Sore ini kedai ramai pelanggan, kami hampir kewalahan menanganinya, memang ini adalah weekend, banyak keluarga yang menghabiskan waktu berkumpul bersama di luar, entah berlibur, menonton atau sekedar makan, yang penting punya waktu berkumpul bersama setelah hari yang panjang dihabiskan untuk bekerja. Aku sibuk membantu di dapur dan Raka seperti biasa sibuk melayani pelanggan, setelah masalah kemarin kami jadi lebih berhati-hati dalam melayani pelanggan, pasalnya kemarin saat aku dan Raka meninggalkan kedai Mas Uus sedang tidak enak badan, pekerjaan itu diserahkan kepada salah satu pegawai kami, dia mengambil kesempatan itu untuk melakukan perbuatan di luar kepercayaan kami, makanan memang dikirim tapi bukan ke alamat yang dituju, Raka sangat marah besar saat itu saat mengetahui salah satu pegawai kami berbuat curang, pegawai itu mengakui keslahannya dia berdalih tidak memiliki uang, padahal kami membuka kedai ini dengan cara kekeluargaan, kami menganggap semua pegawai sama, jika butuh sesuatu bicara, tapi cara dia salah. Raka sangat kecewa dan marah hingga memecat pegawai itu.
Hari ini di dapur aku mencoba memasak makanan baru, roti bakar cinta aku menyebutnya. Seperti roti bakar biasanya, hanya saja bentuknya hati dan banyak akses warna merah di roti bakar buatanku, dan seperti biasa pula Raka adalah jurinya , setiap makanan yang ku buat harus melalui mulut Raka dulu, dari awal dia selalu yang paling aku percaya dalam hal rasa, karena lidahnya sangat peka dan makanan yang kubuat jika Raka bilang enak dan kami mulai menjualnya di kedai pasti selalu ada peminantnya, Raka memang yang terbaik dalam urusan mencicipi.
“Bagaimana Ka” aku menatap girang, tak sabar.
“Emmmm ehemmm...” Raka memutar bola matanya ke kanan dan ke kiri sambil mengunyah roti di mulutnya.
“Enaak gak Ka?” aku semakin dibuat penasaran.
“Emmm, enggak Ra” jawaban Raka sangat datar.
“Yaah, begitu yah” aku menghela nafas, wajahku tampak kecewa.
“Emmm engga...mungkin gak enak Ra. Ini malah enak banget” Raka tersenyum ke arahku, tertawa puas karena sudah membuatku tertipu karena ulahnya.
“Kamu Ka, nyebeliiin...” aku membuang muka ku yang mengarah kepadanya, berubah kesal.
Raka terus tertawa, dia terus meledekku. Dia sangat senang melihatku kesal memang. Beberapa pegawai yang melihat kami pun ikut tertawa seakan ikut di buat geli dengan tingkah Raka.
“Liat liat bibir kamu kenapa Ra, jadi lebih panjang 2 centi gitu” Raka benar-benar tertawa puas. Aku hanya diam melihat tingkahnya karena sudah terbiasa, bahkan sesekali menghela nafas dan bergumam kenapa bisa memiliki sahabat se-menyebalkan ini sih.
Semua orang sibuk dengan urusan mereka masing-masing, suara obrolan terdengar bersautan di kedai. Ada yang berbicara dengan ekspresi berlebihan, ada yang berbicara serius mengenai pekerjan, dan ada yang sekedar menertawakan kelakuan anaknya. Seperti Raka yang tak henti hentinya tertawa meledekku, di saung ini walau hanya ada aku dan Raka tapi rasanya ramai seperti para pelanggan yang membawa serta keluarganya. Aku sibuk memainkan laptop ku, mengabaikan ucapan Raka yang ke sana kemari dan mengangguk-ngangguk seakan mengerti apa yang Raka bicarakan. Tak lama telfon Raka berbunyi, wajahnya berubah masam. Itu Priska, wanita yang beberapa waktu lalu datang ke kedai. Raka mengangkat telfon itu dengan gemetar, ada suara tangisan didalamnya. Aku menghentikan kegiatanku sejenak dan menatap kearah Raka. Seperti ada sesuatu yang tidak beres terjadi disana, Raka menutup telfonnya dan bergegas membawaku pergi tanpa bertanya apa aku mau ikut atau menjelaskan apa yang terjadi. Kami pergi menaiki mobil Raka, dia hanya diam sepanjang perjalanan dan aku pun tak berani bertanya, mata Raka menatap tajam ke depan seperti ada yang terjadi dan ada yang benar-benar dia fikirkan. Sepanjang perjalanan aku hanya berkhayal, apa Priska ingin mengajaknya kembali atau mengancam bunuh diri atau.... ah semua pikiran itu merasuk ke otakku, aku pun ikut kacau dibuatnya, aku menjadi sangat cemas melihat Raka hanya diam dan menyetir dengan cepat.
