Mentari cahayanya, di balik awan putih yang berlarian di langit pagi ini. Surabaya, bagi Maraja Surabaya adalah rumahnya. Rumah kedua setelah ia meninggalkan kota kelahirannya, Jakarta. Maraja masih terlalu kecil untuk menghentikan keegoisan Praja. Tentang dunia anak kecil yang tidak sesederhana yang orang dewasa pikirkan. Maraja meninggalkan Rasi Jakarta 1996. Maraja meninggalkan semua teman-temannya di sana. Banyak hal yang harus ia tinggalkan, ia lupakan bahkan ia anggap tak pernah ada.
Kini, Surabaya menjadi rumah. Membawanya ke dalam perasaan baru yang lebih menggairahkan. Menjadi pemain basket di sekolah. Menjadi bagian dari ruang merah putih yang paling menonjol. Bergabung dalam tim raksasa bernama Bumantaruna Surabaya 1997, tim junior U-12. Meskipun ia yang paling muda usianya, tetapi ia yang lebih banyak diandalkan. Maraja yang disayangi semua teman-teman dan guru-guru di sekolah. Ia bahkan menjadi tombak untuk tim junior.
Lantas, haruskan kembali pergi? Setelah menggapai langit, terbang setinggi angkasa. Apakah harus kembali ke bumi?
Maraja melamun di depan jendela, sayup terdengar suara dari lagu dangdut koplo dari rumah sebelah. Selain itu, ia pun mendengar suara tetesan air entah dari mana, berpadu gemerisik dahan dan suara anak-anak bermain begitu ceria.
Maraja menyeka kedua kelopak matanya yang mulai terasa pedih serta berkedut nyeri. Dari arah depan rumah, tampak segerombolan anak-anak laki-laki sebayanya berjalan sambil bercanda. Mereka membawa sebuah bola basket berwarna cokelat kucel. Kepala Maraja sontak terangkat, ia pun berlari ke arah pintu, menyambut mereka.
“Raja!?” panggil mereka dengan antusias.
Maraja berkacak pinggang, ia memandang dengan air wajah masam kepada mereka. Maraja menyahut, “Mau apa kalian ke sini?”
“Kenapa kamu nggak sekolah udah dua hari? Ibu guru mencarimu tau!” kata seorang anak laki-laki dengan rambut agaknya kribo. Namanya Nadikta.
“Aku sakit.” Maraja mendesis.
“Kamu nggak jadi pindah, toh?” lontar anak lainnya yang mengenakan bandana merah pada kepala plontosnya. Ia Parikesit.
“Iya, katanya pindah ke Jogja kata ibu guru!” Anak laki-laki dengan rambut lempeng belah tengah menatap keanehan. Ia yang bernama Sadewo.
Maraja menggulirkan kedua manik matanya. Bibirnya dipilin begitu rapat. Ia hanya berdeham pelan sembari kaki mengenakan sandal jepit yang terlihat paling merah di antar kaki-kaki temannya yang hany pakai sendal karet sepuluh ribuan.
Maraja keluar dari teras rumahnya, berjalan ikuti gerombolan teman-teman kelasnya yang juga anak ekskul basket sekolah, ya, beberapa seperti Parikesit dan Sadewo adalah anggota tim junior BSBY 1997. Maraja merasa kalau hari ini bukan hanya cuaca Surabaya yang murung, perasaanya pun murung. Maraja tidak mau meninggalkan kota besar ini, tempat singgah yang membawanya bertemu banyak hal baru. Akan tetapi, ia juga merasa telah mengecewakan sang ayah dengan pilihannya untuk tetap tinggal di Surabaya.
Bola basket mendarat di sisi kanan kepala Maraja yang melamun sambil menjentik-jentikkan telunjuk juga jari tangannya. Maraja terperangah, memekik ia seraya memegangi kepalanya yang terasa sakit.
“Main yang benar, dong! Jangan asal lempar!” omel Maraja sambil mendengkus. Alhasil, ia pun melemparkan bola di dekat kakinya ke anak-anak di hadapannya secara asal.
Parikesit mendesis. “Itu kamu yang salah, Nadikta mau lempar ke arah Sadewo kamu malah tetap berdiri di sana!” tegurnya.
“Lagian kamu kenapa, sih, Raja? Kamu sakit beneran?” tanya anak lainnya.
“Iya, kalau sakit kenapa main?” sindir Sadewo mendelik resek.
Maraja mengepalkan seluruh jarinya, otot-otot wajahnya mengeras. Maraja pun mendengkus lebih keras lagi. “Kalian yang datang ke rumahku!” pekiknya kesal.
“Kita cuma lewat, kebetulan kamu ada di teras.” Parikesit menjawab, “Toh, kita cuma nanya kenapa kamu nggak masuk sekolah. Bukan ngajak main!”
Maraja menghentakkan kakinya, ia pun melengos pergi dari kawanan Parikesit. Maraja merasa hatinya bergejolak, darahnya mendidih membuat kepalanya terasa begitu sesak nan berat.
