Matahari terus bergeser ke barat. Perlahan-lahan, siang hari berubah jadi senja. Senja yang sangat indah dan menarik sore itu, dinikmati oleh Claudia sembari berjalan berjualan cilok. Ia membuat cilok dengan sisa bahan kemarin. Meski tak banyak, namun bisa membuatnya dapat penghasilan untuk makan. "Cilok.. Cilok... Cilok.. Cilok!" teriakn di sepanjang jalan yang ditelusuri.
"Dek, mau ciloknya dong!" ucap wanita gemuk dengan sang anak.
"Oh iya boleh Bu, mau berapa?" Claudia menurunkan wadah cilok untuk dibukanya.
"Dua puluh ribu jadi empat, ya! Yang satu polosan, yang satunya lagi cukup kasih kecap dan yang dua kasih saos pedas!" pintanya diangguki Claudia yang langsung melayaninya. Ibu dan anak di sana menatap tangan Claudia yang lihai memindahkan cilok ke plastik dengan garpu.
"Ini Bu!" Claudia memberi kantong putih berisi empat plastik sedang.
"Ini uangnya dek!" Wanita itu memberi selembar uang hijau usai menerima pesanannya.
"Terima kasih Bu!" Claudia menutup wadah cilok itu lalu berdiri guna lanjut berjalan. "Cilok... Cilok... "
Claudia berkeliling di taman kota yang tak jauh dari kontrakannya. Di sana tampak ramai pengunjung. Ada yang berburu foto, berpacaran hingga sekedar mencari hiburan dengan berdiam diri menikmati angin senja. "Cilok..
Cilok.. Cilok.. Cilok!"
"Dek. Sini!" panggil seorang pemuda mengangkat tangan dengan jemari bergerak. Memberi isyarat panggilan untuk Claudia yang langsung menghampirinya.
"Iya Mas, apakah mau beli cilok?" tanya Claudia masih membawa wadah ciloknya.
"Iya dek. Berapa harganya?" Claudia jongkok sembari membuka wadah cilok itu.
"Terserah Mas, mau beli berapapun boleh!" jawab Claudia. Pemuda itu tak menatap dagangan, melainkan wajah cantik Claudia yang ditatapnya dengan penuh senyuman.
"Saya beli semua dek!" jawab pemuda itu.
"Beneran Mas?" tanya Claudia tak percaya. Ia menatap dalam manik mata sang pemuda yang tertuju padanya. Alhasil, pandangan mereka bertemu sejenak diakhiri anggukan pemuda di hadapannya.
"Wahhh.. Oke Mas. Btw mau pedas atau tidak?" Claudia tersenyum lebar usai mengetahui dagangannya akan segera habis.
"Sedang aja dek!"
"Oke mas!" Claudia langsung mengemas cilok-ciloknya pada kantong plastik berukuran sedang lalu menuangkan saos yang tak terlalu banyak. Disela itu, pemborong ciloknya tak henti menatap wajah cantiknya yang memukau.
"Ini mas!" Pemuda di hadapannya itu menerima cilok tersebut.
"Berapa semuanya?"
"Tiga puluh ribu!" jawab Claudia yang langsung menerima uang berwarna biru. "Sebentar Mas, kembaliannya!" Claudia memasukkan uang biru tersebut di saku, lalu mengambil yang warna hijau.
"Kembaliannya buat kamu aja!"
"Beneran Mas?" Claudia bertanya serius dan dibalas anggukan. "Waahh.. Terima kasih banyak Mas!" ucapnya dengan senyum lebar memesona.
"Sama-sama."
"Ya sudah saya permisi dulu ya, Mas!" ucap Claudia menutup wadah kosongnya lalu berdiri.
"Eits.. Jangan pergi dulu!" cegah pemuda itu. Claudia tak jadi melangkah dan beralih menatapnya. "Nama kamu siapa?"
"Claudia."
"Owh Claudia. Kenalin saya, Afgantara, panggil saya Afgan!" Afgan mengulurkan tangan yang langsung dijabat Claudia dengan senyuman. "Mari duduk di sana!" Afgan menunjuk bangku kosong di pojok taman. Tanpa meninggalkan wadah kosongnya, Claudia mengikuti Afgan berjalan menuju bangku itu. Mereka duduk bersama. "Berapa umur kamu?"
"Tiga belas tahun."
"Kamu masih muda banget, kenapa jualan?" tanya Afgan.
Claudia tak ingin menceritakan hal yang membuatnya seperti sekarang. "Karena saya ingin belajar mandiri!" jawab Claudia tak tampak berbohong.
"Di mana orang tua kamu?" tanya Afgan.
"Ada di rumah!" jawab Claudia memaksudkan rumah Ardhitalko.
