Read More >>"> Kiara - Sebuah Perjalanan Untuk Pulang (Waktu Selalu Tepat Waktu) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kiara - Sebuah Perjalanan Untuk Pulang
MENU
About Us  

Aku berlari melewati lorong-lorong itu, semua orang menatap ke arahku, Raka berlari di belakangku. Seketika langkahku berhenti, sosok seorang pria yang sangat aku kenal duduk memeluk kaki yang di lipatnya, wajahnya terlihat sangat hancur seperti kehilangan separuh jiwanya. Aku menghampirinya, tangisannya memang tak lebih pecah di bandingkan tangisku, tapi mata itu memunculkan rasa sakit yang amat besar. Dion, Dion nama yang terus di sebutnya, aku menjatuhkan diriku dan berusaha menenangkannya, aku memang belum memiliki seorang anak tapi aku tau persis rasa sakit itu seperti apa, ada tombak yang sangat tajam dan panjang seketika tertembak menusuk menembus jantungmu. Aku mendongakkan wajahnya yang terus dia tundukkan, semua akan baik-baik saja. untuk pertama kalinya aku melihat Ardy menangis terisak, Ardy yang kuat dan selalu bisa diandalkan seketika itu menjadi terlihat sangat rapuh tak berdaya. Aku tak melihat wajah teduhnya lagi yang biasa aku jumpai, tak ada yang lebih menyayat hatiku saat melihatnya menangis di hadapanku. Bunda berdiri beberapa langkah di samping Ardy, menangis tak berdaya di pelukan ayah, ada Mas Uus di samping ayah yang juga tertunduk lemas, aku berdiri menghampiri Bu Mar yang sama tak dapat menahan tangisnya, aku memeluknya dan seketika tangisnya ikut pecah. Raka masih berdiri di samping Ardy, dia berusaha kuat karena semua orang larut dalam tangisan, tidak ada yang bisa diandalkan saat ini kecuali Raka.

Semua orang masih berharap-harap cemas, sosok wanita dengan jas putih keluar dari ruang ICU. Raka dan Ardy bergegas menghampiri, dokter itu menjelas kan banyak hal. Yang aku dengar Dion kekurangan banyak darah, lukanya tidak merusak organ dalamnya tapi benturan yang dialaminya cukup keras sehingga dia membutuhkan darah, saat itu juga Raka pergi bersama dokter, Raka membiarkan darahnya itu mengalir di tubuh Dion, kebetulan Raka memiliki golongan darah yang sama dengan Dion. Setelah menunggu beberapa jam dokter itu keluar dan mengumumkan keadaan yang lebih baik dari sebelumnya, masa kritis itu pun berlalu. Kami bisa sedikit menghela nafas lega. Kami masih menunggu di luar ruangan sampai Dion benar-benar siuman dan bisa di pindahkan di ruang rawat inap.

“Minumlah kamu pasti haus” Raka menyodorkan minuman yang baru dia beli untuk sekedar membuat kami menjadi lebih tenang.

“Terima kasih Ka” aku mengambil beberapa botol minuman di tangannya dan membagikan kepada Bu Mar dan ayah juga bunda. Ardy masih duduk dengan tatapan kosong.

“Ini untukmu agar lebih tenang” aku menghampirinya, menyodorkan satu botol minuman ke arah Ardy yang sedang duduk di kursi.

“Terima kasih, hampir saja Ra, aku akan kehilangannya.” Sembari mencengkram botol di tangannya, Tatapannya masih kosong menatap ke arah ubin.

“Tidak Ar, kamu tidak akan kehilangannya, dia anak yang kuat sepertimu.” Aku menatap wajahnya yang masih terlihat lemas, kalimat itu keluar begitu saja. Ardy menatap ke arahku dan memelukku erat. aku menahan nafasku beberapa detik, mungkin Raka dan beberapa orang di sana melihat kami. Sungguh aku tak dapat melepasnya, pelukannya sangat erat, rasa sesaknya bisa aku rasakan sangat jelas.

