Read More >>"> IW-baee (Masa menduda) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - IW-baee
MENU
About Us  

Aku tak bilang itu jadi akhir membahagiakan, nyatanya di sore hari yang mendung Bunga pulang, atau mungkin bisa juga disebut menghilang setelah kuantar ke terminal seperti yang sudah-sudah.

Aku tak tahu betapa besar kebenaran dari semua ini, bagaimana kami bisa bertemu dengan Airin sebagai penghubungnya. Tapi jelas aku tahu jika aku masih merasakan hal yang sama, menyukai Bunga sepenuhnya.

“Indra... ayo temenin aku jalan-jalan” bujuk Airin di depan pintu ruang kerjaku yang di kantor pusat

“Kerja, Rin”

“Mau mati muda? Jangan kerja terus... ayo bersenang-senang

Dan dari percakapan itu, aku dan Airin pergi ke salah satu taman bermain berdua. Meski kami sudah sangat berumur untuk naik komedidi putar sambil menjerit, kami tetap melakukannya.

Intinya Airin tetap orang yang menyenangkan, kurasa ketika dulu aku begitu tidak menyukainya itu hanya karena ke labilan masa muda kami.

“Ayo kita lomba,” tantang Airin di pintu keluar salah satu wahana

“Siapa takut” kataku ikut jongkok seperti Airin, kami akan lomba lari

“Kalo kalah, gendong”

“Iya, Ayo!”

“SIAP!”

“MULAAAI....!”

Disaat berlari, aku bisa dengar suara Airin yang tertawa lepas karena dia memimpin dan beberapa pengunjung jadi ikut antusias memerhatikan, kecuali adik bayi yang di sebelah kanan, dia menangis. Aku juga bisa dengar beberapa pria bersiul ke arah Airin, resiko cewek cantik. Biasa.

“INDRAA...” teriak Airin melambaikan kedua tangannya ke arahku ketika dia mencapai finish

“Indra...” namaku menggema, yang terdengar bukanlah gema suara Airin tapi Bunga

Aku berhenti dan mengatur napas sambil menoleh ke sekitar, tidak ada Bunga.

“INDRAA...!” teriak Airin lagi sambil meloncat-loncat dan menjulurkan lidahnya tanda mengejek.

Aku berjalan mendekati Airin, dengan perasaanku yang tiba-tiba jadi kacau. Dan menggendongnya sampai ke parkiran sebagai konsekuensi kalah taruhan.

***

“Aku menangani kasus pembunuhan” kata Airin membuka pembicaraan di dalam mobil

“Mengerikan sekali, kau membela korban?”

“Tidak, aku disewa pembunuhnya sebagai pengacara”

“Kau TERIMA?”

“Hm.. besok sidang” jawab Airin santai “Tidak semengerikan itu, pembunuh itu membunuh karena punya alasan juga, tak mungkin main bunuh aja” tukas Airin sambil menautkan jari tangan kanannya ke tangan yang kiri.

Kurasa dia tidak begitu yakin akan pembelaannya, untuk tetap membela pembunuh. Jelas wajahnya menunduk meski dengan raut datar. Seolah tak peduli padahal keringatnya menyucur dari ubun-ubun ke kening.

“Terserah kau saja, palingan sesudah kau selamatkan dia, dia akan membunuh orang lagi. lalu lagi dan lagi... mungkin saja kau yang lagi itu”

“Ihh .. janganlah”

“Hahaha... takut”

***

Setelah mengantar Airin, aku yang masih sendirian di mobil merasa kosong dan terngiang Bunga yang suaranya memanggil namaku. Lalu kuputuskan untuk pergi ke sebuah kota di Sumatera hari ini. Naik pesawat biar cepat.

 Berangkat subuh dan sampai di tujuan pagi-pagi tak membuatku merasa mengantuk, malah gelisah. Karena aku tahu, tak ada tempat dimana aku akan benar-benar bisa menemui Bunga.

