Read More >>"> Memoreset (Segera Terbit) (7. Jaksa dan Detektif) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Memoreset (Segera Terbit)
MENU
About Us  

Sewindu lewat dua tahun berlalu dengan penuh rasa sesak, Fathir sadar dengan itu. Bukan tidak pernah dia melupakan semuanya. Lelaki itu berusaha semaksimal mungkin melupakan masa lalu, namun ternyata Tuhan memang tak pernah mengizinkannya. Semua jawaban itu musnah ketika Fathir menemukan masa lalu itu sendiri.

Dia menemukan titik terang setelah kegelapan melanda lebih dari sewindu. Usahanya yang selalu gagal untuk berpaling tak membuatnya kecewa, justru Fathir merasa itu adalah anugerah. Mungkin kemarin dia kurang dalam berjuang. Mungkin kemarin dia kurang dalam menjaganya. Mungkin kemarin dia kurang dalam segala hal. Fathir yakin seratus persen bahwa ada yang tidak beres pada masa lalunya.

"Pak Fathir." Sebuah panggilan membuat seluruh lamunan Fathir hilang. Lelaki itu mendongak kemudian.

"Oh, kenapa?"

"Bapak harus lihat berita sekarang, biar saya nyalakan televisinya."

Fathir membelalak menyaksikan berita yang tengah disiarkan di televisi. Tangannya bergerak impulsif memijat pelipis. "Sial," umpatnya rendah.

"Kejadian ini tidak menimbulkan kecurigaan apapun oleh para tetangga. Pelaku menjalankan aksinya menggunakan sebuah pisau yang ditemukan tergeletak di samping korban yang ditutupi selimut. Detektif yang menangani kasus pembunuhan ini menduga bahwa ada yang tengah dicari oleh pelaku utama dari kasus sebelumnya, yaitu pembunuhan berantai oleh si tato srigala..."

Menit berikutnya Fathir menyambar ponsel dan kunci mobilnya untuk dia masukan ke dalam saku jas yang dikenakan. Dia berdiri cepat setelah menyimak berita itu.

"Pak, anda mau ke mana?" tanya Arsyad.

"Ke TKP."

"Haruskah saya ikut, Pak?"

Fathir menggeleng cepat. "Kamu di sini saja, selesaikan kasus yang lain. Saya akan melihat keadaan sendirian, tetapi kabari apapun pada saya jika ada informasi."

"Siap, Pak!"

Perjalanan memakan waktu lima belas menit. Fathir sampai di depan rumah yang kini dipenuhi garis polisi. Dia disambut dua detektif yang dikenalnya semenjak kasus pria bertato srigala ditangani.

"Ada yang janggal dari kasus ini." Alih-alih menyapa dengan salam atau menanyakan kabar, Wisnu malah melemparkan pernyataan seperti itu.

"Akhirnya setelah beberapa korban berjatuhan, pria srigala itu menghilangkan jejak."

"Exactly!"

"Saya ingin masuk ke dalam."

"Mari," ajak Wisnu.

Ketiganya berjalan bersisian menuju rumah korban. Petugas forensik tersebar ke beberapa sudut ruangan untuk menemukan sesuatu. Fathir berjalan memasuki salah satu ruangan yang ternyata adalah sebuah kamar. Ruangannya berantakan sekali, isi lemari pakaian berhamburan. Begitupun kamar di sebelahnya, seolah-olah pelaku mencari barang berharga hingga harus menghancurkan seisi rumah.

"Saya yakin pria srigala itu tidak menemukan apa-apa."

Wisnu mengangguki ucapan Fathir sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Tama di sebelahnya hanya sanggup menelan ludah. Jika otak Wisnu dan Fathir transparan, Tama yakin sekali isinya tidak jauh berbeda.

"Jika dia harus membunuh seluruh keluarganya, benda itu pasti bukti penting seluruh pembunuhan yang dia lakukan sejauh ini," tambah Fathir.

