Wisnu dan Tama berlarian bersama setelah turun dari mobil menuju sebuah ruko yang kini telah dipenuhi orang-orang. Garis polisi menjadi pembatas yang tidak boleh dilalui, hanya petugas forensik dan pihak kepolisian yang diperbolehkan melewatinya.
Wisnu menetralkan napas begitu sampai di depan mayat yang hendak dibawa naik ke tandu. Tangannya bergerak membuka resleting kain penutup mayat, sementara matanya sudah menyelami luka tusukan di perut mayat tersebut.
"Ini ulah Srigala," kata Wisnu.
Tama mengangguk setuju. "Lo benar, selama ini Srigala itu pasti mencari sesuatu hingga dia sampai di sini."
"Tam, CCTV."
"Di dalam sini ada satu," tunjuk Tama ke pojok atas ruangan. "Tapi percuma, udah dirusak. CCTV di gang depan cuma nunjukin kalau si srigala itu datang dari sana, nggak ada sikap berarti."
"Ambil juga dari jarak agak jauh, mungkin kita tahu dia pergi ke mana."
Tama mengangguk patuh menerima perintah Wisnu, "siap!"
Keduanya berbarengan pergi keluar dari ruko. Tama pamit untuk memeriksa CCTV sesuai keinginan Wisnu, sementara Wisnu sendiri masih mengamati ruko dari depan dengan raut menelisik.
"I-ini nggak mungkin..." Sebuah suara lirih terdengar yang membuat Wisnu seketika mengenalinya. Lelaki itu pun menoleh ke sumber suara, terkejut mendapati gadis itu berada di sana.
"Mbak Nita," sapa Wisnu riang.
Nita membola kala menemukan Wisnu di hadapannya. Itu berarti semua kejadian ini ada sangkut pautnya dengan pembunuhan sebelumnya?
"Mbak Nita mengenal korban?" tanya Wisnu setelah mengamati mata Nita yang berkaca-kaca.
"Saya salah satu pelanggan di laundry ini, sudah sangat lama. Bagaimana bisa beliau jadi korban? Apa salahnya?" Nita bertanya-tanya mengapa pemilik laundry itu ikut ke dalam jajaran korban pria bertato srigala itu.
Tangan Wisnu bergerak secara impulsif mengusap bahu Nita dengan tulus. Dia sungguh tidak ingin melihat gadis di depannya amat tertekan. "Kami berusaha menyelidikinya. Dari hasil pengamatan sudah dipastikan bahwa pelaku tengah mencari sesuatu yang tak sengaja dihilangkan."
"Sesuatu yang dihilangkan?"
"Ya, itu bisa dilihat dari pola pembunuhannya. Sebelumnya dia juga mengobrak-abrik seisi TKP setelah membunuh korban." Wisnu mengakhiri penjelasannya dengan terus memberikan tepukan hangat di bahu Nita. Entahlah, pengamatan yang biasanya tidak dia beritahukan pada siapapun selalu lancar diucapkan di depan gadis itu.
"Bu laundry, semoga Ibu mendapat tempat yang baik di sisi Tuhan." Nita merapalkan doa sembari memperhatikan spanduk di atas ruko dengan air mata yang meleleh tanpa gadis itu sadari.
"Mbak Nita, mari ikut saya." Wisnu tak perlu menunggu jawaban Nita, ia langsung menggamit lengan gadis itu dan membawanya pergi.
Wisnu mengajak Nita ke sebuah minimarket. Dia membelikan minuman dingin pada gadis itu untuk menenangkannya. Tak lupa Wisnu juga membelikan tissue karena melihat Nita menangis tadi.
Keduanya duduk berhadapan di meja bundar depan minimarket. Wisnu langsung membukakan penutup botol minuman kepada Nita, menyuruh gadis itu meneguknya.
"Pak, terima kasih banyak untuk minuman dan tissue-nya," ujar Nita.
Wisnu melebarkan senyum. "Sama-sama. Mbak sudah agak tenang?"
"Iya, saya sudah tenang."
