Belum ada lima menit setelah bel istirahat pertama berbunyi, segerombolan kakak kelas sebelas kini memasuki kelasku dengan gaduh. Aku menelan ludahku ngelu. Aku menoleh ke jendela yang ada di sampingku, jendela ini tidak terlalu tinggi. Aku membuat perhitungan, kondisi kelasku yang masih ramai, mereka belum mengenali wajahku, dan tinggi badanku. Oke perfect! Aku merayap keluar melalui jendela dengan cara duduk di jendela dan mengangkat kakiku pelan. Hup, aku sudah keluar dan berada di lorong luar bagian sekolah. Tidak terlalu banyak orang yang lewat sana, aman. Giani yang menyadari aku menghilang melotot protes dari dalam kelas. Aku hanya mengangkat telunjukku di depan mulut. Memintanya untuk diam.
Giani kemudian berbaur dengan teman lainnya untuk mengelabuhi kasus menghilangnya aku dari kelas. Aku masih bisa mendengar kelas yang tiba-tiba riuh saat menyadari bahwa aku menghilang. Aku harus buru-buru meninggalkan lokasi kejadian nih.
“Hem, patut di contoh ya kelakuan lo...” tubuhku membeku. Ternyata ada yang melihat tindak kriminalku. Aku menelan ludah sebelum berbalik, “gue bakal laporin ke Kak Setya!” katanya sambil menunjukan video tindak pelanggaran itu.
“Kak Bian!” aku buru-buru menutup mulutku dan berlari masuk ke dalam UKS tempat Kak Bian menyaksikan dan merekam segalanya. Aku meringkuk di bawah jendela hingga tidak ada satu orang pun yang akan melihatku atau melihat kami.
“Mereka nggak bakal tau kalau lo di dalem, jendelanya item!” aku mengela nafas mendengar penjelasan Kak Bian. Oh iya! Aku berdiri dan buru-buru merebut benda pipih yang masih berada di tangan Kak Bian. Aku harus melenyapkan barang bukti itu secepatnya.
“Ah apa nih passwordnya?” tanyaku frustasi. Pantesan aja dia diem aja waktu aku merebut handphonenya.
“Kalau gue kasih tau namanya bukan password lagi!” Kak Bian merebut kembali handphonenya dan memasukannya ke dalam kantong. Ah pupus sudah harapanku. Oh tunggu dulu! Aku menatap Kak Bian dengan tatapan bodoh. Kenapa lagi-lagi aku terjebak dengan situasi seperti ini? Padahal aku sudah berniat untuk tidak lagi berurusan dengannya.
Aku menggeram sambil mengacak-acak rambutku kesal.
“Lo kenapa sih? Udah mulai gila? Atau segitu pengen terkenalnya ya?” Kak Bian menatapku heran.
“Nggak pengen aja udah auto terkenal!” aku duduk begitu saja di lantai UKS. Ini belum lebih dari jam sepuluh dan rasanya udah capek setengah mati, “eh kenapa kakak di sini?” aku teringat sesuatu yang lebih penting. Ini kan UKS.
“Kepala gue pusing,” Kak Bian kembali berbaring dan memejamkan matanya, “lo kenapa pakai adegan loncat jendela sih?”
“Diserbu kakak kelas.”
“Ha? Kenapa?”
“Karena ada yang lihat kita jalan kemarin. Ada yang mengambil foto kita dan tersebar di sekolah, kakak nggak tahu?” aku melihat dengan jelas keterkejutan Kak Bian. Dia kemudian menggeleng. Ya sudah jelas, tidak akan ada yang berani mengusiknya, secara dia adalah anak pemilik yayasan.
“Lo nggak kenapa-kenapa?” tanya Kak Bian khawatir.
Aku mengamati wajahnya dengan seksama, kenapa dia sepanik itu?
“Kakak bisa ngelihat kan? Aku baik-baik saja kecuali kakak melaporkan adegan tadi ke guru BK!” aku mengancamnya dengan tatapan mata.
