“AAA!” Pengang kupingku mendengar teriakan anggota cewek PMR.
Jalanan yang kami lewati terjal, naik-turun, ditambah licin sehabis hujan. Berpasir dengan campuran tanah merah, bebatuan kerikil, dan sesekali bebatuan besar kami temui. Aku berpegangan erat pada bangku. Melihat wajah pucat teman-teman. Mungkin mukaku sama, tapi masih bisa kukondisikan.
BREMM!
Ban truk terjebak di tanah becek. Lagi, cewek-cewek teriak. Serius, aku juga ikut tegang, takut truknya oleng—ini bukan truk oleng yang viral, ambruk ke samping dan kami terguling. Napasku menderu, menatap semua kawan. Pertama kali perjalanan seseru dan setegang ini.
“WOI, MUNDUR!” seru sopir.
Kami saling tatap. Wah, truk akan mundur? Aku menelan ludah. Beberapa dari kami memerah matanya, menangis, muka pucat pasi, dan fokus berdoa. Aku menoleh ke belakang, kubangan memang cukup dalam dan tanah benar-benar becek. Truk dari belakang belum mengerti konstruksi sopir.
Aku berdiri, berjalan cepat ke belakang truk. “MUNDUR!” teriakku. Anggota cewek menoleh, ingin ikut ke belakang truk, berteriak memberitahu.
Aku mencegah. “Jangan! Nanti beban truk akan bertumpu di sini!”
Mereka terdiam lantas duduk kembali, cemas.
BRUMMM!
Truk memaksakan diri berjalan, eh? Kenapa truk agak miring.
“IBU... AKU TAKUT!” teriak salah satu anggota cewek.
Mereka semua mulai menangis. Keadaan mulai kacau. Secercah harapan, teriakanku berhasil. Truk kedua berhenti, sopir dan anggota cowok turun dari truk, berlarian ke arah kami.
Aku berbalik badan, berseru. “Kalau kalian terus panik tidak bisa berpikir tenang, adanya truk semakin bergoyang. Ayolah, tenang, kita bisa mengatasi bersama-sama!”
Anggota cewek menurut, mengambil napas, mengembuskan kembali. Keadaan lebih tenang.
“Kalian baik-baik saja?” teriak salah satu anggota cowok.
Aku berbalik badan, mengangkat jempol. “Ya!”
Mesin truk mati. Truk agak mundur sebentar, lalu stuck tidak bergerak. Ini perasaanku atau bagaimana? Aku merasakan posisi truk semakin miring.
“Kalian semua turun dulu! Saya buka pintunya,” seru sopir sambil membuka kunci besi panjang bersama sopir truk kedua. Entahlah, truk ketiga tidak tahu keadaaanya. Aku membalikkan badan, menatap satu persatu anggota cewek. Meyakinkan mereka.
Anggota cowok, pembina, dan tiga sopir—ternyata truk ketiga ikut berhenti menunggu di depan pintu truk belakang. Beberapa warga sekitar ikut membantu menahan truk yang terlanjur miring. Aku memegang tangan satu persatu anggota cewek, membantu turun ke bawah. Dari bawah dibantu anggota cowok untuk turun.
Aku terakhir turun, dibantu oleh cowok itu –yang dicie-ciein.
“Kamu gakpapa?” tanyanya.
Aku mengangguk. “Terima kasih,” jawabku singkat. Lagipula, kami juga belum terlalu mengenal.
Dia mengangguk. Aku menyusul ke anggota cewek. Membantu mereka agar lebih tenang. Para warga bergotong royong memiringkan truk kembali ke semula. Asli, setengah ban kanan tenggelam di dalam kubangan lumpur. Aku menghela napas lega.
"Oi, kalian baik-baik saja?" teriak kak Nata mendekat. Dia selaku ketua sangat bertanggung jawab pada anggota kelompok.
"Kak Nata enggak lihat mukaku kaya apa?" jawab salah satu anggota kesal.
"Wajahmu enggak berubah juga kaya Emma Watson. Berubah jadi Capibara juga enggak," jawabnya santai.
"KAK!" teriak anggota yang diledek. Aku menahan tawa.
"Kalau ada masalah kaya gini, enggak usah dibikin tegang. Rileks, santai, kaya di pantai," jawab Kak Nata dengan nyengir ciri khasnya.
"Pantai pasir putih iya asik, ini pantai lumpur lapindo?" jawab anggota yang masih kesal dengan kak Nata.
