Selesai mengatakan itu, hujan pun mulai mereda. Sudah tidak terdengar lagi petir yang menyambar. Mereka semua beranjak untuk tidur. Di kamar, Kinara mengambil kasur lipat dan membukanya ke lantai tepat di dekat ranjang serta selimut. Arimbi yang selesai membasuh mukanya keluar dari dalam kamar mandi. Melihat Kinara menata kasur lipat.
"Maaf, ya, sudah ngerepotin kamu. Apalagi adik saya," katanya.
"Enggak apa-apa, Tuan Putri." Kinara selesai menata kasurnya.
"Kamu tinggal sendirian di sini?"
"Awalnya saya sudah tinggal sendirian sebelum ada Srikandhi."
"Apa kamu enggak kesepian?"
"Kesepian sih iya, tapi lama-lama juga terbiasa. Tuan Putri juga begitu?"
"Saya kesepian saat ditinggal minggat sama Orion. Ayah kami orangnya cuek dan enggak pedulian. Makanya saya keluar itu sekaligus nyari dia. Agar dia kembali. Kamu punya saudara?"
"Saudari. Dulu saya punya kakak perempuan tetapi dia sudah lama berpulang."
"Begitu, ya. Maafkan, saya," Arimbi merasa bersalah."Tapi, ada Srikandhi di sini kamu enggak merasakan kesepian, kan?"
"Ya, adanya Srikandhi membuat saya enggak kesepian lagi. Kerajaan Madhava itu seperti apa? Saya baru dengar tentang kerajan itu."
"Kerajaannya sangat membosankan."
"Hahaha. Tuan Putri bilang, markas pusat itu berada di tempat yang diketahui orang?"
"Memang. Di kota tersembunyi," kata Arimbi memperbaiki selimut."Di sana markas pusat berada. Besok kamu bakal tahu. Ke mana sih dua orang itu? Lama banget di dapur."
"Mungkin mereka lapar."
Dua orang Lakon yang dibicarakan menaiki tangga. Mereka memasuki kamar."Maaf, ya, Nona Arimbi, Nona Kinara, kita habis bikin nasi goreng. Tapi di bawah."
"Kalian mau?" tawar Srikandhi."Orion tadi juga ikut makan. Makanya kami bikin banyak."
"Sebenarnya saya yang bikin. Tapi, dia ikut."
"Ternyata Larasati pandai memasak, ya."
"Besok saja dimakan. Aku sudah mengantuk, nih." Larasati membaringkan badannya ke kasur lipat. Mereka bertiga akhirnya ikut tidur.
Tidak terasa hari kembali menjadi pagi. Di kamar, semuanya masih terlelap dalam mimpi kecuali Kinara yang terbiasa bangun pagi. Menuruni tangga, menuju dapur. Meneriksa nasi di penanak nasi.
"Masih enak," katanya, berganti memeriksa nasi goreng yang dibuat Larasati kemarin. Tampak nasi gireng di wajan ukuran besar itu enak, ia memanaskannya kembali. Seperti pada gadis umumnya yang di rumah mengerjakan pekerjaan rumah. Dulu, sewaktu ada sang kakak masih hidup, bila kakaknya libur bekerja maupun kakaknya masuk bekerja, ia yang mengerjakan pekerjaan rumah. Makin terbiasa dengan pekerjaan rumah membuat tidak merasa kaget. Buktinya hingga sekarang Kinara adalah gadis yang rajin. Sambil menunggu nasi gorengnya menghangat, ia membereskan dapur seperti mengelap meja maupun mencuci gelas bekas tamunya kemarin. Ada seseorang masuk ke dalam dapur."Sedang apa?"
Kinara menoleh. Ternyata Orion yang berdiri di ambang pintu. Pemuda itu tampak kusut.
"Memanaskan ini."
Orion menatap nasi goreng yang dipanaskan Kinara.
"Enak."
"Apanya?"
"Eem, nasi gorengnya." Menggaruk rambutnya yang tidak gatal sembari menguap."Kakak belum bangun?"
"Belum."
"Kamu rajin, ya. Jarang banget ada cewek kayak kamu. Bangun rajin.Benar-benar kayak seorang istri, deh. Ketimbang kakakku tidurnya ngebo kayak kerbau."