Sekitar 35 menit kami sampai di depan rumah, entah rumah siapa. Aku berfikir ini pasti rumah Priska karena terakhir yang menelfon Raka adalah Priska, tanpa banyak bicara Raka mengajak ku keluar mobil dan masuk kerumah itu, rumahnya sederhana, banyak tanaman di depannya terlihat sangat asri, Raka mengetuk pintu rumah itu dengan ragu dan pintu itu pun terbuka, seorang wanita paruh baya keluar seperti terkejut melihat kedatangan kami, Raka hanya menunduk, seorang pria keluar dari rumah itu persis berdiri disamping wanita tadi, mereka menatap Raka terkejut dan seketika pria itu berkata dengan nada tinggi, mengusir kami keluar, aku berusaha menenangkan dan aku terdorong, Raka seketika menopangku membiarkan aku bangun dan menatap tajam ke arah pria itu.
“Cukup Om, maaf jika aku harus kerumah ini lagi, maaf jika kedatanganku merusak kebahagiaan kalian lagi, maaf jika aku benar-benar harus datang kemari lagi” Raka menatap pria itu dingin, seperti ada kebencian di matanya, ada sesuatu yang dia pendam dan pada akhirnya terluapkan.
“Aku kemari bukan untuk mengemis lagi, aku hanya ingin menyampaikan kabar, Priska menelfonku tapi bukan suara dia di dalam sana, itu salah satu perawat yang menangani Priska, perawat itu menelfonku atas keinginan Priska, Priska tidak ingin Om dan Tante tau....” Raka menelan ludah, berbicara sangat hati-hati.
“Saya takut melakukan kesalahan maka dari itu saya kemari untuk memberitahu Om dan Tante, Priska di rumah sakit Om, sebaiknya kita cepat kesana.” Raka mengatakan sesuatu di luar dugaan kedua orang tua Priska bahkan di luar khayalanku. Aku dan kedua orang tua Priska ikut terkejut mendengarnya, seketika air mata ibu Priska tumpah, ayahnya hanya bisa menopang dan memeluk tubuh lemah wanita itu, aku bantu menggandengnya, kami bergegas masuk mobil dan pergi kerumah sakit, masih seperti tadi Raka hanya dia dan fokus melihat ke arah jalan, aku yang duduk di sampingnya pun hanya menunduk diam tak tau apa yang harus di lakukan, sesekali hanya menengok ke belakang kearah wajah kedua orang tua Priska, sungguh rasa sakit yang amat besar terpancar dari wajah mereka.
Kami berlari cukup cepat menuju ruang UGD, entah apa yang terjadi di dalam. Dokter mengatakan sesuatu kepada Raka dan ayah Priska , aku hanya duduk memeluk ibu Priska yang menangisi keadaan anaknya, menatap ke arah dokter itu yang sedang menjelaskan sesuatu tapi percuma tidak terdengar sampai ke telingaku. Dokter itu kembali masuk, ayah Priska terlihat kacau dan Raka hanya menuntunnya agar lebih kuat, aku menatap ke arah Raka dia hanya menatapku dengan wajah memelas, aku masih belum tau apa yang terjadi, tiba-tiba badan yang di tutup kain putih itu di dorong keluar kamar UGD, tangis ibunda Priska semakin pecah, dia berteriak memanggil nama putri kesayangannya, ayahnya memeluk erat dan wanita itu terus memberontak, aku dan Raka hanya berdiri kaku, air mata itu keluar mengalir di pipi Raka begitupun denganku air mataku tak terbendung, melihat wajah ayah dan ibu Priska sangat hancur hati siapa yang tidak bergetar melihatnya, tangisan orang tua kepada anak yang mereka cintai. 2 orang pria dan wanita lari menuju arah kami, itu kakak dan kakak ipar Priska, mereka seketika menangis memeluk kedua orang tuanya, mobil jenazah itu siap didepan pintu ruang UGD dan Priska di dorong ke dalam mobil itu, tangisan mereka semakin pecah, mereka mengikuti di belakang mobil itu. Aku dan Raka pergi ke bagian resepsionis untuk mengurus biaya, Raka sebelumnya sudah berbicara dengan kakak Priska untuk menanganinya sementara mereka mengurus jasad Priska.
