Gadis itu terbangun di sebuah ruangan bernuansa pink yang pada dinding-dindingnya terpasang poster dan foto idol kesukaannya. Memang benar ini adalah kamarnya namun kali ini ada hal yang membedakan kamar itu dari biasanya, yaitu terdapat selang infus dan oksigen yang terpasang di tubuhnya. Adira terlihat mengerjapkan matanya beberapa kali untuk mengumpulkan seluruh kesadarannya.
"Mama." Panggilnya pada seorang wanita paruh baya yang sedang duduk di sofa.
Mendengar itu Sinta segera menghampiri putrinya, "Iya, kenapa? Kamu butuh sesuatu?."
"Mama kenapa aku di sini?." Tanya Adira. "Harusnya aku masih ada di tempat camping kan"
Sinta terlihat menghela napas, "Jangan keras kepala Adira. Dari awal mama udah bilang kan kalo tubuh kamu ngga sekuat kak Daniel, tubuh kamu itu lemah, di tambah kamu juga ngga tahan sama hawa dingin." Adira terdiam. "Kamu tau seberapa paniknya mama waktu tau kamu hilang di hutan dan hampir aja mati. Apa lagi orang-orang di sana gak ada yang paham sama sekali tentang kondisi kamu."
"Maaf, karena aku udah bikin mama khawatir." Kata Adira pelan.
Sinta mengusap rambut Adira lembut, "Tolong jangan di ulangi lagi ya, kamu sendiri yang bilang kalo cuma kamu yang tau tentang tubuhmu, jadi harusnya kamu tau kan kemampuan tubuhmu? Jangan terlalu di paksa ya."
Adira tersenyum tipis, "Iya ma."
Mama Adira balik tersenyum, "Istirahat ya, mama mau hubungi dokter dulu." Katanya. Setelah itu Sinta terlihat berjalan keluar dari kamar Adira.
Sepergian mamanya dari sana, Adira menatap kosong ke arah luar jendela, kemudian terdengar helaan napas dari gadis itu. Sejak kecil ia selalu di larang melakukan hal yang dia inginkan. Bukan tanpa sebab orang tuanya melakukan itu. Karena tubuh Adira yang lemah lantaran ia memiliki gangguan pada paru-parunya membuat kedua orang tuanya ekstra protectif padanya. Padahal sedari kecil gadis itu sangat ingin hidup seperti anak lainnya yang bisa melakukan apapun yang mereka mau tanpa memikirkan resiko-resiko yang mungkin akan terjadi. Sejujurnya Adira lelah, namun ia tidak ingin mati. Karena masih banyak mimpi yang harus ia gapai. Selain itu, ia selalu percaya bahwa suatu hari nanti akan ada sebuah bintang yang akan membawanya terbang untuk melihat indahnya dunia.
"Ra." Panggilan seseorang membuyarkan lamunan Adira.
Gadis itu menoleh pada sang empu, "Kak Daniel?." Ujarnya. Daniel terlihat mengukir senyum.
"Kak Daniel udah pulang?." Tanya Adira.
"Iya, Udah dari tadi." Jawab Daniel.
"Oh gitu."
"Gimana kondisi lo?." Tanya Daniel.
"Seperti yang kakak lihat." Jawab Adira seadanya.
"Ya udah banyakin istirahat." Kata Daniel
Adira diam sejenak, "Kak Daniel, Maaf ya." Katanya.
Daniel mengernyit, "Maaf buat apa?."
"Karena aku ikut Camping. Harusnya dari awal aku ngga maksa ikut, Kak Daniel sama yang lain jadi kesusahan gara-gara aku." Ujar Adira.
"Kata siapa kita kesusahan gara-gara lo?." Tanya Daniel.
"Engga ada, cuman setelah aku pikir-pikir pasti aku nyusahin kalian."
Daniel berdecak, "Dalam keadaan gini lo masih bisa mikirin orang lain?."
Adira terdiam.
"Bukan salah lo, itu kecelakaan. Lo sendiri pasti juga gak mau kan itu terjadi, jadi jangan salahin diri lo sendiri. Justru mereka semua itu khawatir sama lo karena mereka sayang lo ra. So, lebih baik lo istirahat dan berhenti mikirin yang aneh-aneh." Kata laki-laki itu panjang lebar. Adira sempat tertegun karena untuk pertama kalinya ia melihat Daniel mengatakan hal sebijak itu.
"Tapi kak Daniel, mereka tau kalo aku sakit?"
"Engga, ngga ada yang tau kalo lo sakit. Mereka ngiranya lo cuma hipotermia." Sahut Daniel.
Adira menghela napas, "Syukur deh."
Daniel tersenyum sembari mengusap rambut Adira, "Papa ngirim hadiah buat lo, jadi lo harus sembuh." Katanya.
"Hadiah? Hadiah apa?." Gadis itu mencoba untuk bangun.
"Eh?." Daniel terlihat terkejut, lalu ia membantu adiknya untuk duduk.
"Hadiah apa kak?." Tanya Adira penasaran.
"Nanti lo tau sendiri." Sahut Daniel
"Papa bakal pulang ya?." Adira bertanya dengan excited.
Daniel terdiam sejenak, kemudian ia menggeleng. "Bukan, papa ngirim hadiah buat kado ulang tahun lo."
