Tanda pengenal itu, masih ada. Kusimpan rapi di dalam kotak. Sekarang ada di kamar rumah Inak Bunan. Kan, lucu. Aku ingin mengungkapkan dua kata itu sembari menyerahkan tanda pengenal, ya masa berlatarkan truk dan gerombolan orang yang tertidur di truk dengan senandung dengkuran keras?

Dia menoleh. Menatapku lamat. “Kenapa, saat pertama kali berjumpa denganmu, aku tak merasa asing? Apakah kita pernah bertemu?”

Aku menatapnya lamat. Suara dengkuran, suara mesin truk yang menderu keras, sesekali cuitan burung melengguh, menghias indahnya pagi menjelang siang itu. Dunia itu datang kembali. Warm. Waktu melambat. Seolah, hanya ada aku dan Dia saat ini. Hanya ada tatapan indah itu, bola mata bening cokelat yang selalu aku nantikan kembali.

“Apakah, tebakanku betul?” Dia bertanya lagi.

Ingin sekali kujawab iya. Namun, kondisi saat ini betul-betul menyebalkan. Kenapa harus di atas truk? Aku menghela napas keras. Dunia kembali normal. Warm dan waktu melambat sudah tersedot ke dalam imajinasiku.

“A-apakah mukaku pasaran?” tanyaku. Gagal. Selalu gagal untuk berkata apa yang sesuai dengan hatiku sendiri.

Dia mengernyit. “Maksudmu?”

Aku menghela napas. Menggelengkan kepala. “Biasanya, orang-orang memirip-miripkan muka seseorang. Yang mirip inilah, mirip itulah. Abang pernah kan mukanya dimirip-miripkan seseorang?”

“Darius bolehlah.” Dia mulai tertawa jahil lagi.

Oke, topik beralih.

Aku menepuk bahunya. “Mana ada yang lebih ganteng dari Darius?”

“Akulah!” jawabnya.

“Ei, narsis betul,” jawabku.

“Oh, jadi aku tak tampan?”

Mau Abang tampannya kalah dari Darius, pemenang hatiku tetap Abang! Mukaku merona. Astaga, kenapa hatiku bilang begitu lebay-nya! Untung, hatiku tidak kompak dengan mulut. Tersumpal rapat.

“Atau, aku mirip banci?” tanyanya sembari terkekeh.

“Tidak, Abang,” jawabku singkat.

“Atau cantik?”

Aku mengangkat dua alis, “Abang mau dikata cantik?”

“Tak lah! Nanti bukannya jadi dokter umum palah jadi dokter spesialis kecantikan,” serunya sambil tertawa. Aku ikut tertawa. Bagus, dia mulai teralihkan. Semoga, dia memang tidak benar-benar mengingatku. Maksudnya, tidak untuk saat ini.

“Memang aneh masa sekarang. Dua anak muda mengobrol mesra di atas truk!” dengus salah satu penumpang.

Yang sempurna membuat wajahku merona.

                                                                                      ***

Sesampai di Putussibau tiga jam kemudian.

Di sini memang sangat berbeda dibandingkan di daerah penempatanku. Hampir mirip dengan jalanan Malioboro di Yogyakarta, bedanya lebih ramai di Malioboro. Bangunan-bangunan sudah mulai modern, banyak toko-toko elektronik, penjual makanan, minimarket, walau tak ada mall. Cukup kota, menurutku.

Setelah turun dari truk, aku dan dia naik angkot. Menuju toko. Membeli baju dan perlengkapan lain untuk persiapan lomba dua hari lagi. Tentu, perlombaan akan dilaksanakan di sini.

Aku dan dia berhadapan. Duduk paling belakang. Lagi, dia menghadap ke belakang, melihat jalanan begitu seriusnya. Aku ikut-ikutan melihat jalan juga. Bingung, mau mengajak ngobrol nanti mengganggu masa ‘semedinya’.

Jalan ini hanya satu lurus terus menerus, yang belum tahu aku di mana persimpangannya. Atau, mungkin tidak ada? Jalanan di Yogyakarta sudah aspal hitam bagus, di sini masih beton semen berwarna putih.

