Hari kelima di Jumbara.
Hujan. Tidak ada kumpul bersama di tengah lapangan. Lembut. Itu yang kurasakan hujan saat ini. Kalian tahu hujan lembut? Tidak bersuara, tidak terlihat bulatan-bulatan air, seperti embun yang jatuh begitu saja di atas daun, di atas tenda, di atas tanah, mode silent tapi menenangkan, menyegarkan, membuat basah seluruhnya.
Tenda aman dan kokoh. Di bawah tenda sudah disiapkan panitia lapisan papan kayu. Jadi, saat dirasa becek bisa menopang tenda kami. Air tidak merembes ke tenda—apalagi di bawahnya dilengkapi terpal tebal anti air. Anggota cewek merapatkan slepping bag masing-masing. Mengerubung melingkar, yang di tengahnya senter menyala dengan redup.
“Kak, maafin aku ...,” ucap salah satu anggota cewek—adik kelas menatap kak Nata. Matanya berair.
“Oi, sudah berapa kali kamu meminta maaf? Ada yang membuat catatan turusnya?” Kak Nata berseru, melihat kami satu persatu. Anggota terdiam, tidak berani menjawab. Ada yang memainkan kuku, ada yang terus menunduk, memikirkan cara mempersiapkan kekalahan mereka, dan ada yang sudah mengusap matanya, terlanjur basah.
“Astaga, lama-lama kamu mirip Damay, selalu minta maaf walaupun nggak salah,” ucap kak Nata tegas. Dia mendengus, memijat keningnya.
Aku menatap kak Nata. Menunjuk diri. Aku lagi. Maksudnya, apakah aku harus selalu menjadi role model untuk setiap perundingan? Agak menyebalkan lama-lama.
“Hei!” seru kak Nata lantang.
Kami reflek menatapnya. Adik kelas yang meminta maaf tadi terdiam, menunduk. Takut menatap mata kak Nata.
“Kalau kalian berpikiran lomba hanya soal benar salah, menang kalah, hadiah dan tangan kosong, kurasa kalian balik aja buat lomba sendiri menangkan hadiahnya sendiri!” tegas kak Nata. “Aku akan merasa gagal menjadi ketua di sini kalau kalian hanya berambisi soal kemenangan. Bah, lupakan pembina yang selalu nerocos untuk menang, menang, dan menang. Lupakan! Mentang-mentang dia pernah ikut jadi relawan PMI se-dunia, semena-mena banget nyuruh kita cuma buat saklek soal menang.” Kak Nata mendengus.
“Nih, aku juga gak mau dibilang bijak, gak mau jadi orang tua, maunya awet muda, kalaupun jadi nenek-nenek nanti, tetep jadi nenek-nenek gaul!” ucap kak Nata sambil menyisir rambutnya ke belakang.
Kami tertawa kecil. Asli, kak Nata pintar dalam mengubah emosi anggota dalam sekejap. Entah itu di sini, di sekolah, ataupun saat latihan. Beruntunglah mempunyai ketua seperti kak Nata, bertanggungjawab dan gaul.
“Inget! Kita semua di sini buat senang-senang, ya nggak?” Kak Nata mengangkat alisnya.
“Dari kalian seneng di sini, enggak terpaksa, kalian akan bergerak leluasa dan maksimal!” Kak Nata manggut-manggut.
“Kita sudah melewati lima hari perlombaan, loh, masak kalian cuma memikirkan kesalahan terus? Kapan kalian menikmati lomba ini, hei?” kak Nata kembali menatap satu persatu anggota.
“Soal kita menang atau kalah, itu nanti, nggak usah dipikir. Mending mikir makan, lapar aku.” Kak Nata mengusap perutnya.
“Kalau sampai kamu minta maaf lagi, kusuruh sebulan masak di eksul PMR!” Kak Nata nyengir ke adik kelas itu. Dia lumayan lebih baik sekarang, tersenyum tipis ke kak Nata.
“Nah gitu dong, nyengir lebar lagi biar gak kalah sama kuda.” Kak Nata menyengir, menjadi role model nyengirnya kuda.
Aku tertawa. Kak Nata memang pemimpin terbaik, bagiku. Bisa membangkitkan kembali semangat anggota cewek dengan cara yang unik. Lawakan garing.
