"Ceritakan lebih detail."
"Aku sampai lapor polisi tapi kata mereka tidak ada yang namanya Phil di kota ini. Aku sudah tunjukkan fotonya tapi data yang keluar tidak ada!"
"Mengerikan juga ya. Apa dia bukan manusia?"
"Ya kan?! Aku bahkan sampai pergi ke dukun tahu!"
"Kenapa tidak kau panggil saja langsung orangnya ke kantor polisi?"
"Ini lebih mengerikan! Dia menghilang saat aku mau mencarinya. Tidak ada alamat rumah, nomor telepon, atau teman dekatnya yang aku tau. Sudah kubilang kan, aku baru beberapa kali bertemu tapi tingkahnya sudah seperti stalker handal. Semua informasi pribadi yang hanya aku dan keluargaku tau, dia mengetahuinya! Aku sampai merinding! Aku harus bagaimana?"
Rena diam-diam menguping, tidak. Sebenarnya bukan dikatakan menguping karena suara kedua wanita tersebut terdengar jelas. Mungkin karena jarak duduk mereka yang hanya berjarak dua meter. Rena meletakkan handphonenya, ia teringat perkataan Stevan yang tahu namanya, apa yang ia katakan dalam hati serta tujuan gilanya pergi ke jembatan.
Pria tersebut tidak pernah bilang kalau dirinya makhluk aneh. Rena juga tidak bertanya lebih karena ia dari dulu benci fiksi.
"Maaf aku terlambat. Antirannya panjang sekali. Bagaimana? Cantik kan?" Lyn datang dengan nafas tersengal dan segera tersenyum lebar sambil menunjukkan gelang berinisial M yang dihiasi wajah idol kesukaannya.
"Pasti mahal. Bukannya kau lebih suka beli album ya daripada pernak pernik?"
"Aku mau coba. Selama ini, aku hanya punya album dan poster, jadi sekali-kali ingin mengoleksi barang-barang cantik seperti ini."
Rena menghela nafas, ia menatap ke jalanan sunyi.
"Kau tidak papa?" Lyn langsung khawatir melihat raut wajah Rena. Ia teringat kejadian beberapa hari lalu, saat ayah Rena menelepon dengan nada suara bergetar, menyuruh mencari Rena karena surat bunuh diri yang gadis itu tinggalkan. Sejak saat itu, Lyn selalu menemani gadis itu, kalau ia punya waktu. Pekerjaannya sebagai manager salah satu artis pendatang baru membuatnya selalu kerja lembur.
"Maafkan aku karena tidak menjagamu dengan baik." Lyn menunduk. Ia merasa gagal jadi teman yang baik.
"Kenapa minta maaf? Aku malah bersyukur punya kau." Rena tersenyum tipis.
"Benarkah?"
"Tentu saja. Walaupun kau selalu sibuk tapi aku bisa paham."
"Sebenarnya aku punya kabar buruk."
"Jangan katakan. Aku tidak mau dengar." Rena menyenderkan punggungnya, ia menatap tidak suka. Mereka baru bertemu setelah beberapa hari tidak berkabar, tapi malah dapat kabar buruk.
"Maafkan aku." Hatinya terlalu berat, Lyn dari awal tidak menyangka kalau pekerjaan menjadi manager tidak mudah.
"Yasudah. Katakan."
"Besok aku harus pergi. Ada syuting di luar negeri selama dua bulan." Pelan sekali nada suara Lyn, ia bahkan sempat melirik raut wajah Rena yang tidak bisa ditebak sama sekali.
"Pergilah," ucap Rena pelan.
"Ren."
"Aku sudah tau, kau pernah mengatakan tentang rencana syuting beberapa minggu lalu. Bukankah itu yang kau bicarakan? Acara variety show di Dubai?"
Lyn mengangguk pelan. "Kau... ingat?"
"Tentu saja. Itu kan mimpimu. Pergi ke Dubai. Walau sambil bekerja. Tapi selamat, karena sudah meraih mimpi yang selama ini kau idamkan." Rena tersenyum lebar. Senyum lebar pertamanya setelah patah hati.
Lyn menangis, ia mendekat ke arah sahabatnya itu dan memeluknya erat. Mereka tertawa tapi sambil menangis.
Stevan tiba-tiba menjatuhkan cookies yang sudah dimakan separuh.
"Kau tidak papa?" tanya Ben heran. Tangannya yang sibuk mengaduk mie di atas panci panas terhenti.
"Dia tersenyum."
"Secepat itu?" tanya Ben, masih dengan wajah heran.
"Aku harus melihatnya langsung." Tanpa basa basi Stevan pergi. Ia berlari secepat kilat, badannya berubah menjadi bayangan hitam. Hanya butuh lima detik untuk sampai di kafe yang berjarak 2 kilometer dari toko aksesoris kayu tadi.