"Berarti pria bertato palsu yang ditembak kemarin mengambil benda itu dengan sengaja, lalu menyembunyikannya?" seru Tama setelah memahami maksud Fathir dan Wisnu.

Tanpa perlu mengiyakan respons Tama, baik Fathir dan Wisnu lebih memilih menyelami pemikiran masing-masing. Sedetik berikutnya, Fathir dan Wisnu sama-sama mengubah ekspresi mereka dengan raut tegang.

"Nita!" seru dua lelaki itu bersamaan.

"Kenapa dengan Nita?" tanya Tama tak paham. Dia merasa seperti orang bodoh di antara dua orang itu.

"Saya akan pergi untuk memastikan keadaan gadis itu." Wisnu menoleh pada Fathir yang sudah menahan lengannya.

"Biar saya saja, kamu selidiki CCTV yang bisa diakses dari depan gang."

"Dengar itu Tam, segera selidiki." Wisnu menatap tajam mata Fathir, tetapi berkata kepada Tama.

"Siap!" Tama memberi hormat pada Wisnu dan segera berlari keluar dari rumah korban.

"Sudah, kan, Bapak Fathir yang terhormat?" Dengan sekali sentakan, Wisnu berhasil menyingkirkan cekalan tangan Fathir. "Saya akan menemui Nita dan memastikan keadaannya."

"Kenapa harus kamu?" tanya Fathir tak terima.

"Apa itu harusnya kamu?"

"Ya, saya yang akan ke sana. Kamu tidak perlu sampai sekhawatir ini, Nita adalah tanggung jawab saya."

Wisnu hampir melepaskan tawanya saat mendengar penuturan Fathir. "Tanggung jawab? Memang Bapak siapanya?"

"Dia orang yang penting bagi saya, sangat penting."

"Tapi bukannya—"

"Permisi," potong Fathir cepat dan segera berlalu dari sana meninggalkan Wisnu yang masih mematung.

"Salah makan tuh jaksa, dasar modus."

Dipikirkan berapa kalipun sikap Fathir sangat aneh di mata Wisnu. Mereka sama-sama bertemu Nita kemarin lusa, bagaimana mungkin lelaki itu mengklaim tanggung jawab secepat ini?

 

###

 

"Nitaaaaaaa!"

Nita hampir saja menjatuhkan cup berisi kopi yang baru saja dia seduh di kafetaria kantor. Meskipun seluruh makanan dan minuman di sana gratis, Nita tetap tak rela jika sampai kopi di tangannya tumpah.

"Nit, lo gila!"

"Apa sih, Ren? Kalau gue gila, gue pasti nggak bakalan kerja keras kayak gini," sungut Nita.

"Lo kenapa nggak cerita sama gue kalau lo juga deket sama salah satu putra dari keluarga Amartha?"

"Hah? Siapa? Amartha? Orang terkaya nomor empat se-Asia Tenggara itu?" Nita menepuk kasar bahu temannya yang heboh tidak jelas itu, kemudian terkekeh. "Kalau iya, bukan gue yang gila, tapi lo!"

"Ih, serius!"

"Gue juga serius, Rena goblok!"

"Gue lebih serius!" tantang Rena tak mau kalah. "Ada putranya Amartha noh di lobi nyariin lo!"

"Heh, siapa kata lo?"

Rena berdecak, geram dengan kinerja otak Nita yang mendadak lelet. "Putranya Amartha Wirawan, Fathir Helando Amartha, dia nungguin lo di lobi!"

Nita tidak tahu siapa itu Fathir Helando Amartha. Dia juga tidak kenal dengan putra dari orang terkaya nomor empat se-Asia Tenggara itu. Nita tidak terlalu mengikuti berita seperti Rena yang selalu update, namun dia terpikirkan satu orang ketika Rena menyebut nama Fathir. Hanya satu Fathir yang dia tahu, jaksa aneh yang kemarin lusa dia temui.

Maka, Nita segera beranjak dari hadapan Rena setelah memberikan cup kopi pada gadis itu. Langkahnya melaju dengan cepat menyusuri koridor yang kanan dan kirinya adalah ruang tiap divisi.