Seorang perawat keluar dari ruangan Dion, Ardy melepas pelukannya. Perawat itu mengatakan Dion sudah siuman dan akan mulai di pindahkan ke ruang perawatan. Nafasku semakin lega mendengarnya, itupun karena senyuman yang terlintas di bibir Ardy. Menyatakan bahwa semua benar-benar sudah membaik. Kami sudah melewati waktu yang cukup berat khususnya bagi Ardy, semua rasa takut di kepala kami hilang begitu saja saat Dion sudah mulai membuka matanya. Perawat memindahkan Dion beberapa jam setelah Dion siuman dan benar-benar normal, hatiku sangat lega, aku tidak menyangka semua bisa terlewati dengan baik, memang tuhan selalu menolong umatnya yang tertimpa kesulitan. Kami bergegas menyusul masuk ke ruangan Dion, hal pertama yang aku lihat di sana adalah pandangan matanya saat memandang ke arah ku. Aku tau persis rasa senangnya melihat aku dan Raka kembali pulang, walaupun aku tidak terlalu suka dengan cara seperti ini, aku hampir kalap mendengar berita Dion kecelakaan, sungguh aku sangat benci mendengar kabar buruk yang mengharus kan aku pulang, saat kabar itu masuk kedalam telingaku wajah Priska terlintas di kepalaku, sebisa mungkin aku menghapusnya dan semua pikiran buruk itu berkumpul menjadi satu. Dion masih tertidur bersama Ardy yang duduk di sampingnya sembari memeluk hangat, rasa takut kehilangan sangat jelas terlihat di sana. Ayah, bunda, Bu Mar dan Mas Uus memutuskan pulang untuk mengambil beberapa pakaian Dion, sedangkan aku dan Raka masih tinggal di ruang itu menjaga Dion bersama Ardy.

“Sayang, kami pulang dulu ya, nanti kami kembali” bunda memelukku dan mereka berjalan pergi meninggalkan ruangan.

“Kamu gak ikut pulang Ra, kamu sama Raka pasti lelah?” suara Ardy menyambung, memerintahku dan Raka agar pulang, Ardy tau kami baru saja datang dan dari kemarin sama sekali tidak istirahat ataupun sekedar memejamkan mata.

“Biar kita di sini Ar, kita bisa bergantian menjaga, jika kamu lelah kamu bisa tidur” Raka menyaut menjawab pertanyaan Ardy, aku hanya mengangguk membenarkan ucapan Raka.

“Terima kasih, tapi kalian istirahat lah saat ini biar aku yang menjaga Dion, besok kalian bisa kembali.” Ardy masih keras, dia tetap akan menyuruh kami pulang. Aku dan Raka tidak ingin membuat Dion terganggu dengan pembicaraan yang kami buat, aku dan Raka memutuskan untuk pulang.

“Baiklah kami pulang, jaga dirimu baik-baik Ar” aku menatap Raka memberikan kode agar kami cepat pergi sebelum Dion benar-benar bangun karena suara kami.

Aku dan Raka keluar dari ruangan Dion, menyusul ayah dan bunda yang mungkin belum terlalu jauh. Aku masih ingin berada disini, tak tega rasanya meninggalkan mereka berdua. Tapi mau bagaimana Ardy memang keras dan mungkin dia ada benarnya juga agar Dion bisa lebih beristirahat tanpa diganggu banyak orang. Aku dan Raka sampai di parkiran tapi ayah dan bunda sepertinya sudah pergi, kami memutuskan untuk duduk di kantin dahulu karena sejak kemarin kami belum makan.

“Ada apa Ra?” Raka menatap ku yang sedang duduk dengan pandangan kosong.

“Aku takut terjadi sesuatu Ka” aku menundukkan pandanganku ke meja.

“Semua sudah berlalu dan akan baik-baik saja, oke.” Raka menggenggam tanganku meyakinkan, membuatku menjadi lebih tenang, memang semuanya sudah berlalu dan tidak akan terjadi apapun semua akan baik-baik saja.

                                                                              -

 

Suara kecilnya mulai kembali, menceritakan banyak hal kepada kami. Seketika kami semua tertawa di dalam ruangan memandangnya penuh rasa syukur, tak akan lagi kami biarkan Dion terluka. Dion sudah lebih baik dari kemarin-kemarin, makannya juga sudah banyak seperti biasanya yang membuat pipinya terlihat gembul dan menggemaskan. Bahkan saat Raka membawakannya cokelat kesukaan Dion dia sangat senang, Raka dan Dion terlihat sangat bersahabat.