Aku dan Raka masuk ke dalam mobil, Raka diam sejenak tatapannya tajam mengarah jalan di depannya, keadaan di dalam mobil menjadi sangat hening, aku berusaha memecah keheningan, bertanya apa dia baik-baik saja , apa semuanya akan baik-baik saja, Raka hanya tersenyum ke arah ku. Aku sungguh tak bisa membaca hatinya, aku sungguh tak tau apa yang terjadi dan apa yang harus aku lakukan, memang aku tidak sehebat Raka yang selalu tau isi hatiku, selalu tau apa yang harus dia lakukan saat terjadi sesuatu padaku, sungguh aku benar-benar tidak tau. Kali ini aku hanya menundukkan wajah ku, aku menggenggam tangannya, meyakinkan bahwa semua baik-baik saja dan apa yang dia lakukan sudah benar. Mungkin jika aku ada di posisinya aku bisa saja langsung berlari pergi ke rumah sakit itu tanpa memikirkan apapun, tapi Raka berbeda dia selalu di luar fikiranku, Raka menghargai keberadaan keluarga Priska entah sebenci apapun Raka terhadapnya, entah semarah apapun Raka padanya, dengan segala kemampuannya Raka menghancurkan rasa takutnya untuk kembali kerumah itu, rumah yang dulu dia injakkan kakinya dan semua orang mentertawakannya, menghancurkan kebenciannya untuk berbicara langsung kepada kedua orang tuanya, sungguh aku bisa menjamin tak pernah ada laki-laki setulus dan sehebat raka yang pernah ku kenal di dunia ini, tak pernah meminta balasan dan hanya melakukan segala sesuatu sebaik mungkin.
“Dia menelfon ku Ra, Priska menelfonku dengan nada bicara yang sangat lemah, aku tau terjadi sesuatu padanya, dia tak ingin mengatakannya, dia hanya berkata jangan bicara apapun kepada orang tuanya, biar dia sendiri yang mengatakannya dengan ke hadirannya dirumah itu, agar mereka tau apa yang pernah mereka lakukan kepadaku, sungguh aku tak menginginkan ini Ra, aku memaafkan mereka dengan segala kekuranganku” suara Raka mulai bergetar, matanya memandangku penuh penyesalan, rasa sakit yang tak bisa diukur.
“Suara Priska terputus setelah dia mengatakan permohonan maafnya dan semua perlakuan keluarganya kepadaku, di sambung oleh suara perawat, dia berkata keadaannya sangat kritis, dia mengalami pendarahan.” Raka terdiam, menelan ludah, menghapus air mata yang membanjiri wajahnya, tanggannya masih menggengam erat tanganku.
Beberapa menit kami habiskan waktu di dalam mobil, menyakinkan sampai keadaan Raka baik-baik saja hingga dapat melanjutkan untuk menyetir, kami bergegas menuju ke apartment, Raka masih diam tak bersemangat, aku hanya diam sesekali menatap ke arahnya akupun tak ingin banyak bicara tak ingin mengganggunya. Kami sampai di apartment, sebelum keluar mobil Raka menahan tanganku dan berkata untukku menyimpan semuanya dan apapun yang terjadi hari ini tak akan merubahnya, aku masih tidak mengerti maksudnya, tapi aku mengangguk saja seperti maunya karena tau keadaannya belum baik benar.