Sesampainya di lobi, Nita memang menemukan jaksa bernama Fathir yang dia kenal. Itu berarti lelaki yang sekarang sedang duduk di sofa depan meja tamu itu adalah putra dari Amartha Wirawan. Pertanyaannya adalah; untuk apa Fathir Helando Amartha datang mencarinya?

Fathir langsung berdiri ketika menemukan Nita yang berjalan perlahan menghampirnya. Lelaki itu tersenyum hangat sekali, sanggup membuat beberapa orang yang berlalu-lalang di sekitarnya ikut tersenyum.

"Hai, maaf aku terlambat, Nit."

Nita mengerjapkan mata setelah mendengar kalimat Fathir. "Terlambat untuk apa, Pak?" tanya gadis itu tak paham.

"Terlambat menemukan kamu."

"Saya yang terlambat, Bapak Fathir yang terhormat." Fathir menoleh cepat ke samping kanannya sebab dia merasa familier dengan suara yang baru saja menyela itu. Benar saja, Wisnu kini berdiri di tempat yang sama dengannya setelah beberapa menit yang lalu berhasil dia tahan untuk tidak bertemu Nita.

"Kok kamu ke sini?"

"Memangnya kenapa? Ada aturan kalau saya tidak boleh bertemu Mbak Nita?" Wisnu melotot kesal pada Fathir. Selanjutnya, detektif tampan itu menggeser netranya untuk melihat Nita. "Selamat siang, Mbak Nita."

"Siang, Pak Wisnu."

Fathir menarik lengan Nita untuk memberikan jarak yang lebih panjang dengan Wisnu. "Kamu tidak perlu modus ya, Detektif Wisnu!"

"Modus apanya, Jaksa Fathir?"

"Biar saya yang memastikan keamanan Nita, kan sudah saya bilang kalau dia itu tanggung jawab saya."

Nita yang sibuk memperhatikan cekalan tangan Fathir di lengannya pun mendongak pada lelaki itu. Aneh sekali, entah kenapa cekalan Fathir seperti dikenali olehnya. Nita seperti pernah digandeng oleh lelaki itu.

"Bodo amat sama tanggung jawabmu itu, saya juga ke sini untuk memberitahunya sesuatu."

"Biar saya saja, toh garis besarnya sama, kan?"

Wisnu melirik cekalan tangan Fathir di lengan Nita, lalu menariknya untuk dipisahkan. "Semua ini berlebihan, Jaksa Fathir."

"Saya ingin membicarakan hal yang serius dengan Nita, kamu tidak perlu ikut campur."

"Soal keamanannya, kan? Biar saya saja," tolak Wisnu. Dia sudah jauh-jauh mengejar Fathir, jadi dia tidak akan membuang kesempatan dengan membiarkan Fathir mendekati Nita.

"Bukan itu saja, ada hal yang lain. Ini urusan saya dan Nita, kamu tidak perlu terlibat," ucap Fathir.

Nita mendadak sadar bahwa dia dan dua lelaki itu menjadi tontonan orang-orang. Gadis itu harus segera memutuskan sesuatu untuk membuat Wisnu dan Fathir berhenti berdebat. "Maaf sebelumnya, Pak Fathir, Pak Wisnu," sela Nita. Dua lelaki itu berhenti berdebat, lalu menatap Nita bersamaan.

"Saya sepertinya paham kalian akan memberitahu soal apa. Pasti memastikan apakah saya diganggu atau tidak oleh pelaku kemarin, kan?"

Wisnu dan Fathir mengangguk bersamaan. Nita mengambil oksigen sebentar sebelum kembali membuka suara. "Terima kasih atas perhatian Pak Fathir dan Pak Wisnu. Syukurnya saya baik-baik saja, tidak ada kejadian aneh lain setelah hari itu. Saya juga tidak melihat wajah pelaku sedikitpun. Jadi, saya rasa pelaku itu tidak akan mengincar saya."