Terlihat raut wajah kecewa dari gadis itu. Adira menggenggam tangan kakaknya erat, "Kak Daniel boleh ngga minta papa pulang sebentar aja." Pintanya.
"Papa kan kerja, Ra." Jawab Daniel
"Aku tau, tapi–"
"Kita bukan anak kecil lagi, Ra. Jadi lo harus ngerti kalo papa kerja juga buat kita." Jelas Daniel.
"Tapi tahun lalu papa juga ngga pulang kak." Balas Adira. "Padahal papa udah janji mau rayain ulang tahun bareng-bareng. Sampai kadang aku ngerasa papa itu ada tapi figurnya ngga pernah ada."
"Udah, jangan mikir aneh-aneh. Lo masih sakit jadi pikirannya ngelantur. Lagian gue lihat tahun lalu lo kelihatannya seneng-seneng aja ngerayain tanpa papa. Lo kan dapet kado kamera dari papa." Ujar Daniel
"Bahkan tanpa papa kasih kado kamerapun asalkan ada figur papa di sini, itu lebih dari cukup." Tutur Adira pelan.
Daniel menghela napas, "Iya, gue tau apa yang lo maksud. Tapi kita juga gak tau kan apa yang papa rasain. Mungkin aja dia lebih menderita karena jauh dari kita, anak-anaknya."
Adira diam sejenak, "Iya, kak Daniel bener."
"Nah kan, makanya lo harus minum obat biar cepet sembuh. Gue yakin papa juga bakal sedih kalo lihat lo sakit terus." Ujar Daniel sembari menyodorkan tiga butir obat.
Adira menatap obat-obat itu dalam diam, "Kak Daniel, kapan ya aku berhenti minum obat-obat ini?."
"Kalo lo udah sembuh." Jawab Daniel seadanya.
"Kak Daniel, aku cape" Aku Adira. Daniel tertegun, untuk pertama kalinya Adira mengakui apa yang ia rasakan. Karena selama ini, yang Daniel tau gadis itu hanya selalu menurut dan menunjukkan senyum seperti tidak terjadi apa-apa.
"Tapi papa dan mama pasti lebih cape." Lanjut Adira.
"Omongan lo makin ngelantur." Sahut Daniel.
"Tapi kenyataannya gitu kan kak."
"Lebih baik lo minum obat dan setelah itu istirahat." Suruh Daniel. Adira diam.
"Gue punya sesuatu buat lo." Lanjutnya.
"Apa?." Tanya Adira.
"Ada."
"Ih kak Daniel, apa?"
"Rahasia."
"Dih?."
"Makanya lo minum obat dulu, baru nanti gue kasih tau."
"Engga mau, harus kasih tau dulu."
"Tapi janji setelah itu minum obat."
Adira mengangguk cepat, "Janji." Ujarnya sembari menautkan jari kelingkingnya dengan Daniel.
Laki-laki itu kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. "Nih." Katanya sembari menyodorkan sebuah coklat pada Adira.
"Oh wow? Tumben kak Daniel beli sesuatu buat aku." Ujar Adira tidak percaya.
"Bukan gue yang beli."
"Lalu?."
"Dari Naufal."
"Hah?!." Adira tidak dapat menyembunyikan perasaan terkejutnya. "Dari kak Naufal?."
Daniel mengangguk, "Iya, tapi bisa biasa aja ngga? Jangan banyak gerak, gue ngeri lihat selang-selang di tubuh lo."
Adira terkekeh, "Tenang aja, ngga akan lepas kok."
"Ya tetep aja gue ngeri."
"Tapi kak Daniel ngga bohong kan?." Tanya Adira.
"Apa untungnya gue bohong sama lo?." Daniel balik bertanya.
"Ya siapa tau kan."
"Engga Adira."
"Tapi kak Naufal ada bilang sesuatu ngga?." Adira terlihat berharap.
Daniel menggeleng, "Dia cuma ngasih coklat itu dan ngga ada bilang apa-apa."
Gadis itu menunjukkan raut wajah kecewa. "Bahkan ucapan cepet sembuh gitu ngga?."
"Engga."
"Emm gitu ya."
"Udah sih, bukanya dengan Naufal ngasih hadiah ke lo itu udah bagus? Setidaknya proges lo ada kemajuan kan?" Ucap Daniel.
"Iya sih."
"Nah ya udah. Sekarang sesuai janji lo, lo harus minum obatnya." Ujar Daniel sembari menyodorkan kembali tiga butir obat pada Adira, dan dengan terpaksa akhirnya di minum oleh gadis itu.
"Kak Daniel, besok aku udah boleh berangkat sekolah?." Tanya Adira tiba-tiba.
"Ngga usah ngaco, lo belum sembuh." Daniel tidak habis pikir.
"Udah sembuh kak Daniel."
"Belum Adira, sekarang mending lo istirahat." Pinta Daniel.
"Tapi–"
"Istirahat." Perintah laki-laki itu.
"Iya iya." Sahut Adira pasrah.
Daniel tersenyum sembari mengusap rambut Adira, "Good girl, gue mau tanya mama dulu dokternya kapan datangnya."
"Hm."
"Lo harus sembuh." Setelah mengatakan itu Daniel keluar dari kamar Adira.
Sepergian laki-laki itu dari kamarnya, Adira tidak henti-hentinya menatap coklat yang diberikan Daniel sembari mengukir senyum. "Kak Naufal." Gumamnya pelan.