“Selamat pagi Ka”
“Hey, selamat pagi Tuan Putri” Raka menyapaku riang.
“Pagi-pagi sudah datang, rajin sekali. Kesambet apa, oh jangan-jangan karena ditemui perempuan semalem itu yah” aku semangat menjawab dengan sedikit ledekan.
“Tidak, aku ke dapur dulu yah melihat apa saja yang kurang untuk di beli” Raka menjawab malas dan bergegas pergi kearah dapur.
Sepertinya dia masih kesal dengan kejadian semalam, aku juga masih bingung apa yang sebenarnya terjadi dengan Raka, siapa sebenarnya wanita itu dan apa hubungannya dengan Raka. Kenapa raka gak cerita padaku, malah justru malas untuk membahasnya.
Aku juga heran kenapa harus keluar lelucon bodoh semacam itu.
“Mba Kiara, ini data pesanan yang mba minta untuk bulan ini” Suara Mas Didit menghentikan lamunan ku.
“Oh iya ,makasih ya Mas.”
Mas Didit ini memang salah satu pegawai terbaik kami, beliau orang pertama yang mulai bekerja pada kami, bisa di bilang orang kepercayaan. Jika aku dan Raka tidak ada di kedai Mas Didit ini yang menggantikan peranku dan Raka, selain bertanggung jawab mas didit ini juga sangat jujur jadi aku dan raka sudah menganggapnya seperti tetua atau paman kami, umurnya sekitar 45 tahunan tak heran jika pemikiran dan sikap dewasanya yang selama ini banyak membantu dan membimbing kami dalam membangun kedai bambu ini.
“Baiklah kalau begitu, saya permisi ke belakang dulu Mba, ada yang harus di kerjakan”
“Iya, sekali lagi terimakasih ya Mas Didit”
“Sama-sama Mba, jika perlu sesuatu saya ada dibelakang Mba.”
“Iya Mas, okay.”
Malam ini langit sedikit mendung angin bertiup hingga menusuk tulang, hujan datang seakan tak ada hentinya menangisi kepedihan, entah apa yang menyayat hati hingga sebegitu derasnya tetesan air membasahi permukaan, mereka berlarian mengejar teduh, mengutuk hujan yang terus datang, ada yang berharap ingin cepat pulang, ada pula yang tersenyum menikmatinya sembari memeluk kenangan yang lama menghilang dari angan. Lama ku tak mendengar kabar, sudah hampir 7 tahun tak melihat senyum teduhmu tawa renyahmu suara hangatmu, apa yang sebenarnya ku lakukan hingga membuat namamu terlintas dibenakku dan wajahmu menyapa fikiranku, membuatku tersenyum tipis dengan kalimat bualanmu, membuatku kembali berangan untuk sebuah peretemuan berujung indah. Aku tau tak mungkin kembali, sekeras apapun aku menarikmu masuk dalam hidupku engkau tetap enggan, begitupun aku yang tak berdaya oleh diriku sendiri. Tak bisa aku memaksamu kembali, sekalipun kau ingin itu tak mungkin terjadi. Bintangku telah lama hilang, dan kini aku tak menemukan cahayamu yang biasa menerangi pengharapanku, bukan karena terlalu banyak bintang yang lain tetapi karena aku sudah tak mengenal bintangku yang dulu, aku tau kau sengaja menutup diri bukan agar tak terlihat olehku, mungkin agar aku terbiasa melihatmu dengan pandangan yang berbeda, agar aku tak banyak tanya, agar aku tak mengusikmu, agar kau lepas dari tatapanku. Kamu mungkin berhasil, tapi cinta tak semudah itu kan, pergi karena diusir tinggal karena di suruh.
Terjebak hujan di pinggir kota diantara kemacetan, mungkin suatu hal yang membosankan. Terkadang sesuatu yang tidak menyenangkan itu justru menghasilkan banyak kenangan, seperti patah hati, jatuh cinta, rasa kesal, penantian, ah semuanya sungguh tidak menyenangkan namun tetap harus dirasakan karena jika tidak tentu saja kita bukan manusia yang masih diberi kehidupan. Harus menghabiskan waktu dikedai dalam keadaan hujan satu hal yang membosankan juga, tapi bagaimanapun itu tetap harus disyukuri, toh aku masih terlindungi dibawah atap dan sekat-sekat tembok yang menghangatkan, bagaimana jika diluar sana harus menatap hujan tanpa adanya atap untuk berlindung ,bahkan membayangkannya saja sangat tidak menyenangkan hati.