"Apa kamu menemukan sesuatu? Apapun itu di hari kamu bertemu pria srigala dan komplotannya. Kamu melihat atau menemukan sesuatu dari pria yang ditembak?" tanya Fathir.

Nita menggeleng pelan. "Tidak, Pak."

"Syukurlah, sepertinya pria yang ditembak menyembunyikannya di tempat lain," timpal Wisnu.

"Baiklah, kalau sudah selesai saya akan pamit untuk kembali bekerja."

Fathir menarik lengan Nita, menahan gadis itu. "Tunggu Nit, ada yang ingin aku bicarakan."

"Soal apa, Pak?"

"Soal kita."

Nita tidak mengerti maksud Fathir. Dia dan jaksa itu saja baru kenal beberapa hari, lalu apa yang harus dibicarakan soal mereka?

"Ayolah Pak Jaksa, secepat ini Bapak akan mengungkapkan perasaan? Bukankah terlihat aneh, Pak?" celetuk Wisnu yang mulai merasa geli dengan sikap Fathir.

"Pak Fathir," panggil Nita pelan. Dia kembali merasa gelisah oleh sentuhan tangan Fathir di lengannya. Otaknya tidak tahu apa-apa, namun respons tubuhnya berbeda. "Saya dan Bapak baru kenal tiga hari ini, lalu apa yang perlu dibicarakan soal kita, Pak?"

"Lihat noh, Mbak Nita ketakutan lihat kamu!" geram Wisnu.

"Sekarang kita memang baru kenal tiga hari, tapi sewindu lewat dua tahun yang lalu kita sudah banyak menghabiskan waktu bersama." Fathir meluruhkan cekalannya ke telapak tangan Nita, lalu menambahkan telapak tangannya yang bebas hingga kini telapak tangan Nita berhasil dia genggam. "Ini aku Fathir, Nit. Aku pulang, kamu nggak mungkin melupakan aku, kan?"

Nita menarik kasar tangannya. Dia tidak ingin  ada salah paham dengan lelaki itu. "Pak, saya rasa Bapak salah orang. Saya—"

"Nggak, Nit. Saya sangat yakin, kamu adalah Nita-ku."

Karena tidak sanggup menghadapi Fathir yang terus menganggapnya orang yang dikenal, Nita melompat ke belakang tubuh Wisnu. Gadis itu merasa Wisnu pasti bisa membuat Fathir berhenti melakukan hal aneh.

"Pak Jaksa, saya rasa ini keterlaluan. Bapak tidak seharusnya membuat Mbak Nita ketakutan seperti ini. Kalau dia bilang dia tidak mengenal Bapak, itu berarti dia bukan Nita yang anda kenal. Saya rasa Bapak cukup cerdas untuk mengerti ucapan saya. Saya ini pakai bahasa manusia kok, Pak."

Nita menyembul sedikit dari balik punggung tegap Wisnu untuk mengintip ekspresi Fathir. Lelaki itu terlihat sedih sekali, Nita dapat merasakannya hanya dengan melihat kedua mata itu. Entah apa masalah yang tengah dihadapi jaksa muda itu hingga harus melibatkannya yang tak tahu apa-apa.

"Saya rasa pembicaraan sudah selesai. Kalau begitu saya pamit untuk kembali bekerja, permisi." Nita langsung pergi dari lobi demi menyudahi semuanya. Gadis itu sama sekali tidak tertarik dengan masalah Fathir.

"Ayo pergi, Pak Jaksa," ajak Wisnu.

Fathir menatap tajam Wisnu yang sudah menggagalkannya berbicara dengan Nita. "Harusnya kamu pergi dari tadi tanpa mengganggu urusan saya, Wisnu."

"Wisnu?"

"Saya tidak bisa menghormati orang yang tidak bisa menghormati orang lain, minggir." Fathir memasukkan kedua tangannya ke saku jas dan berlalu dari sana.

Sementara itu, Wisnu masih tercengang di tempat setelah Fathir hanya memanggilnya dengan nama saja. "Oke, mulai sekarang saya juga panggil Fathir saja, dasar jaksa sinting!"