“Apakah, ibukota ini seramai di Yogyakarta?”

Aku mengernyit. “Bukankah, Abang pernah ke sana?”

Dia tertawa. Mukanya sedikit merona. “Iya, tapi itu sudah lima tahun lalu. Siapa tahu berubah ada mobil terbang di Yogyakarta.”

Aku tertawa. “Memang, sudah ada mobil terbang?”

“Ada.”

“Di mana?”

“Di luar negeri.”

Aku tambah tertawa, menoleh padanya. Dia segera menoleh ke jalanan lagi.

“Bagaimana Puskesmas yang sekarang, ya?”

“Puskesmas itu banyak, Bang,” ledekku.

Dia menatap datar padaku. “Puskesmas tempat magangku saat koas.”

“Kenapa, Bang?”

“Rindu saja.”

Mukaku sempurna merona. Tempat pertama kali aku bertemu dengannya. Tempat yang selalu kukunjungi seminggu sekali, demi mengenang kejadian yang ajaib dan magis itu.

“Rindu siapa, Bang?” tanyaku pelan.

Dia menggeleng. Tersenyum lebar. “Entahlah.”

“Eh, em, pacar, atau tunangan, atau istri Abang mungkin … LDR?” Gila! Aku berani sekali bertanya hal sensitif. Untukku terutama. Bagaimana kalau jawabannya iya? Mampus.

Dia menggelengkan kepala cepat. “Pertanyaanmu mirip wartawan gosip. Adakah seseorang yang mau dengan dokter kumuh, bertempat tinggal di pelosok pula. Tidak bisa disandingkan dengan dokter berpenampilan bersih, wangi, rapi, di tempat gedung bagus pula. Banyak sekali, kenapa harus memilih seorang dokter yang kalau mandi harus di sungai?”

Aku tertawa pelan. Tertawa lepas lebih tepatnya. Satu, aku senang mendengarnya bercerita, selalu unik. Kedua, aku tahu kalau dia tidak mempunyai siapapun. Tambah senyum lebarlah mulutku.

“Kau mulai meledekku, ya?” tanyanya.

Aku segera memposisikan diri lebih rileks. Jangan sampai dia tahu dulu. “Ya, kali, Bang. Dokter dengan berpenampilan rapi, bersih, dan wangi sudah biasa. Apalagi naik mobil makan di restoran mewah, hal membosankan, menurutku.”

“Jadi, aku dokter yang tak membosankan, iye?”

Mukaku merona. “Ah, em, buktinya anak-anak menyukai Abang. Masyarakat juga.” Dan aku. Sumpah, susah sekali mengatakan itu.

Dia tertawa lagi. Dia lebih sering tertawa, membuat jantung dag-dig-dug saja. “Berhenti, Bang!” serunya.

Angkot berhenti. Aku dan dia bergiliran keluar dari angkot. Setelah membayar, kami bergegas masuk ke salah satu toko. Banyak pilihan pakaian. Mulai dari seragam sekolah, kebaya, kaos, kemeja, bahkan baju pesta seperti peri-peri untuk anak-anak juga ada. Setelah mendapatkan pakaian yang dicari, dia membayar semuanya. Aku tersenyum sendiri. Dua kali, aku bisa berdua dengannya.

“Hei, truk datang paling tidak pukul empat sore. Kita masih ada waktu. Kau mau ke mana?” tanyanya sambil mengibaskan kerah. Panas yang tidak main-main.

“Eh, terserah Bang Fian saja,” jawabku.

Dia menatapku. “Serius?”

Aku mengangguk.

“Baiklah, mau naik motor atau angkot?”

“Lah, kita kan nggak bawa motor?”

Dia mengibaskan tangan. Masuk ke toko lagi. Keluar, menggoyangkan kunci. “Mudah bukan?”

“Kok?”

Dia tertawa. “Salah satu pekerja di sana asli dari desa yang kita abdi. Dia merantau, seminggu sekali baru pulang.”

Mulutku sempurna membentuk ‘o’.

Dia melangakah di sebelah toko, kembali mengendarai motor. Menyerahkan satu helm padaku. “Bisa, kan pakai sendiri?”