“Permisi...ini makan siangnya.” Perawat masuk membawa makanan.

“Terima kasih ya Sus.” Aku membawa nampang berisi makan itu kemeja.

“Wah sudah sehat ya? Udah gak sakit?” suster menyapa Dion yang sedang duduk di atas kasur terlihat lebih bersemangat dengan cokelat di tangannya.

“Udah, Dion kan hebat.” Dion menyombongkan diri sembari tetap memandang cokelat yang di makannya seakan tak memperdulikan orang lain, kami semua tertawa melihat tingkahnya.

“Iya dong, kan ada ayah dan bundanya yang nemenin.” Suster itu berucap lepas dan sembari melangkah keluar pintu karena pekerjaannya mengantar makanan dan memeriksa infus sudah selesai. Seketika itu juga aku, Raka dan Ardy saling bertatapan salah tingkah, Dion terus memakan cokelatnya dan tidak memperdulikan apapun termasuk ucapan perawat itu.

Sore ini Dion sudah bisa pulang, sembari menunggu ardy menyelesaikan biaya administrasi aku membereskan pakaian dan barang-barang Dion, sedangkan Raka masih mengajak main Dion. Setelah Ardy datang dan menyelesaikan semuanya, kami keluar ruangan menuju tempat parkir yang disana juga Mas Uus sudah menunggu di mobil. Sampai di parkiran kami masuk ke dalam mobil dan jalan menuju rumah.

“Ante kalo Dion gak sakit ante pasti gak pulang?” Dion menatap polos yang sedari tadi duduk di tengah-tengah antara aku dan Raka.

“Dion” suara Ardy dari kursi depan terdengar, sedikit menengok kebelekang memerintah Dion agar tidak bertanya yang aneh-aneh.

“Kata siapa? Om tadinya mau pulang dan bawa mobil-mobilan” Raka menyambar berusaha mencairkan keadaan.

“Terus mana mobilnya Om?” pandangan Dion seketika di buang ke arah Raka, Dion sepertinya percaya dengan ucapan Raka.

“Ya gak ada, lagian dion sakit, Om belum sempat beli.” Raka memelaskan wajahnya sengaja membuat Dion kecewa. Dion menatap ke arahku ingin meyakinkan ucapan Raka kepadanya, aku hanya tersenyum kecil membuatnya yakin dan semakin kesal.

“Makanya Dion jangan sakit.” Mas Uus menambahkan, Dion semakin merasa bersalah karena sakitnya membuat dia kehilangan mobil-mobilan.

“Yaaah Om.” Wajahnya tertunduk, wajah Dion terlihat kesal. Kami hanya tertawa melihat ekspresi wajahnya yang berubah.

Sepanjang perjalanan Dion terus berbicara kami yang mendengar hanya tertawa saja, Raka sangat suka membuat Dion kesal dengan candaannya, jangankan Dion bahkan aku saja sering di buat kesal dengan ledekan Raka, tapi itu semua semata-mata agar membuat kami tersenyum. Sudah ku bilang, Raka selalu tau apa yang harus dia lakukan, jangankan membuat satu orang bahagia mungkin dia bisa membuat semua orang yang ada di sampingnya bahagia. Raka tau persis bagaimana membuat seseorang nyaman berada di sampingnya, walau hanya dengan cara sederhana.

Setelah beberapa menit kami sampai di rumahku, Dion minta untuk menginap di rumahku, Ardy tak bisa berbuat apa-apa hanya bisa meng-iya kan maunya, tau sendiri bagaimana Dion merajuk bahkan bunda saja selalu di buat kewalahan. Mungkin Dion senang karena ada aku dan khususnya raka temannya bercerita, bukan berarti Dion tidak menyukai Ardy, tentu saja anak itu sangat mencintai ayahnya, mungkin karena di rumah kami lebih banyak penghuninya jadi dion merasa lebih senang jika tinggal di rumahku, bahkan Dion menyuruh Ardy menginap juga.

“Dion mau ayah di sini.” Dion sekali lagi merajuk pada ayahnya.