Beberapa yang mendengar itu tertawa. Kak Nata juga ikut tertawa. "Haduh, wajah sebalnya saja sudah membuat gemas ingin sekali menceburkannya ke dalam lumpur lapindo yang berpindah ini. Lagipula, kamu berlebihan banget, sudah sewajarnya, kan, musim penghujan pasti ada kubangan? Sesuatu hal kalau dilihat berlebihan juga enggak baik. Bagusnya, sekarang kamu minum yang banyak, tenangkan diri, dan berusaha mengendalikan emosi. Ini baru permulaan, loh, buat perlombaan hari ini, astaga...." Kak Nata terdiam, mematung sesaat.
"Kenapa?" tanyaku.
"Gara-gara lumpur lapindo ini kita terlupa kalau KITA PASTI TELAT SAMPAI SANA!" Kak Nata langsung berlari menemui pembina.
Aku menepuk dahi. Astaga! Bisa-bisa nilai kami langsung berkurang karena keterlambatan ini?
***
Selamat!
Kata pertama yang keluar dari mulutku. Tempat lokasi Jumbara dekat di pegunungan Merapi, di sekelilingi pegunungan. Tempatnya dingin, tapi kamu bisa melihat gagahnya Merapi dengan spektakuler. Moncongnya terlihat sempurna. Ulir-ulir ‘badan’ Merapi terlihat. Asap kawah yang mengepul, dan lagi tempatnya sejuk sekali.
Tentu, kami terlambat. Untungnya, pembina tanggap menghubungi panitia dengan alasan truk oleng. Dimaklumi. Kami tiba setengah jam setelah acara pertama berlangsung, upacara pembukaan kami lewati. Tentu, manusia yang paling lega sedunia adalah kak Nata.
Kalau biasanya memakai tenda hijau dan mentok hitam, kali ini memakai tenda berwarna-warni. Sumpah, kalau difoto dari atas, itu melambangkan warna ekskul PMR Wira bak bunga di taman-taman. Kuning, biru, merah, putih, menyatu melingkar memenuhi sudut-sudut lapangan. Ditambah setiap tenda ada pagarnya, pintu seperti gerbang yang dibuat secara kreatif.
Anggota cewek dan cowok terpisah. Anggota cewek berada di utara, anggota cowok di selatan. Barat dan timur ditempati pembina dan para guru. Para anggota dari berbagai daerah sedang asyik menghias tenda, tidak untuk kami.
Kak Nata mengangguk, menatap kami satu persatu. “Yok, bergegas membangun tenda. CAPCUS THE—” serunya.
“WIRA-WIRA SAORIKANDA!” jawab kami semangat. Saorikanda adalah julukan ekskul PMR kami.
Tugas dibagi. Kak Nata dan tiga adik kelas mengurus tas-tas kami. Tiga dari angkatanku—termasuk aku menggelar tenda agar mudah dimasukkan. Tiga kakak senior merangkai besi-besi pendiri tenda—ini paling susah. Kami senang-senang saja melakukannya. Enteng.
“Kasihan banget Damay.” Kak Nata tertawa sambil menenteng tas ke samping. Membuka tas kelompok.
Aku berhenti menjinjing ujung tenda. “Kenapa, Kak?”
“Tidak satu komplek dengan si itutu—” jawab kak Nata nyengir.
“Ciee, uhuy, Damay!” Semua anggota cewek ikut menjawab.
“Itutu, tuh, siapa, Kak?” Aku mengangkat alis.
“Semakin pura-pura tidak tahu, semakin keliatan malu tapi mau—”
“Eaaak,” sahut anggota cewek. Semua peserta Jumbara mulai tertarik obrolan kami.
Aku menghela napas keras. “Siapa, sih?”
Kak Nata berdiri, meletakkan tas kelompok. Berlutut mengulurkan tangan padaku. “Damay, kamu gakpapa?”
Kak Nata berdiri, merangkulku, tersenyum menggoda. “Mengulurkan tangan sembari meraihmu Damay dan dia hanya meraihmu.”
Anggota cewek tertawa kompak. Sial, aku benar-benar digoda. Kak Nata tertawa di sampingku, aku tersenyum kecut.
“Tapi malang nasib Eno, si cewek tidak pernah peka sampai kapan pun.” Kak Nata menggelengkan kepala. Jangan ditanya penghayatannya, anak teater go nasional dia. Bahkan pernah bertemu Presiden.
Aku menatap datar kak Nata, “Sudah gosipnya? Mending Kakak kembali bekerja deh, kan ketua harus kerja keras.” Aku nyengir. Kena!
Kak Nata tertawa, menepuk bahu. “Semoga berhasil,” ujarnya sambil mengerlingkan mata.
Sungguh, tidak ada hubungan apapun sama cowok itu!
***