Di Bandara, aku di jemput Tino, dia kepala cabang dari kantor propertiku untuk kota ini. kepalanya botak, berkumis dan sedikit berisi. Dia mengajakku untuk sarapan di pertengahan jalan menunju kantor cabang, tapi aku menolak karena tidak nafsu makan sama sekali.

Pembicaraanku dan Tino di kantor juga tidak menarik, hanya pembahasan tentang keuntungan dan inovasi yang dia ajukan untuk kupertimbangkan. Bukan karena aku terkesan tidak profesional tapi pikiranku sedang tidak fokus.

Kuputuskan untuk berkeliling dan meminjam motor trail milik salah seorang karyawan kantor yang dibalas dengan anggukan.

“Kuncinya di laci kasir, Bos”

“Pakai mobil saja, Bos” usul Tino mencegatku yang mau ke kasir

“Enggak, mau cari angin, Nih” kataku menggeser Tino dan mengambil kunci dari laci. Sambil menggoyang-goyangkan kunci di tangan “Nanti bensinnya kuganti”

“Jangan sungkan-sungkan, Bos, pakai sampai puas”

Aku hanya geleng-geleng meninggalkan kantor yang menyisahkan suara karyawan itu di marahi Tino. Malas rasanya melerai mereka, nanti karyawan itu kunaikkan saja pangkatnya sebelum aku kembali ke Jakarta.

Bunga.. tolong muncul

Dulu aku sering mengatakan kalimat itu, saat mencari-cari Bunga. Dan keajaiban macam itu terjadi satu kali. Aku jadi mulai mengenang kejadian itu.

Kurasa itu saat Bunga baru beberapa bulan Lulus SMA.

***

Siang di sebuah kota di Sumatera. Sudah hampir tengah hari dan aku masih berkeliling.

Iya, aku masih mencari Bunga dan ini sudah bertahun lamanya. Aku tak tahu dia jenis kembang seperti apa yang bisa bersembunyi selama ini!

Apa sulitnya bagi dia untuk muncul di pinggir jalan, atau pasar, atau di depanku? tidak sulit sama sekali, dia hanya perlu menampakan diri. Sisanya biar aku yang atur. Perkenalan, pendekatan, menjalin hubungan JJ.

Kurasa mentari semakin terik dan aku mulai kehausan. Aku mampir ke sebuah minimarket untuk membeli air mineral, tapi sebelum beli aku harus memarkirkan mobilku terlebih dahulu. Tidak mungkinkan aku langsung terjun dari mobil yang menyala sambil teriak ‘air putihhhh!’, ini bukan cerita laga.

Di seberang jalan, tepatnya di seberang minimarket ini ada sebuah toko boneka. Bangunannya terlihat unik dari luar dan aku tertarik untuk menyeberang mendekat. Awalnya aku hanya penasaran bagaimana isinya.

Kubuka pintu toko yang terbuat dari kaca dan supaya lebih sopan aku berusaha melepaskan sepatu sebelum masuk.

“Cari apa, kak?”

Aku melihat si penanya, dia tersenyum ke arahku “Bunga” suaraku pelan, itu dia, akhirnya!

Kuhentikan aktifitasku yang berkaitan dengan sepatu. Hanya berdiri tegap memandangnya yang berusaha menutupi wajah jengkel.

“Di sini toko boneka, kak, bukan toko bunga... bisa dilihat di depankan?”

Ah... dia tak mengenaliku dan dia mengira aku salah toko jika mencari Bunga. Kutunjuk sembarang dan membeli sebuah boneka monyet, entah kenapa tanganku mengarah ke monyet!

Dia mendekat dan menyerahkan boneka itu yang kubayar dengan uang pas. Lalu tersenyum ramah. Ah menyejukkan sekali.

Di mobil saat perjalanan menuju hotel (aku tak tinggal di rumah semasa liburan, mungkin kalian tahu alasannya, sepi.) aku hanya tersenyum senang seperti ‘yess’ atau seperti menemukan uang seratus ribuan di jalan sepi.

Sampai di hotel, receptionist yang sering menyapaku terlihat memalingkan wajah, tak apa, aku juga tak suka dia, sukanya Dea, Bunga Dea, tadi ketemu.