“Sayang tapi...” ardy berusaha membujuk, tidak tau apa yang harus dilakukan.

“Tinggal lah sayang, mungkin dia hanya ingin lebih di perhatikan oleh banyak orang.” Bunda menyambung, bunda sendiri yang meminta Ardy tinggal karena tau persis sifat Dion, dia akan terus merajuk jika tak di turuti kemauannya.

“Baiklah bun, maaf jadi merepotkan.” Ardy menghela nafas panjang, menuruti kemauan anaknya.

“Tidak apa-apa.” Bunda tersenyum tipis.

“Hey jagoan mari istirahat, kalau mau mobil harus sembuh.” Kali ini Raka yang memerintah Dion untuk berbaring di kasurnya.

“Bener Om. Yee mobilannya jadi.” Dion bersemangat, segera berbaring dan tidur, kami keluar kamar. Bunda pergi ke dapur karena tau anaknya bertambah menjadi banyak di rumah, dia bergegas masak banyak makanan dengan porsi yang lebih karena ini sudah hampir menginjak sore. Aku, Raka dan Ardy hanya duduk di teras sekedar berbincang tentang pekerjaan, dan aku hanya duduk membaca buku yang ada di tanganku.

“Kamu membukanya sendiri?” Ardy bertanya ingin tahu.

“Tidak, berdua. Bersama Kiara. Kami membangunnya dari awal, dari semuanya kecil hingga tumbuh menjadi besar.” Raka tersenyum, bersemangat menjelaskan setiap bagian yang kami alami.

“Kalian hebat.” Ardy tersenyum kagum, sesekali mengangkat cangkir teh di depannya dan menyeruputnya.

“Apa semua hasil panen di jual?” Raka kembali menanyakan kegiatan Raka.

“Ya, hampir semua. Sisanya untuk stock dapur.” Ardy menjawab ringan, tau persis apa yang dia kerjakan. Raka hanya mengangguk.

Raka dan Ardy terus berbincang, aku masuk kedalam untuk menyiapkan makanan di atas meja. Sembari mengantar makanan ke kamar Dion, hari ini dia menjadi raja di rumahku, kami semua sangat memperhatikannya. Selesai aku menyuapinya makanan, Dion kembali tidur agar badannya fit benar. Semua orang tidur lebih awal malam ini, mungkin karena lelah. Ayah dan bunda juga memutuskan untuk tidur setelah beberapa menit makan dan sedikit berbincang dengan kami, Ardy masuk ke kamar Dion untuk menjaga serta tidur di sampingnya walau bagaimanapun Dion tidak bisa tidur tanpa ayahnya, Raka kembali ke kamarnya begitu juga dengan aku yang kembali ke kamarku. Sebenarnya masih pukul 8 malam masih terlalu sore untuk tidur, biasanya di Jakarta aku dan Raka baru selesai bekerja di kedai jam 10 malam, memang sih berbeda di desa jam segini sudah mulai sepi, hanya beberapa orang yang berkumpul di warung untuk berjaga, berbincang atau sekedar menonton sepak bola bersama.

Malam ini aku hanya menghabiskan waktuku membaca buku di dalam kamar sembari menunggu agar mataku cepat lelah dan mengantuk. Entahlah saat semua orang harus tidur cepat karena kelelahan, aku sama sekali tidak merasa lelah ataupun mengantuk, aku bosan di dalam kamar dan memutuskan keluar teras rumah untuk sekedar mencari angin. Saat aku berjalan menuju ke luar rumah, aku melihat bayangan seseorang yang sedang berdiri sendiri di teras. Aku berjalan mendekat dengan langkah yang hati-hati, bisa saja itu maling yang sedang mengendap ingin masuk ke rumah.

“Ardy.” Aku berbisik pelan.

“Kiara, belum tidur?” Ardy menolehkan wajahnya ke arahku, benar saja itu Ardy.

“Gak bisa tidur. Ngapain sendirian di luar?” aku bertanya bingung, sedikit ingin tahu. Apa yang ardy lakukan malam-malam di teras sendirian.

“Sama.” Ardy menjawab singkat.

“Gak pernah berubah.” Aku tersenyum tipis, memulai pembicaraan dengan sedikit lebih tenang.