"Kamu tidak capek berjualan?" tanya Afgan.
"Enjoy aja sih!" jawabnya berbohong. Sesungguhnya ia tak ingin menjalani ini semua. Namun, apalah daya takdir telah memaksa.
"Di mana rumah kamu?" Pemuda 15 tahun itu tak berhenti bertanya.
"Saya tidak tahu alamat rumah saya. Yang pasti, rumah saya tidak terlalu jauh dari sini!" jawab Claudia. Dua insan itu asik mengobrol hingga tak sadar akan waktu malam yang dekat.
"Emmhh.. Saya pamit pulang dulu, soalnya sudah mau malam!" ucap Claudia.
"Mari saya antar!" Afgan beranjak dari duduk.
"Oppsss.. Tidak usah. Saya bisa berjalan sendiri!" tolak Claudia ikut berdiri.
"Ini sudah menjelang malam. Tidak baik cewek berjalan sendirian! Ayolah saya antar!" desak Afgan sembari menunjuk atas yang menampakkan langit temaram.
"Tapi saya sudah terbiasa!" alibi Claudia.
"Kamu tidak boleh menolak kebaikan seseorang! Aku ada niat baik loh, buat kamu!" tutur Afgan. Entahlah, Claudia lelah menolaknya. Ia kehabisan kata-kata sehingga terpaksa mengangguk. Mereka berjalan ke area parkir. Afgan membawanya ke motor matic hitam lalu mengantarnya pulang.
Claudia turun di depan kontrakannya. Dilepasnya helm yang kemudian dikembalikan ke Afgan. "Terima kasih Mas Afgan." Claudia tersenyum menatap lelaki itu.
"Sama-sama."
Tak berselang lama, Claudia masuk rumah kontrakannya. Ia segera mencuci wadah bekas ciloknya lalu mengeluarkan uang dari saku. "Tujuh puluh ribu. Lumayan bisa buat makan besok!"
Gadis itu segera masuk kamar dan duduk di meja belajar. Dibukanya buku-buku pelajaran lalu membaca.
Seiring berjalannya jarum panjang pada jam, Claudia mengantuk lalu tidur.
******
Tak terasa, matahari kembali menampakkan diri. Memancarkan senyumnya dengan sinar yang terang. Menyinari bumi seisinya dan memudahkan para insan yang tengah beraktivitas.
Pagi hari pukul 06.20, Claudia menikmati angin pagi di taman. Hari itu ia berangkat sekolah lebih awal lantaran bus kuningnya datang lebih cepat dari biasa. "Claudia." Sang pemilik nama menengok ke sumber suara.
"Aih... Dia lagi!" Claudia menggeleng lalu menepuk jidatnya. Ia menormalkan posisi duduk sembari melipat tangan di dada.
"Aku mau bicara sama kamu, Clau!" ucap Ardian berdiri di hadapan gadia itu.
"Pergilah! Jangan ganggu aku!" usir Claudia. Ia sangat malas dengan pemuda itu dan tak ingin berbicara dengannya.
"Plis Clau. Sebentar aja!" rayu Ardian. Claudia beranjak dari bangku.
"Aku nggak butuh pembicaraanmu! Pergilah!" Claudia kukuh menolak.
"Sebentar saja Clau!" Ardian tetap berusaha mencuri waktu dengannya.
"Enggak bisa!" tegas Claudia memutar bola mata. Gadis itu segera menjauh dari Ardian. Sang pemuda pun berdecak pinggang, menggeleng dan menghela napas. Ia tak habis pikir dengan Claudia yang tak ingin memberinya waktu berbicara. Padahal, benih cintanya masih ada dan ingin ia ungkapkan. Namun, tak bisa lantaran perlakuan sang gadis yang sangat menolaknya. Ardian bingung harus mengungkapkan perasaannya dengan cara apa. Ya, semoga saja esok Claudia bisa luluh. Itulah harapan Ardian yang entah terwujud atau tidak.
_o0o_
"Hish... Dia lagi.. Dia lagi. Bikin orang males aja! Hufttt!" dengus Claudia sembari berjalan ke kelas.
"Dari mana aja, kamu?" tanya Kelly duduk dengan Drena. Tanpa ragu, Claudia menceritakan hal tadi.
"Astaga, Clau. Kamu segitunya banget sih sama cowok. Kamu boleh benci dia. Tapi, masa' kamu nggak mau kasih waktu buat di bicara sebentar aja?" respon Drena.
"Iya Clau. Dia juga punya hati loh, bisa berharap juga. Mungkin dia berharap kamu mau mendengarkan pembicaraannya bukan seperti itu!" sambung Kelly.
"Arrghh.. Biarlah aku malas!" jawab Claudia.