Sebuah tendangan maut mendarat di wajah Sastra, tampak seseorang seketika berlari ke arahnya sambil memandang gusar. Langkah kakinya terdengar lembut, tetapi desah napas lelahnya malah sebaliknya. Sastra seketika bangun, tersadar dari kolapsnya setelah digabrer bola sepak dengan kecepatan dan kekuatan super.
Wajah Sastra memerah, baret tampak menghiasi bagian tulang pipi juga hidungnya. Seorang remaja perempuan dengan pakaian olahraga menghampiri, rambut bob yang diikat setenga ekor kuda berhenti tepat di depan Sastra.
“Lo nggak apa, Sastra?” tanyanya sambil ngos-ngosan.
Senandung Kemuning, namanya. Cewek yang memiliki nama super anggun dan cantik tetapi gayanya tidak. Ia itu siswi paling nyeleh di sekolah. Ia tomboi, pakaiannya urakan, jauh dari kata rapi sesuai SOP sekolah. Ia yang banyak menghabiskan waktu di lapangan sekolah juga kantin. Putri seorang sejarawan yang wafat karena sakit batu empedu. Ia juga putri tunggal dari ibu yang dikenal sebagai penyanyi keroncong. Sena, karibnya.
“Minta maaf, ya, sini bolanya gua mau lanjut main!” kata Sena dengan senyuman watados alias wajah tanpa dosa.
Sastra hanya melirik tanpa menjawab, bergegas remaja laki-laki itu meninggalkan tepian lapangan. Sena yang berdiri kikuk karenanya mendesis kemudian. Siswi itu memungut bola sepak yang tergeletak di tanah dengan kedua tangannya.
“Sakit bilang aja kali, orang udah minta maaf, jangan pergi gitu aja nggak sopan!” sungut Sena dengan tatapan sebal.
Sedangkan Sastra sama sekali tidak tertarik menanggapinya. Seakan tutup mata dan telinga, tak ada yang terjadi pada wajahnya meski baret benar-benar terpampang jelas di tulang pipinya.
Anak-anak laki mendekati Sena, mereka berbondong-bondong menatap heran pada Sena. Salah satu di antaranya memandang ke arah Sastra.
“Si antisosial itu bilang apa, kok muka lo kecut gitu?” tanyanya dengan kernyitan di dahi.
“Gua minta maaf tapi dia malah pergi gitu aja. Nggak bilang apa-apa. Nggak jawab sakit nggak jawab nggak sakit, diam aja, kek orang nggak punya pita suara!” protes Sena sambil melemparkan bola di tangannya ke sembarang arah.
“Sastra emang gitu, kayak nggak tau aja.”
“Masalahnya, itu pipi dia baret, woi!” kata Sena dengan kedua manik mata melotot khawatir.
“Makanya pergi, dia nggak ngerasain apa-apa, Sen. Udahlah, emang itu anak kayak nggak punya hati, kecuali kalau soal basket dan BSBY 1997. Lain aja gitu. Di sekolah sama di lapangan beda.”
“Eits, kalau nggak gitu dia nggak akan bertahan di sini. Kan, bisa sekolah di sini karena japres basket yang dibanggakannya!”
Sahut-sahutan anak-anak silih membuka kartu tentang Sastra. Sena menyetujui semua yang mereka katakan. Namun, ada satu yang membuat Sena bertanya-tanya, kenapa Sastra demikian. Sejak kelas satu, hampir tidak memiliki teman akrab. Di tim basket sekolah juga tidak punya rekan di luar lapangan. Seakan semuanya menganggap ia ada hanya karena basket. Di luar itu, keberadaannya seperti asap, hilang begitu saja.
Sena melengos keluar lapangan, bergegas remaja perempuan itu memasuki kawasan taman sekolah. Terlihat Sastra sedang berdiri di bawah terik matahari yang menyorot langsung ke gazebo dekat pepohonan. Aroma batang pohon dan daun-daun kering membuat Sena bersin saat angin berembus cepat menerpa wajahnya.
Sastra menoleh, ia hendak pergi memasuki bagunan utama sekolah lewat gerbang masuk kawasan antara kantin dan aula serta laboratorium. Sayangnya, Sena yang memiliki kecepatan dalam berlari segera meraih tangan Sastra.