"Mbak sepertinya sangat dekat dengan pemilik laundry itu ya?"
Nita menarik napas perlahan sebelum menjawabnya. "Beliau sangat ramah dan peduli sama saya, sampai-sampai saya menganggapnya seperti ibu saya sendiri. Itulah kenapa saya langsung berlari ke toko laundry saat melihat berita di televisi."
"Maafkan saya yang belum bisa menangkap pelakunya sampai sekarang, Mbak."
"Eh, ini bukan salah Bapak." Secepat kilat Nita menolak permintaan maaf Wisnu. Detektif itu tidak salah sama sekali, baginya si pelakulah satu-satunya yang patut disalahkan. "Bapak nggak salah, kok, kenapa minta maaf? Kalau belum tertangkap hari ini, besok pasti berhasil. Kalau besok gagal, pasti besoknya lagi berhasil, dan seterusnya. Bapak tidak usah merasa bersalah, semua pasti akan ada jalan keluarnya. Selama Bapak berusaha, Tuhan pasti akan memberi jalan."
Kelopak mata Wisnu seakan berat untuk berkedip. Selama Nita berkata, lelaki itu hanya sibuk memperhatikan dan merasakan degup jantungnya yang mendadak bertalu.
Senyum Wisnu kini semakin lebar. "Wah, saya merasa semangat kembali, Mbak. Terima kasih, kalimat Mbak sangat menenangkan."
Mendengar itu Nita mendadak malu dan salah tingkah. Kenapa setelah kejadian dia baru menyadari sudah berkata-kata dengan panjang lebar. "Ah, Bapak tidak perlu berterima kasih."
"Sejak awal bertemu, Mbak Nita selalu manggil saya Bapak. To be honest, saya nggak setua itu, kok."
Nita membelalak saking terkejutnya. "Bukan begitu maksud saya, Pak. Saya manggil Bapak supaya sopan saja."
"Kalau begitu, karena kita sudah sering bertemu, bagaimana kalau Mbak Nita panggil saya Wisnu saja?"
"Apa tidak apa-apa?" tanya Nita khawatir. Bagaimanapun juga lelaki di depannya ini adalah seorang polisi.
"Tentu saja, saya rasa kita akan lebih akrab menggunakan panggilan biasa."
"Baiklah," ucap Nita setuju.
Wisnu berdeham sekali, lalu mengulurkan telapak tangan kanannya di depan Nita. "Perkenalkan, namaku Wisnu Abdi Gunawan, panggil saja Wisnu."
Awalnya Nita merasa tidak enak, namun dia akhirnya mengikuti intruksi Wisnu untuk berjabat tangan dan berkenalan secara resmi sekali lagi. "A-aku Nita Khoerul Nisa, panggil saja Nita, jangan panggil Mbak."
"Ah, maaf, hehe." Wisnu tertawa menyadari panggilan anehnya selama ini.
"Ngomong-ngomong, Mbak—eh, maaf. Nita, kamu sebelumnya mengenal Fathir secara pribadi?" tanya Wisnu penasaran. Topik ini sungguh mengganggu pikirannya selama ini. Akhirnya kini dia menemukan waktu yang tepat untuk bertanya.
Nita menggeleng cepat. "Nggak, aku juga nggak tahu kenapa dia sangat ngotot bilang kalau dia kenal denganku."
Wisnu berdecak. Tiba-tiba dia menjadi kesal mengingat tingkah aneh jaksa itu. "Jangan didengarkan, emang jaksa gila tuh orang, mesum. Kalau sampai dia menganggumu lagi, hubungi aku secepatnya. Aku kan polisi, pasti bisa melindungimu."
"Hehe, iya, oke."
Kesempatan yang datang tidak akan Wisnu hindari begitu saja. Dia pun segera merogoh ponselnya dan menyerahkannya kepada Nita. "Boleh bertukar nomor HP? Biar kalau ada apa-apa kamu bisa menghubungiku segera, begitupun sebaliknya."
Keduanya saling pandang dalam tiga detik, kemudian terkekeh bersamaan. Tidak ada yang lucu, hanya saja masing-masing dari mereka sadar kalau pertemuan mereka terkesan unik.