-
Pagi ini aku datang terlambat, karena semalam mengerjakan keuangan kedai dan bahan-bahan makanan apa saja yang harus di beli untuk beberapa bulan kedepan. Semua pegawai sibuk mengerjakan bagian-bagiannya, Raka sedang berbicara dengan Mas Didit di meja kasir dengan beberapa pegawai dari jauh terlihat Raka sangat bersemangat menjelaskan sesuatu dan Mas Didit juga para pegawai lainnya serius mendengarkan. Beberapa dari mereka yang melihat kedatangannku seperti memberi isyarat kepada Raka dengan matanya, Raka membalikkan badannya ke arahku dan tersenyum manis. Keadaannya terlihat semakin baik setelah kejadian itu, terhitung 5 hari setelah kejadian itu raka menjadi lebih bersemangat tidak lupa juga dalam hal meledekku. Tapi pagi ini senyumannya berbeda, terlihat sangat berbinar-binar, sangat bersemangat berkali-kali lipat dari biasanya.
“Ada apa ini” aku menyapa riang.
“Gak ada apa-apa, ayok semuanya kembali ke tempat masing-masing” Raka bertepuk tangan memerintah Mas Didit dan yang lain untuk kembali ke pekerjaannya, mereka hanya tersenyum lantas pergi.
“Kamu lagi gak sakit kan Ka?” aku bertanya bingung melihat Raka yang tersenyum-senyum.
“Sehat Ra, sehat banget malah. Kamu tau gak?” suara Raka menjadi lebih bersemangat, sembari berbicara kami jalan menuju saung tempat kami biasa duduk.
“Tau apa?” aku menatapnya bingung.
“Tadi aku dapet telfon, minggu depan ada acara pernikahan dan makanan kita di minta untuk menjadi salah satu menu di acara itu, semakin hari semua berjalan semakin baik ya Ra” Raka bercerita puas, memang benar dari awal kami membangun semuanya susah senang kami lewati dan akhirnya semua bisa tercapai bahkan lebih dari ekspektasi kami.
“Syukur kalau begitu, tapi bukan biasanya juga kita dapet cathering sperti itu ka, kamu sepertinya terlihat sangat senang, memang ada yang berbeda”. Aku semakin di buat bingung, karena pasalnya kami sering menangani hal seperti itu jadi gak ada yang istimewa sepertinya.
“Ya memang” Raka tertawa puas lalu pergi begitu saja. Anak ini semakin hari semakin aneh, aku hanya menggelengkan kepala, sudah sangat biasa melihat Raka seperti itu, bahkan biasanya lebih aneh dari ini.
Siang ini kedai mulai ramai, banyak orang ingin makan siang seperti biasanya. Raka masih ikut serta mengurus melayani para pembeli, aku masih duduk dengan laptop ku di saung, mengetik hasil keuangan kedai yang harus aku lanjutkan semalam, sembari menghitung gaji bagi para pegawai karena ini sudah mau memasuki akhir bulan sesekali melihat ke arah tamu yang sedang makan dan melihat tingkat raka yang dengan semangat menjelaskan satu demi satu daftar menu di kedai kami, itu menjadi keahlian Raka. Bunyi telfon menghentikan jariku yang sedang mengetik, bunda. Aku terkejut, aku lupa untuk menghubungi bundaku dia pasti marah lagi padaku, aku pelan-pelan menjawabnya karena sudah yakin akan di marahi, tapi justru ada yang aneh disini suara nya berbeda itu bukan suara bunda, suara anak laki-laki menyapaku dari balik telfon.
“Halo..halo, mana Oma suaranya gak ada” suara Dion dan bunda yang ribut dari balik telfon.
“Aah iya, ini Dion yah? apa kabar sayang? “ aku memecah lamunanku karena terkejut Dion menelfon.
“Eh Ante, baik. Ante apa kabar? kok malam angkatnya” suara Dion terdengar sangat bersemangat.
“Baik, iya Ante lagi kerja tadi, maaf ya.” Aku menjawab pelan, membuatnya mengerti.
“Iya Ante, Ante kerja sama Om Raka ya? Om Raka mana?”
“Om Raka lagi kerja sayang, nanti di salamin yah.”
“Ante kapan ke sini, katanya balik lagi kok engak sih. Dion kangen, Oma juga, oh iya ayah juga. Waktu Ante pergi ayah diem terus.....sayang Oma pinjem coba” Dion menjelaskan dengan polos apa yang dia ketahui tapi dari ujung telfon suara bunda menghentikan ucapannya.