“Enaknya kalau hujan mah makan mie rebus. Iya gak sih?” celetuk salah satu anggota cewek. Adik kelas.
“Iya benar, adakah yang mempunyai kekuatan super api?” Kak Nata bertanya. Tuh kan, mulai lagi ‘drama’.
“Ya kali Kak, eh, kentut, kan, gas?” Adik kelas menjawab tanpa dosa.
Kak Nata tertawa pelan. “Lalu? Siapa yang bisa mengeluarkan terus menerus kentut tanpa ada spasi? Kalau ada bolehlah di coba, sudah tersedia korek ini.” Kak Nata menunjukkan korek api.
Semua anggota cewek tertawa. Aku ikut tertawa, duduk menghadap keluar tenda. Melihat hujan yang setenang ini. Apalagi kalau kalian melihat hujan lembut di siang hari, timpaan matahari pada bulir lembut hujan akan terlihat. Menurutku, itu pemandangan yang klasik dan mahal.
“Damay jadi anak indie.” Kak Nata nyeletuk. Mulai lagi.
Aku menoleh ke belakang. “Terus kalau nelayan yang lihat hujan, petani tadah hujan, peneliti soal hujan, apa aja, deh, yang berhubungan hujan otomatis jadi anak indie, gitu?”
Kak Nata berdeham. “Kalau orang lagi kangen emang sensi, ya?”
Aku menaikkan alis kiri. “Pengalaman banget, nih?”
“Tentu, pengalaman melihat langsung,” jawabnya sambil menatap semua anggota. Memberi kode untuk menggodaku.
“Maksudnya?” tanyaku lagi.
Kak Nata berdeham. “Makan donat di ekskul Pe-Em-Er.”
“Cakep—” jawab anggota cewek kompak. Memang, mereka sangat kompak kalau soal memojokkan seseorang soal kasmaran.
“Jangan lupa pakai sambalnya,” sambung kak Nata.
“Cakep—” Mereka tetap menjawab walau tak masuk akal.
“Aduhai ... si Eno udah baper.”
“Cakep—”
“Si Damay tetap enggak peka.”
Anggota cewek tertawa keras sekali, kecuali aku mendengus menatap kak Nata. Lagpula, kalau dikupas satu-persatu, sebenarnya banyak anggota lain yang lebih bucin akut daripada tentangku. Bedanya, mereka pintar menyembunyikan, pintar memanipulasi cerita. Entah ada yang bilang kalau cuma teman belajar lah, teman nongkrong lah, teman melamun lah, teman wibu lah, dan masih banyak lagi. Sayangnya, mungkin cuma aku yang seru kalau diledek.
“Ih, gitu aja sewot, tapi memang terbukti, loh,” jawab kak Nata yang masih tertawa.
“Iya, Kak, waktu itu aku ngeliat Kak Eno duduk di depan ruang ekskul, kukira ada hari tambahan, jebulnya nunggu Kak Damay lewat doang,” tambah adik kelas mengatakan sembari menatapku menggoda. Kubalas dengusan dan mata melotot. Dan tentu, anggota cewek tertawa lagi.
“Lagi, nih, Kak Nat, paling jos gandos. Ingat nggak waktu Kak Eno ngasih cokelat ke Kak Damay karena alasannya nggak suka? Padahal karena Kak Eno tahu kalau Kak May kelaparan,” tambah adik kelas satunya—yang tadi minta maaf terus berseru.
“Ini, sih, bukti terkuat!” Kak Nata manggut-manggut.
“Tahu sendiri aku sama Damay dekat di ekskul, nah, tetiba Eno nunggu di parkiran. Lah, aku nggak paham ngapain dia nunggu? Kukira mau tanya soal PMR. Ternyata—” Kak Nata memelankan suaranya. Membuat anggota cewek mendekat ke kak Nata.
“Dia mau tahu buku kesukaan Damay,” bisik kak Nata.
“EAA—” seru anggota cewek serempak.
Aku menghela napas sembari menepuk dahi. “Astaga, tidak ada pembahasan lainnya, kah? Semisal persiapan besok ke—”
Anggota cewek menunjukkan buku note kecil, diskusi mereka tanpa aku setelah maghrib. Iya, aku mengurus lomba Karya Tulis, jadi harus berpisah dengan mereka. Memang benar-benar tertata dan pintar kalau soal urusan menjahili manusia.