“Lo … muka lo sakit nggak?” tanya Sena, seketika tangannya ditepis oleh Sastra.
“Nggak usah menyentuhku.” Sastra mengerutkan dahinya dengan congkak.
“Gua tuh nanya, muka lo sakit nggak? Perlu gua bawa ke UKS? Nanti anak basket protes lagi sama gua kalau lo lecet!” sungut Sena dengan mimik muka masam.
“Muka aku udah baret, bukan lagi lecet.” Sastra melengos tak peduli.
“Iya, ayo, ke UKS.”
“Nggak perlu. Nggak usah buang-buang waktu. Aku nggak butuh rasa bersalah kamu,” gerutuk Sastra benar-benar meninggalkan Sena yang cengok dibuatnya.
“Lo tuh ya, nggak punya rasa malu banget, deh. Gua tuh niatnya baik, ya, minta maaf, karena emang gua salah. Hargai kek!” pekik Sena membuat Sastra menoleh.
“Nggak usah teriak-teriak. Aku udah maafin.”
“Kamu tuh bukan antisosial, kamu sombong.”
Sastra membalik tubuhnya, ia menatap ke arah Sena dengan tatapan tajam nan lekat-lekat. Berjalan Sastra mendekati Sena sambil mengernyit erat. “Apa, coba ulangi perkataanmu?” todong Sastra.
Sena berdiri tegak, dagunya condong ke arah Sastra sambil menatap tidak mau kalah meskipun hatinya ketir takut salah bicara. Namun, ia juga merasa kalau Sastra keterlaluan. Sena memegangi tangan Sastra dengan erat, kemudian ia daratkan di dada Sastra dengan emosi.
“Gua bukan antisosial, gua sombong!” kata Sena meledek Sastra. Namun, tiba-tiba saja senyuman Sastra mengembang dengan sempurna.
“Kamu perempua pertama yang berani menyentuh aset berharga sekolah dan tim basket terhebat seantero Surabaya ini. Nyali yang luar biasa hebat!” Sastra mendesis.
“Tuh, lo itu sombong bukannya antisosial.”
Sastra tertawa renyah saat Sena melepaskan tangannya. Kedua manik mata Sena seakan terheran-heran dengan sikap aneh yang Sastra keluarkan dari dalam dirinya yang selalu memandang dingin, tanpa ada ekspresi ataupun senyuman. Sekalipun ia masuk majalah siswa berprestasi atau sedang menerima piagam atas kemenangannya, ia tetap saja bermuka datar nan masam.
“Aku hanya sadar diri, kalau tempatku bukan di sini. Keberadaan aku di sini hanya untuk mengisi sisa lapang basket yang kosong. Bukan untuk menjadi satu kesatuan dengan siswa dan siswi di sini,” kata Sastra.
“Sejak awal masuk sekolah, bukan hanya para siswa yang meragukan. Deretan para guru juga sama-sama meragukan. Aku nggak banyak bergaul bukan karena antisosial. Aku sadar aja kalau circle antara aku dan anak lainnya berbeda. Daripada menjadi benalu, atau menjadi bawang putih di antara kumpulan jeruk. Aku lebih suka jadi bawang putih di antara kumpulan bawang putih, meski siungnya terpisah-pisah.”
Sena baru pertama kali mendengar Sastra bicara sepanjang dan seekspresif barusan. Selama hampir dua tahun tinggal di sekolah yang sama dengan jarak kelas bersebelahan. Hampir tidak pernah Sena mendengar atau melihat Sastra demikian. Sena menganga, ia malah berjalan mengikuti langkah kaki Sastra.
“Apa jangan-jangan lo cuma pura-pura sok keren dengan bertingkah ala-ala manusia kulkas?”
“Kayaknya cuma kamu yang menganggapnya keren.” Sastra mendengkus. “Aku katakan sekali lagi, aku nggak menjalin hubungan pertemanan dengan orang-orang yang nggak menguntungkan. Jadi, bukan sombong. Memang pada dasarnya manusia selalu mencari sumber keuntungan dan menjauhi sumber kerugian.”
Sena memandang dengan saksama wakah Sastra dari samping. “Jadi … cuma tim basket yang nguntungin?” desaknya.