Di kamar, aku duduk di pinggir ranjang, masih merasa senang. Aku menoleh ke kanan pamer senyum ke dinding lalu menoleh ke kiri ‘astagfirullahal adzhim’ tanganku melanting.

Boneka monyet yang tadi di jual Bunga, hemm, luar binasa sekali. matanya merah, satu tangan di kepala dan satu lagi di perut, mulutnya menganga seperti teriak bukan ketawa! kenapa tadi aku tidak sadar jika boneka ini sangat seram.

Aku tidak takut hanya terkejut saja, kuambil boneka yang tergeletak di lantai dekat cermin karena tadi kulempar itu. Menaruhnya di dalam lemari bawah dan menutupinya dengan kain, kuncinya kukantongi kemana-mana, semoga hilang di jalan nantinya.

Setelah hari itu, aku selalu pergi ke toko boneka untuk melihat Bunga. Kurasa dia menyukaiku, dia merubah penampilannya jadi lebih natural beberapa hari sesudahnya.

Ketika dia akhirnya ingat denganku, meski sulit sekali untukku meyakinkannya. Kami jadi banyak mengobrol, seperti saat aku menemaninya menyapu teras toko.

“Jauhari..” kataku

“Manusia ITU!”

“Kenapa dengan dia?”

“Dia itu plagiat diriku, aku benci dia” kata Bunga menghentakkan sapunya “Tidak punya jati diri”

“Mungkin dia suka kamu”

“Enggak ya, sudah pernah kutanya, suka Lusi dia”

“Oh.. Dimas juga suka Lusi”

“Hah banyak yang suka Lusi!”

“Tapi kayaknya Dimas itu tulus”

“Semua cowok yang suka Lusi itu, asal kau tahu aja, TULUS semua!” nada bicaranya seperti menyindir “TUkang LUSi!”

“Maksudnya?”

“Iya tukang Lusi, baik-baikin Lusi aja gawe-nya” (gawe itu artinya sama kayak kerjaan)

“Hahaha... modus, yang suka Lusi banyak”

Bunga mengangguk-angguk,

“Tapi aku sukanya kamu”

Bunga menoleh, mengibaskan rambutnya dan mengedip padaku.

Dia selalu bisa bersikap seperti perempuan pada umumnya; tersenyum, tatapan merayu, makan tanpa bersuara dan membuatku merindu. Mungkin jika ada satu hal yang dia tak bisa sebagai perempuan adalah, bersikap tidak berdaya.

Lalu di perjalanan pulang ke hotel, aku teringat lagi kata-kata Bunga sebelum pamit pulang.

“Aku agak kasar jika sesuatu berkaitan dengan Lusi” kata Bunga

“Penjaga Lusi, itu julukanmu dulu”

“Terserah mau dibilang apa, aku enggak suka aja dia dimain-mainin kayak boneka. Kalo mereka beneran tulus, mereka harusnya berani ngadapin aku”

Aku diam

“Kalo cuman sebatas colek-colek atau ngantarin pulang, semua perempuan gak mau gitu. Bedanya ada yang gak enakkan nolak kayak Lusi dan aku jadi yang harus bertindak”

Rabu.

langit sudah dipenuhi burung-burung yang terburu-buru pulang menuju sarangnya, dan Bunga duduk santai di bengkel yang berjarak 500m dari tempatnya bekerja. Tidak, dia bukanlah montir yang kulihat dia hanya duduk bersender melihat motornya yang diobrak-abrik.

“Mbak, ini oli-nya harus diganti. Busi-nya juga, bukan sekedar mogok aja ini!”

Bunga mengusap wajahnya dengan kedua tangan seperti ketika selesai berdoa. Tapi, dengan wajah muram.

Kuparkirkan mobil pas di depan bengkel dan menyapanya.

“Kenapa?” tanyaku

“Kau ngikutin aku ya?”

“Enggak, tadi lewat aja”

“Katanya suka”

“Iya, aku suka kamu”

“Kok enggak ngikutin aku?”

Aku senyum, kurasa itu semacam kode.