“Eh, Damay, enggak deg-degan gitu saat dibantu turun dari di truk?” tanya kak Nata.
Aku melengos tidak peduli. Menatap hujan lembut lagi, berpikir. Aku tidak merasa canggung atau deg-degan saat bersama Eno, bahkan saat dia mau membantuku, rasanya biasa saja. Sudah lama aku tidak merasakan hal seperti itu. Saking sibuknya dan fokus atas kegiatan yang kuikuti.
Disaat aku berpikiran nyaman dengan keadaan sekarang, netral, tidak mempunyai siapapun yang ada dihati. Besok justru bertemu dia.
***
Mobil colt terparkir, kami berbaris rapi untuk naik menuju daerah yang ditunjuk untuk melakukan pengabdian selama tiga hari, membantu masyarakat di daerah tersebut. Salah satu kegiatan yang diadakan dalam lomba adalah penerjunan langsung ke suatu daerah, dan bisa membantu masyarakat di daerah yang sudah ditunjuk. Dan, dalam penerjunan ke masyarakat langsung, kelompok akan diacak random untuk bisa saling akrab dan melihat sikap setiap individu kepada anggota lain dan yang tentu masyarakat juga.
Aku sudah bersiap dengan beberapa anggota baru dari berbagai daerah. kami saling berkenalan, menceritakan keseruan, yang tentu saja beberapa bertanya soal keterlambatan kelompok kami. Seragam khas mereka juga keren. Ada yang berwarna ungu muda, hitam pekat, abu-abu polos, dan merah muda. Aku langsung mendapatkan kenalan baru karena warna baju kami hampir sama. Biru muda. Desainnya juga hampir sama. Kaos kami namanya ada di dada sebelah kiri, dia ada di punggung.
Namanya Ranaya. Nama yang feminin dan cantik. Berasal dari Kalimantan Barat, tepatnya Pontianak. Parasnya putih, matanya agak sipit, rambutnya pendek tergerai, kalau senyum manis sekali dengan gigi yang rapi. Rumor orang Kalimantan cantik-cantik memang benar.
“May, kalau di Yogyakarta apa yang menarik?” tanyanya di atas mobil colt yang bergoyang. Jujur, aku masih agak trauma soal kendaraan oleng.
“Kamu wajib ke Malioboro dan Keraton Yogyakarta,” jawabku.
“Amboi, menarik sepertinya, May.” Dia tersenyum lebar.
“Kalau di Kalimantan Barat wajib kemana, Nay?” tanyaku balik.
“Kau harus naik sepit mengelilingi sungai besar khas Kalimantan, Sungai Kapuas. Kau juga harus berkunjung ke Istana Kadriah, bagus sekali tempatnya,” serunya dengan mata berbinar.
Aku manggut-manggut. Hening. Gerimis lembut mulai turun, kami mengambil mantel masing-masing, memakai di atas mobil colt. Bau khasanah basah, petani berpulang dengan baju kotornya, penggembala pulang menaiki kerbaunya, dan anak-anak berlarian dengan mengadahkan tangan ke atas. Hujan atas Rahmat Alam.
Gerbang desa yang terbuat dari bambu terlihat. Terlintang besi, menandakan mobil tidak bisa masuk. Kami turun, dipandu panitia. Desa yang unik. Rumahnya rerata berdinding kayu dengan genting bentuk aksen Joglo berbahan seng. Di depan rumah rerata juga ada hewan ternak.
Aku dan Nay berjalan bersampingan. Agak seram, ini masih pagi menjelang siang, lumayan gelap dengan banyaknya pepohonan. Anak-anak sembunyi-sembunyi melihat kami, para ibu menyuapi balita, para bapak yang sibuk mengangkut hasil panen maupun hasil sayur mayur, dan para remaja seusia kami pulang sekolah.
Di samping desa, ada sungai lumayan besar terlihat. Masih alami. Bahkan cerukan yang dikelilingi bebatuan besar dijadikan tempat mandi. Airnya bening pula, wah, pasti menyegarkan ini. Apalagi, cara mandi mereka unik. Menggunakan jarik yang terlilit di tubuh.