Aku menahan senyum, segera memakai helm dan menutup kaca. Aku ingin tersenyum lebar. Aku agak kikuk duduk di belakangnya. Aroma parfumnya sudah tercium. Wangi segar. Motor melaju perlahan. Tenang, aku tidak berpegangan di perutnya. Gila saja.

Dunia itu kembali datang. Semua tampak berwarna warm. Daun tumbuhan di tengah jalan terlihat jingga kecokelatan. Jalanan serasa berwarna oranye. Waktu melambat, membuatku merasa nyaman bersamanya. Tolong, detik kali ini bekerja sama. Untuk waktu ini saja.

“Kau tak pernah naik sepeda motor?” tanyanya sambil fokus ke spion. Sial, dia melihatku tersenyum lebar berarti.

“Oi, mukamu merah. Sudah pakai helm masih kepanasan?”

“Tidak, Bang,” jawabku gagu.

“Sebentar lagi. Sabar, okey. Kau pasti akan suka.”

Aku menutup muka dengan kaca helm. Tersenyum semakin lebar sambil tertawa cekikikan. Bahagia betul hari ini.

Jalanan mulus saja tanpa ada tanjakan. Dan, menurutku terlampaui sepi, jarang ada kendaraan lewat. Tiga puluh menit yang hanya serasa satu detik, motor berhenti di sebuah warung. Tepatnya di dekat bandara.

Aku turun dari motor, melepas helm. Dia membenarkan rambut, berkaca di spion. Aduh, tampannya berkali-kali lipat.

“Eh, Bang, kenapa cari warung harus di depan Bandara?”

“Nah, kan. Lelaki memang selalu salah. Katamu, terserah aku?” Dia berhenti membenarkan rambut. Menatapku mengkal.

Aku tertawa lebar. “Nasib sudah menjadi lelaki.”

“Ayo!” ajaknya.

Kami masuk ke warung kecil di dekat bandara. Entahlah, apa tujuannya membawaku ke sini. Dia duduk, memesan dua es teh dan kerupuk basah.

“Itu, makanan khas daerah sini,” jelasnya.

Aku mengangguk pelan. Aku lumayan tahu bandara ini. Ya, apalagi kalau bukan tempat terakhir landasan sebelum ke daerah  pengabdian.

Hapeku bergetar. Ruki menelepon ternyata. Lebih tepatnya video call.

“WOW, TERANGKAT!” pekiknya riang.

Aku nyengir. Sudah tabiatnya heboh.

“Damay! Kamu ke mana saja, hah? Astaga, Ibumu selalu bertanya setiap hari, biasakah menelepon Damay? Bisakah menghubungi Damay? Bisakah Ibu menyapa Damay? Banyak sekali pertanyaannya. Lebih susah jawab pertanyaan Ibumu daripada Dosen pengujiku!” cerocosnya tanpa spasi.

Ponsel direbut oleh seseorang. Ibu.

“Nak, kenapa tidak bisa dihubungi? Bagaimana kabarmu sekarang?” tanyanya dengan mata berkaca-kaca.

Aku mengangguk, tersenyum lebar. “Maaf, Ibu. Di desa pelosok tidak ada sinyal, ini kebetulan Damay ada di Kecamatan. Ada keperluan. Kabar Damay baik sekali, Bu. Ibu bagaimana?” Aku sedikit meliriknya. Dia mengangguk pelan, tersenyum. Mempersilahkan aku mengobrol.

“Ibu baik, Nak. Kapan kamu pulang?”

Aku tertawa kecil. Kami mengobrol cukup lama.

“Ruki, apakah ini bisa direkam? Saat Tante rindu Damay, bisa melihatnya baik-baik saja.”

Merembes sudah air mata.

Aku melihat Ruki memakai ponsel satu lagi untuk merekamku. “Tante, anak Tante diajarin dandan dong. Masa, di ponsel tetap buluk? Padahal, Tante cantiknya bukan main.”

Aku melotot pada Ruki. Ibu tertawa sambil mengangkat bahu. Sudah biasa aku dan Ruki becanda yang kurang ajar di depan Ibu. Ruki sudah dianggap anak Ibu sendiri.

“Nah, ini Tante. Giliran, ya, Tante?” pinta Ruki.

