"Lo yakin mau berhenti El? Ada beberapa kontrak kerja yang berjalan Elea. Itu artinya Lo mesti bayar finalti berkali lipat." jawab Icha setelah Elea menyampaikan niatannya yang ingin berhenti dari dunia entertainment.
Elea mengangguk meskipun Icha yang ada di seberang sana tak melihatnya. "Gue yakin Kak. Gue ngerasa capek kerja di dunia entertainment. Gue mau nerusin bisnis Papi aja di luar negeri."
"El, karir lo tuh lagi cemerlang loh. Banyak tawaran kerjaan buat lo. Terus projek film yang sekarang itu kan film yang diadaptasi dari novel favorit lo."
"Gue udah mikir Mateng kak. Gue mau berhenti dan soal peran itu biar Shaera aja yang ambil. Naresh pasti seneng kok bisa ngeship sama Shaera."
Terdengar dari balik telpon kak Icha mendesah berat. "Ya udah kalau itu keputusan lo. Gue akan sampaikan ke pihak management dulu. Tapi kalau bisa lo tuntasin dulu kontrak yang ada, setelah itu lo bebas mau kemana terserah, dan semau lo!"
"Ok Kak ...."
Belum sempat Elea menuntaskan ucapannya. Icha sudah lebih dulu mematikan panggilan telepon tersebut. Sepertinya Icha juga kecewa dengan sikap Elea yang tak profesional, dan merugikan semua pihak.
Elea menaruh ponselnya, dia mendekat ke jendela, lalu memandang ke luar jendela. Bulan malam ini nampak indah, dan begitu bersinar.
Maaf bulan, aku tak sekuat kamu yang bisa terus bersinar menerangi kegelapan. Aku tak bisa terus menyukai Naresh yang tak menyukaiku. Aku harus lupain dia, dan inilah satu-satunya cara. Aku harus berhenti dan menghilang.
Elea terus memandangi bulan itu. "Ah, jalan-jalan ke luar kayaknya seru. Udah seminggu gue cuma diem di kamar."
Elea gegas mengenakan sebuah sweater berwarna Lilac, celana training yang cukup tebal, dan sebuah masker juga topi hitam untuk menutupi identitasnya.
Elea membawa dompet kecil dan ponsel. Lalu keluar dari kamar. Saat menuruni tangga dia bisa melihat ibu dan ayahnya yang masih terjaga dan berbicara serius di ruang keluarga.
Wajah sang ibu terlihat berbinar saat melihat Elea yang sudah seminggu mengurung diri akhirnya keluar dari kamar. "Akhirnya kamu mau keluar kamar juga El."
"Kamu mau kemana? Biar Papa antar?" tawar sang ayah tak kalah semangat.
Walaupun sudah berusia 25 tahun. Tapi kedua orangtuanya tetap saja memperlakukan Elea seperti anak kecil. Elea tak keberatan karena dia anak tunggal satu-satunya, dan dia juga yakin setelah dirinya menikah kedua orangtuanya tidak bisa lagi memperlakukan dirinya seperti itu .
"Enggak usah diantar Pah. Elea cuma mau jajan ke minimarket sambil lihat bulan yang terang benget di luar."
"Ah, baiklah hati-hati kalau ada apa-apa telpon Papa."
"Baik Papa tenang aja."
Elea berpamitan, lalu dia menyusuri jalan menuju minimarket yang berada sekitar 500 meter dari kediamannya. Sesampainya di minimarket Elea mengambil sekotak susu pisang, dan memesan seporsi takoyaki. Setelah pesanannya tersedia tanpa berlama-lama Elea pun bergegas pulang.
Namun, dia tak langsung kembali ke rumah, tetapi Elea menyimpang ke sebuah taman kecil. Taman yang jika siang hari ramai oleh anak-anak yang bermain.
Elea duduk di salah satu bangku panjang bergaya Itali. Dia menyantap susu, dan makanannya sambil memandangi bulan yang begitu menerangi malam ini.
Hingga tanpa sadar sebuah tangan menepuk bahunya dengan keras.
"Dar!"
Elea menjerit, dan tak sadar makanan di tangannya tumpah ke tanah. Saat Elea menoleh langsung nampak wajah seseorang yang sebenarnya tak ingin dia lihat.
"Naresh!" Elea membuang mukanya.
"Hai El, sorry bikin lo kaget." Naresh menunjuk takoyaki milik Elea yang sudah tumpah ke tanah. "Besok gue ganti makanannya."
"Enggak perlu." Elea bangkit untuk menjauh, tetapi tiba-tiba Naresh menarik tangan Elea.
"Tunggu Elea! Gue pengen bicara sama lo."
