Kenzie memacu sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Dia menyalip setiap kendaraan yang menghalangi jalannya. Kenzie begitu ugal-ugalan dijalan seolah dia tak peduli dengan nyawanya sendiri, karena memang yang dia pedulikan saat ini adalah Elea. Kenzie mendapat kabar bahwa Elea mengalami penyerangan dan kondisinya saat ini belum tau seperti apa.
Sesampainya di rumah sakit Kenzie mempercepat laju langkahnya. Dia tak peduli dengan kilatan kamera dari para wartawan yang sudah berada di sekitar rumah sakit untuk mendapat berita mengenai perkembangan kondisi Elea.
Para wartawan itu sontak mendekati Kenzie dan mengajukan beberapa pertanyaan. "Kenzie apa benar Elea celaka karena melindungi Naresh?"
"Di antara mereka sebenarnya ada hubungan apa?"
"Apakah ini semua ada hubungan dengan perkelahian kamu dengan Naresh tadi sore?"
Kenzie mengangkat tangannya, lalu menjawab pertanyaan yang beruntun tersebut. "No comment ya, saya kesini untuk menjenguk Elea."
Para wartawan itu nampak tak puas dengan jawaban Kenzie. Mereka terus mengerubungi Kenzie untuk mengorek informasi. Untung saja tak lama Mas Dadan muncul.
Mas Dadan pun mencoba melindungi Kenzie dari gempuran para wartawan dengan dibantu para petugas keamanan rumah sakit.
"Nanti pihak management akan melakukan konferensi pers terkait yang terjadi kepada Elea dan Naresh," ucap Mas Dadan seraya menarik Kenzie untuk masuk.
Mereka berdua akhirnya berhasil masuk tanpa diikuti para wartawan. Karena para wartawan tak diperbolehkan masuk ke dalam area gedung rumah sakit.
"Gimana keadaan Elea?" tanya Kenzie kepada Mas Dadan yang kini berjalan di sampingnya.
"Elea sekarang sedang menjalani operasi. Dia mengalami luka di kepala yang cukup serius karena dipukul oleh sebuah pentungan besi."
"Astaga! Kok bisa? Apakah yang melakukan semua ini adalah haters dari Elea?"
Mas Dadan menggeleng. "Sepertinya ini bukan perbuatan haters dari Elea. Melainkan perbuatan haters dari Naresh ... Elea itu terluka karena melindungi Naresh."
Kenzie mengepalkan tangan menahan amarah saat mendengar semua fakta tersebut. Dia tak menyangka Elea begitu rela mengorbankan dirinya untuk melindungi Naresh.
Sedalam itu kah perasaan lo ke Naresh? Hingga lo rela ngorbanin diri lo sendiri?
Amarah Kenzie semakin membara saat melihat Naresh berdiri di sebelah pintu ruang UGD dalam kondisi baik-baik saja.
Harusnya lo yang terluka bukan Elea!
Kenzie tak bisa menahan lagi semua amarahnya. Dia menghampiri Naresh lalu mencengkram baju laki-laki itu dan menyudutkan tubuhya ke tembok.
"Puas lo Resh? Puas lo bikin Elea terluka?"
Mas Dadan langsung mencoba melerai. "Ken, udah Ken. Lo mau berita diluaran makin panas?"
"Lepasin gue Mas! Gue mesti peringatin nih bocah buat berhenti nyakitin Elea terus menerus!"
"Ken, udah!" Mas Dadan mencoba menarik Kenzie.
Sementara Naresh terlihat begitu pasrah tak melawan sama sekali. Dia malah menyodorkan pipinya ke arah Kenzie. "Lo boleh pukul gue Ken. Gue pantas kok dihajar! Selama ini gue udah jahat sama Elea!"
"Pukul gue Ken! Pukul sampai gue mati!" teriak Naresh.
Naresh terisak, dan itu membuat amarah Kenzie sedikit memudar.
"Pukul gue Ken!" Naresh meminta dengan suara yang bergetar.
Kemaraha Kenzie semakin mereda seiring dengan mengendurnya cengkramannya di baju Naresh. Apalagi Om Ian—ayahnya Elea tetiba menghampiri mereka berdua.
"Kenzie! Naresh! Kalian bisa berhenti bersikap kekanak-kanakan! Saat ini Elea tengah bertaruh nyawa, tetapi kalian malah berkelahi dan bukan malah mendoakan untuk kesembuhan Elea."
"Jika kalian ingin berkelahi lebih baik kalian pulang!"
Kenzie melepaskan cengkramannya, lalu menundukkan kepalanya. "Maafin saya Om. Saya ingin menunggu Elea sampai selesai di operasi."
Naresh pun melakukan hal yang sama. Bahkan dia meminta maaf dengan terisak. "Maafkan saya Om Ian, gara-gara saya Elea menjadi begini. Saya sungguh menyesal."
Om Ian menghembuskan nafas dengan berat. Dia mencoba bersikap tegar dan bijak. Dia merengkuh tubuh Naresh yang bergetar. Dia menepuk kedua bahu Naresh, dan membiarkan laki-laki itu menangis sepuasnya.
"Om sudah maafkan kamu Resh, ini semua musibah, dan sudah suratan takdir. Jangan terus menyalahkan diri kamu sendiri."
"Maaf Om ...."