“Hey Tuan Putri, lagi ngapain ?” Raka datang dan menyapa.
“Eh kamu Ka, tidak ada hanya melihat hujan saja, sejak tadi sangat deras” Aku menjawab ringan.
“Emm iya tentu saja kau selalu menikmati saat hujan turun, apa istimewanya?”
Sangat istimewa, karena dari hujan banyak hal yang terhapuskan, entah itu jejak yang lama tertinggal atau rasa sakit yang terlihat, bahkan rindu yang menggenang suatu saat akan mengalir melalui hujan entah kemana perginya, dari hujan juga aku dapat menyembunyikan tangisan itu.
“Tidak ada yang istimewa Ka, hanya sejuk saja jika hujan sudah datang, butiran-butiran air yang turun seperti sudah melepas dahaga.” Aku menjawab seadanya.
“Iya benar sekali katamu, melepas dahaga.” Tatapan raka seketika terlempar keluar jendela ,menatap hujan dengan pandangan yang berbeda, seperti ada yang tertahan di matanya.
“Kau baik-baik saja Ka?” Aku bertanya hati-hati.
“Iya tentu, aku ingin bertanya padamu sesuatu.” Raka melempar pandangannya ke arahku, menjadi lebih serius.
“Apa?” Aku menjawab pelan
“Cinta dan Rasa Sakit itu apa menurutmu Ra?” pertanyaan Raka seketika membuat keadaan menjadi hening.
“Cinta ? Rasa Sakit?”
Pertanyaan bodoh macam apa yang diajukan Raka ini, apa dia benar-benar ingin menyudutkanku, ada apa dengan raka, kenapa harus pertanyaan seperti itu yang dia lontarkan padaku. Bahkan aku sendiri tidak tau apa itu cinta dan rasa sakit, semuanya sudah kualami bahkan lebih, jika aku harus menjelaskannya mungkin dapat kurangkum menjadi satu buah novel drama yang menyayat hati. Cinta? apakah seperti seseorang yang selalu ada didalam hatimu selama bertahun-tahun lamanya dan tak tergantikan oleh hal apapun, atau seperti sebuah keluarga yang utuh setiap saat tertawa bersama dengan banyak hal yang terjadi di hidupnya, seburuk apapun orang itu, sekejam apapun orang itu, sekeras apapun orang itu padamu tapi kau tetap ada di sampingnya setiap saat, apa seperti itu. Lantas apa itu Rasa Sakit? apakah seperti pergi dari desa yang sangat kau cintai karena sesuatu hal yang kejam dan melukai hatimu, terbaring selama berbulan-bulan lamanya menghindari banyak orang untuk melindungi sepotong hati, atau apakah rasa sakit itu seperti sebuah luka yang diukir oleh seseorang yang sangat kau percaya dengan justru menghancurkan kepercayaan dan semua harapanmu. Aku sungguh tidak mengerti pertanyaan yang raka berikan padaku ini, aku tidak bisa menjelaskannya, karena setiap orang memiliki cinta dan rasa sakit yang berbeda, begitu juga kalimat yang harus dijelaskan, pasti semuanya berbeda dalam mendefinisikan pertanyaan Raka ini.
“Ada apa Raka? kenapa bertanya seperti itu?” aku berusaha mengubah alur pembicaraan.
“Tidak haha.., sepertinya hujan sudah meracuni otakku Ra” Seketika Raka tertawa pelan dan sedikit menghela nafas.
“Apa karena wanita yang beberapa waktu lalu itu datang ke kedai? kau sedikit berubah semenjak kedatangannya?” aku bertanya sedikit menyudutkannya.
“Hmm...Iya sepertinya begitu.” Raka menghela nafas panjang-panjang, siap untuk mengeluarkan rasa sesak didadanya selama ini.