“Kamu baik sayang?” Bunda bertanya pelan suara Dion merajuk terdengar dari balik telfon.
“Baik Bun” aku menjawab singkat.
“Dion bertanya terus tentangmu jadi bunda menelfon, yasudah kalau begitu lanjutkan pekerjaanmu, jaga kesehatanmu sayang, nanti bunda dan Dion menelfon lagi” Bunda menerangkan dengan seksama dan menutup telfonnya seperti tau jam-jam segini aku sangat sibuk.
Aku masih menatap layar handphone, masih tak menyangka Dion menghubungiku. Dia anak yang manis, dia sungguh jalan untukku pulang kesana dengan hati yang tenang. Perkataannya membuatku sedikit berfikir, Ardy merindukanku? ah itu hanya ucapan anak kecil, mungkin juga apa yang dia katakan benar tapi tidak mengartikan apapun. Aku selalu seperti ini, memberikan harapan kepada hatiku sendiri, selalu salah menilai kebaikan orang. Bahkan Raka sering kesal saat dia mengajakku berbicara tentang sesuatu dan aku hanya membalas santai, bagi Raka aku sangat bodoh dalam hal menilai pandangan orang terhadap diriku sendiri, Raka memang benar, aku selalu salah menilai orang yang berbicara dihadapanku bahkan aku tak pernah tau apa yang mereka lakukan untukku atas alasan apa, aku hanya menilai sesuka hatiku, jika aku suka akan ku nilai baik.
Pekerjaanku selesai, Raka menghampiriku dan membawakan segelas teh hangat. Biasanya dia memang seperti itu selalu perhatian bahkan melebihi orang-orang terdekatku. Aku menceritakan kepadanya tentang Dion yang menghubungiku beberapa saat lalu dan memberinya salam rindu, Raka sama sekali tak terlihat terkejut sepertiku, bahkan dia sangat antusian mendengarnya, aku tidak sedikit bingung karena memang Raka pria yang sangat baik, dia selalu berfikir baik atas segala hal yang terjadi, dia bahkan pernah berkata segala sesuatu yang terjadi selalu ada sebab dan akibat, waktu selalu tepat waktu, jangan pernah menyalahkan waktu karena semua jawaban ada pada genggaman waktu, hanya saja kita harus lebih baik dalam cara memandangnya.
Aku dan Raka lanjut mengerjakan pekerjaan kami yang sempat tertinggal karena ke asikkan mengobrol di saung, Mas Didit tampak mulai kewalahan melayani tamu yang baru saja datang, sepertinya itu turis yang ingin makan di kedai kami, seorang pria berkulit putih dan rambut pirang dengan perawakan tinggi besar seperti bule pada umumnya, Raka sedikit tertawa melihat Mas Didit yang berusaha keras menjelaskan pada pria itu, aku menyikutnya memberi kode agar Raka cepat turun tangan kalau tidak akan lebih panjang urusannya, bagaimana tidak pria itu bertanya A dan Mas Didit menjawab B, Raka pun turun tangan memberi arahan serta mengajukan beberapa menu andalan di rumah makan kami, Mas Didit terlihat lebih bisa bernafas. Aku pergi ke dapur untuk memantau beberapa makanan yang sedang di buat di dalam. Baru saja aku hendak mengocok telur untuk di buat kue, Raka masuk dan menarikku keluar, dia selalu seperti itu membawaku pergi seenaknya tanpa bertanya dulu, bisa saja aku menjawab tidak kan.
Raka mengajakku keluar untuk mencari angin, lagi pula ada beberapa bahan yang harus di beli tapi tetap saja caranya memintaku untuk mengatarnya selalu membuatku kesal. Tapi semua selalu bisa terbayar, setelah keliling toko untuk mencari bahan yang di dapat Raka mengajakku ke taman, membelikanku es krim sebagai ganti rugi atas moodku yang dibuat kesal olehnya. Ini taman biasa kami jumpai, selain sebagai tempat penghilang penak jika sudah sangat lelah menangani pelanggan yang begitu banyak dikedai tempat ini juga cukup efektik untuk memakan es krim dan mengembalikan mood. Kami menghabiskan waktu cukup lama di taman, tak terasa waktu sudah hampir gelap pasti malam sampai kedai, walau hanya berjarak dekat tapi Jakarta ini tempatnya macet, waktu yang harus di tempuh setengah jam saja bisa menjadi satu jam mungkin lebih.