“Apanya?” Ardy menatap bingung ke arahku.

“Jawabannya, selalu singkat. Pasti lagi ngerasa gak baik, kenapa?” aku berkata seolah tau segalanya tentang Ardy, memang tak bisa di pungkiri kami bersahabat sejak kecil, kami tumbuh bersama di desa ini maka apa kebiasaannya aku sudah sangat khatam begitupun sebaliknya.

“Kamu juga gak pernah berubah.” Ardy tersenyum tipis ke padaku, melengkungkan sedikit bibirnya ke kanan.

“Jakarta tidak cukup tangguh untuk merubahku Ar.” Aku menjawab senyum tipisnya yang menggantung di bibir.

“Kiara, apa kabar?” Ardy menatapku lamat-lamat, matanya berbicara banyak.

“Apa?” aku menoleh bingung, apa maksut ucapannya bukankah semenjak tadi kami banyak berbincang, atau aku hanya di anggapnya angin lewat.

“Dulu kita sering menghabiskan waktu di sini, sekedar bercerita hingga lupa waktu” Ardy tersenyum tipis, berusaha mengumpulkan kalimat yang tepat untuk diucapkannya lagi.

“Hahaha...iya..”

“Kenapa kamu pergi Ra, tanpa pamit padaku atau Andin?” Ardy menatapku tajam, suaranya terdengar lebih tegas. Akhirnya, pertanyaan itu muncul, ku dengar langsung darinya, pertanyaan yang selalu aku takuti jika aku harus kembali ke sini.

“Aku...hanya ingin mengejar impianku.” Aku tersenyum ragu, menjawab se kenanya. Ardy memandangku kesal, dia tau persis aku berbohong. Itu pun yang selalu aku katakan pada bunda jika ada yang bertanya tentang kepergianku malam itu. Alasannya sangat klasik, hanya sekedar merantau ke kota orang untuk mengadu nasib.

“7 tahun, tanpa kabar darimu. Kau pergi tanpa pamit dan menyembunyikan semuanya sendiri, sekian lama Ra.” Nafas Ardy menjadi lebih cepat, dia tidak bisa menahan semuanya lagi, itu tergambar jelas di matanya. Aku tidak akan bisa lolos dari pertanyaan nya kali ini.

“Aku tidak mengerti maksudmu Ar.” Aku berusaha menahan diriku, terus menghindari semua pertanyaannya.

“Kau tau maksudku Ra, 7 tahun lalu saat kau memutuskan untuk pergi.” Suara Ardy berhenti sejenak, mengumpulkan bagian-bagian yang agar tak satupun terlewatkan.

Aku tau persis, aku pergi dengan membawa hatiku yang hancur berkeping-keping. Pagi itu kau baru saja datang kerumah ku dengan wajah yang lesu, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun mengenalmu aku melihatmu menangis di hadapanku, bukan lagi menangisi kepergian ayahmu, tangisan itu untuk seorang gadis yang baru saja kami kenal di kampus, sahabat ku dan Ardy, wanita yang lembut, tutur kata yang sopan, dan postur tubuh yang ideal sebagai seorang wanita. Kau menceritakan bagaimana dia terbaring lemah di rumah sakit, leukimia yang sekian lama menggerogoti tubuhnya, untuk pertama kalinya kami tau penyakit yang terus Andin tutupi, bagaimana bisa seseorang yang disebut sahabat baru mengetahuinnya setelah beberapa tahun. Aku merasa wajar dengan keadaan itu, karena aku pun sama bersedihnya dengan Ardy. Tapi sore itu, kau melamarnya, di depan semua orang dan di depan mataku, wanita itu yang baru beberapa tahun kau kenal, sedang kan aku? ah sudahlah.