“Namanya priska dia adalah wanita yang sangat aku cintai dulu, kami berpacaran hampir 2 tahun lamanya, saat itu aku hampir menyelesaikan wisudaku, hubungan kami dari awal memang tidak direstui oleh keluarganya, mungkin karena aku hanya mahasiswa biasa, aku anak satu-satunya ayahku hanya karyawan biasa dan ibuku hanya ibu rumah tangga tak ada yang istimewa di hidupku, saat itu priska memutuskan untuk tidak berhubungan denganku tanpa sebab yang jelas, dua minggu setelah itu aku datang kerumahnya tapi entah ada apa didepan rumahnya sangat ramai seperti ada acara, aku menunggu sampai acara itu selesai dan berusaha masuk kerumahnya. kau tau apa Ra, wanita yang sangat aku cintai itu sedang duduk manis tersenyum riang di samping pria berkemeja rapih, ibunya membukakan pintu dan menyuruhku masuk, aku tidak tau apa yang sesungguhnya sedang terjadi aku hanya ingin mengatakan apa yang ingin ku katakan, aku meminta restu ayah ibunya tapi mereka justru mentertawakanku, mereka sudah menjodohkan anaknya dengan seorang pria yang jauh lebih mapan, dan acara itu adalah pertunangannya. Tentu saja mereka tertawa padaku, pria itu lebih mapan, bodohnya aku datang untuk mengambil anak gadis orang tanpa membawa apapun. Rasanya seketika sebuah tombak menikam hatiku, sangat sesak dan semua orang dihadapanku terlihat seperti sebuah bayangan terbelah dua, suara mereka perlahan menjadi sangat kecil ditelingaku” Raka menelan ludah, suaranya bergetar, hening sejenak sembari mengumpulkan bagian-bagian kecil cerita itu yang mungkin sempat dia buang jauh dan ingin lupakan.
“Aku melihat Priska hanya tertunduk tak berdaya disamping pria berkemeja rapih itu, tak ada yang dia lakukan dan dia hanya mengatakan “pergilah ka, lupakan semuanya” sungguh sangat mudah dia mengatakan itu, dan seketika perkataannya itu membuatku sadar, aku tidak ingin mati ditempat itu, aku bergegas pergi membawa potongan-potongan kecil hatiku yang baru saja mereka hancurkan dengan teganya. Setelah kejadian itu aku hanya berdiam dikamar, tak ada yang ingin aku lakukan selain menyambungkan partikel kecil dihatiku yang sudah hancur berantakan, itu mengapa aku telat wisuda, seharusnya aku sudah wisuda sama sepertimu tapi aku harus mengulangnya, dan ketika kau datang pertama kali dihadapanku, dan kau hanya berdiam diri di kamarmu dengan wajah kusam itu, aku seperti berkaca pada diriku sendiri Ra.” Raka menatapku prihatin. Matanya berkaca-kaca. Aku menantang pandangannya, melihat diriku di matanya yang saat itu terlihat berantakan.
“Maaf kan aku sebelumnya aku tidak bermaksut ikut campur urusanmu, tapi apapun yang terjadi padamu aku senang itu hanya bersifat sementara, dan nyatanya kau bisa hidup lebih baik dariku dan membangun semua ini dengan sempurna.” Raka menatapku tajam dengan mata memerah dan sedikit melempar senyuman dibibirnya.
“Terimakasih Ka, semua itu juga karenamu, aku...mungkin aku datang kemari bukan dengan keadaan yang baik dan utuh, tapi kau membuatku menjadi bagian yang utuh lagi , menawarkan banyak hal baru di hidupku, terimakasih Ka.” Aku menatapnya hangat seperti memang benar aku juga merasa sedang berkaca jika melihat wajahnya saat ini, aku tidak menyangka dia bisa menyembunyikan semuanya dengan rapih, tanpa tercecer. Tawanya selalu membuat dirinya seperti tidak memiliki masalah yang berat.
“Tidak perlu berterimakasih, semua memang sudah seharusnya terjadi kan Ra, tuhan menawarkan seseorang yang salah terlebih dahulu lalu memberikan seseorang yang benar untuk mendampingi hidup kita kelak, tergantung bagaimana kita bisa menyikapi itu atau tidak.” Suara Raka terdengar lebih bik dari sebelumnya.