###
Walaupun pemilik laundry itu bukan siapa-siapa, Nita tetap merasa berduka. Itulah mengapa saat pergi ke kantor Nita terus saja memasang raut murung. Bayangan pembunuhan tadi pagi membuatnya sangat terpukul.
Pembicaraan dengan Wisnu di depan minimarket berakhir kala Nita menginterupsi bahwa dia harus segera berangkat ke kantor. Wisnu menawarkan dirinya mengantar Nita dengan mengeluarkan segenap tenaga membujuk gadis itu. Akhirnya pun Nita setuju diantar Wisnu.
Keduanya saling melambaikan tangan di depan kantor Y3 Publisher tempat Nita bekerja. Seluruh karyawan di sana saling berbisik rendah membicarakan hubungan asmara Nita yang aslinya belum tentu benar. Nita tidak menanggapi hal itu, biarkan saja mereka bebas berpendapat.
"Ekhem, tadi diantar siapa tuh?"
Nita melempar roti yang dia ambil dari meja pantry begitu mendengar godaan tak jelas dari Rena. Keduanya tengah mengisi energi di kafetaria kantor, tak berniat menghabiskan waktu istirahat di luar seperti biasanya. Rena masih sibuk menyiapkan materi untuk seminar bersama Kak Wina, sedangkan Nita harus menyiapkan sesuatu untuk kompetisi menulis tahunan yang akan datang nanti.
"Anda admin lambe turah di Y3 Publisher ini, wahai Rena?"
Rena terkikik bangga melihat rekan sekaligus temannya itu bermuram durja digosipkan seluruh penghuni kantor. "Padahal gue berniat menyerahkan diri pada detektif ganteng itu kalau lo nggak nyuri start, Nit. Tapi mau gimana lagi, doi sukanya sama lo. Gue akan menerimanya dengan lapang dada, asalkan sahabat gue ini bahagia."
"Stop Rena! ih, jijik banget dengarnya," timpal Nita.
"Udah deh, lo nggak usah tutup-tutupin sesuatu dari gue. Kita udah kenal lama semenjak masuk ke kantor ini. Lo nggak ngomong aja gue tahu isi hati lo."
"Lagak lo, Ren. Tapi kalau kali ini lo bilang gue sama detektif itu ada hubungan spesial, lo salah besar. Belum sejauh itu, woy!"
Rena menganga kaget. Dia buru-buru menutup mulutnya yang terbuka lantaran tak ingin dilihat karyawan lain yang lewat untuk mengambil biskuit. "Belum? Itu berarti akan," ucap Rena berspekulasi.
"Aduh capek banget gue sama lo," pasrah Nita.
"Tapi jujur sih Nit, lo jangan sia-siain kesempatan inilah. Detektif lho ini Nit, gila lo kalau sampai nolak," cerca Rena serius.
"Apaan sih lo?"
"Atau jangan-jangan," Rena berdiri dari duduknya, mendekati Nita yang masih sibuk menyeduh kopi. Gadis itu berbisik di telinga Nita agar pembicaraan mereka tidak sampai ke telinga orang lain. "Lo sukanya sama si jaksa itu?"
"Heh, mana ada? Ngaco!" bentak Nita refleks.
Rena tertawa ngakak. Aduh, Nita yang marah-marah begitu adalah alasan mood Rena naik. "Gue dukung lo sama yang duitnya lebih banyak, Nit."
"Dih, ngaco!"
"Jangan lupa pajak jadiannya ya, sahabat."
Nita yang sudah kesal segera membawa cup berisi kopinya meninggalkan Rena di kafetaria. Sementara temannya itu malah tertawa sendirian tanpa memperhatikan sekitarnya yang sudah menatap aneh sejak tadi.