Om Ian mengangguk, lalu kembali menuju Tante Devina yang masih menangisi Elea.
"Udah Ken, Resh kita doain kesembuhan Elea. Lebih baik kita menunggu Elea sambil duduk di sana."
Kenzie mengiyakan ajakan Mas Dadan. Dia menuntun Naresh untuk ikut denganku. Karena jujur dia juga tak menyangka Naresh akan serapuh itu.
"Kalian tunggu di sini. Gue mau beli minuman sama makanan. Gue enggak mau kalian juga ikutan sakit," ucap Mas Dadan.
"Ok Mas," sahut Kenzie.
"Inget selama gue tinggal jangan berantem! Kalian harus akur!" peringat Mas Dadan.
"Siap Mas."
Sepeninggal Mas Dadan. Kenzie dan Naresh tak ada yang saling berbicara. Hingga setelah sepuluh menit Naresh mulai bersuara. Dia bersuara begitu pelan.
"Elea suka sama gue Ken."
Seketika Kenzie langsung menoleh ke arah Naresh. Dia bertanya untuk memastikan ucapan Naresh. "Barusan lo bilang apa Resh?"
"Elea suka sama gue ... dia bilang itu sebelum dia enggak sadarkan diri."
"Gue ngerasa menyesal Ken. Kenapa gue enggak peka selama ini sama Elea?"
Kenzie terdiam, hatinya terasa sakit mengetahui Elea sudah menyatakan perasaannya kepada Naresh. Tetapi Kenzie berusaha tegar dan mendukung mereka.
"Terus kedepannya lo mau apa? Lo mau tolak dia yang udah jelas rela ngorbanin nyawa buat lo?"
"Gue enggak tahu Ken ... kehadiran Ilonna dan Shaera aja udah bikin gue bimbang. Sekarang ditambah Elea."
Naresh menoleh ke arah Kenzie. "Lagipula bukannya lo juga suka sama Elea. Gue enggak mungkin bisa ...."
"Lo bisa terima dia," ucap Naresh menyela. "Loh boleh terima dia, tetapi gue minta jangan pernah sakitin dia."
Naresh menggeleng. "Gue enggak bisa Ken, Lo lebih berhak sama Elea."
"Enggak Resh yang Elea suka itu lo. Jadi gue minta tolong sama lo, coba buka hati lo buat dia. Kalau memang lo enggak bisa mencintai dia baru gue yang akan maju"
Naresh tak menjawab ucapan Kenzie. Dia hanya menundukkan kepalanya seraya menangis dalam diam.
.....
Apartemen Max
"Max sayang!" teriakan Ilonna begitu melengking dari balik telepon, membuat Max harus menjauhkan ponsel tersebut dari telinganya.
"Ya ampun ada apa sih sayang? Bisa kan kalau manggil aku enggak usah teriak?"
"Maaf sayang aku cuma penasaran aja sama sesuatu."
"Sesuatu apa?" tanya Maxim seraya membenarkan posisinya yang sedang berada di atas ranjang.
"Kamu sewa orang buat nyelakain Naresh?" tanya Ilonna.
"Hah!" Seketika mata Max yang tadi begitu berat kini jadi terbuka lebar. "Memang Naresh celaka? Dia celaka kenapa?"
"Jadi bukan kamu sayang yang nyelakain Naresh?"
Max menggeleng. "Aku itu cuma ingin karir Naresh hancur, aku enggak ada niatan buat ngebunuh orang sayang."
"Oh kupikir kamu ...."
Max bangkit lalu berjalan menuju dapur. "Terus keadaan si Naresh bagaimana? Apa dia terluka parah?"
Max membuka kulkas lalu mengambil sekotak susu dan roti. Di pikir itu cukup untuk mengganjal perutnya.
"Naresh enggak terluka sama sekali. Dia diselamatin Elea, dan aku dengar justru kondisi Elsa yang cukup parah. Perempuan itu bahkan sedang di operasi."
"Apa?" Max begitu kaget hingga susu kotak ditangannya jatuh begitu saja, lalu tumpah membasahi lantai.
"Sayang, kamu kenapa? Kok kayaknya kaget gitu."
"Ah, enggak apa-apa, aku hanya sedikit kaget soalnya Elea kan temen kita," jawab Max mencoba menutupi rasa khawatirnya terhadap Elea.
"Sayang, nanti aku telepon lagi ya. Aku ngerasa aku harus ke kamar mandi."
"Baiklah, aku juga mau tidur ngantuk." Terdengar nada kekecewaan dari seberang sana.
"Ya udah mimpi yang indah ya. Besok ku telepon lagi."
"Iya Maxim sayang. Bye ...."
"Bye," ucap Max lalu gegas mematikan sambungan telepon.
......
Max duduk di sofa lalu melihat sosial media. Sejak tadi sore dia tertidur, dan tak tahu mengenai berita penyerangan yang menimpa Naresh dan Elea.
"Jadi Elea menyelamatkan Naresh, dan sekarang dia terluka parah."
Max menyentuh bibirnya hingga sekelebat memori Hadir di kepalanya. Jujur sejak kejadian saat itu dia jadi tak bisa melupakan sosok Elea. Ciuman dan wajah gadis itu terus muncul di dalam pikirannya.
"Elea, gue harap lo baik-baik aja. Lo enggak boleh mati Elea."