Pukul 22.29 WIB dalam keadaan hujan lebat di luar sana, namun sunyi dan sepi di dalam ruangan serba putih berukuran 8x8 m² itu sangat kontras dengan keadaan di luar. Seorang gadis remaja berbalut pakaian pasien rumah sakit berwarna putih memandang gamang pada alat berbentuk helm di sampingnya.
"Rasanya tidak akan sakit." Gadis remaja itu menoleh cepat pada psikiater yang menanganinya malam ini. Seorang wanita usia sekitar 30 tahun, berambut pendek seleher, tersenyum simpul kepada pasien uji cobanya. "Lebih tepatnya tidak ada rasa. Karena apa? Kamu hanya akan tertidur selama proses berlangsung."
"Dokter, jika memungkinkan... Apakah setelahnya saya bisa mendapatkan kebahagiaan?"
Sang psikiater mengambil duduk di kursi kerjanya, lalu mengamati data pasien di hadapannya sambil memikirkan jawaban. "Ini adalah awal percobaan dari teknologi yang akan kamu coba. Tingkat keberhasilan juga belum dikatakan valid, perbandingannya masih 50-50. Jika gagal, kamu tahu, kan, risikonya?"
Remaja itu mengangguk samar. Sebelum memutuskan untuk menjadi relawan, dia sudah membaca semua ketentuan yang akan dijalani. "Saya tidak takut gagal, entah itu menjadi gila atau mati otak sekalipun. Lebih dari itu, saya lebih takut menyimpan kenangan menyakitkan ini dalam otak saya seumur hidup saya, Dokter."
"Kamu sungguhan masih enam belas tahun?"
Gadis itu mengangguk, "ini hari ulang tahun saya, Dok."
"Tetapi cara bicaramu sungguh sangat dewasa sekali. Jangan khawatir, meskipun ini masih uji coba, tapi saya akan melakukan yang terbaik. Berdasarkan uji coba sebelumnya pada memori hewan, persetujuan ikatan para profesor di seluruh negeri, serta kemajuan teknologi yang menakjubkan, saya yakin kita akan berhasil."
Gadis itu menegakkan punggung. Dia mengubah raut wajahnya menjadi lebih cerah. Mungkin dia sendiri tidak sadar, tetapi sang dokter seperti menangkap binar semangat di kedua bola mata gadis itu.
"Itu berarti saya bisa bahagia. Iya, kan, Dokter?"
"Mari percaya itu. Sugesti manusia merupakan salah satu keajaiban yang tidak bisa ditiru teknologi. Kamu bisa bahagia, ayo wujudkan itu, Nita."