###
Fathir keluar dari kantor kejaksaan dengan helaan napas berat. Mendadak dia bingung harus ke mana. Kemarin malam dia tidak pulang, alias tidur di ruang kerjanya. Namun, malam ini dia tidak mungkin tidur lagi di kantornya. Apalagi kalau bukan karena kekurangan alasan. Dua jaksa penyidik di ruangannya akan terus meminta Fathir pulang, tanpa tahu bahwa dia baru saja diusir dari rumah.
Drrt... Drrt...
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Fathir baru saja mendapat pesan dari seseorang, lalu dia seperti menemukan jalan keluar terbaik untuk masalahnya.
From: Ganta
Thir, gue udah di Jakarta, coy. Mampir sini ke apart gue.
Tanpa menunggu lama, lelaki itu segera berlari ke parkiran untuk menaiki mobilnya. "Tuan Fathir," seseorang bersetelan jas hitam menyapa dengan sopan sembari mendundukkan kepala.
"Tuan Amartha yang memerintahmu ke sini? Untuk apa?" tanya Fathir.
Laki-laki bersetelan jas hitam tak menjawab, dia hanya mengangkat telunjuk untuk diarahkan pada mobil di sampingnya.
Fathir menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Baru saja dia merasa beruntung karena Geby mengembalikan mobil itu kepadanya, kini Fathir harus rela memberikan mobil itu pada ayahnya.
"Ya, nih, ambil saja, ambil." Fathir menyerahkan kunci mobil kepada suruhan ayahnya. "Dan katakan pada tuanmu itu bahwa saya tidak akan kembali ke rumah kalau tetap dipaksa menikah dengan gadis yang tidak saya cintai."
"Baik, Tuan Fathir. Anda—"
"Apa lagi?" jengah Fathir.
"Anda tinggal di mana?"
"Apa tuanmu juga memata-matai saya?"
Laki-laki bersetelan jas hitam berjengit kaget. Dia buru-buru menggelengkan kepala, tanda bahwa kalimat Fathir tak benar. "Maaf, ini murni saya sendiri yang penasaran, Tuan. Saya khawatir pada Tuan Fathir."
Kening Fathir berkerut. Ternyata masih ada juga orang yang khawatir padanya. "Apa kamu mau memberi saya tempat tinggal dengan bertanya begitu?"
"Kalau itu yang dibutuhkan Tuan Fathir, saya—"
Fathir mengangkat telapak tangan dan menghentikan kalimat orang di hadapannya. "Tidak perlu, tidak apa. Saya sepertinya sudah punya tujuan akan ke mana."
"Baik, Tuan. Jika Tuan butuh sesuatu, saya siap membantu. Saya ingin sekali bisa membantu Tuan Fathir sesuai dengan amanah Pak Kian."
"Tunggu, Pak Kian?" seru Fathir terkejut. Sudah lama dia tidak mendengar nama itu.
"Iya, dia sekretaris pribadi Tuan Fathir sebelumnya, kan?"
"Bagaimana kamu mengenalnya? Apa kamu tahu di mana Kak Kian berada saat ini?" tanya Fathir beruntun.
"Maaf, saya sudah dua tahun tidak mendapat kabar darinya. Tapi, terakhir kali saya tahu, Pak Kian bilang dia tinggal di kampung halamannya bersama keluarga."
Fathir menepuk lengan lawan bicaranya. Ada harapan paling besar yang dia langitkan malam ini untuk mencari jawaban yang hilang. "Kamu bilang tadi mau membantuku atas amanah Kak Kian, kan?"
"Tentu, Tuan Fathir. Saya bisa dipercaya, Tuan Fathir jangan khawatir."
"Kalau begitu bisakah kamu mencari tahu keberadaan Kak Kian?"
"Siap, laksanakan, Tuan!" seru laki-laki bersetelan jas hitam itu dengan raut senang.
"Terima kasih, hubungi saya secepatnya." Fathir mengulurkan kartu namanya pada laki-laki itu. "Oh iya, siapa namamu? Kamu orang baru, kan?"
"Subhan, bodyguard yang baru bekerja dua tahun, Tuan Fathir."
Dia tidak tahu mengenai masalah sewindu yang lalu, pikir Fathir.
"Oke, Subhan. Mohon bantuannya ya."