“Malam itu aku pergi kerumah mu, karena sejak sore saat kejadian itu aku sama sekali tak melihatmu. Aku datang kerumahmu, kau tidak ada di rumah, bunda hanya berkata kau ingin mengejar impianmu, tanpa pamit kepadaku? perlakuan bodoh macam apa itu.” Suara Ardy sedikit lebih tinggi, matanya memerah, suaranya bergetar, nafasku semakin sesak seperti ada yang menahan dadaku

Memang itu perlakuan yang bodoh, tapi itu satu-satunya caraku melindungi hatiku sendiri. Aku tersenyum melihatmu melamar Andin sore itu, aku sungguh sangat bahagia untuk kalian, tapi detik itu juga saat aku mengatakan aku baik-baik saja pada diriku, aku telah menikam hatiku sendiri, aku menghancurkan hatiku sendiri. Aku tak bisa menahan rasa sakit dihatiku, sungguh aku berbahagia untuk kalian, aku hanya tidak ingin merusak semuanya dengan pergi dari tempat itu dan lari pulang untuk benar-benar memutuskan pergi ke Jakarta.

“Aku sungguh tidak tahu apa yang terjadi padamu Ra, kau pergi begitu saja.” Ardy menghentikan ucapannya, melenan ludah, menanti jawabanku.

“Aku berbahagia untukmu Ar, sungguh.” Aku menundukkan wajahku, menyebutkannya dengan lirih di dalam hatiku. meyakinkan sekali lagi bahwa semua akan tetap baik-baik saja, tidak akan pernah ada yang berubah.

Ardy menatap tajam ke arahku, sesuatu yang penting akan terlontar dari bibirnya, aku memandangnya, mata itu, tatapan itu, masih sama, dan aku masih tidak bisa menebak apa yang akan dia ucapkan.

“Semua itu tidak benar-benar terjadi.” Ardy menghela nafas, menatap ke arah langit, mengingat-ingat kembali kejadian itu. Nafasku tertahan beberapa detik, masih menerka-nerka ucapan Ardy yang barusan dia lontarkan.

Tidak benar-benar terjadi, apa maksudnya. Apa yang sebenarnya Ardy ucapkan, sungguh ini membuatku semakin bingung. Pernyataan bodoh macam apa lagi ini. semua sudah jelas, aku pergi 5 tahun lalu meninggalkan Ardy dan Andin yang ingin menikah, karena aku tau aku tak akan sanggup menyaksikan mereka berdua berdiri di pelaminan, aku kembali kemari dengan banyak hal tak terduga, hingga aku bertemu Ardy kecil. Lalu apa yang tidak benar-benar terjadi itu, apa Ar apa?.

“Apa yang tidak benar-benar terjadi Ar?” Aku menatapnya bingung, meyakinkan apa yang aku dengar barusan.

“Entahlah..” Ardy menatap balik pandanganku, dia tersenyum. Seakan apa yang dia katakan barusan tidak ada artinya, sangat tidak penting.

“Aku serius.” Aku menatapnya tajam.

Ardy membuang pandangannya ke arah langit, yang sudah mulai larut malam.

“Apa kataku, ini sudah sangat malam, kita lupa waktu.” Ardy menjawab ringan

Aku membuang pandanganku ke arah langit, iya sudah larut malam.

“Tidurlah, kau pasti lelah kan.”

“Iya.”

“Mari.” Ardy menjawab singkat, dan melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam rumah.

Aku berjalan di belakangnya. Dan kemudian sampai didepan pintu kamarku. Dan Ardy didepan pintu kamarnya, dia tidur bersama Raka dan aku bersama Dion.

“Selamat tidur Ra.” Ardy berkata lirih sebelum masuk ke dalam kamar. Dan senyumnya yang menggantung itu pun tinggal di mataku.

Langkahku terhenti mendengar Ardy bicara, dan kemudian tersenyum ke arahnya, aku masuk kedalam kamar dan meninggalkannya yang juga masuk ke dalam kamarnya.

Aku membaringkan tubuhku di kasur, ucapan ardy masih terngiang-ngiang ditelingaku, masih berputar-putar difikiranku, membuat kepala ku sakit untuk sekedar memikirkannya. Tak lama aku mengantuk dan kemudian tertidur dengan pikiran yang masih tak bisa lepas, tentang ucapannya.