“Kalo kau ngikutin, aku dak perlu capek-capek dorong motor tadi!”

Aku senyum lebih lebar. Sebenarnya meski sering mengungkapkan perasaan ke Bunga, kami belum punya ikatan apa-apa. Tapi ketika Bunga bersikap begini, aku merasa dia jadi terikat denganku.

Kuhampiri montir yang masih sibuk dengan motor Bunga.

“Diservis aja kang motornya” kataku

“Oke, Lusa sore jemputnya ya?”

“Sip”

Kuhampiri Bunga lagi dan mengajaknya pulang. Di mobil Bunga terlihat sangat lelah dan sepertinya malas diajak bicara. Dia hanya memandang lurus ke kaca depan mobil dan sesekali bersender.

Aku yang tidak mengetahui rumah Bunga-pun tak berniat menanyainya, sampai malam kami hanya berputar-putar tak jelas.

“Kau mau menculikku?” tanya Bunga

“Hah? Gak,”

“Kau mau membunuhku?”

“Enggak Bunga, enggak!”

“Aku lapar, ini bahkan sudah malam. Kau tidak mengantarku pulang ke rumah juga”

“Aku tak tahu rumahmu, Bunga”

“Oh.. bilang! kukira kau tahu”

“Enggak,”

“Masuk lorong itu”

Bunga mengarahkanku, 15 menit kemudian kami sampai di rumah makan.

“Jangan pulangin anak gadis dalam keadaan lapar!” katanya sambil senyum dan buru-buru keluar.

Aku ketawa sendiri di mobil, ngerasa di permainkan dan malu karena enggak sadar.

Semakin hari kami jadi makin dekat. Aku mampir setiap hari ke tempat kerjanya dan sarapan bareng dia terus. Bahkan aku pernah ke rumah Pamannya Bunga.

“Indra,” kataku mengenalkan diri

“Samsul”

“Iya, hahaha,” tahu kataku dalam hati,

“Bisa dipanggil Paman Sam”

“Amerika dong”

Lalu Paman jadi senang karena aku nyambung, dan menceritakan tentang julukan negara-negara yang lain. Negeri kincir angin dan negeri matahari terbit membawa cerita Paman beralih jadi sejarah bangsa Indonesia.

“Jangan sering-sering ngobrol dengan Paman” kata Bunga ketika kami tengah berdua

“Kenapa?”

“Nanti nama panggilan kau digantinya, jadi jaya.... jayalah negeriku jayalah bangsaku, lagu nasionalis. Paman itu sejarawan sejati!”

“Ah, masak?”

“Gak percaya kau, nyesal nanti, dulu aja aku dipanggilnya Bung.. Bung, ayo Bung!, macam slogan perang Chairil Anwar”

“Hahaha”

***

Sepertinya aku sudah memiliki tempat pemberhentian, yah, aku akan ke sana. Tempat bertegur sapa dengan Bunga pertama kali.

Bertahun-tahun tak banyak yang berubah dari jalanan. Ada orang menyeberang saat lampu masih hijau, ada beberapa anak punk yang menyetop truck minta rokok, lalu ada penerobos lampu merah. Aku melewati itu semua dengan harapan serta angan-angan bisa bertemu Bunga seperti dulu.

Tapi nyatanya tidak. Bunga seperti yang kutahu memang sudah tak bekerja di toko boneka lagi, kata Paman dia kuliah. Karyawan toko boneka itu sekarang adalah seorang wanita yang baru lulus SMA tahun ini. Meski sama-sama wanita, tapi dia bukan Bunga, jadi aku tidak mau.

Di seberang toko boneka, seharusnya adalah Minimarket. Mungkin karena sudah bertahun-tahun, bangunan tersebut beralih fungsi menjadi sebuah cafe. Tubuhku yang lemas saat menyadari satu-satunya harapanku kandas, hanya mampu membawa motor sampai ke cafe itu, yang akhirnya kusadari cafe ini adalah cafe lansia.

Aku memilih duduk di luar setelah memesan minuman dan makanan, jangan tanya apa yang kupesan berhubung ini cafe lansia yang ada hanya jenis-jenis bubur dan air putih.