Kami berhenti di depan kantor kepala desa. Serius, kantornya sederhana sekali. Tidak seperti kantor-kantor desa lainnya, ini masih aksen Joglo dengan dinding kokoh berbahan kayu jati. Unik, apalagi ditambah pelataran berjejer alat musik gamelan.
“Itu apa?” bisik Nay.
“Itu namanya gamelan,” jawabku . Nay menggaruk kepala, malu.
“Desa ini masih kental sekali adat dan budaya. Salah satunya gamelan ini. Lihat saja bahkan ada yang sudah keropos. Bukan tidak berniat memperbaiki, tapi ini adalah gamelan yang diberikan langsung oleh salah satu Sunan,” sambung kepala desa mengambil pemukul lantas memukul gong keras-keras. Anggota cempaka heboh, bertepuk tangan. Mungkin, karena mereka bukan asli Yogyakarta, baru pertama melihat, jadi senang.
Namun, keseruan itu hanya beberapa jam bagiku. Ada peristiwa serius yang tak akan pernah bisa aku lupakan seumur hidup.
***
Sore menjelang malam yang mendung.
Aku dan Nay berjalan santai melewati jalan setapak. Sorot senter membantu kami melihat tekstur jalanan bertanah campur pasir. Pepohonan bambu yang lebat, membuat suasana mencekam, menutupi yang seharusnya senja terlihat indah. Riak sungai dan burung ‘uhu’ sesekali terdengar, berganti bersahutan dengan suara serangga hutan.
Biasanya, kak Nata dan kawan-kawan menggosip saat sore-sore di tenda. Melepas lelah, masak, lantas makan malam bersama dengan satu tampah. Istilahnya korsa. Tapi, tidak untuk malam ini. Aku dan Nay harus melewati jalan setapak yang cukup membuat bulu kuduk kami meremang.
Malam ini ada pementasan Uyon-Uyon dengan musik gamelan. Ditambah ada penyanyi yang disebut sinden atau gerong dan instrumental. Pementasan melalui tiga tahap. Pertama Uyon dengan lagu berat atau berbobot. Kedua, lagu setengah berat dan mantap. Ketiga, lagu yang lincah, menyenangkan, dan ringan. Aku tahu dari penjelasan kepala desa.
Salah satu ibu menyuruh kami mengambil daun janur kuning yang dekat dengan sungai. Pohon kelapa pendek satu-satunya yang paling dekat dengan rumah pemasakan, untuk acara malam ini. Hidangan Yogyakarta tersajikan, salah satunya harus menggunakan janur kuning. Ya sudah, kebetulan aku dan Nay membantu di dapur, berangkatlah kami.
“May, ini lebih menakutkan daripada di hutan karet,” bisik Nay. Napasnya menderu, saking takutnya.
“Kita balik saja May,” rengek Nay sambil menarik lenganku.
“Ayolah, tanggung itu. Lihat, sudah terlihat pohon kelapanya!” Aku berseru sambil menyorotkan senter ke pohon kelapa.
Suara geledek mulai terdengar. Aku menatap ke arah barat. Senja mulai menenggelamkan diri dengan remang. Kabut memperlihatkan senja menjadi tidak ketara jelas. Aku mengelap muka. Pasti akan segera hujan.
CTAR! Petir terdengar keras.
“May, balik saja ayo,” rengek Nay lagi. Wajahnya mulai pias di dalam kegelapan.
Aku menghela napas panjang. Menghirup kembali. Menarik tangan Nay,” Ayo, kita pasti bisa! Tinggal lima meter lagi!”
Kami berhati-hati menuruni jalan menuju sungai. Tidak ada undakan semen, hanya terbuat dari tanah alami yang dibentuk seperti tangga. Satu bulir air membasahi ujung bulu mataku. Ditambah bulir-bulir lain. Hujan. Langsung deras.
“May!” Nay menarik tanganku keras.
Aku menatapnya tajam. “Tinggal sepuluh langkah lagi.” Aku memegang tangannya erat.