"Gue harus balik. Gue enggak boleh terlalu lama diluar, nanti sakit gue kambuh."
Elea berusaha melepaskan diri dari Naresh. Tetapi laki-laki itu malah sekuat tenaga menarik tubuhnya hingga dia berbalik menubruk dada Naresh. Seketika niat Elea untuk melupakan Naresh pupus begitu saja. Hatinya malah semakin menggila, dan berdebar tak karuan.
"Lo beneran sakit? Apa lagi berusaha ngejauh dari gue?"
Elea mencoba menyadarkan dirinya. Dia memundurkan langkahnya. "Gue sakit Resh. Enggak usah mikir yang lain-lain."
"Sakit apa?" tanya Naresh.
"Sakit gue cukup serius. Gue enggak boleh terlalu banyak beraktivitas."
Naresh menghampiri Elea, lalu tanpa bicara dia meletakkan punggung tangannya di kening Elea. Membuat tubuh Elea mematung. "Badan lo enggak panas kok. Lo enggak demam."
Elea menghempaskan tangan Naresh. "Gue emang enggak demam Naresh. Gue sakit yang lain."
Lebih tepatnya gue sakit karena lo! Hati gue sakit karena enggak bisa milikin lo!
"Udah ah gue mau pulang!" Tanpa meminta persetujuan Naresh, Elea melangkah pergi.
"Elea tungguin gue dong! Kita pulang bareng." Laki-laki yang juga mengenakan pakaian serba hitam itu menyusul langkah Elea di belakang.
Elea berusaha mengacuhkan Naresh, dan mempercepat langkahnya. Hingga entah kenapa tiba-tiba dia ingin menoleh ke belakang. Saat itu Elea melihat seseorang bersepeda motor ninja hitam dari belakang mengarah ke arah Naresh sambil membawa sebuah pentungan besi yang cukup besar.
Naresh! Orang itu pasti mengincar Naresh!
Tanpa pikir panjang Elea berlari ke arah Naresh, dengan heroik Elea mendorong tubuh Naresh tepat saat pemotor misterius itu melintas dan mengayunkan pentungan besinya.
Bugh! Brukk!
Elea terjatuh karena pentungan besi itu mengenai kepala Elea. Elea mengerang kesakitan, kepalanya begitu sakit di semua sisi, pandangannya berbayang.
Ditengah kesadaran yang menipis. Samar-smaa Elea melihat Naresh yang juga terjatuh mulai bangkit. Elea tersenyum bersyukur karena Naresh masih baik-baik saja.
Naresh menghampiri Elea dengan raut wajah yang khawatir. "Elea! Elea!"
Naresh memindahkan kepala Elea dengan perlahan kepangkuannya, lalu berteriak meminta pertolongan. "Tolong! Siapa saja tolong!"
Naresh menatap Elea, matanya mulai berkaca-kaca. Dengan tangan yang gemetar dia menggenggam tangan Elea dengan erat seolah tak ingin kehilangan perempuan itu. "El, lo harus bertahan. Gue bakal cari bantuan buat lo."
Ditengah kesakitan yang mendera Elea masih bisa tersenyum. Dia tersenyum bahagia melihat Naresh yang begitu mempedulikannya walau mungkin ini adalah saat terakhirnya.
Jika memang iya ini saat terakhir gue di dunia ini. Gue ingin Naresh tahu isi hati gue.
Elea mencoba membuka mulutnya walau itu rasanya sangat menyakitkan. Rasanya seperti kulitnya sedang disayati secara perlahan.
"Resh ...."
Naresh menatap Elea. "Gue udah panggil ambulan. Sebentar lagi mereka datang."
"Na-resh ...." Elea memanggilnya lagi.
"Lo harus kuat El." Naresh masih menatap Elea. Air mata Naresh begitu terasa hangat saat mendarat di kulit tangan Elea.
Elea mengangguk kecil, lalu mulai mengatakan semuanya dengan lirih. Mengatakan semua isi hatinya.
"Resh ..."
"Gu-e su-ka sa-ma lo."
Naresh menganga mendengar ucapan Elea. Sementara Elea menyunggingkan tepi bibirnya. Dia merasa begitu lega, semua beban yang menumpuk di hatinya terasa berkurang.
Perlahan kesadaran Elea pun mulai menipis. Secara perlahan matanya menutup.
Naresh menggeleng saat melihat kedua mata Elea menutup. Seketika laki-laki itu tersadar betapa berharganya Elea baginya.
Naresh mengguncang kedua bahu Elea. "Elea! Bangun El! Bangun Elea!"
"Elea! Jangan tinggalin gue!"