Di tempatku duduk, mejanya bundar, tengahnya sedikit bolong untuk menyanggah payung besar berwarna hitam. Di meja ini, ralat, di semua meja, ada speaker kecil yang memutar lagu samaan, dan yang kebagian memesan lagu kali ini adalah nenek di sampingku jika tak salah judulnya Tak ingin sendiri-Dian Piesecha.

Di meja sebelahku yang satunya ada seorang kakek yang sibuk mengatur alat pendengarannya, sepertinya dia sudah tuli.

Aku hanya memandang ke arah toko boneka, mengenang saat Bunga masih di sana.

Bunga akan suka dengan cafe di kotanya ini. Aku bahkan hapal lagu yang tengah diputar karena ketika masih menikah Bunga sering memutar lagu-lagu lawas.

‘Pamanku itu sejarawan sejati, suka hal-hal lama, lagu lama sering diputar di rumah, awalnya aku tak suka, kemudian hapal, lalu ingin dengar terus. Kasihan sekali aku, masih muda tapi berjiwa tua’ kata Bunga dulu

‘Haha Bunga.. Bunga’ gumamku pelan tapi kakek di sebelahku malah geleng-geleng, mungkin dia kira aku gila bicara sendiri, aku kira dia tuli.

Kubalas kakek itu dengan senyum canggung kemudian ikut menyanyikan lagu yang sedang diputar seraya menikmati dan memikirkan Bunga sekali lagi.

Pesananku datang dan pelayan ini mengejutkanku dari lamunan. Dia berjalan dengan payung, aku baru sadar hujan turun di tengah lamunanku tentang Bunga, tapi tak apa payung yang tertancap di meja melindungiku dari basah.

Lagu yang di pesan nenek tadi sudah habis dan kudengar kakek di sampingku memesan lagu antara benci dan rindu-Endang S.Taurina

“Pas” kataku memberi jempol ke si kakek yang tampak bingung.

Akupun kembali bernyanyi menyuarakan isi hati. Sangat mendalami dan penuh khidmat.

Si kakek jadi ikut bernyanyi, lalu nenek di meja sebelah ikut menyanyi juga. kekhusyukkanku dapat menggerakkan hati mereka ternyata.

Saat hujan berhenti, buburku sudah habis dan langit tinggal mendung. Si kakek dan si nenek duduk semeja. Dan akupun pindah ke meja mereka, meski tak di sambut baik akhirnya kami akrab. Dan dari sana aku tahu mereka adalah dua mantan yang ketemu lagi, saling memberi kode lewat lagu, cinta datang di kala lanjut usia.

Jika aku bisa bersama dengan Bunga lagi, meski saat seusia kakek dan nenek ini, tak apa, aku akan menunggu. Tapi pengharapanku tak banyak, karena dua mantan di depanku ini putus karena jarak memisahkan sedangkan aku dan Bunga pisah dengan cara aku menyakiti hati Bunga berlebihan.

Aku meninggalkan cafe setelah cium tangan si kakek dan si nenek, lalu melambaikan tangan, biarlah mereka berdua memiliki waktu bersama. Jomblo harus rela dan sendiri itu biasa.

Kadang aku berandai-andai, jika dulu aku egois saja, meski bangkrut aku tidak harus melepaskan Bunga. Tetap mengikatnya denganku tanpa harus gentar akan bayangan hidupnya yang bisa jadi kelam.

Bunga dan aku pandai berkelahi, kami bisa jadi generasi penerus pasangan cinta sejati kriminal seperti Bonnie and Clyde. Persetan dengan dunia.

Tapi apakah bisa begitu? Karena aku mencintai Bunga, apakah aku berhak menghancurkan kehidupan masa mudanya? Apa aku bahagia melihat Bunga menjengukku setiap hari dipenjara? Tentu saja TIDAK!

Aku harus bangkit. Baik untukku dan Bunga memiliki pilihan jalan hidup yang jauh lebih nyaman dan bahagia daripada pemikiran egoisku waktu itu.

