Claudia telah kembali menginjakkan kaki di rumah megah Ardhitalko. Di malam hari yang indah itu, ia tengah bersantai di taman rumah dengan Falko dan Ciandra. Tanpa Reyno yang sibuk menonton sinetron di televisi. Claudia siap mental akan dijadikan narasumber oleh sang Mama ataupun Kakaknya. "Sejak awal kamu pergi dari sini, kamu langsung tinggal di kontrakan itu?" Ciandra mengeliarkan pertanyaan pertama.
"Tidak." Claudia menjawab santai.
"Lalu?"
"Setelah pergi dari sini, tempat pertama yang aku tuju ialah pos ronda yang kosong. Di sana aku ketiduran dan bangun di rumah minimalis yang ada di kampung mati. Ternyata aku diculik sama 3 pria yang tidak aku kenal. Sebulan aku di sana, di suruh mijitin satu pria yang merupakan bos dari dua pria lainnya. Kalau siang di suruh jadi pengemis di lampu merah dan sering juga di suruh bersih-bersih rumah ataupun memasak. Jika aku tidak mau melakukannya, Si Bos akan menghancurkan masa gadisku. Itulah ancamannya. Lalu, aku kabur pada dini hari dari rumah itu dan akhirnya berhasil. Aku tidur di toko yang tutup dan pagi harinya aku bangun mencari kontrakan hingga ketemu. Mulai saat itulah aku tinggal di kontrakan." Claudia bercerita dengan sang Mama. Air mata Ciandra luruh seketika. Mendengar cerita Claudia yang sungguh menderita. Ia tak bisa membayangkan sang putri ketika mengemis di lampu merah. Rasa bersalah menyelimuti hatinya disertai penyesalan. Ia menyesal telah membiarkan sang suami melepas putrinya begitu saja. Sangat menyesal.
"Astaga Nak, sungguh menyakitkan itu, Nak. Maafkan Mama ya, sayang.. Maafkan Mama.. Hihihihihi!" isak Ciandra memeluk gadis itu.
"Semua sudah berlalu Ma. Mama tidak perlu menangisinya. Yang penting sekarang, aku sudah kembali dan bisa bersama Mama terus!" tutur Claudia dengan ekspresi datar. Tatapannya lurus pada rerumputan hijau di depan gazebo. Masa-masa sulitnya itu kembali terputar di benaknya. Namun, Ia berhasil mengendalikan agar tak mengganggunya. Ciandra melepas pelukan lalu mengusap air mata.
"Kamu di kontrakan itu sama siapa?" tanya Ciandra.
"Sendiri," jawab Claudia.
"Lalu, bagaimana dengan keuangan kamu?"
"Masalah keuangan aku berjuang memenuhi kebutuhanku termasuk membayar SPP sekolah. Aku rela berjualan cilok keliling demi bisa makan dan mendapat tambahan uang untuk melunasi SPP!" jelas Claudia.
"Kamu sekolah naik apa?" Lagi-lagi Ciandra bertanya.
"Bus."
"Mulai sekarang Mama janji akan selalu menjaga kebersamaan kita. Mama tidak akan membiarkan kamu pergi sendiri tanpa kepentingan!" ucap Ciandra menangkup pipi Claudia. Dua insan itu saling menatap dan tersenyum manis.
"Bagaimana Ma? Mama udah dengar cerita Claudia selama tidak bersama kita, kan?" tanya Falko mendekat ke gazebo. Pemuda itu merasa bosan sedari tadi duduk di bangku taman.
"Udah."
"Kasihan kan?" tanya Falko dibalas senyuman oleh Ciandra. "Makanya jangan biarin adik pergi-pergi lagi ya! Aku sayang adik!" Falko menampakkan gigi ratanya. Pemuda itu lebih dulu mengetahui tentang Claudia dari Kelly.
"Iya-iya. Mulai sekarang Mama janji, nggak akan memisahkan kamu dan adikmu tanpa kepentingan!" jawab Ciandra.
"Semua sudah baik-baik saja. Sekarang, aku fokus mewujudkan harapanku sendiri. Lihatlah besok!" batin Falko tersenyum.
"Ada yang senyum-senyum sendiri, kenapa ni?" sindir Claudia.
"Eih... Tidak papa!" bohong Falko tak ingin mengungkapkan isi pikirannya.
"Dia lagi bahagia bisa bersama kamu lagi, Nak!" imbuh Ciandra.
"Nah. Iya benar itu!" alibi Falko meyakinkan.
Claudia mengerucutkan bibir sembari menghela napas. "Huft.. Ku kira ada apa-apa."
*****
Tak terasa pagi hari tiba. Kembali menyapa para manusia. Membawa sang mentari dengan sinarnya. Yang menyinari dunia dengan senang hati.