“Bentar dulu, Tante masih rindu dengan Damay.”

Aku mengusap air mata. Dia menyerahkan tisu yang disediakan warung. Aku mengangguk, berterima kasih. Ibu ikut menangis di video call. Ruki terdiam.

“Bapakmu pasti bangga sekali, kamu sudah menjadi seorang wanita yang tangguh sekarang. Wanita mandiri dan tetap manis. Bagi Ibu, kamu anak Ibu paling cantik sedunia.”

“Ah, masa, Tante? Cantikan aku. Buktinya, banyak yang naksir aku,” ledek Ruki. Aku tahu, niatnya mencairkan suasana.

“Terserah kau sajalah, Ruk, garuk-garuk seperti munyuk!” jawabku balas meledeknya.

Dia tertawa sampai tersedak.

Muka Ruki mengkal. “Wah, siapa yang mengajarimu berani balas ledekan? Wah, siapa pula yang tersedak itu?”

Beruntung, ponsel sudah dipegang Ruki. Gawat kalau Ibu tahu.

Aku menelan ludah. Haduh, aku kenalkan tidak, ya? Nanti Ruki heboh pula tahu seseorang yang selalu aku pikirkan. Tapi, kan aku dan dia satu desa itu, tak masalah bukan? Aku menoleh padanya. Meminta izin. Dia mengangguk, mendekat ke sampingku. Lumayan dekat. Sampai harus kuatur napas sedemikian rupa.

“Eh, kamu minta tanda tangan artis?” tanya Ruki.

Aku menepuk dahi. Duh, Ruki.

Dia tertawa kecil. “Halo, kenalkan aku Alfian Firdaus. Seorang dokter umum yang membantu di pelosok,” sapanya ramah.

Aku menatap takut pada Ruki. Kali ini, dia terbeku melihat dia. Memberi kode agar tidak memberi petunjuk soal diriku.

“WHAT, WHAT? Ini artis yang ngaku dokter, ya?” tanya Ruki. Baiklah, mungkin Ruki lupa wajah asli dia. Berbeda antara di tanda pengenal dan saat ini.

Dia tertawa. “Bukan, ini dokter sungguhan.”

“Maaf, Bang, temanku kurang sopan,” sergahku sebelum Ruki menjawab obrolan.

Ye, jangan serius-serius kali, May. Santai saja. Maaf, Pak Dokter, saya hanya bercanda.” Ruki mengangguk sopan.

Dia mengangguk takzim. “Tidak masalah. Justeru menyenangkan bisa berkenalan dengan teman Damay.”

“Maaf, Pak Dokter, ini ada seseorang yang rela sebulan sekali bolak-balik ke Indonesia demi menjaga Ibu Damay. Ingin bicara dengan Damay.” Ruki mulai meledek lagi.

“Baiklah, silakan.” Dia menjauh dariku, menikmati lagi es sambil tertawa sendiri. Mungkin, baru pertama bertemu mahluk aneh bin menyebalkan bin tak tahu malu seperti Ruki.

Muka Eno terlihat. Dia tidak mengatakan apapun, hanya menatapku saja.

“Syukurlah,” katanya satu menit kemudian.

“Kenapa, Eno?” tanyaku sambil mengangkat alis.

“Kamu baik-baik saja di sana,” jawabnya sambil tersenyum tulus. Ruki masih di samping Eno mesam-mesem sendiri. Entahlah, apa yang dipikirkannya.

“Apa kabar, Eno?” tanyaku.

“Buruk, Damay. Dia rela mengeluarkan uang banyak, demi menjaga Ibumu. Demi kembali ke Yogyakarta, ke sungai yang pernah datangi. Ewh, demi mengenang dirimu, dia mau bermain-main di sungai bersama anak-anak. Iya, sih, sekarang sungainya sudah bersih, tapi tetap saja aneh. Oh, ditambah setiap malam sendirian makan gembus di pinggiran Malioboro. Aku melihatnya sendiri.”

Muka Eno merah padam. Melotot pada Ruki. Aku diam, tidak menjawab apapun. Merasa tidak enak padanya.

