2013
Angin sepoi-sepoi di luar rumah membuat daun mangga di halaman mulai gugur, jatuh ke tanah ketika aku meninggalkan rumah subuh-subuh ini.
Jakarta seperti biasanya, macet, dan ini adalah perjalanan cukup panjang. Tujuanku adalah pergi ke sebuah kota di Sumatera. Di sana ada cerita yang panjang sekali, sudah sepatutnya segera diakhiri.
Dalam ketenangan yang menggerahkan, dimana kendaraan hanya bisa melaju sekenanya saja, aku jadi tidak yakin apa bisa mencapai Pelabuhan Merak hari ini. Kuamati jam lekat-lekat dan sudah menunjukkan pukul setengan tujuh pagi lalu aku berpaling melihat ke arah luar yang sudah mulai terik.
Bbrrrruuuuuuuuum .. bbrrrruuuuum
Tintiiiiiiiiiin
‘Sialaan!’
Kualihkan pandangan dan menemui sepasang pelajar SMA naik motor dan menerobos macet membuat pengemudi lain geram, sampailah mereka di samping mobilku. Yang pria hanya tersenyum canggung dan yang wanita menunduk membuat rambut panjangnya menutupi muka. Di lengan mereka jelas memasang lebel SMAN 12, sekolahku dulu.
***
2007
SMAN 12, sekolah ke 3 dari jenjang karirku sebagai siswa Sekolah Menengah Atas. Bagi laki-laki, pindah adalah hal yang lumrah, mengingat di bangku sekolah mendapatkan nilai baik itu mudah tapi mendapatkan pengalaman baik itu,yah.., sedikit kupersulit.
Aku dan kedua orangtuaku awalnya sedikit khawatir karena ada gosip antar sekolah di Jakarta membuat beberapa sekolah ragu mau menampungku. Seperti yah perkelahian, minggat dan beberapa kenakalan remaja lain yang menjadi catatan kelakuan buruk milikku, yang lahir dan hidup dengan nama Indra Wijaya.
Berbeda denganku, ada wanita berkelakuan baik sekali, namanya Airin.
Airin adalah anak dari sahabat orangtuaku. Dia cantik, keturunan Belanda, Jerman, Makasar. Suka pindah-pindah sekolah, ketempat aku dipindahkan(baikkan? Solidaritas tinggi). Tak apa, aku menyukai kedekatan kami sebagai lelaki normal.
Di sekolah baru, mendapatkan teman bukanlah hal sulit, kurasa siswa disini mengagumiku karena sering pindah sekolah. Dan kurasa aku akan betah di sekolah ini sampai tamat. Meski sekarang masih kelas satu semester 2.
“Kenapa kau pindah? Karena maling uang kas?” tanya Saleman, teman baruku
“Basing, aku dipindah karena bolos dua minggu.”
“Ah cemen, sebelumnya kau pindah juga karena apa?” tanya Sobari, temannya saleman
“Itu karena biasa,”
“Biasa apa?” tanya Sobari lagi
“Mukulin ketos(ketua osis) yang nyekap Airin di WC cowok.”
“Wihhh...” kata sobari tepuk tangan, aku hanya menaikkan alis beberapa kali.
“Kenapa airin disekap?” tanya Saleman
“Dia ketauan masuk WC cowok diam-diam” bisikku pelan
“Bah.. si Airin, Sob mulai sekarang kalo pipis kunci pintu nanti kelihatan Airin baru tau”
Aku dan Saleman ketawa, si Sobari garuk-garuk kepala.
“Buat apa ya si Airin kesana?” tanya Sobari
“Buat ngintiplah! hahaha” kata Saleman
“Bukan, dia nyari aku, waktu itu aku bolos dan dia dikerjain abis-abisan sama pacar ketos”
Begitulah Airin, dia memiliki daya tarik untuk di celakai lebih besar dari kucing kantin. Dan atas asumsi yang ada dipikirannya, dia jadi sedikit ansos(anti sosial) dan penuh dengan kekhawatiran. Padahal dengan wajah dan latar belakang yang dia punya, aku yakin jika lebih banyak murid di sekolah kami dulu yang mau dan ingin berteman dengannya daripada yang iri. Tapi jarak yang dibuat Airin terlalu jauh untuk mereka sebrangi. Jadi, dia, hanya sendiri.
Berbeda dari mereka, aku dan Airin sudah berteman cukup dekat. Dari kecil, mungkin tepatnya saat aku masih SD. Dahulu Airin home schooling, dan SMA adalah tingkatan pertamanya berada di sekolah umum.
***
“Hey?” sapaku kepada dua wanita yang sedang mengobrol di depan kelas X2
“Hai? Indra kan?” tanya salah satunya
“Wah.. aku jadi merasa bersalah,”
“Kenapa?”
“Putri sudah menunggu pangerannya disini, sedangkan si pangeran belum tau nama putrinya” kataku mengulurkan tangan.