Kami tetap melanjutkan berjalan ke bawah. Menyorot senter ke tanah yang licin dan basah itu. Yak! Kami berhasil meraih pohon kelapa kecil itu. Tapi, aku sudah mulai ceroboh melakukan kesalahan. Pohon itu di dekat sungai besar, yang tidak ada penerangan maupun peringatan soal arus deras dan bendungan dibuka dari atas. Suara gemuruh yang bukan dari kumpulan awan hitam mulai terdengar dari kejauhan. Semakin lama semakin dekat.
“NAY, LARI!” Aku berteriak, menyeret paksa Nay sambil berlari ke atas. Tidak peduli daun janur kuning lepas dari genggamanku atau palah jatuh ke sungai. Keselamatan kami jauh lebih penting.
Sungai gemuruh datang. Aku berusaha secepat mungkin ke atas. Saat hampir sampai di atas jalan setapak, kaki Nay terpeleset, membuatku ikut meluncur ke bawah. Dengan hujan yang terus mengguyur deras, kami dengan mudah langsung tercebur ke sungai. Aku berusaha berenang sekuat tenagaku, tetap menggengam erat tangan Nay agar tidak terpisah. Deras sungai terus bergelombang, membuatku sesekali tenggelam sesekali timbul untuk menarik oksigen lebih banyak. Aku tidak tahu kondisi Nay, yang jelas tangannya masih terus kugenggam. Apapun, sekalipun kekuatanku melemah, tak akan kulepaskan tangan Nay.
Senter entah di mana. Kami terombang-ambing, ditarik aliran sungai yang sangat deras. Aku mulai menangis. Apakah ini akhir dari kehidupanku? Apakah nanti aku bisa di tempat terbaik di sana dan mendapatkan ampunan? Aku terisak.
Berikan sisa keajaibanMu.
***
Aku membuka sedikit demi sedikit mata. Gelap. Badanku tengkurap di atas batang kayu yang cukup besar bersamaan tanganku yang masih menggenggam erat Nay. Aku menatap Nay, dia tidak bergerak sama sekali. Kakiku terasa basah. Aku melongok ke bawah. Ternyata setengah badanku masih berada di dalam air.
Aku tidak ingat bagaimana kejadiannya. Yang sedikit aku ingat adalah, kebetulan tepat di depan kami ada bongkahan kayu terapung dengan lambat. Langsung kuraih dan kugunakan sebagai perahu darurat. Jujur, aku tidak bisa mengendalikan laju bongkahan kayu itu, entah bagaimana aku terbangun bongkahan kayu sudah berada di pinggiran sungai.
Doaku terkabul. Keajaiban dari Langit, siapa lagi?
Aku berdiri, menyeimbangkan tubuh agar tidak masuk ke arus lagi. Bajuku basah dengan bawahan yang sudah kotor. Mukaku awut-awutan. Apalagi Nay, dia belum juga terbangun. Aku mengecek napasnya. Mengecek denyut jantungnya, apakah lemah atau tidak? Aku menangis, bersyukur. Dia masih bernapas, tapi denyut jantungnya kadang melemah kadang menguat.
Gelap. Kuduga ini sekitaran pinggir sungai tapi tidak tahu daerah mana. Aku mengelap muka lalu menarik perlahan Nay, kupapah sampai di pinggiran yang lebih aman. Aku mendongak ke atas. Apakah tidak ada jalan ke sana? Takut arus sungai meninggi kembali. Doaku beruntun terkabul.
Satu kunang-kunang datang.
Dua kunang membawa teman.
Tiga kunang membawa puluhan teman.
Empat kunang membawa ratusan teman.
Di saat zaman realistis yang tidak mempercayai suatu keajaiban, aku sangat percaya. Entah, kunang-kunang ini memang sengaja berperan sebagai senter darurat atau memang tempat tinggal mereka ada di sini. Pinggiran sungai mulai terlihat. Tekstur dan bagaimana permukaannya mulai bisa aku pandang. Ada parit kecil.
Lupakan dengan fisik yang lelah bertarung dengan arus. Terpenting, aku masih kuat berjalan, memapah perlahan Nay di sampingku. Dengan langkah terseok, kadang oleng, aku mengusahakan kami bisa selamat. Kunang-kunang terus mengikuti kami dari atas. Memberi penerangan.