Muka Kinara merah karena malu. Karena Orion telah memujinya rajin. Seumur hidupnya, satu-satunya orang yang memujinya rajin adalah alhmarumah kakaknya.
"Kinara kamu rajin, deh!"
"Wah, terima kasih Kinara, sudah bantu Kakak..."
Itulah pujian dari kakaknya dulu.
"Terima kasih, Pangeran."
"Eh, kamu panggil apa aku tadi?"
"Pangeran, kan? Anda seorang pangeran."
Orion menghampirinya. Mematikan kompornya. Tanpa sungkan, meraih piring lalu nasi goreng."Jangan memanggilku 'pangeran'," ucapnya beranjak ke meja makan.
"Salah ya saya memanggil Anda begitu? Maafkan saya."
"Kamu enggak salah. Karena nama gelar itu sudah kubuang jauh. Kalau Kak Arimbi enggak masalah dipanggil denga nama gelar." Menyantap nasi gorengnya.
"Iya, deh. Kapan kita berangkatnya Pa—eh Orion..."
"Enggak tahu, tuh. Tanya saja sama si tukang ngebo itu. Kamu enggak ikut makan?"
"Aku mah gampang. Soalnya, saya mau mengangkat jemuran hari ini. Mungkin jemuran pada kering semua. Soal bajumu, kita bisa beli nanti."
"Biar aku saja yang ngelipat bajumu."
Melipat baju? Baju miliknya dilipat?
"Enggak usah."
"Biar aku saja. Aku di sini malah enggak ngapa-ngapain. Kasih pekerjaan aku apa deh. Entar aku yang ngerjain."
Muka Kinara memerah lagi. Jika dipikir, mirip sepasang kekasih—bukan sepasang suami dan istri.
"Terserah kamu."
"Bener, kan, kalian berduaan," sahut Arimbi tidak jauh dari hadapan mereka.
"Bukan berduaan tahu! Kami hanya mengobrol!"
"Ngobrol atau ghibahin aku?"
"Dua-duanya," kata Orion cuek.
Arimbi mendengkus. Menghampiri kursi, menggesernya duduk di samping Kinara. Meraih piring kosong, kemudian mengambil nasi goreng di mangkok ukuran besar."Makan. Habis itu kita segera berangkat ke markas pusat. Oh, iya, bangunkan Larasati sama Srikandhi juga."
"Biar saya saja yang membangunkan mereka," Kinara beranjak dari kursi. Keluar dari dapur menuju tangga, menaikinya. Menghampiri kamarnya yang terbuka sedikit. Mengintip apakah kedua Lakon tersebut sudah bangun atau belum.
"Rupanya kalian sudah bangun." Melihat keduanya merapikan kasur masing-masing menggunakan sihirnya.
"Kami sudah bangun daritadi, kok. Kita jadi berangkat, kan?"
"Jadi. Kita sarapan dulu."
Mereka bertiga menuruni tangga, berbelok ke dapur.
"Sudah bangun?"
"Sudah. Bagaimana keadaan Arjuna?" tanya Srikandhi.
Orion menghentikan makannya."Dia sama sekali belum siuman."
"Apa? Dia belum sama sekali siuman?"
"Mungkin akibat pukulan dari Lakon waktu itu."
"Apa sesakit itu ya efek pukulannya?"
"Aku enggak tahu sampai kapan dia seperti itu."
"Biasanya, Lakon seperti kami membutuhkan penyembuhan. Seperti Pangeran Orion katakan, bisa pebyembuhannya lama," kata Larasati.
"Berarti cuma kita berlima yang akan berangkat hari ini."
"Aku setuju. Kamu bagaimana Kinara?"
"Aku setuju."
Arimbi menatap sang adik."Kamu?"
Orion tidak melanjutkan makannya. Arimbi menebak, sepertinya dia memikirkan Lakon-nya.
"Aku enggak tahu."
"Aku tahu kamu memikirkan Lakon-mu. Aku yakin, dia akan segera siuman," Arimbi menyakinkannya.
Orion memainkan sendoknya.
"Baiklah, aku akan ikut. Dia ditinggal sendirian di sini enggak apa-apa?"
"Tenang saja, Pangeran." Larasati menggunakan sihirnya."Dengan menggunakan ini," tiba-tiba muncul lingkaran sihir di belakangnya ada semacam duplikat wanita yang mirip dengannya.