“Selamat tidur juga Ar.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Violet, Gadis yang Ingin Mati
3294      1282     0     
Romance
Violet cuma remaja biasa yang ingin menikmati hidupnya dengan normal. Namun, dunianya mulai runtuh saat orang tuanya bercerai dan orang-orang di sekolah mulai menindasnya. Violet merasa sendirian dan kesepian. Rasanya, dia ingin mati saja.
ALTHEA
68      51     0     
Romance
Ini adalah kisah seorang perempuan riang yang memiliki perasaan lebih ke manusia es batu, manusia cuek yang telah menyukai seorang perempuan lain di sekolahnya. Walaupun ia tahu bahwa laki laki itu bukan menyukai dirinya, tetap saja ia tak akan kunjung lelah untuk mendapatkan perhatian dan hati laki laki itu. Akankah ia berhasil mendapatkan yang dia mau? "Dasar jamet, bales chat nya si...
Aku Menunggu Kamu
102      91     0     
Romance
sebuah kisah cinta yang terpisahkan oleh jarak dan kabar , walaupun tanpa saling kabar, ceweknya selalu mendo'akan cowoknya dimana pun dia berada, dan akhirnya mereka berjumpa dengan terpisah masing-masing
Rumah (Sudah Terbit / Open PO)
2178      982     3     
Inspirational
Ini bukan kisah roman picisan yang berawal dari benci menjadi cinta. Bukan pula kisah geng motor dan antek-anteknya. Ini hanya kisah tentang Surya bersaudara yang tertatih dalam hidupnya. Tentang janji yang diingkari. Penantian yang tak berarti. Persaudaraan yang tak pernah mati. Dan mimpi-mimpi yang dipaksa gugur demi mimpi yang lebih pasti. Ini tentang mereka.
FIREWORKS
356      250     1     
Fan Fiction
Semua orang pasti memiliki kisah sedih dan bahagia tersendiri yang membentuk sejarah kehidupan setiap orang. Sama halnya seperti Suhyon. Suhyon adalah seorang remaja berusia 12 tahun yang terlahir dari keluarga yang kurang bahagia. Orang tuanya selalu saja bertengkar. Mamanya hanya menyayangi kedua adiknya semata-mata karena Suhyon merupakan anak adopsi. Berbeda dengan papanya, ...
RIUH RENJANA
313      237     0     
Romance
Berisiknya Rindu membuat tidak tenang. Jarak ada hanya agar kita tau bahwa rindu itu nyata. Mari bertemu kembali untuk membayar hari-hari lalu yang penuh Renjana. "Riuhnya Renjana membuat Bumantara menyetujui" "Mari berjanji abadi" "Amerta?"eh
Niscala
289      180     14     
Short Story
Namanya Hasita. Bayi yang mirna lahirkan Bulan Mei lalu. Hasita artinya tertawa, Mirna ingin ia tumbuh menjadi anak yang bahagia meskipun tidak memiliki orang tua yang lengkap. Terima kasih, bu! Sudah memberi kekuatan mirna untuk menjadi seorang ibu. Dan maaf, karena belum bisa menjadi siswa dan anak kebanggaan ibu.
Of Girls and Glory
2533      1201     1     
Inspirational
Pada tahun keempatnya di Aqiela Ru'ya, untuk pertama kalinya, Annika harus berbeda kamar dengan Kiara, sahabatnya. Awalnya Annika masih percaya bahwa persahabatan mereka akan tetap utuh seperti biasanya. Namun, Kiara sungguh berubah! Mulai dari lebih banyak bermain dengan klub eksklusif sekolah hingga janji-janji yang tidak ditepati. Annika diam-diam menyusun sebuah rencana untuk mempertahank...
The Black Heart
841      440     0     
Action
Cinta? Omong kosong! Rosita. Hatinya telah menghitam karena tragedi di masa kecil. Rasa empati menguap lalu lenyap ditelan kegelapan. Hobinya menulis. Tapi bukan sekadar menulis. Dia terobsesi dengan true story. Menciptakan karakter dan alur cerita di kehidupan nyata.
Tulus Paling Serius
1491      631     0     
Romance
Kisah ini tentang seorang pria bernama Arsya yang dengan tulus menunggu cintanya terbalaskan. Kisah tentang Arsya yang ingin menghabiskan waktu dengan hanya satu orang wanita, walau wanita itu terus berpaling dan membencinya. Lantas akankah lamanya penantian Arsya berbuah manis atau kah penantiannya hanya akan menjadi waktu yang banyak terbuang dan sia-sia?