“Haha.. Ria” menjabat tanganku “Dan ini Dila temanku” sambil menunjuk wanita di sebelahnya
“Semua putri temannya selalu bidadari” menyalami Dila juga yang direspon dengan tertawa.
“Kantin bareng yuk” ajakku
“Susah dapat kursi diistirahat pertama Ndra” kata Ria
Aku menjentikan jari “Nanti aku yang urus, tunggu bentar, yah,”
Aku melangkah mendekati pintu kelas, berjinjit sesekali dan akhirnya ketemu.
“Rin.. sini!”
Airin langsung berdiri dari bangkunya di barisan ketiga nomor dua sambil tersenyum.
Kami menuju kantin ber-empat, Airin di sampingku dan Ria serta Dila di belakang.
“Kenapa ajak mereka?” tanya Airin bisik-bisik
“Ria sama Dila?” tanyaku
“Itu namanya?” bisik Airin
“Teman sekelasmu itu”
“Oh..”
Aku memutar badanku seolah berjalan mundur “Ria, Dila, aku duluan ke kantin ya buat nyari kursi, temanin Airin dulu, oke?”
“Sip” kata Ria dan Dila kompakan, aku ketawa dan lari kencang ke kantin.
Ketika akan berbelok, aku bisa lihat Ria dan Dila merangkul Airin yang canggung. Langkah yang bagus. Sekarang waktunya menemui Saleman dan Sobri.
***
Tak butuh waktu lama sampai akhirnya kulihat Airin, Ria dan Dila semakin dekat. Bahkan mereka terdaftar di eskul yang sama yaitu tari. Lalu aku, Saleman dan Sobri bisa bermain bola di lapangan futsal sekolah dengan satu air minum yang dibagi-bagi.
“Sob, kenapa nama temanmu Saleman?” tanyaku, Sobri langsung menaikan alis dan melihat ke arah Saleman
“Namaku itu Saleh man, artinya lelaki saleh” jelas Saleman, Sobri mengangguk tak peduli.
Aku mengkerut, kurasa penjelasan seperti ini di temukannya sendiri dan bukanlah penjelasan yang di tuturkan orangtuanya. Seperti mencari pembenaran sendiri jika namanya itu memiliki arti begitu.
***
Hari itu,
Sebenarnya selain bertempat di Jakarta. Aku bersama Papa dan Mama memiliki rumah lain di salah satu kota di pulau Sumatera. Meski jarang ditempati, ada Mang Urip yang mengurusnya. Sebagai tukang kebun kebanggaan keluarga kami.
Papa menelpon sabtu pagi dan memintaku untuk liburan kerumah itu sehabis sekolah. Katanya, Mang Urip sakit dan meminta aku mengurus ikan-ikan koi di kolam samping rumah.
Kurasa aku harus mulai mempertimbangkan performa Mang Urip dari sekarang, apa susahnya mengurus ikan? hanya memberi pur pagi dan petang saja, tapi tak apa, anggap saja kemanjaan Mang urip yang membuatku mengunjungi rumah lama adalah berkah untukku dan dia. Aku bisa jalan-jalan dan dia bisa libur.
Benar saja sampai di sana malam hari rumah tampak sepi, aku mengambil kunci yang dititipkan di rumah tetangga sebelah.
“Iya, Ma, baru sampai ini” kataku di telpon
“Kamu enggak minggat kan, Nak?”
“Enggak Ma, ini nih aku udah mau buka kunci rumah.”
“Baik-baik disana, jangan goreng ikan yang di kolam,”
“Iya, Mak, iya, assalamualaikum Buk haji”
“Wa’alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh”
***
Minggu siang, aku di ruang teve dengan bungkus ciki yang berserakkan, ada juga kaleng-kaleng susu kedelai yang isinya sudah memenuhi perut, serta piring kotor di atas meja bekas siomay yang tadi pagi.
Aku ingin menyiksa Mang Urip setelah dia sembuh? Tidak, anggap saja kekacauan rumah sebagai kenang-kenangan dariku sebelum pulang nanti.
Aku sedang main ps sepak bola, sebagai latihan juga, nanti senin aku akan mengalahkan Saleman dan Sobri di lapangan futsal sekolah. Tentu tidak sendiri, aku juga akan mengajak kakak kelas tiga yang kukenal untuk se-tim denganku.
Saat sedang fokus dengan kegiatan penting ini, ada telpon dari Om Rian, dia adalah adik kandung Mama dan juga wakil presdir di perusahaan property Papa. Yang kutahu kami cukup dekat untuk saling menghubungi jadi aku membiarkannya sampai selesai main ps. Nanti aku saja yang nelpon.
Telpon terus berdering selama aku menyelesaikan permainan bola, dan aku menang, hore.
“Ada apa, Om?”
“Mama dan Papamu meninggal! Kau kemana saja!!”
“Maaf, Om, ini Indra Wijaya, mungkin salah sambung” kumatikan telpon dan mematung, tapi kemudian Om Rian menelpon lagi, lagi dan lagi.