Pagi itu, Claudia menyisir rambutnya di depan cermin. Tak lupa mengenakan bando merah yang setara dengan warna seragamnya. Ia memoles krim di wajah dan sedikit lipbalm di bibir tipisnya. Merasa sangat cantik, Claudia menjauh dari cermin lalu meraih tas sekolahnya.
Ia keluar kamar dan mendapati Falko yang sibuk menata rambut. "Kak cepetan, ayo berangkat!" ajak Claudia.
"Sebentar nih masih pakai minyak rambut biar tambah ganteng dan wangi!" jawab Falko menyugar rambutnya.
Claudia memutar bola mata. "Cih... Padahal nggak ada gantengnya sama sekali!" cibir Claudia menatap sinis sang Kakak.
"Banyak omong, keliru pula. Orang ganteng kayak gini dibilang nggak ganteng!" timpal Falko.
"Lah, emang kenyataan!" desak Claudia.
"Iya emang kenyataannya ganteng dari sananya kan?"
"Emm.. Ya udah, aku iyain!" jawab Claudia merasa bosan menanggapi Falko.
Tak berselang lama, mereka masuk mobil yang dikendarai supir Ardhitalko. "Dik. Pagi ini, kamu ajak Kelly ke taman ya!" pinta Falko disela mobilnya yang melaju.
"Ekhem.. Mau apa? Pasti ada apa-apa ni!" Claudia melempar tatapan curiga pada sang Kakak.
"Lihat aja nanti!" jawab Falko menatap ramainya jalan raya.
"Hem."
Tak butuh waktu lama, adik kakak itu tiba di SMP 05 Ganaspati. Mereka segera memasuki kelas masing-masing dan bertemu teman-temannya. Seperti Claudia yang kini bertemu dengan Kelly dan Drena. "Kelly, ayo ikut aku! Drena kamu kalau mau ikut nggakpapa, kalau nggak mau di sini aja ya, soalnya aku masih ada urusan penting!" Claudia menarik tangan Kelly dan membuat gadis itu berdiri.
"Silakan selesaikan urusan pentingmu. Aku mau sama Kio aja, nanti!" jawab Drena diangguki Claudia.
"Ayo Kel!" Claudia berjalan mengekori Kelly hingga ke taman sekolah. Di sana, mereka bertemu Falko yang telah menunggunya. "Ini Kelly!" Claudia menarik temannya itu ke hadapan sang Kakak.
"Kelly. Aku sengaja meminta adikku untuk membawamu ke sini, apa kamu tau maksudku?" Falko menggenggam kedua tangan Kelly yang kini menatap matanya dalam. Gadis itu menggeleng. "Aku sudah lama menyimpan rasa cintaku padamu. Dan sekarang, aku akan mengungkapkannya," ucap Falko sembari meraba sesuatu di sakunya. "Aku mencintaimu, maukah kamu jadi kekasihku?" tanya Falko mengulurkan bunga rose pada Kelly. Gadis itu tersenyum lebar, menampakkan gigi gingsulnya dan menerima bunga itu sembari mengangguk. Hatinya tengah berbunga-bunga sekarang. Mengingat harapannya untuk mendapatkan Falko telah terwujud. Ia sangat bahagia hingga tak bisa berkata-kata.
"Iihh.. Astaga... Tau begini nggak usah aku bawa ke sini tadi. Ujung-ujungnya bikin iri!" Claudia mengangkat sudut bibir sebelah sembari menatap sinis dua insan di hadapannya.
"Makanya cari!" jawab Falko.
"Hahahaha." Kelly tertawa kecil.
"Hem."
Falko merasa lega lantaran dapat mengutarakan rasa cintanya pada Kelly secara langsung. Itulah harapannya selama ini yang akhirnya terwujud. Telah lama Falko menyimpan rasa cinta itu dan menunggu waktu yang tepat seperti sekarang untuk mengutarakan itu. Ia menyebut waktu tepat karena kondisinya dan keluarganya telah baik-baik saja. Tak ada masalah apapun. Tak seperti dulu yang banyak masalah. Seperti, masalah Claudia yang membingungkan Falko sehingga melupakannya dengan urusan diri sendiri.
"Ya sudah kalian pacaran aja sana. Aku mau pergi!" pamit Claudia berbalik badan seraya meninggalkan mereka.
Claudia berjalan santai menuju kelas.
Bruk..
Tanpa sadar, ia bertabrakan dengan sekarang pemuda hingga terjatuh. Dengan sigap, ia langsung berdiri menatap pemuda di hadapannya. "Mas Afgan."
"Claudia." Dua insan berseragam itu saling bertukar pandang selama beberapa detik.