“Menurutmu?” Sastra menarik sebelah alis matanya. “Oh iya … tendanganmu keras dan bertenaga. Tapi, nggak cukup bagus untuk pemain sepak bola.” Sastra menyeka tulang pipinya.
Berjalan Sastra sambil menengah, tampak sesekali ia menyesap aroma udara serta panasnya matahari siang ini. Sena cukup waras untuk tidak memandang Sastra keren. Ternyata, Sastra tidak lebih dari siswa sombong yang diam-diam nyebelin.
*****
Jam pulang sekolah menggema di seluruh ruang kelas. Maraja membereskan isi tasnya untuk bergegas menuju ruang kumpul anak-anak basket. Sayangnya, belum selesai ia berkemas terlihat Sastra berjalan ke arah kelasnya sembari memasang wajah datar seperti sudah jadi setelan pabriknya begitu.
“Ada apa lo ke kelas gua?” todong Maraja menatap sebal.
“Libur.” Sastra lekas berlalu, ia meninggalkan kelas Maraja tanpa ekspresi. “Besok lusa latihan,” imbuhnya masih sama saja.
Maraja mendesis, ia meremas buku di tangannya. Untuk pertama kalinya, ia telat dapat kabar. “Gua kalah dari Sastra saol info libur. Gua yakin di Sastra pasti menclok di lapangan utama!” guman Maraja.
Kepala Maraja disentuh Parikesit yang sejak SD sampai SMA menjadi teman kelas Maraja. Bukan tanpa sebab, Majara memang ingin selalu bersama pemain dengan tembakan jarak jauh hebat sepertinya. Untuk seorang pengumpan dan pelari seperti Maraja, ia butuh Parikesit.
“Ada apa? Gua lihat Sastra datang ke kelas lo? Ada masalah apa?” tanya Parikesit penasaran.
“Latihan, katanya libur.”
“Emang. Lo, sih, istirahat tadi bukannya kumpulan malah semedi di ruang BK sama Tante lo. Ada masalah apa, sih?” Parikesit makin penasaran dibuatnya.
“Biasalah, soal nilai rapot sama izin yang udah lebih dari dua belas kali. Katanya bisa nggak baik buat gua, mana ada catatan alpa lima.”
Parikesit menempeleng kepala Maraja. “Gila, tiga aja udah bisa dipastikan dapat sanksi. Lo alpa lima, izin dua belas? Cari mati.”
“Lho, kita ini atlet sekolah. Anggota tim basket terbesar dan terelit Surabaya. Wajar kalau banyak izin!” bela Maraja tidak mau disalahkan.
“Raja …!” pekik Parikesit kesal. “Jadwal dispensasi kita tuh nggak sampai dua belas kali, tau. Ada beberapa pertandingan yang bahkan kita nggak dispen. Ngawur lo!”
Maraja tertawa. “Gua males sekolah,” katanya cengengesan.
“D.O tau rasa lo!” ledek Parikesit. “Lo bisa dikeluarin juga dari BSBY 1997. Mereka nggak terima komplain soal nilai akademik yang jelek. Mampus lo!”
“Duit bokap gua bisa, kok. Bisa bikin BSBY 1997 nerima gua apa adanya, Sit.” Maraja menepuk-nepuk bahu Parikesit.
“Emang lo berani minta?” desak Parikesit dengan mata memicing galak. “Harus sun tangan itu, Ja.”
Maraja seketika diam, ia mendesis kesal pada Parikesit yang cengengesan memandangnya. Maraja lekas bebenah barang-barangnya. Melengos anak itu meninggalkan Parikesit. Dalam benak, gejolak rasa tak nyaman membuat Maraja gerah hati. Sesuatu membuatnya ingin marah. Mengobrak-abrik singgasana langit. Kenapa pula ia harus dilahirkan di antara terjalnya ego laki-laki dn lemahnya hati perempuan. Maraja benci mengingat semua hal yang terjadi antara ia dan seisi rumah juga catatan langit tentangnya juga tentang kedua orang tuanya.
Maraja berjalan terkurung amarah, tanpa sadar seseorang tersenyum padanya. Siapa lagi kalau bukan Galuh. Remaja perempuan itu sedang asyik bercanda dengan teman-temannya. Ckkk, gua benci ada orang yang bisa ketawa lepas kayak Galuh atau si Kesit.