Read More >>"> Memoreset (Segera Terbit) (5. Pertemuan) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Memoreset (Segera Terbit)
MENU
About Us  

Sepuluh tahun kemudian... 

Sepasang manik hazel penuh sorot kekesalan tengah memperhatikan lamat-lamat bagaimana uap es terangkat ke udara. Bukan karena dia tidak memahami perubahan fisika seperti itu, namun karena itu adalah satu-satunya hal paling menarik untuk diperhatikan daripada anak laki-laki usia 17 tahun di hadapannya. 

Salah satu usaha untuk meredakan emosi yang meluap adalah mengumpulkannya menjadi satu pada kepalan tangan, seperti yang tengah gadis bermanik hazel itu lakukan. "Jadi, apakah kamu berubah pikiran?" pertanyaanpun meluncur setelah dirasa uap es tak lagi membuatnya tertarik. 

Si anak laki-laki mendongak. Bibirnya yang masih mengapit pipet minuman ditarik menjadi garis lurus lengkap dengan ekspresi menyebalkan. "Nanti aku pikirin, Kak."

"Sampai kapan? Ini kesempatan besar yang tak akan datang dua kali untuk kamu, lho. Wahai penulis genre teenfiction populer, Bagas Triyatno, bisakah kita setujui kontraknya saat ini juga?"

"Kak, ayolah..." 

"Bagas, please..." mohon si perempuan. 

Bagas meletakkan minumannya kembali ke meja. Dia menegakkan punggung, bersiap mematahkan permohonan si editor di depannya itu. "Kak Nit, Kakak kan tahu novel yang 'Pink Diary' itu benar-benar kisahku sama mantan. Gimana bisa aku begitu saja membiarkannya dijadikan film? Kalau mantanku nanti menontonnya gimana, Kak? Dia pasti akan besar kepala, dan aku benci itu."

Mulut sang editor menganga begitu saja mendengar alasan tak masuk akal itu. "Kalau dari awal kamu tidak ingin mantanmu tahu kamu menuliskan kisah kalian, kenapa kamu menjadikannya novel?"

"Karena aku senang bisa bekerja sama dengan editor secantik Kakak. Lagipula mantanku itu tidak suka membaca, tapi sangat sering mengunjungi bioskop."

"Serius?"

"Seratus persen serius."

Nita memukulkan kepalan tangannya ke paha. Penulisnya yang satu ini benar-benar mencerminkan sikapnya sebagai seorang remaja labil. Oleh karenanya, dia harus memiliki banyak kesabaran. 

"Begini Bagas, dengar," ujar Nita kembali untuk menarik perhatian Bagas. "Film yang akan digarap dari adaptasi novel milikmu itu akan disutradarai oleh Hendra Maulana. Apa kamu tidak tergiur?"

"Terus?"

Nita berdecak, terus memutar otaknya untuk membujuk Bagas agar setuju menandatangani kontrak hari ini juga atau Bu Fitri akan memarahinya lagi. 

"Pemain perempuannya sudah ditentukan. Dia dari aktris muda populer tahun ini, Tasha Elona."

"Serius, Kak?" seru Bagas. 

"Serius, seratus persen serius."

Bagas mencondongkan tubuh hingga dadanya menempel dengan meja. "Setuju, mari kita tandatangani kontraknya saat ini juga, Kak."

"Harusnya kamu lakukan sejak sepuluh menit yang lalu, haha." Nita akhirnya dapat bernapas lega ketika matanya menyaksikan bagaimana Bagas mengukir tanda tangan.

Bagas berdiri setelah memperhatikan arloji di pergelangan tangan kanannya. "Kak, aku pergi duluan ya, bye..."

Selang lima menit setelah kepergian Bagas, Nita juga beranjak pergi dari café dengan memeluk map berisi perjanjian kontrak milik Bagas. Gadis itu senang sekali, setelah seminggu penuh mendapat amukan Bu Fitri, semuanya berakhir dengan sempurna. Dia berjalan riang menuju kantornya untuk segera memberitahu Bu Fitri. 

"Hei, berhenti!"

"Berhenti sebelum peluru ini menembus kepala kau, sialan!"

"Aaaaa!" Nita yang kala itu masih di tengah-tengah bahu jalan tak sempat menepi ketika beberapa orang yang berlari dari arah berlawanan menuju ke arahnya. 

Duakh.

Bugh.

Seseorang menendang keras punggung orang yang dikejarnya, lalu keduanya jatuh bersamaan. Nita melongo menyaksikan adegan kekerasan itu hingga tak memikirkan keselamatannya sendiri. 