“Gue akan mempertimbangkannya nanti.” Aku sudah mengira, rahasiaku bukan saja tidak aman namun juga akan ‘dimanfaatkan’ dengan semaksimal mungkin. Aku mengela nafas panjang.
“Parah amat gosipnya,” Kak Bian ternyata diam-diam membuka grup kelasnya dan mulai mencari-cari informasi tentang foto itu, “gue simpen ah fotonya, bagus banget, menyakinkan banget!”
“Malah seneng! It’s not funny!” keluhku.
“Yeah. But I like it!” aku menatapnya heran, dia lalu kembali berbicara, “ I think is clear right now, you can go back cuz I need some rest,” Kak Bian menarik selimutnya dan mencari posisi senyaman mungkin.
“What are you doing?” tanyaku heran sambil berdiri mendekatinya. Melihatnya yang tidak ingin diganggu membuatku berfikir apakah dia benar-benar sakit.
“Just send a picture, three of us together,” gumamnya pelan.
Ah iya, aku melupakan kalau kami sempat mengambil foto bareng di sana.
“Why you have it with you?” aku baru tersadar, aku ingat kami mengambil foto itu melalui ponsel Kak Setya. Itulah yang membuatku bingung kenapa Kak Bian memilikinya.
“Your brother send it last night,” Kak Bian kembali meringkuk, “Ah, Kak Setya juga bilang kalau lo pulang sendirian, so I will give you a ride.”
“I don’t need it! Mereka akan gila aku pulang sama kakak!” aku jujur dengan perkataanku. Aku benar-benar tidak mau pulang dengannya.
“Lalu apa lo nggak akan gila menghadapi omelan Kak Setya?” pertanyaannya membuatku kaget. Aku menyadari bahwa kakakku itu sedikit overprotective denganku, tapi apa mungkin Kak Bian sedekat itu dengan Kak Setya hingga tau tabiatnya? Aku bergidik membayangkan omelannya.
“Yang lebih penting, I promised to your brother. Jadi lebih baik elo keluar sekarang biar gue bisa istirahat dengan tenang.”
“Kakak nggak papa?” tanganku sudah lebih dulu maju dan menyentuh dahinya. Panas.
“Hmm...” jawab Kak Bian ambigu.
“Loh kamu sakit juga? Kenapa ada di sini?” Dokter Alena yang bertugas di sekolah datang. Aku menarik tanganku dari dahi Kak Bian yang kini sudah memejamkan matanya. Sepertinya dia sudah tertidur.
Aku mundur beberapa langkah dan pindah duduk di tempat tidur lainnya, “saya boleh di sini dulu Bu? Perut saya sakit,” aku tidak berbohong. Aku baru menstruasi hari ke pertama dan aku sangat moody ditambah lagi dengan kejadian tadi, begitu menguras tenaga.
“Perlu obat?” Dokter Alena menghampiriku dan menyentuh dahiku. Dia mengamatiku sekilas, “apa sering kamu mengalaminya? Nyeri? Keram?” tanyanya. Tanpa aku menjelaskannya pun sepertinya dia tau apa yang sedang terjadi padaku.
Aku menggeleng, tidak perlu obat, “Tidak Bu, hanya sesekali.”
Aku lalu berbaring di tempat tidur di samping Kak Bian setelah mendapatkan persetujuan Dokter Alena. Entah kenapa hatiku mendadak seperti tergulung ombak. Ada perasaan aneh di sana. Walau ada gemuruh riuh di dalamnya, kurasakan ketenangan bersamanya. Aku menatap selembar kain gorden putih yang memisahkan tempat tidur kami berdua. Walau aku tidak bisa melihat wajahnya, wangi parfum yang digunakan Kak Bian sesekali tercium bersamaan dengan dengkurannya yang samar terdengar. Getarannya membuat hatiku menghangat. Aku menikmati perasaan asing itu dalam diam sampai tanpa sadar aku berpindah dari dari dunia nyata ke alam mimpi yang terasa begitu damai. Tanpa bisa aku pungkiri, aku berharap kedamaian itu akan berada di sana selamanya.
next