"Itu duplikat sihir."
"Saya menggunakan duplikat ini untuk menjaganya dan rumah. Adanya ini bisa diatasi."
Orion bisa merasakan lega. Karena di rumah ada yang menjaga Arjuna walau itu sekadar duplikat. Selesai sarapan, mereka segera berangkat menuju kota yang dinamakan Kota Tersembunyi. Mereka memesan taksi melayang. Arimbi membayar double untuk perjalanan.
"Turun di mana, Nona?" tanya sopir ramah.
"Kami turun di Kota Laksa, Pak," jawab Arimbi.
Sopir menurut. Melajukan taksinya melesat menuju perjalanan. Perjalanan mereka membutuhkan waktu sekitar dua jam lebih. Karena kota yang dimaksud Arimbi itu masih berhubungan dengan Kota Tersembunyi. Selama perjalanan, mereka memutuskan untuk tidur. Orion dan Arimbi sama sekali tidak tidur.
"Hei, Kak."
"Apa?"
"Kakak enggak pernah cerita soal Kakak masuk ke Kelompok Kaia?"
"Memang enggak pernah. Papamu saja enggak tahu."
"Apa papa juga tahu kalau aku sudah minggat lama?"
"Tahulah. Makanya, aku diutus untuk mencarimu."
"Alasan apa Kakak masuk ke Kelompok Kaia?"
"Aku masuk kelompok itu karena aku hanya ingin mencari informasi tentang keberadaanmu."
"Cuma itu?"
"Bukan. Tapi, juga aku memiliki Lakon."
Orion tidak menyadari bahwa selama ini, kakaknya yang cantik sebenarnya sangat menyayanginya dan perhatian. Gadis cantik ini diakuinya memang pandai dan cakap. Tapi, lebih dari itu, dia mengingatkannya pada ibu mereka yang telah tiada.
"Anu, terima kasih," Orion merasa canggung.
"Terima kasih soal apa?"
"Kakak sudah gigih mau
mencariku..."
Arimbi tersenyum."Ya, ya. Lain kali kalau ngambek, jangan pakai acara minggat lagi."
Orion mengangguk.
"Sekali-kali pulanglah ke Kerajaan Madhava."
"Aku kan sudah di-black list di kerajaan."
"Kata siapa? Itu pikiranmu. Papa itu sebenarnya menunggumu pulang."
Taksi melayang masih melesat. Sekitar dua jam lebih, perjalanan pun usai dan mereka sampai di kota itu. Kota itu masih terhubung dengan Kota Tersembunyi. Kinara bingung ke mana mereka akan pergi. Sepertinya Arimbi dan Larasati sudah sangat hafal tempat itu.
"Mana kotanya?"
"Lewat sini. Di sini tempat untuk menghubungkannya," Arimbi memberitahu.
Mereka berjalan ke sebuah jalan, di sana tampak rumah yang sudah reot.
"Di sini."
"Di sini Kakak bilang? Yang benar saja?!"
Arimbi merasa adiknya meremehkan tempat itu."Ayo, masuk. Kalian akan tahu sendiri."
Mereka masuk ke rumah reot itu. Arimbi membuka pintu, di dalamnya yang porak-poranda dan kotor berubah menjadi sebuah dimensi. Mereka masuk satu per satu. Dimensi itu langsung terhubung oleh sebuah kota nan padat. Layaknya kota pada umumnya.
Kinara takjub.
"Inilah Kota Tersembunyi itu," kata Arimbi.
"Woah, hebat! Kenapa kota seperti ini disebut Kota Tersembunyi?"
"Karena di kota ini hanya ditinggali para Spirit dan Lakon," lanjut Arimbi. Di sini terbilang aman. Itupun dari Kelompok Vadhala."
"Kelompok Vadhala mengetahui kota ini?"
"Setahuku belum. Maaf, ya, sementara kita tinggal di sini untuk sementara."
"Tinggal lagi? Bagaimana dengan Arjuna?"
"Ada duplikat sihir milik saya. Walau cuma duplikat, dia juga bisa melindungi dan waspada terhadap bahaya," terang Larasati lagi."Anda jangan khawatir lagi."
"Berapa hari kita menginap di kota ini?"
"Kalau urusan kita sudah selesai, kita bisa kembali pulang," kata Arimbi.