"Kau tidak bisa lari lagi, ayo kemari!" seru salah satunya yang membawa senjata. Dari arah belakang lelaki itu datang menyusul seseorang yang nampak lebih muda darinya. 

"Tangkap kalau bisa atau," pria paruh baya yang ditendang menarik kasar leher Nita. Dari dalam saku jaketnya dia mengeluarkan pisau lipat dan ditodongkan langsung ke permukaan kulit leher Nita. "Kalian maju, gadis ini akan mati!"

"Aaaa!" Nita menjerit kencang. Map di tangannya terjatuh begitu saja. Banyak orang mulai memotret adegan mencekam itu. Dari seberang jalan terlihat beberapa orang berkerumun mendiskusikan adegan yang mereka lihat. 

"Oke, tenang, tenang." 

"Tolong saya, tolong." Nita terus merapalkan permohonan itu kepada dua orang di hadapannya. 

"Mundur, gue bilang mundur!" 

Dua orang bersenjata itu pun mundur. Nita dibawa melangkah sebagai senjata untuk kabur. Sepertinya gadis itu sial sekali hari ini hingga mungkin nyawanya tidak akan lama lagi melayang. 

Nita terus merapalkan doa sepanjang kakinya diseret paksa memasuki gang-gang sempit. Dari lirikan matanya Nita dapat melihat sebuah tato bergambar srigala di punggung tangan pria itu. Setidaknya Nita harus mengingat sesuatu dari si pembunuhnya kelak. 

Dor! 

"Aaa!" Nita menjerit panjang bersamaan dengan ambruknya pria yang mencengkeram lehernya itu. Pisau yang dipegang penjahat itu berhasil menggores sedikit permukaan kulit leher Nita, tapi gadis itu tidak mempedulikannya. Dia terlalu terkejut melihat seorang pria ditembak oleh orang yang tak dilihatnya. 

"Di sana!" Dua lelaki bersenjata sampai di hadapan Nita dengan terlambat. Kondisi di sana buruk sekali, penjahat yang dikejar mati di tempat, dan penembaknya tidak kelihatan sama sekali. 

Salah satu lelaki bersenjata pun menghampiri Nita, berjongkok di depan gadis itu. "Anda tidak apa-apa?" tanyanya. 

Nita tidak menjawab, tubuhnya terlalu sulit dikendalikan. Sejak tadi dia merasa terus bergetar tak menentu. Pikirannya dipenuhi suara tembakan dan bayang-bayang si penembak yang berlari sangat cepat, juga sebuah tato di punggung tangan penembak itu. Iya, Nita melihatnya walaupun samar-samar, sebuah tato berbentuk srigala. 


###


Akibat kejadian mencekam beberapa saat yang lalu, Nita menurut untuk dibawa ke kantor polisi bersama dua lelaki bersenjata itu yang ternyata adalah seorang detektif dari kepolisian. Walaupun masih sangat ketakutan, sedikit demi sedikit Nita bisa mengontrol dirinya lagi. Dia juga bersedia dimintai informasi sebagai saksi untuk mengusut kasus itu jika diperlukan.

Salah seorang detektif itu mendekati Nita, perlahan mengambil duduk di depan gadis itu yang sejak tadi sudah setia menunggu di depan meja kerjanya. "Mohon maaf sebelumnya, saya sangat merasa bersalah oleh masalah ini. Apa anda tidak apa-apa? Oh maaf, silakan diminum dahulu airnya supaya tenang."

Nita tersadar dia belum menjamah air mineral yang sejak lima menit lalu disuguhkan untuknya. Akhirnya gadis itu meneguk air mineral hingga tandas setengah, barulah setelah itu tenggorokannya yang kering kembali merasa lebih baik. 

"Saya Wisnu Abdi Gunawan, seorang detektif yang tengah menyelidiki pelaku pembunuhan berantai seperti yang anda lihat salah satunya tadi."

"Saya Tama Alfarizi, rekan terbaik dari Bapak Wisnu." Seorang lagi datang menghampiri Nita setelah menarik satu kursi dan mendudukinya. 

Nita menganggukkan kepala sekali sebagai respons bahwa dia mengingat nama dua detektif itu. Sungguh sangat tak terduga sekali, bisa-bisanya Nita mengalami adegan yang hanya dia lihat di film selama ini. 

"Kasus ini akan ditindaklanjuti dan diselidiki oleh jaksa juga, jadi apakah anda bersedia untuk dimintai informasi?" tanya Wisnu.