Aku dan Raka sampai di kedai, ada sesuatu yang berbeda di sana tidak seperti biasanya, kedai terlihat lebih gelap entah karena ada pemadaman listrik atau memang sengaja, tapi yang ku tahu ini masih setengah 7 belum waktunya tutup, aku dan Raka di buat bingung, pikiranku sudah kemana-mana dan panik terjadi sesuatu yang tidak di inginkan mungkin juga karena aku kebanyakan nonton film horor. Kami bergegas masuk dan ternyata memang ada pemadaman listrik bergilir. Beberapa menit setelah kami datang lampu langsung menyala. Aku bergegas masuk ke dapur, ikut membantu beberapa juru masak yang sempat kewalahan karena lampu padam, setelah beberapa jam aku menghabiskan waktu di dapur dengan kue-kue lampu seketika padam lagi, aku berjalan keluar dapur dan lampu menyala, mataku masih tak sepenuhnya melihat karena silau, tapi suara mereka semua menyadarkan ku, kedai menjadi sangat meriah dan ramai seperti pesta kejutan. Raka masuk dari arah kanan jalan membawa seikat bunga, aku masih sama sekali belum bisa menjabarkan semua ini satu persatu. Satu yang jelas, untuk malam ini dan pertama kalinya aku tau perasaan Raka padaku, dia melamarku di depan Mas Didit dan para pegawai, tidak ada pelanggan saat itu karena sepertinya sengaja di pesan Raka untuk malam ini saja. aku sungguh tertegun melihatnya, Raka yang biasanya rapih kali ini menjadi lebih rapih, aku hanya terdiam saat Raka berbicara banyak hal padaku, mataku memerah memandangnya, ini pertama kalinya ada seseorang yang mengungkapkan perasaannya dengan cara yang istimewa, tapi bukan itu permasalahnnya. Bagaimana aku menjawab semua pertanyaan Raka, dia tau persis semua lukaku, dia tau persis masa laluku, dan dia tau persi bagaimana hatiku. Raka kali ini benar-benar meyakinkanku, aku tidak mungkin menolaknya tapi Ardy, bahkan aku sendiri masih belum tau bagaimaa perasaanku saat ini. Semua orang bersorak mengatakan terima..terima...terima.
Aku memandang matanya lamat-lamat, pria itu yang memberikanku kebahagiaan, pria itu yang menerimaku dengan segala rasa sakit di hatiku, pria itu juga yang memberikanku harapan untuk tetap hidup di dunia yang kejam ini. Apa pantas wanita sepertiku yang tak terlalu bisa mengimbanginya itu harus menolaknya, sungguh pertanyaan raka membuat dadaku sesak, senyuman Raka menyadarkanku bahwa aku tak akan menemukan pria lain yang lebih tulus, baik, pengertian dan yang paling penting mengerti diriku apa adanya selain Raka. Semua orang seketika bersorak merayakan kegembiraan kami, jawaban itu seketika terlontar saja dari bibirku, Raka memelukku erat, aku menangis di pelukkannya.
“Oh tuhan, ampuni aku. Jangan biarkan aku melukai pria ini, biarkan aku mencintainya seperti semua yang sudah dia lakukan kepadaku, biarkan aku memberikan hatiku kepadanya agar dia merawatnya. Biarkan aku tetap memeluknya sebagai perempuan yang membuatnya bahagia, biarkan aku untuk tetap merawat lukaku dengan cinta yang baru. Lepaskan lah rasa sesakku ini tuhan, lepaskanlah. Biarkan malam ini aku tertawa lepas untuknya, biarkan malam ini dia melihatku terus tersenyum, jangan biarkan aku membuatnya hancur berkebing-keping (Lagi). Jika suatu saat nanti aku membuatnya menangis atau terluka, ku harap itu bukan karena ke bodohanku, ku harap itu bukan karena egoku, ku harap itu bukan karena aku benar-benar ingin melukainya. Biarkan setitik cinta yang ku tanam ini tumbuh tersiram pengorbanan, berkembang melalui kesabaran juga pengertian, dan mengakar juga tumbuh menjadi beberapa bagian yang berbuah manis untuk masa depan. Mulai detik ini, ku isi hatiku dengan namanya tidak dengan kekosongan.”
