Majara meyakini kalau terlalu banyak tertawa hanya akan berakhir dalam kesedihan. Amarah seakan lepas kendali, tersinggung menjadi inti dari awal mula hal itu terjadi. Maraja tidak ingin berkunjung ke Jogjakarta meski hari ini adalah hari jadi ayahnya. Sudah cukup muak mendengarkan cerita Sastra tentang kota itu. Walaupun Maraja tidak mengenal Sastra secara mendalam, anak itu sukses membuat dirinya merasa risi dari waktu ke waktu.
Lapangan hari ini terasa begitu panas. Gerah badan dan rasa terbakar dalam dada membuat Maraja cemberut tak ada habisnya. Parikesit cukup sadar kalau sahabatnya itu sedang mengawasi Sastra yang dikerubungi banyak penggemar, entah laki-laki atau perempuan. Yang pasti, sikap dinginnya selalu menarik perhatian lawan bicara.
Parikesit duduk di dekat Maraja, sambil memainkan botol minuman di tangannya. “Kenapa? Sastra bikin mood ancur lagi?” todong Parikesit.
“Nggak juga. Cuma lagi heran aja sama dunia, kenapa orang sok jaim kayak dia banyak yang memperhatikan?”
“Karena mereka melihat itu sebagai hal yang keren.”
Maraja menggulirkan matanya dengan jemu. Ia pun bangkit dari tempatnya duduk. Maraja berkata, “Lebih keren mereka yang tertawa dan tampak hangat di luar padahal menahan rasa sakit dan kecewa mendalam. Setidaknya ada effort.”
Maraja meninggalkan Parikesit yang tersenyum syarat makna. Di saat itu pula, Sastra keluar dari kerumunan anak-anak. Ia meninggalkan lapangan tanpa sepatah hari. Seperti biasanya, bak si bisu yang selalu menjaga pandangan. Sastra tak pernah tertarik menanggapi berbagai pertanyaan yang dunia lontarkan padanya, tak juga berniat membalas pandangan mereka yang beragam. Entah itu kagum, meremehkan atau sekadar ingin melihat tanpa mau memedulikannya.
Sena sebelumnya berjalan di koridor, tetapi kedua matanya tiba-tiba bergulir ke arah lapangan ketika Sastra mengindari banyak masa yang mengejarnya semakin merapat. Langkah kaki siswi tomboi itu membuat Sastra tercekik sana-sini.
“Ngapain kalian ngikutin Sastra? Mau bikin si antisosial ini makin besar kepala? Merasa dunia berputar-putar padanya? Helow!” Sena terlihat keki.
“Apaan sih lo, Na?!” balas mereka.
“Kalau orang nggak mau dideketin jangan dideketin. Nanti jatuhnya dia menghindar bukan karena emang pingin kedamaian.” Sena mendelik bete. “Malah jadi kata lain dari caper nggak sih?”
Sastra menabrakkan tubuhnya pada Sena, remaja perempuan itu mendesis saat anak-anak merasa terganggu karenanya. Pasalnya, mereka tahu kalau Sena memang selalu usil pada Sastra. Sejak awal bertemu. Meskipun tidak menjurus ke arah perpeloncoan. Setidaknya, Sena tak pernah melarang anak-anak tim futsal ketika merundung Sastra. Anak-anak meninggalkan Sastra dan Sena, kini kedua remaja itu berjalan di koridor, meskipun tidak saling berdekatan. Sena mengekor Sastra sambil sesekali mendengkus kesal.
Sastra menyudutkan ekor matanya pada Sena. “Ada apa kamu mengikuti aku?” tanya Sastra membuat Sena memandang saksama.
“Kenapa lo sama Raja nggak pernah akur di luar lapangan?” balas Sena membuat Sastra tersenyum remeh.
“Aku nggak paham.”
“Lo sama Maraja ada masalah apa?”
“Nggak ada.”
Sena mendesis saat Sastra berjalan kembali ke arah lapangan. Ia bahkan tak segan berdiri di bawah terik matahari yang begitu menyengat kulit kepala. Sena tak bisa membuntuti Sastra ke tengah lapangan di saat semua anak-anak basket berkumpul di sana. Gila saja, pikirnya.
Sastra tidak mengerti kenapa kakinya tiba-tiba berjalan kembali ke arah lapangan padahal ia sudah berniat mengakhiri mandi keringat dan pertanyaan soal ia dan Nasya, anak kelas 2 dari ekskul paduan suara. Iya, rumornya … dari gosip yang masuk telinga Sastra, keduanya ada hubungan spesial setelah kepergok makan berdua di kantin. Karena hal itu satu sekolah menyerbu waktu tenang Sastra.
Rasa panas benar-benar membuat kulit tubuh Sastra terbakar. Kulitnya memerah, wajah pun sama. Sastra secara tak sadar menghadapkan semua wajah dan tubuhnya ke langit, berpandangan dengan matahari sembari memejamkan kedua kelopak matanya. Bagi sebagian anak basket dan anggota tim BSBY 1997 itu biasa. Walaupun mereka tidak tahu alasannya. Namun, Sastra bilang memanaskan dirinya di bawah matahari bisa membuat badannya segar. Another people be like, matahari jam berapa dulu, woi?!
Tangan Sastra ditarik secara paksa oleh seseorang yang tidak lain adalah Sena. Remaja perempuan itu menggusur Sastra ke tepian lapangan. “Lo cari mati? Jam satu terik gini berdiri di bawah langit? Lo bisa pingsan, bisa dehidrasi ataupun mati gosong!” cecar Sena.
“Aku nggak pernah mendengar hal itu.”