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Acropolis Athens
3801      1650     5     
Romance
Adelar Devano Harchie Kepribadian berubah setelah Ia mengetahui alasan mendiang Ibunya meninggal. Menjadi Prefeksionis untuk mengendalikan traumanya. Disisi lain, Aram Mahasiswi pindahan dari Melbourne yang lamban laun terkoneksi dengan Adelar. Banyak alasan untuk tidak bersama Aram, namun Adelar terus mencoba hingga keduanya dihadapkan dengan kenyataan yang ada.
Warna Jingga Senja
4396      1214     12     
Romance
Valerie kira ia sudah melakukan hal yang terbaik dalam menjalankan hubungan dengan Ian, namun sayangnya rasa sayang yang Valerie berikan kepada Ian tidaklah cukup. Lalu Bryan, sosok yang sudah sejak lama di kagumi oleh Valerie mendadak jadi super care dan super attentive. Hati Valerie bergetar. Mana yang akhirnya akan bersanding dengan Valerie? Ian yang Valerie kira adalah cinta sejatinya, atau...
Anak Magang
45      42     1     
Fan Fiction
Bercerita sekelompok mahasiswa yang berusaha menyelesaikan tugas akhirnya yaitu magang. Mereka adalah Reski, Iqbal, Rival, Akbar. Sebelum nya, mereka belum mengenal satu sama lain. Dan mereka juga bukan teman dekat atau sahabat pada umumnya. Mereka hanya di tugaskan untuk menyelesaikan tugas nya dari kampus. Sampai suatu ketika. Salah satu di antara mereka berkhianat. Akan kah kebersamaan mereka ...
CHERRY & BAKERY (PART 1)
3622      891     2     
Romance
Vella Amerta—pindah ke Jakarta sebagai siswi SMA 45. Tanpa ia duga kehidupannya menjadi rumit sejak awal semester di tahun keduanya. Setiap hari dia harus bertemu dengan Yoshinaga Febriyan alias Aga. Tidak disangka, cowok cuek yang juga saingan abadinya sejak jaman SMP itu justru menjadi tetangga barunya. Kehidupan Vella semakin kompleks saat Indra mengajaknya untuk mengikuti les membuat cu...
PEREMPUAN ITU
485      324     0     
Short Story
Beberapa orang dilahirkan untuk membahagiakan bukan dibahagiakan. Dan aku memilih untuk membahagiakan.
Renjana
397      298     2     
Romance
Paramitha Nareswari yakin hubungan yang telah ia bangun selama bertahun-tahun dengan penuh kepercayaan akan berakhir indah. Selayaknya yang telah ia korbankan, ia berharap agar semesta membalasnya serupa pula. Namun bagaimana jika takdir tidak berkata demikian? "Jika bukan masaku bersamamu, aku harap masanya adalah milikmu."
KETIKA SENYUM BERBUAH PERTEMANAN
495      343     3     
Short Story
Pertemanan ini bermula saat kampus membuka penerimaan mahasiswa baru dan mereka bertemu dari sebuah senyum Karin yang membuat Nestria mengagumi senyum manis itu.
Today, After Sunshine
1464      607     2     
Romance
Perjalanan ini terlalu sakit untuk dibagi Tidak aku, tidak kamu, tidak siapa pun, tidak akan bisa memahami Baiknya kusimpan saja sendiri Kamu cukup tahu, bahwa aku adalah sosok yang tangguh!
Lebih Dalam
117      101     2     
Mystery
Di sebuah kota kecil yang terpencil, terdapat sebuah desa yang tersembunyi di balik hutan belantara yang misterius. Desa itu memiliki reputasi buruk karena cerita-cerita tentang hilangnya penduduknya secara misterius. Tidak ada yang berani mendekati desa tersebut karena anggapan bahwa desa itu terkutuk.
My Story
533      293     1     
Short Story
there’s always a first for everything, but will it always end up good or