"Saya... Ya, saya setuju." Meskipun agak ragu pada awalnya,  Nita akan mencoba bekerja sama. Dia juga memikirkan nasib banyak orang jika segan membantu. 

"Anda sangat berani sekali, keren. Kalau boleh tahu, siapa nama anda?" Tama sudah menyambar dokumen biodata saksi dari tangan Wisnu dan menatap Nita dengan tidak sabaran. 

"Saya Nita Khoerul Nisa. Panggil saja saya Nita."

"Salah satu editor dari Y3 Publisher," sambung Wisnu yang kala itu membuka dokumen dalam map milik Nita. 

"Map saya?"

Wisnu menutup map dan mengulurkannya pada Nita dengan sopan. "Oh maaf, ini memang punya anda. Silakan," katanya. 

Nita meraihnya dengan segera untuk dicek apakah dalamnya aman atau tidak. Sebab jika dokumen itu rusak, mendapatkan kembali tanda tangan dari Bagas tentu akan sangat sulit.

"Tam, kapan jaksa songong itu sampai?" bisik Wisnu di telinga Tama. 

"Katanya tadi sudah dekat, tunggu sajalah."

Wisnu berdecak pelan. "Ya ini masalahnya kasihan mbaknya, coy."

"Dih, lumayan tahu. Ini udah gue tandain sejak awal."

"Sinting."

Wisnu menyudahi acar bisik-bisik itu demi memperhatikan wajah gadis di depannya yang sibuk mengetik sesuatu di ponselnya. Nita memang tengah mengabari Bu Fitri bahwa dia berhasil mendapatkan tanda tangan Bagas. 

"Halo, Pak Wisnu." Wisnu sigap berdiri ketika namanya dipanggil oleh suara yang sudah dia hapal itu.

"Silakan, Pak Jaksa. Ini saksi mata yang juga hampir menjadi korban tadi," ujarnya sembari menunjuk Nita. 

Mendengar dirinya disebut-sebut, lantas Nita berdiri menghadap jaksa yang dimaksud oleh Wisnu. Pandangannya bertubrukan langsung dengan manik mata si jaksa muda tersebut. 

"Nita?" 

Nita terkejut luar biasa mendengar namanya keluar dari bibir lelaki asing di hadapannya itu. "Anda kenal dengan saya?" tanyanya dengan mata membola kaget. 

Tama dan Wisnu juga bahkan saling pandang kemudian. "Kalian saling mengenal?"

Namun, tak sesuai dugaan Nita malah menggelengkan kepalanya cepat. "Saya tidak mengenalnya, ini pertama kalinya saya melihat dia."

"Nita, ini aku Fathir. Kamu sudah melupakan aku?" cecar si jaksa terus. 

Wisnu menepuk bahu jaksa bernama Fathir itu seperti memperlakukan temannya. "Hei, anda membuatnya ketakutan, Pak."

"Nit, ini aku. Apa yang terjadi sepuluh tahun yang lalu, Nit?" Fathir mendekat dan menarik Nita ke dalam pelukannya. 

"Akh!" Nita menjerik dan mendorong Fathir menjauh, gadis itu langsung berpindah ke belakang tubuh Wisnu untuk bersembunyi. "Saya tidak mengerti maksud anda, Pak. Mungkin anda salah mengira saya sebagai orang lain, tetapi saya benar-benar tidak mengenal anda."

Wisnu terkekeh melihat raut nelangsa Fathir. "Pak, apapun yang terjadi, bisakah semuanya diurus nanti? Bukankah yang lebih penting sekarang adalah menerima kesaksian Mbak Nita?"

Mungkinkah Nita yang sekarang bersembunyi di belakang tubuh Wisnu adalah Nita yang lain dan bukan Nita yang dia kenal dulu? Fathir merasa dia sangat senang tadi melihat wajah Nita. Wajah itu adalah wajah Nita yang dia kenal, kekasihnya yang lama menghilang, kisah sewindu lewat dua tahun lalu yang belum usai. 

Fathir mengembuskan napas ketika kalimat Wisnu ia setujui. Detektif itu ada benarnya juga, Fathir memang harus mengesampingkan dulu urusannya dengan Nita nanti setelah mengurus kasus.

Akhirnya Fathir menundukkan kepala di depan Nita yang menyembul takut dari balik punggung tegap Wisnu. "Maaf Mbak Nita, saya mungkin salah orang karena kalian terlihat sangat mirip. Sekali lagi saya minta maaf. Bisa kita mulai saja membicarakan soal kasusnya?"