***

Sorenya, aku sampai di bengkel Sigit. Dia adalah teman seangkatanku saat menempuh pendidikan di SMA Kesarikna dulu, kami cukup solid saat muda dan bertemu teman seperti dia saat pikiran kacau begini cukup bijaksana menurutku.

“Git” sapaku turun dari motor

“Kau, Ndra, bukannya di Jakarta?” kata sigit meninggalkan motor yang sedang dia perbaiki dan duduk di kursi panjang di pinggir bengkel yang sekarang juga sedang kududuki

“Mau main aja ke sini, Rame?”

“Apa? bengkel? Lumayanlah, mau?” sigit menyodorkan rokok yang kutolak dengan gelengan

“Motor baru?” tanya Sigit lagi

“Punya orang, kau kerja sendiri? pegawai lain ke mana?”

“Lagi pada keluar, Nah itu Dimas sama Pahmi” Sigit langsung berdiri sambil berkacak pinggang “Woi bayar onderdil kemarin coi”  todong sigit ketika mereka belum turun dari motor

“Waduh bos besok kita bayar, sekarang tolong gantiin oli dulu, lah dak bener, nih, motor” kata Dimas memukul spidometernya

Pahmi turun dan langsung duduk di atas ban bekas yang ditumpuk rapi sambil geleng-geleng “Woi, Ndra” sapanya

Aku hanya mengangkat dagu

“Tutuplah bengkel aku, nih, kalo kau ngutang terus, ambik dewek di dalam, isi dewek” kata Sigit yang membuat Dimas menyeringai berlari ke dalam bengkel

“Aku lanjut baiki motor yang tadi, Ndra”

“Sip”

Dimas berjalan cepat sambil membenarkan celananya yang kedodoran dengan tangan yang memegang oli baru, Sigit menatapnya sinis dan Dimas tersenyum ke arahku

“Ndra,”

“Woi bayar woi” kataku

“Agek kubayar, tenang bae” Dimas malah melirik ke Sigit

Pahmi ketawa, aku juga.

“Oh iya, Ndra, kau ingat adik kelas aku dulu dak? Sepupunya Lusi?” tanya Dimas

“Bunga?” aku berusaha merendahkan suara, supaya tidak ketauan tengah terkejut

“Iya, maksudnya Bunga Dea itu” jelas Pahmi

“Dia udah nikah, eh, udah janda TAU!”

“Ka-kau tau dari mana?”

“Semua orang pada tahu kali, orang pas dia nikah di sebarin lewat facebook Lusi, Foto Dea sendiri pakai kebaya dengan caption kata-kata selamat dari Lusi, kami enggak tahu Dea nikahnya dengan siapa, pokoknya nikah”

“Pertemanan FB Lusi kan kayak website sekolah, rame jadi kita pada tahulah walau dak diundang dak?” kata Pahmi

“Iya, pas cerai Lusi juga yang nulis kata-kata sedih gitu sambil ngetag Dea. Preman sekok tuh padahal masih muda” sindir Dimas

“Aku kira Lusi yang bakalan nikah duluan” kata Pahmi mengangguk-angguk

“Lusi nungguin aku tuh” kata Dimas “Hahaha”

Aku langsung beku, seketika badanku terasa menggigil. Ternyata benar alasan Bunga tidak mau resepsi dulu memang hanya karena Lusi, tidak ada hubungannya sama sekali malu ketauan orang-orang.

“Ngomongin siapa?” tanya Sigit berdiri mengambil busi di dekat Dimas

“Ada adik kelas dulu”

“Git? Minta rokok” kataku merampas yang sudah hidup dari tangan sigit

“Tadi dak mau”

Apa benar jika aku kembali jadi perokok seperti masa SMA dulu karena Bunga? Apa benar jika Bunga tidak berbohong padaku itu malah membuatku jadi orang yang begitu? Apa Bunga akan menyukai itu?