“Raja!” panggil Sadewo sambil tersenyum. “Besok masuk, ya? Kita main di sekolah. Hari ini istirahat aja.”
Hujan. Seperti itu Maraja saat ini. Tubuhnya bak diguruy derasnya air mata langit dibersamai suara guntur, meskipun langit berangsur-angsur terik. Maraja menengadah sambil menahan rasa kesalnya. Ia benar-benar tidak mau meninggalkan Surabaya apa pun alasannya.
*****
Kelap-kelip lampu kota membuat Maraja termenung. Monumen Sura dan Baya berdiri tegak di depan matanya. Purwanti menolehkan kepalanya pada keponakan satu-satunya itu. Lajur motor yang dikendarainya memelan, lalu berhenti beberapa jenak.
“Kenapa, Raja? Kok, melamun? Biasanya kalau lewat sini heboh ingin berhenti sambil foto-foto?” lontar Purwanti padanya yang masih melamun.
“Ja? Raja?” panggil Purwanti lagi membuat Maraja tersadar sambil memandang bengong.
“Iya, Tante?” sahut Maraja dengan suara lirih.
“Tuh, mau mampir dan foto dulu, nggak?” tanya Purwanti menggulirkan kedua matanya ke arah monumen khas Kota Surabaya itu.
“Aku mau pulang aja, deh. Mau tidur capek habis latihan fisik sama para senior,” jawab Maraja dengan tatapan sendu.
“Kamu kenapa, sih? Masalah ayahmu, ya? Nggak apa, Le, kalau kamu nggak mau pindah ke Jogjakarta. Tante nggak keberatan, kok!”
“Tapi, diam-diam Ayah marah, Tante. Tapi, aku juga nggak mau bertemu teman baru dan baru lagi. Aku capek banget!”
Purwanti tertawa renyah. “Ayahmu nggak marah, kok. Ayahmu hanya sedikit kecewa sama dirinya, tanpa sadar dia udah bikin kamu sedih. Ayahmu malah berharap kamu bisa mengejar mimpumu, lebih jauh lagi, Raja!” kata Purwanti dengan lemah lembut.
Motor kembali melaju meninggalkan jalanan kota yang ramai. Dalam hati kecilnya, Maraja ingin membuktikan pada siapa pun yang ada kalau ia benar-benar tak akan mengecewakan siapa pun yang akan mengecewakannya. Maraja ingin membuktikan pada Praja kalau ia pasti bisa membanggakan dan mewujudkan mimpi besarnya menjadi pemain basket yang hebat walau ia mengecewakan sang ayah. Ia berjanji, kalau keputusannya bukan hal yang salah.
Setibanya di rumah, Maraja lekas membersihkan diri dan makan malam sederhana bersama sang ibu juga Purwanti.
Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Maraja bersiap untuk tidur, ia berharap esok pagi matahari akan bersinar dengan cerah menyambut dirinya yang tak jadi pergi dari kehidupannya yang menyenangkan ini. Maraja berbaring di ranjang sambil memandang ke arah dinding, di mana poster tim kebanggaannya terpajang di antara potret dirinya dan sang ayah juga sang ibu.
Kedua bola mata Maraja terpejam, sayup suara hujan turun. Tirai sesekali tersibak ketika angin bertiup cukup kencang. Hawa dingin menyelimuti Maraja. Meringkuk anak laki-laki itu di balik selimut tebal. Tidur lelap, mengatur cerita indah yang esok diharapkan akan hadir.
Terdengar suara derit pintu, membangunkan Maraja. Tampak Praja berdiri sambil membawa dua kotak di tangannya. Praja berjalan pelan sekali menghampiri ranjang sang anak. Sambil menunggu Maraja tersadar dari tidurnya. Praja mengedarkan pandangannya ke semua penjuru kamar Maraja. Kamar kecil yang dipenuhi pernak-pernik basket.
“Ayah akan pergi besok, Raja jaga diri, ya? Ayah percayakan semuanya padamu!” kata Praja mengecup kening Maraja.
“Ayah seperti akan pergi untuk waktu yang lebih lama aja!” gumam Maraja yang masih setengah ngantuk. “Seperti pencalonan kali ini akan berhasil aja!”
Praja terkejut, ia tidak menyangka kalau Maraja akan mengatakan hal seperti itu. Praja pun tertawa dengan renyahnya. “Kamu bisa aja. Kali ini Ayah akan berhasil. Kan, Raja juga akan berhasil sampai ke kejuaraan antar provinsi. Ayah pun, seperti yang kita bicarakan kemarin!”
Maraja tersenyum. “Aku lebih suka Ayah jadi ayah yang dulu. Bukan Ayah yang selalu pergi di balik bendera partai itu,” kata Maraja menatap dalam sekali.
“Kamu udah dewasa rupanya, Raja.”
Maraja hanya menyunggingkan senyuman kecut sebelum akhirnya kembali tidur karena ngantuk berat.