“Indra! Jenazah sudah sampai di rumah duka, pulang sekarang ke Jakarta! Sebelum mereka di kubur kau harus lihat dulu, Nak” suara Om Rian memelan “Yang sabar kamu,”
Telpon yang kugenggam jatuh merosot dari genggaman, aku langsung berdiri, ke kamar mengambil ransel dan bergegas menuju bandara. Kepalaku sampai mau pecah dan jika Om Rian berbohong tentang ini, aku takkan mau menjawab telponnya lagi seumur hidup.
Benar saja, hari ini aku berkabung. Mama dan Papa meninggal dunia dini hari, diduga keduanya bunuh diri.
***
“Ma, Pa, kenapa berdua saja? ajak aku juga!”
Sebulan berlalu, aku meminta polisi untuk menyelidiki kasus ini diam-diam tanpa memberi tahu ke Om Rian karena kurasa dia sangat sibuk mengurusi urusan kantor selepas kematian orangtuaku.
Airin menelpon beberapa kali untuk menyemangati, yang kubalas hanya dengan ucapan ‘iya’ ataupun ‘terimakasih’. Saat pemakaman, kedua orangtuanya juga datang dan ayahnya jadi orang yang meng-azani papa sebelum dikubur.
Aku sangat sedih sampai tak sekolah sama sekali selama sebulan.
Ketika akhirnya aku kembali ke sekolah, aku mengerti untuk berjalan sendiri ke kantor guru dan mencari wali kelas.
“Ibu turut berduka, tapi sekolah ini punya standar juga Indra”
“Iya, Buk, saya mengerti, saya akan mengurus surat pindah hari ini”
“Iya, kamu yang sabar ya, semoga kedua orangtuamu ditempatkan di sisi terbaik-nya, Allah subhanahuwata’allah”
“Aamiin”
Aku keluar dari kantor guru dan menemui Saleman serta Sobri. Mengucap salam perpisahan tentunya.
“Woy Sob, jaga Saleman ya?” kataku bersalaman dengan Sobri
“Ah, dasar hobi pindah”
“Hahaha”
“Eh Daleman” kataku, aku ketawa diikuti Sobri yang berbisik “Cangcut, ey”(maksudnya celana dalam)
“Saleman, salaman dulu kali, ” kataku menyodorkan tangan, bisa dilihat jika Saleman merajuk dan ngambek tak jelas tapi dia tetap mau menyalam tanganku.
Itu adalah terakhir kali aku bertemu mereka. kurasa aku memiliki banyak teman dalam beberapa waktu seperti mereka, hanya sebentar, begitu dekat dan kutinggalkan begitu saja. Airin bilang ingin mengajakku bicara dari sana, aku sempat dadah dadah dengan Ria dan Dila yang ditinggalkan Airin begitu saja.
Kami bicara berdua di kursi panjang depan labor biologi.
“Pindah kemana lagi?”
Aku merangkul Airin yang mukanya sangat masam“Ehm, kamu disini aja”
“Kamu?”
“Aku, ya, harus pindah”
“Aku juga”
“Gak, aku gak bakalan dapat sekolah negeri lagi pasti swasta, jadi kamu disini aja supaya lebih mudah masuk perguruan tinggi negerinya”
“Kamu?”
“Nanti kita kuliah sama-sama lagi, sekarang pisah dulu, ok?”
“Sering kabarin aku, ya?”
“Gak, ah”
“Kenapa?”
“Kan aku harus fokus belajar biar bisa kuliah di tempat nanti kamu kuliah”
“Iya,”
“Udah ya nanti kita ditegur guru duduk terlalu dekat, kamu jangan sedih-sedih, aku ke ruang T.U (Tata Usaha) dulu ada urusan” kuacak-acak rambut Airin dan dia masih diam saja, lalu aku pergi.
Saat kubilang Airin cantik dan aku suka berada di dekatnya sebagai lelaki normal, maka itulah yang benar kurasa. Tapi, di sini dia sudah mau berteman dan bergaul dengan orang lain selain aku. Ini baik, menetap di sekolah negeri yang di sini. Untuknya sekarang dan jaminan masa depannya nanti.
Om Rian membebaskan aku untuk mengurus semuanya. Aku sangat berterimakasih padanya yang jadi repot dengan masalah-masalah perusahaan Papa dan tidak mengekangku terlalu.
Lalu, aku kembali ke salah satu kota di Sumatera dengan rencana mencari sekolah baru esok harinya. Sampai di rumah, barang-barang berserakan sudah tidak ada lagi. Mungkin diberesin Mang Urip dari sebulan yang lalu, aku ingin tanya tapi dia tentunya sudah pulang karena aku sampai sekitar dini hari.
Kukunci pintu rapat-rapat lalu tidur untuk lupa semuanya.
***
Yah, meskipun tak lama. Aku juga pernah sekolah di sana.
***