"Bo-boleh," jawab Nita gugup. 

Fathir adalah jaksa muda yang sangat profesional dalam pekerjaannya. Sekali dia mencoba serius, maka tak akan ada yang dapat memecahkan konsentrasinya. Kini dia duduk berhadapan dengan Nita di tempat yang lebih tenang, Wisnu yang membantu menyiapkan itu semua. Sementara itu, dia dan Tama menunggu di tempat lain.

Nita sedikit gugup berduaan dengan Fathir. Bayang-bayang lelaki itu yang sejak awal mengaku kenal dengannya sungguh membuatnya tidak nyaman dan terus kepikiran. 

"Ada ciri-ciri lain yang anda ingat saat kejadian dari si pelaku?" tanya Fathir.

"Iya, dia juga mempunyai tato berbentuk srigala di punggung tangannya. selain itu saya tidak tahu lagi, dia pergi sangat cepat setelah memastikan orang yang ditembaknya tewas." Raut wajah Nita mulai terlihat cemas karena dipaksa kembali mengingat kejadian nahas itu. tangan kanannya bergerak mengusap tengkuk hingga sebagian rambutnya terlempar ke belakang. Saat itulah Fathir dapat melihat jelas ada luka di leher gadis itu.

"Maaf, tunggu sebentar ya," pamit Fathir keluar ruangan. Dia bergerak cepat keluar dari kepolisian menuju apotik yang ada di seberang jalan.

Delapan menit kemudian dia kembali menemui Nita. Perlahan-lahan Fathir mengulurkan plester ke hadapan gadis itu. "Leher anda terluka, silakan tutupi dengan ini," katanya perhatian.

Nita menerimanya ragu-ragu. "Terima kasih."

Nita meringis kecil saat tak sengaja menekan lukanya dengan tangan, memberikan serangan panik kecil dari Fathir yang menatapnya. "Saya akan membantu anda, sepertinya anda tidak tahu di mana luka itu berada."

"Terima kasih." Nita memutuskan menerima tawaran Fathir dan memberikan kembali plesternya kepada lelaki itu. Tubuh keduanya berdekatan, berhasil mengantarkan sesansi aneh di dada Fathir. Apalagi kala telunjuk lelaki itu bersentuhan dengan kulit leher Nita.

"Sudah." Fathir kembali menjauhkan diri dari Nita sebab takut gadis itu akan merasa tidak nyaman. "Maaf untuk kejadiaan yang tadi, saya yakin itu membuat anda tidak nyaman."

"Tidak apa-apa, Pak, saya mengerti. Wajah dan nama saya memang pasaran, jadi wajar kalau anda menganggap saya kenalan Bapak."

"Tidak kok." Mana ada pasaran dengan struktur yang begitu mirip, agaknya Fathir hanya akan percaya jika Nita memiliki kembaran yang hilang sejak lama. Ah, itu semakin tidak mungkin.

"Terakhir, boleh saya meminta anda mengisi formulir ini?" Fathir sudah mengeluarkan selembar kertas dari dalam tasnya dan diulurkan kepada Nita.

"Oh, tentu saja."

Fathir tak melepas sedikitpun pandangannya dari Nita saat gadis itu sibuk mengisi biodata. Pikirannya benar-benar kacau, hatinya terus menyuruh dia untuk bergerak, dan kedua lengannya gatal ingin merengkuh gadis itu dalam dekapannya. Ya Tuhan, gadis itu benar-bena bukan Nita-nya?

"Sudah selesai." Fathir menerima kembali formulir biodata Nita. Itu salah satu prosedur yang selalu dia lakukan terhadap saksi mata agar dapat menghubunginya jika ada hal yang perlu dia lakukan terkait kasus. 

"Terima kasih atas kerja samanya, Mbak Nita."

"Saya senang jika itu dapat membantu. semoga anda dan dua detektif tadi cepat menangkap pelakunya, Pak. Saya tidak ingin ada korban lain yang berjatuhan."

"Aamiin." 

"Kalau begitu saya permisi."

"Anda mau saya antar—"

"Oh, kalian sudah selesai?" Wisnu datang di waktu yang tidak tepat sekali. Fathir akhirnya memilih mengatupkan bibirnya saat detektif itu menyela dengan tanpa dosa.

Nita mengangguk cepat. Gadis itu juga sempat-sempatnya menyematkan senyum pada Wisnu, membuat Fathir tambah kesal saja. 