“Bukan begitu, Damay. Aku bolak-balik ke Indonesia memang ada sesuatu yang harus kuurus. Karena kebetulan pulang, jadinya mampir sekalin ke rumah Ibumu bersama Ruki, iya nggak?”

“Ya, ku tak tahu. Kan aku bukan hatimu, No. Yang bisa jawab cuma hatimu,” ledek Ruki. Semakin merah muka Eno. 

“Kamu mau lanjut sekolah, No?” tanyaku mengalihkan topik.

“Rencana, May. Lihat saja besok. Bagaimana? Menyenangkan di sana?”

Aku mengangguk. Kami mengobrol cukup lama. Dia menoleh, memohon untuk makan kerupuk basah duluan. Aku mengangguk, mengiyakan.

“Baik-baik di sana, May. Jangan sampai sakit.”

“Iya.”

“Semoga, kamu bahagia di sana, May. Mendapatkan apa yang kamu cari. Melaksanakan apa tanggungjawabmu,” Eno tersenyum lebar lagi.

Aku membalas senyum lebar. “Terima kasih, Eno. Terima kasih juga sudah mau menyempatkan mampir ke rumah,”

Muka Eno sedikit merona.

EKHEM, oke, May, aku tahu kamu bersama si Dokter, kasihan juga dianggurin.” Ruki melambaikan tangan, memanggil Ibu. Mereka bertiga berjajar di depan kamera. “Senyum, May, satu, dua, tiga!” Screen shoot terlihat. Biasa, pasti akan Ruki posting di media sosial.

“Nak, jaga diri baik-baik, ya? Baik-baik dengan Pak Dokter agar kalian bisa saling membantu. Ibu selalu mendoakanmu, Damay.”

Aku mengangguk, menahan haru. Sepatah dua patah dengan Ruki dan Eno, ponsel mati. Gamang. Mungkin, karena aku terlampaui rindu pada mereka.

“Maaf, Bang. Jadi aku cuekin.”

Dia menggeleng. “Tak apa, Damay. Sangat menyenangkan bisa mendengar percakapan kalian. Berbincang dengan orang terdekat memang selalu membahagiakan.” Dia menggeser piring berisi kerupuk basah. “Kau makan dululah,” Dia mengecek jam, “lima menit lagi, kita akan melihat pesawat lepas landas,”

Aku menerima piring pemberiannya. Memakan kerupuk basah dengan nikmat. Mungkin, dia maniak pesawat, seperti orang kebanyakan. Maniak bus, kereta, kapal, bunga, dan masih banyak lagi.

Pesawat gagah terbang ke udara. Aku berhenti makan, menatap hikmat pesawat itu.

Suasana lengang.

“Kenapa kau mau mengabdi sebagai seorang relawan guru di sini, Damay?” tanyanya sambil menatap pesawat terbang.

Kamu. Jawabku dalam hati yang tetap menatap ke pesawat terbang.

“Apakah, Bang Fian begitu menyukai pesawat terbang? Alasannya apa?”tanyaku.

