Loading...
Logo TinLit
Read Story - Heliofili
MENU
About Us  

Lagu Happy Sweet Seventeen menggema di lapangan basket detik ini selepas kemenangan Bumantaruna Surabaya 1997 kontra Rasi Jakarta 1996, tim basket yang pernah membesarkan nama Maraja Tirtanadi sebagai pemain junior terbaik.

“Selamat ulang tahun, Sastra!” teriak segerombolan anak perempuan mengenakan pakaian cheerleader BSBY 1997.

“Sastra Purnama, we'll always supporting you! Love you more, Sastra!”

Nama itu diteriaki sebanyak ratusan kali oleh para pendukung tim basket sekolah. Entah kenapa, nama itu selalu membuat Maraja gerah.  Sosok anak kelas sebelah dari kelas IPS 1 itu selalu membuat suasana stadion memanas. Padahal, apa istimewanya Sastra? Maraja menggertak.

Sastrawisama Purnama, dikenal karena merupakan mantan pemain terbaik Jogjakarta Korvs 1997, sejak ia duduk di bangku kelas 2 SD sampai kelas 3 SMP. Katanya lahir di Jogjakarta, pernah sekolah di SD paling elit di Jogjakarta, dan beberapa waktu homeschooling di karena sakit yang tidak diketahui siapa pun, sebelum pindah ke Surabaya ia bahkan sekolah di SMP paling keren di Jogjakarta karena prestasi basket dan akademiknya.

Sastra, nama karibnya. Ia adalah siswa paling tersinar di SMAN Surabaya, di mana Maraja juga dinobatkan sebagai sepuluh siswa terbaik pada ajaran tahun lalu dan masih bertahan bersama Sastra sampai tahun ini. Keduanya adalah top 5 pemain BSBY 1997 angkatan ke 23. Selain itu, keduanya juga selalu menjadi incaran pada siswi karena segudang pesona yang tak dimiliki siswa lainnya.

Namun, di mana Maraja, Sastra tak lebih dari sekadar siswa kelas 2 SMA yang kental dengan sikap sok cool, kutu buku, sekadar bisa menggiring bola sampai ring, dan hanya siswa biasa saja bukan dari kalangan anak-anak kaum borjuis Surabaya yang datang ke sekolah modal otak saja. Masuk sekolah hanya karena prestasi main basketnya yang lagi-lagi menurut Maraja biasa saja.

Sastra tak lebih dari siswa kucel dengan manik mata cokelat yang selalu terlihat ngantuk, kulit wajah pucat pasi seperti orang kurang gizi, rambut acak kadut seperti orang bangun tidur, seragam pun seperti hanya punya satu pasang saja. Meski demikian, orang-orang banyak mengaguminya, entah karena apa. Padahal, ia hanya sampah di sekolah. Orangnya antisosial, individualis garis keras dan jarang berinteraksi dengan baik pada siapa pun. Walau Maraja harus akui kalau ia adalah pemain terprofesional di tim BSBY 1997 juga di tim baske ekstrakulikuler sekolah.

Maraja melengos dari lapangan, ia berjalan menuju kamar ganti. Di lorong keluar lapangan, terdekatan dengan bangku penonton, tampak para siswi sudah menyambutnya dengan membawa berbagai kado untuknya. Sebagaian ada yang masih menunggu Sastra keluar dari lapangan untuk memberikan kado. Sialnya, baik Maraja dan Sastra lahir di waktu yang sama.

Maraja mendesis kesal. Remaja laki-laki itu tersenyum penuh paksaan, sambil menerima beragam hadiah dari para pendukungnya—teman satu sekolah juga para gadis pendukung BSBY 1997.

Bahu Maraja disentuh oleh seseorang, berbalik Maraja mendapati Galuh, sosok siswi kelas sebelah berdiri tersenyum padanya. Cewek kutu buku, bukan lebih tepatnya cewek kalem yang doyan ngadem di perpustakaan meskipun nggak baca buku.