Parit semakin menaik tembus ke jalan setapak. Aku berhenti sejenak, mengatur napas. Lampu pedesaan sudah mulai terlihat di ujung. Kunang-kunang satu persatu pergi menyebar. Aku mendudukan Nay, menepuk pipinya perlahan. Tidak ada respon.
“Nay, bangunlah Nay!” Aku belum menyerah, menepuk pipi Nay kembali.
“Nay, kamu sudah aman di sini, ayolah, setidaknya agar aku tahu kamu baik-baik saja.” Pipiku mulai basah.
“Nay, aku yakin kita akan selamat!”
Nay mulai membuka mata perlahan. Wajahnya pucat pasi, bibirnya biru, napasnya tak beraturan, dia terbatuk. Aku mengelus punggungnya agar air yang di dalam bisa keluar perlahan, memeluknya erat.
“Kita di mana, Damay?” Nay bertanya dengan suara lemah.
Aku menggeleng. Masih memeluknya.
“Apakah kita sudah di surga?”
Aku melotot padanya. “Kita selamat Nay, tapi tidak tahu ada di mana, sekarang jam berapa. Aku benar-benar tidak tahu.”
Nay mengangguk lemah. “Aku haus Damay.”
“Kau kuat berjalan Nay? Perlahan saja, kita cari rumah sekitar.”
Nay mengangguk lemah. Aku mengangguk, mulai memapahnya kembali. Berjalan sekenanya, terkadang sempoyongan ke kanan dan ke kiri, terkadang berhenti saat mencapai lampu desa, dan membuahkan hasil. Tembuslah ke jalan raya kecil. Aku yakin sekali pasti ada penduduk di sini.
Kami terus berjalan dengan napas tersengal. Lurus terus mengikuti jalan raya kecil. Tidak ada kendaraan sama sekali yang lewat. Nay tetap berjalan perlahan, napasnya mulai kadang terdengar kadang tidak. Kuputuskan beristirahat sejenak di pinggir jalan.
Sekitaran sawah terhampar. Aku yakin sekali ini masih di daerah Yogayakarta, tapi tidak tahu nama tempat ini. Pandanganku terhenti di suatu bangunan dengan cahaya lembut dari kejauhan. Ada papan kayu kecil putih dengan tulisan yang tidak bisa kubaca secara jelas. Ada dua kemungkinan, kalau tidak rumah bidan desa atau rumah kepala desa.
Aku memapah Nay kembali, berjalan agak cepat ke sana. Sekitar lima kilometer untuk sampai. Ternyata, papan kecil itu bertuliskan ‘Puskesmas II’. Aku segera melangkah masuk ke bangunan sederhana, mirip rumah biasa dengan lorong pendek berlantai dua. Kebetulan ada kursi roda, Nay kuletakkan perlahan di atas kursi roda. Napas Nay mulai kembang kempis, seperti orang asma.
Jam menunjukkan 00.04, yang berarti kami terseret arus hingga 5 jam atau pingsan dengan waktu yang lama. Aku bergegas mendorong Nay ke ruang ujung yang bertuliskan UGD. Semua lampu padam. Aku melongok kesana-kemari, mencari setidaknya ada satu saja tenaga medis.
Suara orang berlari semakin mendekat dari UGD. Saat itulah, waktu seolah terhenti.
Satu menit. Aku mendengar jelas bagaimana langkah kakinya. Berlari dengan pasti. Dengan pandaran lampu putih, aku melihat jelas seluk beluk wajahnya. Mata cokelat, muka oriental putih bersih, alis tebal, rambut rapi dengan poni berantakan, dan tahi lalat di sebelah kiri matanya.
Terlihat jelas muka tulus panik, memegang bahu Nay, lantas mengambil alih kursi roda untuk dibawa ke UGD. Aku melihat dan terekam jelas bagaimana bentukan punggungnya. Dengan jas putih yang berkibar karena berlari. Pendaran putih lampu menjadi warm di dalam ‘waktuku’ sendiri.
Siapa dia?
Jantungku mulai berdegup kencang tidak karuan. Mataku tidak melepas sedikitpun pada punggung itu, sampai akhirnya pintu UGD tertutup.
Siapa dia?
Tanda pengenal berwarna biru dan putih tergeletak di atas lantai. Bertuliskan dua kata nama, Alfian Firdaus. Hingga, nama itu memudar, pandanganku menggelap.