“Lo kenapa, sih, suka banget manasin diri di bawah matahari apalagi kalau habis latihan? Nggak gerah apa?”
“Bukan urusanmu.”
“Bisa jadi urusan gua, sih, karena gua juga kan anggota UKS. Lo juga, setiap kali upacara bendera orang menghindari matahari lo malah tukeran tempat sama orang biar kena matahari.”
Sastra hanya tersenyum.
“Beneran deh, gua tanya lo sama Raja ada masalah apa?”
Sastra hanya memandang tidak peduli, tetapi Sena bersikukuh dengan tatapannya. Ia tidak menelas, meski begitu Sastra tetap menyebutnya berharap yang beradu rasa penasaran.
“Semenarik itu?” tanya Sastra tersenyum kecil. “Nggak ada hal yang menarik di antara kami berdua. Ataupun secara pribadi, aku nggak merasa memiliki sesuatu atas Raja,” cetus Sastra dengan lembut.
“Gua … di tim futsal diajarkan untuk selalu berkomunikasi. Kita selalu diajarkan di manapun kita berada komunikasi harus terjaga. Mau punya masalah apa pun, di luar atau di dalam lapangan nggak boleh dibawa-bawa. Atau kayak di lapangan kesel karena nggak satu pendapat soal lawan, nggak boleh dibawa keluar lapangan. Biarkan itu jadi masalah saat itu aja—”
“Udah bicaranya?” potong Sastra dengan tatapan bengis. “Asal kamu tau, bicara seperti itu pada orang asing yang bahkan kamu nggak akrab sama mereka itu nggak sopan, Sena.”
“Tapi gua penasaran kenapa Raja dan lo nggak pernah ngobrol, nggak kayak anak lainnya. Apa itu nggak akan berpengaruh sama pertandingan besok?”
Sastra hanya tersenyum remeh. “Nggak perlu diperpanjang lagi. Aku sama Raja sama-sama berjuang untuk tim basket sekolah, kok. Urusan di luar nggak saling bertanya, nggak semua orang di sekolah ini harus saling bicara. Nggak selamanya sahabat kita juga mau bicara sama kita. Apalagi ini … statusnya aku sama Raja cuma kenal lewat tim basket dan kami jarang disandingkan.”
“Sastra!” panggil Sena kesal.
“Apa lagi, Na? Kupikir sebelumnya kita nggak saling kenal, lho.”
Sena hanya diam sambil mencengkram seluruh jemari tangannya dengan erat. Sena mendengkus kesal sambil memalingkan wajahnya dari Sastra. “Yang nendang bola itu … tempo hari … Raja yang nendang!” lirih Sena sembari mengerutkan dahinya.
Sastra kembali tersenyum. “Makasih,” ujarnya ringkas
Sena menjambak rambutnya kesal, ditinggalkan Sastra seperti kali itu dan seperti biasanya. Orang paling antisosial itu benar-benar membuat hati Sena kesal bukan main. Ada, ya, orang yang begitu tenang meski diperlakukan demikian. Oleh rekan timnya. Rekan tim yang jelas-jelas selalu dipasangkan dengannya.
Tempo hari, Sena sedang asyik memainkan bola dikakinya. Namun, tiba-tiba saja Maraja yang berjalan dengan slengean merebut bola sepak milik Sena itu dengan cepat menggunakan kaki kirinya. Sena seketika melotot pada Maraja yang tersenyum nakal.
“Pinjem!” kata Maraja sembari menggulirkan kedua bola matanya pada Sastra, siswa yang sedang berjalan dengan wajah lempeng ke arah luar lapangan.
“Lo nggak punya sopan santun banget, sih!” protes Sena sambil mencoba merebut kembali bola miliknya. Sayang, Maraja segera menggiring bola itu menjauh darinya.
Beberapa menit memainkan bola di kaki dengan lincah, Maraja menendang benda bulat itu sekuat tenaga ke arah Sastra yang masih berjalan dengan gaya andalannya. Wajah sok kalemnya. Sastra yang tidak mengetahui apa-apa seketika tersungkur.
Melihat itu Maraja tertawa nikmat, sedangkan Sena merasa bego sendirian. Pasalnya, bola itu … di atas bola itu tertulis namanya. Sena menatap Maraja kesal. “Lo gila, ya? Itu tendangan lo bisa bikin orang mimisan tau!”
“Tau, kan, sengaja!”
“Tapi lo mencelakai orang pakai barang gua. Kalau nanti gua jadi tersangka gimana?” todong Sena.
“Urusan lo bukan urusan gua,” kata Maraja enteng. “Makasih bolanya, Senandung. Lo dari deket cakep juga, ya? Kek cewek pada umumnya.”
Sena mendesis kesal saat Maraja pergi begitu saat ketika Galuh, sosok cewek yang paling disukai anak-anak basket itu melintasi kawasan lapangan bersama para teman-teman kelasnya yang suka cari perhatian.
“GUA EMANG CEWEK, SIALAN!” pekik Sena sambil mengepalkan tangannya kesal. “Lagian kenapa sih pakai jahil kayak gitu? Bisa masuk BK tau! Lo berdua setim, lho!”
“Setim emang nggak boleh jail, ya?” Maraja mendesis meremehkan. “Akrab dan saling bekerja sama di dalam lapangan, bukan berarti benar-benar dianggap rekan, bukan?” katanya mengerling nakal.
“SUMPAH, RESEK DAN GEJE BANGET SIH LO, RAJA“ bentak Sena sambil melengos ke arah Sastra yang terlihat keliyengan karena baru saja bola mendarat tepat di wajahnya.