“Ada yang bisa gua bantu?” tanya Maraja memandang risih sambil mengernyit kuat-kuat.

Galuh, remaja perempuan yang berdiri mengenakan pakaian sederhana hanya kaos putih dibalut kemeja putih gading yang dipadukan celana jeans dengan potongan lurus yang buat siluet kakinya makin lenjang itu tersenyum malu. Galuh, panggil saja begitu. Ia memandang begitu gugup. Manik mata hitamnya sesekali mengecil lalu membesar tanpa sebab. Pipinya yang agak bulat itu pun sesekali memerah.

“Ini dari teman-teman kelasku. Mereka nggak bisa datang, kebetulan kakakku nonton, jadi sekalian aja aku kasih kamu!” kata Galuh dengan suara mengap-mengap kentara sekali kalau ia dengan berusaha kuat menahan napasnya.

“Oh, gitu. Padahal besok ketemu di sekolah, lho!” desis Maraja memandang remeh ke arah kantong berbagai kertas daur ulang di tangan Galuh.

“Barangkali besok kamu nggak masuk, Raja. Soalnya … emm biasanya suka ada dispensasi kalau para atlet sekolah habis tanding?” ujar Galuh masih mencoba untuk bersikap santai.

“Gua besok ada remedial,” kata Maraja tersenyum dengan lebar. Tak berselang lama ia pun tertawa dengan renyah sampai buat pipinya memerah. “Gua, kan, nggak jago kalau urusan pelajaran di kelas. Ngantuk!”

“Ini … semoga kamu suka, ya?” Galuh menyodorkan barang bawaannya itu pada Maraja.

“Makasih, ya, Gempi.” Maraja memandang begitu lekat-lekat. Remaja laki-laki itu pun kontak mendaratkan tangannya di bahu Galuh.

“Namaku Galuh. Bukan Gempi atau Gempita,” protes Galuh dengan senyuman kecil.

“Lah, iya, gua lupa. Gempi siapa, yak? Maaf efek capek gua jadi agak kacau.” Maraja tertawa renyah sambil geleng-geleng. “Makasih, ya, Galuh. Sekali lagi makasih, maaf juga”

Galuh hanya tersenyum. Maraja pun mengembuskan napasnya dengan sedikit lebih panjang. “Thank you, Galuh. Oh, iya, sampaikan juga rasa terima kasih gua ke teman-teman lo.”

Galuh mengangguk pelan sambil sedikit membungkuk santun. Pamit remaja perempuan itu dari hadapan Maraja yang tersenyum.

*****

Sastra menenguk minumannya, duduk lesehan ia di dekat teras rumah. Terlihat Wanayasa pulang dengan motor bututnya yang terlihat dekil. Sastra segera bangun dari duduknya menyambut laki-laki itu dengan senyuman lebar.

“Gimana teater pertamanya?” tanya Sastra saat Wanayasa membuka helmnya.

“Sukses. Pertandinganmu? Maaf, Mas nggak datang karena harus membantu menyutradarai drama anak didik Mas di sekolah,” jawab Wanayasa sambil mengusap pusat kepala Sastra.

“Nggak apa, kok. Pertandingan hari ini juga sukses membawa piala kemenangan lagi, Mas.” Sastra menatap dengan saksama.

“Kita makan di luar, yuk? Kebetulan Mas ada uang, kamu juga lagi ulang tahun, kita rayakan hari bahagia ini. Tapi, Mas mau mandi dulu!” Wanayasa melengos memasuki rumah sederhana dengan teras dan pelataran kecil yang dihiasi beraneka macam tanaman hias dan sayuran.

“Mas ….” Sastra memanggil lirih.

“Ada apa, Sastra?” tanya Wanayasa sambil mengernyit.

“Besok ada dispensasi untuk para atlet di sekolah, seperti aku, Raja, Naresh, Andrea, dan lainnya yang tergabung di BSBY 1997, untuk dua hari. Mas … bisa kita mengunjungi Jogjakarta?”