Dia tidak menjawab. Tetap menatap pesawat terbang hingga tak terjangkau oleh mata.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Cinta Tiga Meter
463      296     0     
Romance
Fika sudah jengah! Dia lelah dengan berbagai sikap tidak adil CEO kantor yang terus membela adik kandungnya dibanding bekerja dengan benar. Di tengah kemelut pekerjaan, leadernya malah memutuskan resign. Kini dirinya menjadi leader baru yang bertugas membimbing cowok baru dengan kegantengan bak artis ibu kota. Ketika tuntutan menikah mulai dilayangkan, dan si anak baru menyambut setiap langkah...
EPHEMERAL
99      90     2     
Romance
EPHEMERAL berarti tidak ada yang kekal, walaupun begitu akan tetap kubuktikan bahwa janji kita dan cinta kita akan kekal selamanya walaupun nanti kita dipisahkan oleh takdir. Aku paling benci perpisahan tetapi tanpa perpisahan tidak akan pernah adanya pertemuan. Aku dan kamu selamanya.
The Maze Of Madness
3776      1537     1     
Fantasy
Nora tak banyak tahu tentang sihir. Ia hidup dalam ketenangan dan perjalanan normal sebagai seorang gadis dari keluarga bangsawan di kota kecilnya, hingga pada suatu malam ibunya terbunuh oleh kekuatan sihir, begitupun ayahnya bertahun-tahun kemudian. Dan tetap saja, ia masih tidak tahu banyak tentang sihir. Terlalu banyak yang terjadi dalam hidupnya hingga pada saat semua kejadian itu merubah...
Langit Indah Sore Hari
98      84     0     
Inspirational
Masa lalu dan masa depan saling terhubung. Alka seorang remaja berusia 16 tahun, hubungannya dengan orang sekitar semakin merenggang. Suatu hari ia menemukan sebuah buku yang berisikan catatan harian dari seseorang yang pernah dekat dengannya. Karena penasaran Alka membacanya. Ia terkejut, tanpa sadar air mata perlahan mengalir melewati pipi. Seusai membaca buku itu sampai selesai, Alka ber...
Rembulan
768      428     2     
Romance
Orang-orang acap kali berkata, "orang yang gagal dalam keluarga, dia akan berhasil dalam percintaan." Hal itu tidak berlaku bagi Luna. Gadis mungil dengan paras seindah peri namun memiliki kehidupan seperti sihir. Luna selalu percaya akan cahaya rembulan yang setiap malam menyinari, tetapi sebenarnya dia ditipu oleh alam semesta. Bagaimana rasanya memiliki keluarga namun tak bisa dianggap ...
Just For You
4140      1631     1     
Romance
Terima kasih karena kamu sudah membuat hidupku menjadi lebih berarti. (Revaldo) *** Mendapatkan hal yang kita inginkan memang tidak semudah membalik telapak tangan, mungkin itu yang dirasakan Valdo saat ingin mendapatkan hati seorang gadis cantik bernama Vero. Namun karena sesuatu membuatnya harus merelakan apa yang selama ini dia usahakan dan berhasil dia dapatkan dengan tidak mudah. karen...
Edelweiss: The One That Stays
1385      589     1     
Mystery
Seperti mimpi buruk, Aura mendadak dihadapkan dengan kepala sekolah dan seorang detektif bodoh yang menginterogasinya sebagai saksi akan misteri kematian guru baru di sekolah mereka. Apa pasalnya? Gadis itu terekam berada di tempat kejadian perkara persis ketika guru itu tewas. Penyelidikan dimulai. Sesuai pernyataan Aura yang mengatakan adanya saksi baru, Reza Aldebra, mereka mencari keberada...
Nyanyian Burung di Ufuk Senja
2350      908     0     
Romance
Perceraian orangtua Salma membuatnya memiliki kebimbangan dalam menentukan suami masa depannya. Ada tiga pria yang menghiasi kehidupannya. Bram, teman Salma dari semenjak SMA. Dia sudah mengejar-ngejar Salma bahkan sampai menyatakan perasaannya. Namun Salma merasa dirinya dan Bram berada di dunia yang berbeda. Pria kedua adalah Bagas. Salma bertemu Bagas di komunitas Pencinta Literasi di kampu...
Cinta dalam Impian
86      67     1     
Romance
Setelah ditinggal oleh kedua orang tuanya, seorang gadis dan abangnya merantau untuk menjauh dari memori masa lalu. Sang gadis yang mempunyai keinginan kuat untuk meraih impian. Voska belajar dengan rajin, tetapi dengan berjalannya waktu, gadis itu berpisah dengan san abang. Apa yag terjadi dengan mereka? Mampukah mereka menyelesaikan masalahnya atau berakhir menjauh?
Asmaraloka Jawadwipa (Sudah Terbit / Open PO)
7263      2169     1     
Romance
Antara anugerah dan kutukan yang menyelimuti Renjana sejak ia memimpikan lelaki bangsawan dari zaman dahulu yang katanya merupakan sang bapa di lain masa. Ia takkan melupakan pengalaman dan pengetahuan yang didapatnya dari Wilwatikta sebagai rakyat biasa yang menyandang nama panggilan Viva. Tak lupa pula ia akan indahnya asmara di Tanah Blambangan sebelum mendapat perihnya jatuh cinta pada seseor...