Menawarkan orang yang salah, bukankah cinta itu tidak pernah salah. Mungkin bagi Raka wanita itu adalah masalalunya yang salah, tapi bagiku semua adalah benar, cinta selalu menawarkan kejujuran hati, jikapun berbohong itu tidak akan lama, siapapun yang mencintai pasti adalah orang-orang yang jujur pada hatinya, jika tidak bagaimana bisa dia mengatakan itu cinta. Jangan pernah menyalahkan cinta karena sebuah kesalahan, cinta itu anugerah setiap orang akan melindunginya sekuat mereka mampu jika tidak mungkin itu bukan cinta yang layak diperjuangkan, karena ada banyak alasan mengapa seseorang itu berdusta padamu, semua itu terlepas dari kata cinta.
“Apa kau membencinya Ka?” Aku bertanya ragu.
“Iya, sangat membencinya. Tapi itu dulu. Sekarang tidak, aku justru kasian padanya. melihat wajah itu dulu tersenyum dihadapanku, sekarang justru seperti menahan banyak luka. Tapi itu pilihannya, aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi.”
“Kenapa ? bukankah cinta harus diperjuangkan. kau mungkin tidak bisa mengubah masa lalunya, tapi setidaknya kau bisa memperbaiki bagian-bagian yang patah di hatinya.”
“Tidak Ra, sudah bukan tugasku. Aku sudah berlari sangat jauh tak mungkin aku kembali untuk satu alasan bodoh. Ini hidupku, dan disini ada hati yang sedang aku lindungi.” Raka menatapku lamat-lamat.
Andaikan rasa sakit itu seperti luka terjatuh karena naik sepeda, mungkin tidak terlalu lama menangggung luka, mungkin akan lebih cepat kering, mungkin akan lebih cepat hilang. Rasa sakit di hati tidak semudah itu, aku menyelami hatiku sendiri namun aku masih tak tau apakah aku membencinya, orang yang sudah aku cintai selama bertahun-tahun itu, tapi melihat Raka seperti ini, aku tau persis bagaimana luka di hatinya yang menimbulkan rasa sakit yang begitu dalam, Raka merawat lukanya sendiri tanpa bantuan siapapun, tak ada yang menyangka pria berhati lembut itu memiliki rasa sesak yang tak ada satupun orang mengerti, tak heran jika dendam itu tumbuh tapi sebaik-baiknya tak pernah ada rasa dendam di hati, dan Raka mengajarkan itu padaku, dia menghancurkan sendiri dendam di hatinya saat orang yang dia cintai tertunduk rapuh tak berdaya dihadapannya, sungguh aku sangat beruntung memiliki Raka.
“Ra, aku ingin ke dapur? mau secangkir kopi?” Raka perlahan berdiri meninggalkan perbincangan kami seperti ingin menyudahi yang sudah terjadi.
“Emmm...boleh juga Ka, hujan seperti ini paling enak menyeruput secangkir kopi hangat. Jangan terlalu manis yah Ka.” Aku menjawab cepat, aku pun tau Raka tak ingin melanjutkan perbincangannya, jadi lebih baik mengikuti maunya.
“Tentu Tuan Putri, yang manis itu tidak selalu bertahan lama, jadi yang apa adanya saja.” Raka tertawa puas, dia selalu tau cara mencairkan keadaan yang beku.
“Baiklah mas Raka.” Aku dan Raka tertawa geli mendengar percakapan kami sendiri.
Meninggalkan meja kami, jauh raka melangkah ke arah pintu dapur. Aku masih terduduk manis di samping jendela menatap keluar untuk memastikan hujan sudah berhenti atau belum, tapi rasanya hujan akan mengguyur kota jakarta semalaman ini, tak ada tanda-tanda hujan ingin cepat berhenti. Tak apalah, setidaknya malam ini aku ,Raka dan para pegawai kedai bekerja ditemani rintikan hujan, walau tidak begitu ramai kami bisa sedikit beristirahat karena semenjak pagi tadi tubuh kami tak ada hentinya melayani, mungkin hujan ini menyuruh kami semua untuk sedikit beristirahat dan memberi waktu untuk menikmati mereka.
Lihat saja dibalik jendela, sepercik air menyapa mengalir tanpa pernah takut akan kemana mereka terbawa. Sebagian menggenang, seperti rinduku yang tak banyak orang perduli, semakin lama akan habis terbawa teriknya sinar mentari.