Wanayasa menarik sebelah sudut bibirnya, laki-laki itu pun mengangguk sembari mengangkat ibu jarinya ke udara. “Malam ini kita berangkat, jadi kamu bisa main lebih lama di Jogjakarta. tapi, pastikan nggak ninggalin tugas, ya?”

“Siap, Mas!” seru Sastra dengan bahagia.

Sastra kembali menikmati kesegaran angin sore ini, ia memandang ke arah langit Surabaya yang elok kekuningan. Meskipun belum lama ia meninggalkan Jogjakarta, rasa rindu kerap kali mengusik tenangnya. Ada rasa candu yang datang kalau ia tak mencium aroma teh tubruk yang biasa Wanayasa bungkus lalu kirim ke berbagai angkringan.

Sastra juga merindukan semua kenangan masa kecil bersama Jogjakarta dan kedua orang tuanya. Ia selalu merindukan semua hal kecil yang kota besar itu rangkaikan untuknya. Sastra  tidak pernah berpikir kalau ia akan tinggal di Surabaya kini. Ia hampir bertanya-tanya sampai gila, kenapa pula ia harus meninggalkan Jogjakarta bersama Wanayasa. Padahal, bermimpi bertemu dan hidup  bersamanya saja tidak pernah. Apalagi tinggal di bumi orang. Sastra tak pernah menyangka kalau langit menuliskan cerita demikian untuknya.

Sastra memasuki rumah, ia bersiap untuk membersihkan diri sebelum berangkat makan malam dan lanjut perjalanan pulang kampung ke Jogjakarta. Terlihat Wanayasa sedang menanggalkan pakaiannya sebelum masuk kamar mandi. Tubuh kurusnya masih selalu sama, bedanya kini mungkin tidak sekucel dulu.

“Kamu kemasin barang Mas, ya? Bawa dua baju,  dua celana, dan dalaman. Jangan lupa obat-obatan, dan barang yang menurutmu penting. Biar nggak bawa ransel yang besar.”

“Siap, Mas!”

“Semua udah siap saat Mas selesai mandi, ya? Supaya lebih cepat pula berangkatnya!” titah Wanayasa sebelum menutup pintu kamar mandi.

Sastra tak berhentinya tersenyum, ia bersyukur bertemu dan hidup bersama Wanayasa. Meskipun banyak hal yang tidak Sastra suka dari laki-laki itu. Entah, ia yang doyan merokok, doyan nyanyi-nyanyi lagu rock sampai koplo, ia yang jarang mandi, dan lainnya. Akan tetapi, Sastra bersyukur kalau Wanayasa tak pernah menolak keinginan pulang kampungnya walau ia sibuk.

Sastra lekas menuju kamarnya yang menyatu dengan kamar Wanayasa. Ia pun berkemas dengan lihainya, setelah itu tak lupa ia merapikan semua titik kamarnya agar tetap rapi saat kembali nanti dan tak meninggalkan kotoran satu pun. Ia bahkan memindahkan semua pakaian kotor di keranjang ke mesin cuci  agar nanti tak perlu repot lagi cuci ketika pulang.

“Kamu nyuci, Sastra?” teriak Wanayasa dari dalam kamar mandi.

“Iya, Mas.”

“Lho, baju Mas sekalian, ya!”