"Sebagai permintaan maaf, saya akan mengantar anda pulang, mari."

"Tidak perlu repot, Pak. Saya akan ke kantor, kok."

Wisnu berdeham sekali, lalu menggeleng cepat. "Itu bagus sekali, saya tahu dengan baik di mana Y3 Publisher berada. Mari, saya antar saja."

Nita mengalah, dia pun setuju ikut dengan ajakan Wisnu. "Baiklah," singkatnya.

"Terima kasih, Pak Jaksa, selamat bertugas kembali." Wisnu menepuk bahu Fathir dan beranjak dari sana bersama Nita.

Seperginya dua orang itu, Fathir terdiam di tempatnya. Dia segera membuka tas dan akan memasukan formulir yang diisi Nita, namun tertahan sesaat kala membaca bagian tanggal lahir. 

Fathir semakin ragu jika Nita yang tadi bersamanya bukanlah Nita kekasihnya dulu. Jika keduanya orang yang berbeda, mengapa rupa, nama, dan identitasnya bisa semirip itu?

Nita, mungkinkah itu kamu yang selama ini aku cari? 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Baret,Karena Ialah Kita Bersatu
683      401     0     
Short Story
Ini adalah sebuah kisah yang menceritakan perjuangan Kartika dan Damar untuk menjadi abdi negara yang memberi mereka kesempatan untuk mengenakan baret kebanggaan dan idaman banyak orang.Setelah memutuskan untuk menjalani kehidupan masing - masing,mereka kembali di pertemukan oleh takdir melalui kesatuan yang kemudian juga menyatukan mereka kembali.Karena baret itulah,mereka bersatu.
Oh, My Psychopaths CEO!
491      354     2     
Romance
Maukah kau bersama seorang pembunuh gila sepertiku?
Secret Love
301      194     3     
Romance
Cerita ini bukan sekedar, cerita sepasang remaja yang menjalin kasih dan berujung bahagia. Cerita ini menceritakan tentang orang tua, kekasih, sahabat, rahasia dan air mata. Pertemuan Leea dengan Feree, membuat Leea melupakan masalah dalam hidupnya. Feree, lelaki itu mampu mengembalikan senyum Leea yang hilang. Leea senang, hidup nya tak lagi sendiri, ada Feree yang mengisi hari-harinya. Sa...
Be Yourself
487      324     0     
Short Story
be yourself, and your life is feel better
My Story
533      293     1     
Short Story
there’s always a first for everything, but will it always end up good or
Chrisola
589      345     3     
Romance
Ola dan piala. Sebenarnya sudah tidak asing. Tapi untuk kali ini mungkin akan sedikit berbeda. Piala umum Olimpiade Sains Nasional bidang Matematika. Piala pertama yang diraih sekolah. Sebenarnya dari awal Viola terpilih mewakili SMA Nusa Cendekia, warga sekolah sudah dibuat geger duluan. Pasalnya, ia berhasil menyingkirkan seorang Etma. "Semua karena Papa!" Ola mencuci tangannya lalu membasuh...
Today, After Sunshine
1464      607     2     
Romance
Perjalanan ini terlalu sakit untuk dibagi Tidak aku, tidak kamu, tidak siapa pun, tidak akan bisa memahami Baiknya kusimpan saja sendiri Kamu cukup tahu, bahwa aku adalah sosok yang tangguh!
Something about Destiny
123      105     1     
Romance
Devan Julio Widarta yang selalu dikenal Sherin sebagai suami yang dingin dan kurang berperasaan itu tiba-tiba berubah menjadi begitu perhatian dan bahkan mempersiapkan kencan untuk mereka berdua. Sherin Adinta Dikara, seorang wanita muda yang melepas status lajangnya pada umur 25 tahun itu pun merasa sangat heran. Tapi disisi lain, begitu senang. Dia merasa mungkin akhirnya tiba saat dia bisa mer...
Niscala
299      190     14     
Short Story
Namanya Hasita. Bayi yang mirna lahirkan Bulan Mei lalu. Hasita artinya tertawa, Mirna ingin ia tumbuh menjadi anak yang bahagia meskipun tidak memiliki orang tua yang lengkap. Terima kasih, bu! Sudah memberi kekuatan mirna untuk menjadi seorang ibu. Dan maaf, karena belum bisa menjadi siswa dan anak kebanggaan ibu.
Sweetest Thing
1761      928     0     
Romance
Adinda Anandari Hanindito "Dinda, kamu seperti es krim. Manis tapi dingin" R-