Saat sampai, bukan aura merah muda yang terlihat melainkan abu-abu. Itu aura palsu, gadis tersebut tidak benar-benar bahagia. Alias senyum palsu yang terpaksa ditunjukkan demi membuat sahabatnya bahagia.
"Ahh, harusnya aku bisa merasakannya." Kekecewaan yang terulang. Bahu Stevan langsung turun.
"Aku sudah menduga sih." Ben tiba-tiba sudah ada di sampingnya.
"Kau mengikutiku?"
"Aku penasaran." Ben mengangkat bahunya. Tentu saja langsung mematikan kompor, urusan Stevan lebih penting daripada makan malam.
"Kau tidak lupa mengurus Beewaktmu kan?" Sindiran keluar, tidak lupa diiringi dengan nada suara mengejek.
"Beewakt?" Ben memicing tajam.
Stevan mengangguk tanpa beban. Ia melipat tangannya sambil kembali memperhatikan Rena.
"Namanya Grace. Sudah kubilang jangan panggil dia dengan sebutan Beewakt."
"Apa pentingnya itu? Bukankah sama?"
"Berbeda! Beewakt bukan panggilan yang pantas. Grace sudah seperti adikku sendiri. Dia itu spesial!"
"Terserah apa katamu, aku tidak peduli. Bagaimana kabarnya? Kau menelantarkannya? Kulihat tugasmu hanya berdiam diri saja di toko." Sindiran menusuk, Ben langsung dibuat marah, wajahnya memerah layaknya ubi rebus.
"Grace sebentar lagi menikah, dia hidup dengan bahagia. Setelah menikah, maka tugasku selesai. Lalu aku bisa meninggalkan kota ini. Ha! Tebak siapa yang selalu mendapatkan misi mudah setiap saat?"
"Jangan bahagia dulu. Waktumu belum tiba. Memangnya ada yang hidup bahagia sampai akhir?"
Ben terdiam, ia menenguk liur berat kemudian mendengus kesal.
"Lyn pasti akan pergi, dengan begitu Rena akan menjadi wanita paling kesepian di dunia," ucap Stevan.
"Kau tahu apa yang harus kau lakukan kan?"
"Kau tidak ingat kejadian sore tadi?"
"Minta maaf! Bilang itu kesalahan!"
Stevan menepuk keras belakang kepala Ben sampai berbunyi agak nyaring. Suara aduh langsung keluar.
"Kau bodoh ya? Itu sama saja mempermainkan wanita tahu!" Stevan geram, tangannya masih mengepal, ingin menampar lagi. Untung ia masih tahan.
"Kalau begitu mau tidak mau buktikan rasa sukamu! Atau katakan saja yang sebenarnya."
"Aku tidak yakin itu ide yang bagus."
"Tidak tau kalau tidak dicoba."
"Be-"
"RENA!!" Ben menghilang di kegelapan bayangan pohon. Gadis yang dipanggil langsung menoleh, melihat Stevan berdiri canggung di luar toko sambil melambai.
"Anak itu! Awas kau!" Stevan mengutuk adiknya dalam hati, sudah ada gambaran hukuman apa yang pantas diterima.
"Sedang apa kau kemari? Tidak ingat ya perkataanku waktu itu?" Rena keluar, ia berjalan mendekat dan berdiri di hadapan Stevan, meninggalkan Lyn yang kebingungan melihat sahabatnya bicara dengan seorang pria.
"Ingat, karena itulah aku kemari."
"Katakan. Apa yang mau kau katakan." Rena kali ini mau mendengarkan, percakapan kedua gadis di kafe tadi masih ia ingat dengan jelas.
"Sebenarnya ..." Stevan berhenti, memeriksa raut wajah Rena yang sulit untuk ditebak.
"Kenapa? Kau takut aku tidak percaya? Bagaimana kalau sekarang aku percaya? Kau mau mengatakannya?"
"Kau... bicara soal?"
Hening. Rena menghela nafas sejenak sembari mengalihkan tatapan ke jalanan sepi. Menahan malu. Rupanya beda obrolan.
"Apa jangan-jangan kau masih memikirkan pertanyaanku waktu itu?" Mata Stevan penuh selidik, ia memicing.
"Lupakan. Katakan. Kau mau bicara apa?" Menepis rasa malu, ia mengajukan pertanyaan yang sama. Kali ini wajahnya terlihat serius.
"Santa Claus."
"Hm?"
"Kau percaya?"
"Percaya." Rena menaikkan bahunya kecil.
"Kenapa?"
"Apa alasan hal yang penting? Aku hanya mau mempercayai apa yang mau aku percaya."
"Tutup matamu." Stevan mendekat. Ia meletakkan telapak tangannya tepat di depan mata Rena. Satu detik. Semua menjadi hitam.