Sastra tertawa kecil. “Iya, udah tau!? Mas, kan, mageran!”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Supardi dan Supangat
1821      833     1     
Humor
Ini adalah kisah Supardi dan Supangat si Double S yang Bermukim di Kampung Mawar. Keduanya bagaikan GALIH DAN RATNA yang selalu bersama mengukir kenangan (ceuilehh.. apasih) Terlahir dari rahim yang berbeda tetapi takdir mempertemukan mereka dengan segala ke-iba-an yang melanda
ALMOND
1110      637     1     
Fan Fiction
"Kamu tahu kenapa aku suka almond?" Anara Azalea menikmati potongan kacang almond ditangannya. "Almond itu bagian penting dalam tubuh kita. Bukan kacang almondnya, tapi bagian di otak kita yang berbentuk mirip almond." lanjut Nara. "itu amygdala, Ra." Ucap Cio. "Aku lebih suka panggilnya Almond." Nara tersenyum. "Biar aku bisa inget kalau Almond adalah rasa yang paling aku suka di dunia." Nara ...
Meet You After Wound
273      229     0     
Romance
"Hesa, lihatlah aku juga."
Jalan Yang Kau Pilih
1612      673     3     
Romance
Berkisah tentang seorang ayah tunggal yang mengurus anaknya seorang diri. Ayah yang sebelumnya seorang militer kini beralih profesi menjadi seorang pemilik kafe. Dia bertemu dengan wanita yang adalah wali kelas anaknya. Terlebih lagi, mereka adalah tetangga dan anaknya menyukai wali kelasnya itu.
Lost Daddy
5303      1200     8     
Romance
Aku kira hidup bersama ayahku adalah keberuntungan tetapi tidak. Semua kebahagiaan telah sirna semenjak kepergian ibuku. Ayah menghilang tanpa alasan. Kakek berkata bahwa ayah sangat mencintai ibu. Oleh sebab itu, ia perlu waktu untuk menyendiri dan menenangkan pikirannya. Namun alasan itu tidak sesuai fakta. AYAH TIDAK LAGI MENCINTAIKU! (Aulia) Dari awal tidak ada niat bagiku untuk mendekati...
ONE SIDED LOVE
1536      681     10     
Romance
Pernah gak sih ngalamin yang namanya cinta bertepuk sebelah tangan?? Gue, FADESA AIRA SALMA, pernah!. Sering malah! iih pediih!, pedih banget rasanya!. Di saat gue seneng banget ngeliat cowok yang gue suka, tapi di sisi lain dianya biasa aja!. Saat gue baperan sama perlakuannya ke gue, dianya malah begitu juga ke cewek lain. Ya mungkin emang guenya aja yang baper! Tapi, ya ampun!, ini mah b...
Diary Ingin Cerita
3463      1654     558     
Fantasy
Nilam mengalami amnesia saat menjalani diklat pencinta alam. Begitu kondisi fisiknya pulih, memorinya pun kembali membaik. Namun, saat menemukan buku harian, Nilam menyadari masih ada sebagian ingatannya yang belum kembali. Tentang seorang lelaki spesial yang dia tidak ketahui siapa. Nilam pun mulai menelusuri petunjuk dari dalam buku harian, dan bertanya pada teman-teman terdekat untuk mendap...
REWIND
14599      2104     50     
Romance
Aku yang selalu jadi figuran di kisah orang lain, juga ingin mendapat banyak cinta layaknya pemeran utama dalam ceritaku sendiri. -Anindita Hermawan, 2007-
Reaksi Kimia (update)
5887      1559     7     
Romance
》Ketika Kesempurnaan Mengaggumi Kesederhanaan《 "Dua orang bersama itu seperti reaksi kimia. Jika kamu menggabungkan dua hal yang identik, tidak ada reaksi kimia yang di lihat. Lain halnya dengan dua hal yang berbeda disatukan, pasti dapat menghasilkan percikan yang tidak terduga" ~Alvaro Marcello Anindito~
Nothing Like Us
36380      4562     51     
Romance
Siapa yang akan mengira jika ada seorang gadis polos dengan lantangnya menyatakan perasaan cinta kepada sang Guru? Hal yang wajar, mungkin. Namun, bagi lelaki yang berstatus sebagai pengajar itu, semuanya sangat tidak wajar. Alih-alih mempertahankan perasaan terhadap guru tersebut, ada seseorang yang berniat merebut hatinya. Sampai pada akhirnya, terdapat dua orang sedang merencanakan s...