-
“Selamat pagi Tuan Putri” Raka menyapaku hangat.
“Selamat pagi” aku tersenyum hangat.
“Roti panggang selai strawberry kesukaanmu sudah siap.” Raka meletakkan piring-piring itu di atas meja.
“Emmm sepertinya enak” aku menyerobot roti yang baru di letakkan di meja, selain karena lapar ini juga favoriteku saat sarapan.
Raka tersenyum melihatku dia seperti sudah terbiasa dengan tingkah ku, semua yang dia lakukan untukku sangat sempurna tak pernah ada cela sedikitpun untuknya membuatku menangis, setelah semua hal yang kami jalani bersama dan setelah dia mengikatkan cincin itu di jariku semua berjalan lebih baik, semua terlewati dengan sangat baik. Aku merasa ini adalah keputusan yang tepat, apapun yang terjadi dahulu semua sudah terlampaui sampai detik ini.
“2 hari lalu Dion menelfon, dia kangen sama kamu Ka.” Aku memulai pembicaraan sembari mengunyah beberapa roti dimulut.
“Oh ya, aku juga kangen. Walaupun sering nelfon tapi denger suaranya bikin ingin memeluknya” Raka menjawab antusias.
“Aku juga sudah bicara dengan bunda” aku menatap ke arahnya. Raka hanya tersenyum ke arahku dan kembali memakan roti ditangannya.
Setelah beberapa hari yang lalu saat Raka menyatakan perasaannya padaku, aku bercerita banyak pada bunda, memang bunda senang mendengarnya tapi tetap saja seperti ada sesuatu yang bunda tutupi, bunda mengatakan kenapa cepat sekali. Bahkan bunda tau aku dan Raka bersahabat sejak lama mengapa harus bertanya seperti itu. Dan lagi-lagi bunda memintaku pulang, untuk sekedar melihat keadaannya dan berdalih dion ingin bertemu denganku. Memang aku, Raka dan Dion sering berbincang melalui telfon apa lagi Raka yang selalu antusias jika berbicara dengan Dion, mereka berdua seperti anak kecil yang sedang membicarakan mainan baru, sangat bersemangat dan tidak bisa diganggu.
Beberapa saat kemudian telfonku berbunyi, panjang umur. Kami baru saja membicarakannya bunda sudah menelfon, fikirku pasti Dion. Setiap pagi Dion selalu kerumah bunda untuk sekedar merajuk agar dapat menelfonku dan Raka. Setelah mengangkat telfon itu suasana menjadi berubah, ini bukan telfon yang ingin ku dengar, tidak ada suara Dion yang setiap pagi menyapaku. Seketika dadaku sesak, mataku memerah dan air mataku tumpah begitu saja, Raka berlari ke arahku.
“Ra kamu kenapa? ada apa? bunda ? atau Dion? Ra jawab?” suara Raka bergetar, melihat ke arah handphone yang ku pegang, jelas sekali tertulis BUNDA..
Raka menarik handphone di tangaku dan menaruh di telinganya, aku masih terbujur kaku dengan air mata yang terus mengalir, percaya tidak percaya. Raka menutup telfon itu dan memelukku erat, tangisanku semakin tidak terbendung, aku berteriak memanggil nama Dion. Raka terus memelukku, semua pegawai di sana menatapku bingung dan miris, Mas Didit lari ke arah kami membawa segelas air, tapi bukan itu yang ku inginkan, Raka berkata sesuatu dan menyuruh Mas Didit bergegas pergi, aku terus menangis bahkan semakin sesak, badanku lemas tak bertenaga. Bagaimana jika terjadi sesuatu padanya, kalimat itu terngiang-ngiang jelas di telingaku. Raka terus menenangkanku. Aku kalap, aku tidak perduli bagaimana orang-orang memandangku saat itu, aku terus menangis meluapkan semua kesedihanku. Raka bergegas membawaku pergi dari kedai, dan kami langsung menuju stasiun untuk pulang. Aku benci harus pulang dengan keadaan seperti ini lagi.