“Enggak, emang enggak” kataku menyentil rokok bekas Sigit ke got di sebelah kanan

“Kebanyakan gaya kau” kata Sigit menghidupkan rokok yang baru

***

Beberapa hari terlewat sampai hari keberangkatanku kembali ke Jakarta, tak ada keajaiban yang muncul membawa Bunga kehadapanku.

Tino mengantarku ke Bandara, dan soal karyawan yang kemarin kupinjam motornya sudah kuminta ke Tino untuk di angkat jabatan serta menambah gaji. Meski Tino sedikit bingung, dia mengiyakan permintaanku.

Aku sampai di Jakarta siang hari, langsung ke kantor, dan menjalankan rutinitas biasa yang sepi.

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Ketos in Love
849      502     0     
Romance
Mila tidak pernah menyangka jika kisah cintanya akan serumit ini. Ia terjebak dalam cinta segitiga dengan 2 Ketua OSIS super keren yang menjadi idola setiap cewek di sekolah. Semua berawal saat Mila dan 39 pengurus OSIS sekolahnya menghadiri acara seminar di sebuah universitas. Mila bertemu Alfa yang menyelamatkan dirinya dari keterlambatan. Dan karena Alfa pula, untuk pertama kalinya ia berani m...
Kena Kau
413      264     1     
Short Story
Rachel and The Witches
600      321     1     
Short Story
A poor girl's journey that will change your point of view.
Persapa : Antara Cinta dan Janji
7022      1676     5     
Fantasy
Janji adalah hal yang harus ditepati, lebih baik hidup penuh hinaan daripada tidak menepati janji. Itu adalah sumpah seorang persapa. "Aku akan membalaskan dendam keluargaku". Adalah janji yang Aris ucapkan saat mengetahui seluruh keluarganya dibantai oleh keluarga Bangsawan. Tiga tahun berlalu semenjak Aris mengetaui keluarganya dibantai dan saat ini dia berada di akademi persa...
KUROTAKE
4052      1635     3     
Romance
Jadi pacar ketua ekskul tapi hanya purapura Hal itu dialami oleh Chihaya Hamada Ia terpaksa jadi pacar Mamoru Azai setelah foto mereka berdua muncul di akun gosip SMA Sakura dan menimbulkan kehebohan Mamoru adalah cowok populer yang menjadi ketua klub Kurotake klub khusus bagi para otaku di SMA Sakura Setelah pertemuan kembali dengan Chihaya menjadi kacau ia membuat kesepakatan dengan Chih...
Aku benci kehidupanku
336      218     1     
Inspirational
Berdasarkan kisah nyata
BANADIS
6503      1525     5     
Fantasy
Banadis, sebuah kerajaan imajiner yang berdiri pada abad pertengahan di Nusantara. Kerajaan Banadis begitu melegenda, merupakan pusat perdagangan yang maju, Dengan kemampuan militer yang tiada tandingannya. Orang - orang Banadis hidup sejahtera, aman dan penuh rasa cinta. Sungguh kerajaan Banadis menjadi sebuah kerajaan yang sangat ideal pada masa itu, Hingga ketidakberuntungan dialami kerajaan ...
MAMPU
4846      1993     0     
Romance
Cerita ini didedikasikan untuk kalian yang pernah punya teman di masa kecil dan tinggalnya bertetanggaan. Itulah yang dialami oleh Andira, dia punya teman masa kecil yang bernama Anandra. Suatu hari mereka berpisah, tapi kemudian bertemu lagi setelah bertahun-tahun terlewat begitu saja. Mereka bisa saling mengungkapkan rasa rindu, tapi sayang. Anandra salah paham dan menganggap kalau Andira punya...
Rhythm of My Life
498      344     1     
Romance
Semua ini hanya permulaan Akhir yang bahkan tak akan pernah ku ketahui kapan akan menjumpaiku Kapan merestuiku Kapan mengiringku Menuju ketenteraman #twm18
#SedikitCemasBanyakRindunya
2943      1062     0     
Romance
Sebuah novel fiksi yang terinspirasi dari 4 lagu band "Payung Teduh"; Menuju Senja, Perempuan Yang Sedang dalam Pelukan, Resah dan Berdua Saja.